Cerpen Suhadi: Umi
Aku masih terbayang-bayang pertemuan terakhirku dengan gadis kecil berumur satu setengah tahun yang bernama Umi tersebut. Bayi yang lincah. Mulutnya yang mungil selalu menyunggingkan senyum dan tawa kecil saat aku menyebut namanya.“Umi… Ciluk…. Ba!” Aku membuka kedua telapak tangan yang menutupi wajahku sembari berjongkok menghadap Umi. Aku tersenyum. Dan dengan segera gadis kecil berbaju kumal dan lusuh itu tertawa-tawa. Setelah beberapa saat tergelak, ia lalu akan berlari tertatih-tatih menuju ibu asuhnya, Halimah. Menyembunyikan wajah lucunya di balik sarung buruk wanita janda gelandangan itu. Kemudian segera bangkit lagi. Berdiri sempoyongan, karena ia memang belum fasih berjalan. Umi akan berlari-lari kembali mendekatiku, tapi setelah hampir sampai ke dekat kakiku, gadis cilik itu akan terbahak-bahak lagi sesaat, kemudian berputar dan berlari kembali ke pangkuan Bu Halimah.
Ci..luk ba! memang menjadi permainan yang sangat menarik baginya.
Umi kecil telah mencuri hatiku. Matanya yang bening dan cemerlang berkilau mengalahkan penampilannya yang kumuh. Tak dapat baju lusuh dan kulit kotor berdebunya menyembunyikan sorot mata cerdasnya. Barisan geligi susu yang putih kecil itu juga amat menarik. Lesung pipi yang demikian dalam, mengalahkan rambut ikal kusutnya yang memerah karena tak pernah terawat. Heh, Aku paling suka melihat lesung pipi itu. Mengingatkanku pada seseorang yang kini entah di mana.
Umi cantik sekali, walau kulitnya hitam karena tersengat panasnya mentari di emperan plasa. Dia bayi mungil yang imut, walaupun tubuhnya kotor berjelaga karena terpapar asap bis kota, angkot, sepeda motor, dan mobil-mobil yang melalu-lalang di jalan besar di depan plasa ini. Celotehnya meningkahi kebisingan deru mesin kendaraan dan jeritan klakson-klakson sopir yang hilang kesabaran.
Aku tahu betul, Umi selalu ada di depan plasa ini. Halimah, ibu asuhnya, biasanya lebih suka duduk di dekat trotoar yang di belakangnya terdapat sederetan tanaman hias merana. Bagaimana tidak merana tanaman-tanaman hias tersebut, box-box dari beton tempatnya ditanam lebih sering dijadikan tempat duduk para pengemis dan gelandangan ketimbang disiram dan dipupuk. Tempat mangkal yang strategis untuk tempat meminta-minta atau berdagang asongan. Sejak jam sembilan pagi sampai jam sepuluh malam, orang-orang berlalu-lalang. Keluar masuk pusat perbelanjaan ini, hingga memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi Bu Halimah dan kawan-kawannya untuk mendapatkan uang receh yang cukup banyak. Bahkan kadang-kadang ada orang-orang bermobil pribadi yang kulitnya putih bersih dan berpakaian indah-indah, licin dan wangi suka memberi uang lebih kepada mereka.
Di antara orang-orang berduit itu, tak sedikit yang mengomentari betapa cantiknya Umi. Gadis kecil, anak asuh Bu Halimah itu. Bahkan aku tidak pernah lupa, bahwa menurut Bu Halimah, sudah tiga orang ibu-ibu yang menawarkan ingin mengadopsi Umi. Tapi Bu Halimah selalu menolak. Bu Halimah begitu mencintai gadis mungil itu.
***
Selalu ada kerinduanku kepadanya. Umi, bayi berumur satu setengah tahun itu. Ini aneh?
Tidak begitu aneh-aneh amat barangkali. Mengingat Umi, gadis cilik itu memang sangat menarik. Tak cuma bagiku pasti, semua orang lain yang melihatnya juga.
Sebenarnya sudah enam bulan lebih aku bekerja di pusat perbelanjaan besar ini. Sebagai kasir pada sebuah counter kosmetik. Cuma aku tak pernah memperhatikan para pengemis, gelandangan, dan anak-anak jalanan yang selalu mondar-mandir di depan plasa. Biasanya saat jam istirahat siang, aku keluar bersama Nindy dan Agustine. Tapi kadang-kadang aku juga pergi makan sendiri. Biasa, makan nasi campur atau sesekali lontong, atau nasi sop di warung Ma Haji di belakang plasa.
Selama enam bulan itu, aku tak pernah memperhatikan mereka sampai pada minggu yang lalu ketika aku keluar untuk makan sendiri. Saat asyik menyendok nasi sop di dalam piring dan ditemani beberapa tusuk sate ayam, seorang gadis kecil menarik-narik tasku yang bergambarkan Tedy Bear.
“Wa-wau….!” Sebuah tangan mungil menunjuk gambar Tedy Bear dan menarik-narik ujung tas dari bahan katun itu.
Aku menoleh ke samping, menghentikan makan. Betapa takjubnya aku akan kehadiran gadis mungil itu. Matanya yang bening dan cemerlang, alangkah memukaunya! Kurasa aku seperti melihat cahaya bintang nan indah, nun jauh di dalam sana. Lebih-lebih lesung pipi itu. Dalam dan lebar. Khas sekali. Ah, lesung pipi itulah yang mengingatkanku dengan serta-merta pada seseorang. Seseorang yang telah sangat berpengaruh pada perjalanan hidup yang harus kutempuh.
“Wa-wau?” Aku mengulang kata-kata gadis kecil berambut ikal kemerahan terpanggang matahari kota yang panas-terik itu. Tapi dengan nada setengah bertanya.
“Wa-wau……!” Gadis cilik itu menyahut kembali sembari tertawa kecil. Deretan gigi-gigi susunya yang putih semakin memikat hatiku.
“Duh, cantiknya. Ngegemesin!” Kucubit lembut pipi gadis mungil itu. Aku tersenyum memandangnya.
Aku paham betul bahwa gadis cilik itu pasti mengasosiasikan gambar Tedy Bear itu dengan kucing. Kucing kan mengeluarkan suara “maong-meong”. Namun, anak seusia gadis kecil yang kutaksir sekitar setengah tahun itu belum bisa mengucapkannya dengan baik. Sehingga ia hanya mengucapkannya dengan kata “wa-wau”. Ia pasti juga belum bisa membedakan mana kucing dan mana hewan berkaki empat berbulu lainnya macam anjing, beruang, atau hewan lainnya.
Aku jadi ingat mata kuliah psikologi pendidikan yang dulu pernah kuikuti saat masih kuliah di FKIP. Menurut teori perkembangan kognitif, seseorang akan selalu memperbaharui konsep-konsep yang dimilikinya, bila terjadi disekuilibrium atau ketidakseimbangan konsep. Hm, mungkin pada saat usianya menjelang tahun kedua atau melewati tahun kedua nanti, ia sudah akan dapat membedakan mana kucing, mana beruang, dan mana anjing. Ia akan mengalami disekuilibrium. Aku masih ingat betul, bahwa pada usia gadis kecil ini, yang umurnya masih kurang dari dua tahun, sedang berada pada tahap sensori motor. Si mungil yang cantik ini pasti sedang mulai belajar menggunakan memori, imitasi, dan pemikiran. Mulai melatih gerakan-gerakan dari gerakan bersifat refleks ke gerakan yang terkontrol oleh pikiran. Pasti ia belum bisa menggunakan sendok untuk makan, karena gerak tangan belum dapat dikontrolnya dengan baik. Karena itu pula langkah-langkah kakinya belum seimbang betul. Masih sering terjatuh. Aku yakin, ia juga masih dalam tahap belajar memperbaiki gerakan motorik halusnya, sehingga ia belum dapat memegang benda-benda dengan cara yang benar.
Semakin aku memperhatikan gadis satu setengah tahun ini dan mencoba-hubungkan dengan materi kuliah psikologi yang pernah aku dapatkan dulu, semakin aku tertarik kepadanya.
Sayang, dua tahun yang lalu kuliahku terhenti karena kesalahanku sendiri. Aku yang terlalu bebas bergaul telah menimbulkan kemurkaan ayah di kampung yang notabene adalah seorang ulama terpandang. Kini, aku harus putus kuliah, bahkan putus hubungan dengan keluarga. Aku diusir dan tak berani pulang. Aku tak lagi dianggap anak, dan pernah terlunta-lunta. Entah bagaimana kesehatan ibu saat ini, aku tak lagi diberi kabar. Apakah penyakit paru-paru masih menggerogoti tubuhnya hingga begitu kurus, seperti saat aku memandang perempuan lembut itu untuk yang terakhir kalinya? Terakhir kali sebelum melangkah pergi untuk selamanya dari rumah ayah. Bagaimana dengan adikku Fikri? Apakah anak itu masih suka membolos dan tidak masuk sekolah? Masih suka tawuran dan menggunakan obat-obatan terlarangkah? Masih sering dipukuli ayahkah Fikri?
Aku sadar betul bahwa kami berdua memang selalu mengecewakan ayah. Membuat malu ulama terpandang itu dengan kelakuan kami. Rasanya ingin sekali pulang dan bersimpuh di kaki ayah-ibu. Tapi, ah, hatiku tak pernah pula bisa memenangkan kakiku agar mau melangkah pulang. Entah kenapa.
“Maaf Mbak, kalau Umi mengganggu Mbak.” Seorang perempuan setengah baya dengan pakaian kumal meraih lengan gadis mungil itu. Suaranya membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Ia tersenyum kepadaku, lalu menggendong gadis kecil yang ternyata bernama Umi itu.
Aku kemudian merogoh tas bergambar Tedy Bear yang tadi ditarik-tarik Umi. Aku mengeluarkan selembar uang seribuan. Kusodorkan kepada Umi. Tapi si gadis kecil malu-malu dan segera berlindung, membenamkan wajah lucunya ke dada ibunya. Ibu setengah baya itu meraih lembaran uang yang kusodorkan sembari mengucap terimakasih.
***
Begitulah awal perkenalanku dengan Umi dan Bu Halimah yang ternyata adalah ibu asuhnya. Perkenalan yang akhirnya membawa kedekatan dengan keduanya. Sebenarnya di sekitar kosku juga banyak anak kecil seumuran Umi, tapi aku tak pernah tertarik kepada mereka. Umi memang beda.
***
Aku bergegas menuruni eskalator. Satu tas plastik berisi beberapa lembar baju anak kecil yang kutaksir pas ukurannya untuk Umi dan mainan boneka-boneka berukuran kecil penuh sesak di dalamnya kutenteng dengan riang. Kebetulan ada diskon cukup besar karena sekarang musim liburan. Aku akan menggunakan waktu istirahat singkat siang ini untuk mengantar baju-baju dan mainan ini ke halaman plasa. Aku akan mencoba sekali lagi merayu Bu Halimah agar aku boleh merawat Umi. Mengadopsinya. Kemarin gagal, tapi tak ada salahnya kucoba lagi. Siapa tahu hati Bu Halimah bisa goyah oleh kegigihanku.
Kulewati pintu depan yang memisahkan atrium plasa dengan udara luar. Dengan segera kulitku merasakan panasnya udara siang itu. Berjelaga dan berdebu, di tambah kebisingan deru mesin kendaraan serta bunyi klakson mobil-mobil yang tergesa ingin sampai di tujuan meskipun lampu hijau di perempatan di sudut jalan itu belum menyala. Semua seperti tergesa, seperti halnya diriku siang ini.
Kuedarkan pandangan ke seluruh bagian halaman plasa. Tak ada dua sosok yang kucari-cari. Biasanya mereka duduk-duduk di samping box-box beton berisi tanaman hias itu. Yang terlihat cuma sosok-sosok kumuh dan kumal lainnya. Tapi bukan sosok Bu Halimah dan Umi. Kemana mereka?
Aku menyusuri halaman parkir samping kiri, kanan, belakang, dan juga di sekitar warung-warung makan di belakang plasa. Tak ada. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya dengan Udin, seorang anak kecil pengamen yang biasanya sering bercakap-cakap dengan Bu Halimah.
“Mana Bu Halimah, Din?”
“Mbak tidak tahu?”
“Tidak tahu apa, Din?”
“Umi meninggal, tadi malam ia ditabrak mobil saat pulang bersama Bu Halimah. Tabrak lari. Siang ini dimakamkan.” Udin menjelaskan dengan datar.
“Apa?” Rasanya sungguh tak percaya. Aku sudah terlanjur akrab dengan bayi berumur satu setengah tahun itu. Bahkan hari ini aku sudah punya rencana yang lebih jitu untuk merayu Bu Halimah agar aku boleh mengadopsi Umi. Tapi ternyata….
***
Dengan ditemani Udin, yang masih tetangga Bu Halimah, aku mendatangi gubuk reotnya di pinggir sungai. Di bawah jembatan. Tidak mudah merayu Udin agar mau mengantar. Tak hanya buat para bos berdasi, rupanya prinsip time is money juga ada pada pengamen cilik ini. Untung saja di dompetku masih tersisa sedikit uang. Selembar uang dua puluh ribuan kuberikan padanya sebagai imbalan.
Beberapa tetangga di pinggir sungai itu tampak berusaha menenangkan Bu Halimah. Sekedar berbela sungkawa atas kecelakaan yang menimpa Umi. Anak asuh kesayangannya. Aku tergesa masuk. Perempuan setengah baya itu sedang melolong-menangis di depan mayat Umi yang kaku bertutup kain sarung.
“Aku bodoh, aku teledor!” Bu Halimah memukul-mukul kepalanya sendiri. Saat melihatku ia makin menjadi-jadi. Rambut dan pakaiannya kusut-masai. Awut-awutan.
“Sudah Bu. Sudah… Ikhlaskan.”
“Andai aku mau menyerahkan Umi kepadamu sore itu untuk diadopsi. Huu..hu..hu…” Ia terus saja memukul-mukul kepalanya, menjambak-jambak rambutnya sendiri, lalu memelukku demikian eratnya. Aku cuma bisa menepuk-nepuk punggungnya untuk menyabarkan. Menciumi pipinya yang basah oleh air mata.
“Sudah, yang sabar Bu Halimah. Mungkin di sana Umi akan lebih bahagia.”
“Kau tahu, kenapa aku beri nama dia Umi?” Bu Halimah memandangku.
“Kenapa Bu?” kataku dengan lembut sembari tersenyum. Mudah-mudahan bisa membuatnya lebih nyaman. Akupun mengharap hal yang sama pada diriku yang terlanjur telah jatuh hati pada Umi. Dapat lebih nyaman dan ikhlas.
“Agar kalau ia sudah dewasa nanti bisa menjaga anaknya dengan baik. Umi itu artinya ibu.”
Aku mengangguk, tersenyum. Aku juga tahu arti kata umi itu. Sedari kecil aku dikelilingi kitab-kitab berbahasa Arab, juga nasyid-nasyid.
Ia melanjutkan kata-katanya sambil sesenggukan. “Ternyata, aku, ibu asuhnya yang bodoh ini tak lebih baik dari ibu kandungnya. Tak bisa menjaganya dengan baik. Tak bertanggungjawab. Kupikir, aku lebih baik dari ibu kandungnya yang meninggalkannya saat masih merah di depan sebuah mesjid dekat plasa itu.”
MasyaAllah! Tersirap darahku mendengar kata-kata Bu Halimah. Selama ini aku tak pernah bertanya tentang asal-usul Umi. Aku hanya tahu kalau Umi anak asuh Bu Halimah. Hatiku berdebur kencang saat kupandangi tubuh kecil kaku di balik kain sarung.
“Satu setengah tahun yang lalu pada suatu shubuh sebelum azan dikumandangkan, kutemukan Umi tertidur pulas setelah seorang perempuan muda meninggalkannya dengan diam-diam. Kuambil Umi, kurawat dia. Kupikir aku bisa menjaganya. Tapi nyatanya, aku tak lebih baik dari ibu kandungnya yang kejam itu. Huu..hu..huuu….”
Kata-kata yang terbata-bata diseling isak tangis penuh sesal dari mulut Bu Halimah itu bagaikan petir yang menyambar-nyambar. Lidah-lidah apinya membakar-menyengat sekujur tubuhku. Dadaku serasa meledak sedemikian kerasnya. Tak tertanggung rasanya.
Kuingat dengan baik bagaimana aku, si ibu jahat itu, meletakkan bayinya yang masih merah dalam sebuah kardus mie instan. Begitu jahatnya ibu itu, hingga ia menipu darah dagingnya sendiri, meninabobokannya dengan kidung indah tapi kemudian meninggalkannya. Menelantarkan buah perzinahannya yang suci tak berdosa itu di depan sebuah masjid di dekat plasa saat shubuh menjelang.
***
Sejuta bayangan hitam masa lalu berkelebatan hingga memenuhi kepalaku. Berat terasa hingga aku tak kuasa lagi menanggungnya. Aku jatuh, luluh di atas tubuh mungil dingin kaku itu. Lalu hilang tenggelam, terseret memori pekat dosa yang takkan pernah bisa kuperbaiki lagi. Umi, insan suci dari buah zinaku itu kini telah tiada. Akankah aku bisa memaafkan diriku?
(Alabio, 19 Juli 2008)
Cerpen ini didedikasikan untuk sahabatku Imoe, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Sumatera Barat.
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 27 Juli 2008
https://suhadinet.wordpress.com/2008/07/27/horeee-cerpen-saya-untuk-pertama-kali-dimuat-di-radar-banjarmasin/
0 komentar: