Cerpen Arief Rahman Heriansyah: Sakura di Perbatasan

07.21 Zian 2 Comments


Suatu sore yang lembut. Dua ekor burung merpati terbang indah mengitari halaman rumah sederhana itu. Salah satu dari keduanya lalu hinggap di batang pohon sakura yang seluruh batangnya kering dan tinggal hanya beberapa helai daun saja di ujung tangkainya. Walaupun musim dingin masih lama akan datang, namun angin yang berembus amatlah terasa dingin. Sepertinya semua itu tak berlaku bagi kau, seorang gadis belia yang duduk di bangku halaman sana. Kau masih terpaku menyaksikan dua ekor burung yang sedang asik bersenda gurau. Tanpa memerhatikan kimono yang kau kenakan agak tersingkap karena diterpa angin lembut pada musim gugur ini.
“Ayumi! Sedang apa lagi kamu melamun sepanjang sore ini?!”
Kau tersentak kaget, serta-merta kesadaranmu pulih kembali dari ruang khayalmu tadi. Seorang wanita setengah baya melintas menuju kolam ikan di pekarangan rumah. Kau sekilas menoleh kepada Ibumu yang hendak memberi makan ikan koi, ikan yang selama ini dianggap sebagai simbol keberuntungan bagi pemiliknya. Kau mendesah pelan, tak menggubris teguran ibumu tadi.

“Cepatlah masuk rumah! Kalau kamu masuk angin siapa pula yang repot? Kamu harus siap-siap karena malam ini keluarga kita akan ikut festival.”
Sekali lagi ibumu mengomel. Namun kali ini gurat wajahmu cerah tiba-tiba. Kau teringat suatu hal yang sangat penting. Sejurus kemudian kau bergegas bangkit masuk ke dalam rumahmu yang berlantai tatami, melintasi ruang tamu keluarga. Kau lihat ayahmu masih asik membaca Koran Yamiori, koran harian Jepang. Sedangkan kakekmu malah sedang sibuk mengerjakan origami dari kertas-kertas di ruang keluarga. Ah, apa peduli kau?
Kau terlihat menggeledah lemari pakaianmu. Memilih busana dan aksesoris terbaik untuk dipakai malam ini. Sampai akhirnya kau pilih sebuah kimono merah muda berbawahan panjang hingga mata kaki. Sebuah  busana yang lembut dan pantas pikirmu.
Hingga tibalah saatnya, waktu malam yang cerah. Langit bertaburan sejuta bintang dan purnama nyaris sempurna, menyiratkan sebuah arti. Kau siap dengan anggota keluargamu berangkat ke pusat keramaian. Dengan berjalan kaki karena jarak yang dituju tidak terlalu jauh dari tempat tinggalmu. Sekali lagi kau memerhatikan sosokmu sendiri. Kimono merah muda bermotif pohon kriptomeria yang kau kenakan sungguh membuatmu sangat manis dan anggun, ditambah bando merah yang merekat di kepalamu. Kau tersenyum-senyum sendiri, entah apakah makna dari senyummu itu.
Kakek Yamada memimpin berjalan di depan bersama ayahmu. Sedangkan kau berjalanan beriringan diapit oleh ibu dan nenekmu. Wajah mereka juga tampak cerah seperti halnya kau sendiri. Menyambut acara Festival Matsuri yang selalu diadakan di daerahmu setiap tahun.
Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi. Pada penyelenggaraan Matsuri hampir selalu bisa ditemui arak-arakan Mikoshi, dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada Matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar tradisional beraneka macam menjual makanan dan permainan.
Setelah sampai di tempat tujuan, kau terkesima karena orang-orang yang datang sangat banyak dan lebih ramai dari perkiraanmu. Lampu terang bergantungan di mana-mana. Anak-anak berlarian saling kejar-mengejar saking riangnya, tampak di tangan mereka memegang mainan kayu berbentuk bangau. Kau lantas ikut senang menyaksikan semua itu. Ayah dan Kakek segera menuju ke kuil untuk berdoa bersama warga lainnya. Sedangkan kau bersama Ibu dan Nenek sangat menikmati suasana di pasar tradisional. Sesekali kau mengalihkan pandangan pada para penari yang diiringi lelaki tua yang memainkan musik hayashi.
“Semua ini mengingatkan Nenek pada masa muda dulu… Berjalan bersama Kakek di tengah keramaian sambil makan gula manis yang sangat besar...”
Nenekmu membuka percakapan. Ibumu tersenyum sambil sesekali tertawa kecil mendengar ocehan Nenek yang selalu ceria. Kau juga turut tersenyum karena kau pikir tak ada salahnya untuk bernostalgia.
“Ayumi, kapan kamu mulai masuk kuliah lagi?” Ibumu berkata pelan menyeringai. Kau tergagap karena dari tadi kau melamun.
“Besok lusa liburan sudah usai, Bu. Aku akan masuk kuliah lagi.” Ucapmu mengangguk pasti.
Orang-orang semakin ramai berseliweran di sekitarmu. Ibu dan nenekmu semakin larut dalam suasana. Tapi kali ini kau agak gelisah. Jam di tanganmu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Namun tak tampak olehmu akan kedatangannya. Kau semakin gelisah. Kedua matamu menyapu pandangan setiap orang di sekeliling, berharap menemukan dia. Ada yang harus kau ungkapkan.
“Ada apa cucuku? Mukamu tampak seperti orang sakit.”
Kau kaget, namun secepatnya kau menggeleng dan tersenyum, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Namun ibumu menangkap sesuatu yang tak beres di wajahmu.
“Ayumi, ada masalah?” Kau gugup dan mukamu pucat pasi.
“Tak apa-apa, Bu. Aku mau ke toilet dulu sebentar.” Kau secepatnya berlari meninggalkan keramaian, tanpa kau hiraukan pandangan heran Ibumu yang geleng-geleng kepala melihat tingkah anehmu.

***

Tak jauh dari tempat festival, kau tergesa-gesa berlari menuju ke tempat itu. Tempat yang mengingatkanmu pada semua kenangan. Dari jauh pohon itu sudah nampak walaupun daun-daunnya tak kelihatan lagi menghias batangnya. Kau lega, sebab ia sudah berdiri di situ. Hanya menunggumu seorang. Kau salah tingkah saat melihat senyumnya yang mengembang karena kedatanganmu.
Kau menyeka peluh di lehermu, kau atur semua napas yang memburu di dalam tubuh. Namun ia semakin tersenyum melihat tingkahmu.
“Ma..maaf, Rey… Aku telat...”
Senyumnya masih tak bergeming. “Tak apa. O ya, kau cantik sekali malam ini, Yumi-chan…”
Kau jadi tersanjung, pipimu bersemu merah.
“Sudah lama ya menunggunya?”
“Tidak…”
“Kalau begitu apa yang ingin kamu bicarakan?”
Ia menghela nafas berat, namun senyum itu masih terpancar di sana. Ia lalu menyerahkan kepadamu sebuah pigura besar yang masih dibungkus kain kasa.
“Apa ini?” Kau bertanya kebingungan seolah tak mengerti.
“Buka saja saat kamu pulang ke rumah nanti.”
Hening.
Kalian berdua saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Maaf….” Dia menoleh kepadamu, senyum itu sekarang tak terlihat lagi.
“Ada apa? Kau ada masalah? Berbagilah denganku.”
“Tidak… Hanya saja besok aku akan pulang ke Indonesia. Dan sepertinya tak akan kembali lagi ke sini…” Ia berkata serak, namun terdengar pasti.
Kau tercengang, sebaliknya ia mengangguk memastikan bahwa perkataannya tadi tidak bercanda. Kau rasakan pohon sakura di atasmu semakin kering, seperti tak mampu menampung beban musim dingin berkepanjangan.
“E… tidakkah kamu keliru mengambil keputusan ini, Reyhan? Tentu kamu mempunyai alasan mengapa itu harus terjadi. Ya, aku cuma berharap masih bisa dekat denganmu.” Kau berkata pelan dan hati-hati. Selebihnya hatimu masih dilanda kecemasan. Belum pernah kau merasakan ketakutan seperti ini sebelumnya. Takut akan kehilangan seseorang yang kau sayangi.
“Tidak Yumi, aku serius! Keluargaku terkena musibah gunung merapi, mereka tentu sangat membutuhkan kehadiranku. Dan aku sudah tak memiliki rumah lagi…”
“Ta…tapi kamu masih bisa membawa seluruh keluargamu ke sini, dan kamu tak akan pergi dari Jepang.” Kau berusaha memberi saran terbaik. Hatimu tulus walaupun kedua matamu sudah berkaca-kaca.
“Semua itu takkan mungkin. Ayolah, cobalah untuk mengerti keadaanku.”
“Tidak, Rey…! Aku lebih paham akan situasi yang menimpamu sekarang.”
“Kau tak akan mengerti karena sesungguhnya kita berbeda….”
“Berbeda? Sejauh apa perbedaan itu?”
Agak lama dia terdiam, sebelum akhirnya menjawab.
“Maaf, bukan apa-apa yang membuat kita berbeda, Yumi. Tapi ada satu hal yang membuat kita berbeda di hadapan-Nya.”
“Apa? Aku tak mengerti ke mana arah pembicaraanmu, Reyhan.”
“Kau akan mengerti suatu saat nanti.”
Hening beberapa saat.
“Apa tidak ada yang bisa kita lakukan?”
“Hubungan kita hanya bisa sebatas ini, Yumi.”
“Rey, aku tidak mengerti apa yang kau maksud.”
“Aku tidak bisa menjelaskannya. Apa yang aku yakini tidak mudah untuk diterima.”
“Beritahu aku apa yang kamu yakini.”
“Tidak semudah itu, Yumi…”
“Kalau itu bisa menghilangkan perbedaan, aku akan melakukannya.” Nada suara kau sedikit memaksa.
Untuk beberapa saat kalian terdiam kembali.
“Baiklah, Yumi… Aku rasa aku harus pergi sekarang. Aku akui selama kuliah kamulah teman terbaik. Dan aku takkan melupakan kebaikanmu. Sayonara…”
Kau tak mampu berkata-kata lagi. Saat sosok tegap itu menjauh kau seperti kehilangan seluruh tonggak penahan di tubuhmu. Kau ingin mencegahnya tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu. Sesak, tanpa kau sadari air matamu tumpah menganak sungai di pipimu. Perih nian. Kau memeluk erat pigura besar pemberiannya tadi.

***

Kali ini kau berdiri di depan pohon sakura halaman rumahmu. Bunganya belum sepenuhnya mekar.  Kehidupan kembali berjalan. Angin musim semi berhembus dengan ringan. Semburat sinar dari langit yang menerobos celah awan-gemawan, tembus sampai ke permukaan bumi berupa batang-batang cahaya. Sejurus kemudian biru, biru merajai angkasa. Lalu semua penduduk Jepang merasakan datangnya musim semi yang menggelora. Ada rasa senang dan sedih yang beriringan dalam hatimu. Senang karena musim semi yang telah lama kau tunggu akhirnya datang, sedih karena tak mungkin lagi melihat sosoknya, sosok yang dari awal masuk kuliah telah membuka hatimu yang sejak lama terkungkung, tak mau menerima lelaki mana pun. Tapi dia berbeda, ada satu hal yang menonjolkan perbedaan itu. Yumi-Chan, wanita manapun di dunia ini pantas dihargai kedudukannya, bukan untuk direndahkan seperti halnya perkataanmu tadi. Begitulah, kau kembali terngiang perkataannya yang membius dan membuatmu berubah.
Beberapa kali kakekmu memuji hiasan dinding yang kau letakkan di ruang tamu rumah. Sebuah lukisan yang dia beri waktu itu, sebelum dia pergi untuk selamanya. Begitu indah jika dipandang. Ibumu bilang itu adalah tulisan kaligrafi, yang berasal dari negeri Timur Tengah. Tapi kau tak mengerti walaupun dijelaskan beberapa kali.
Bunga sakura yang terbang karena tertiup angin. Membuka perlahan kembali hati yang dirundung kegalauan. Pohon sakura yang tumbuh di halaman rumahmu sama halnya dengan pohon sakura yang tumbuh di perbatasan jalan kuil, tempat yang dekat dengan acara festival musim gugur lalu. Tempat yang memberikan berjuta kenangan yang kau simpan rapat. Dan sakura itu juga tumbuh di perbatasan hatimu.[ ]

Penjara Suci, 20 Januari 2011

Sumber:
Forum Pena Pesantren. 2013. Iblis Tidur. Banjarbaru: Mingguraya Press
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2013/08/sakura-di-perbatasan.html

2 komentar: