Cerpen Zaidinoor: Pemakan Hati
Angin malam musim kemarau menerbangkan debu dari sang induknya, tanah. Angin yang sama juga memisahkan daun kering dari ranting pohon yang telah meranggas. Antara daun kering dan debu pada titik tertentu bertemu, terombang-ambing sebentar, melayang dan terseok. Kemudian keduanya jatuh ke tanah di tepi jalan tatkala angin tak lagi berhembus kencang.
Untuk mengurai diri menjadi penyubur bagi pohon yang ditinggalkannya masih terlalu lama bagi sang daun. Begitu juga bagi sang debu. Karena sebelum benar-benar menyatu dengan tanah, ia harus menunggu pergantian musim terlebih dahulu saat tetes hujan melumerkannya dengan sang tanah. Dan itu terjadi masih beberapa bulan lagi.
Malam ini keduanya harus menjadi saksi terlebih dahulu bagaimana kesunyian membekap dua orang laki-laki yang mematung di tengah jalan. Di depan keduanya, sebatang Meranti besar melintang. Mata mereka seakan tak berkedip dengan posisi tubuh bersiaga penuh. Kedua orang itu menggenggam parang panjang tanpa sarung.
Tiba-tiba suara deru mobil memecah keheningan malam. Dengan kecepatan penuh mobil itu melaju kencang. Semakin mendekat semakin cepat. Beberapa saat seperti akan menabrak batang Meranti, mobil itu berdecit dan terhenti hanya dua hasta dari batang Meranti.
Sosok lelaki perlente keluar dari mobil. Memakai jas hitam yang warnanya sama dengan mobil yang dikendarainya, lelaki itu mengibaskan debu dari celananya. “Aih... kalian lagi Badal dan Badul, kita sudah melakukan ini selama puluhan malam, tak bosankah kalian berdua?” kata sosok perlente tadi.
Hanya sekejap setelah menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Badal, lelaki yang memiliki kulit lebih putih dari adik kembarnya Badul, melompat tinggi melewati Batang Meranti. Sambil melompat, Badal menebaskan parang ke leher lelaki perlente itu. Sang lelaki hanya tersenyum dan berputar cepat. Tebasan Badal tak mengenai sasaran namun mengenai dan menyobek bagian belakang celana sang lelaki perlente. Dari sobekan itu menyembul ekor putih yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Bulan yang belum sempurna memperlihatkan wajah sang lelaki tersebut. wajahnya seperti manusia biasa, hanya tak ada lekukan di antara hidung dan bibirnya. Lelaki perlente itu menyeringai. “Kau tau parang tak ada gunanya...” ujar lelaki itu.
Badal tak menjawab. Ia menoleh sebentar ke belakang. “kita bergantian seperti biasa dik, kalau aku lelah, kaulah yang menghadapi jejadian ini!,” kata Badal. Badul hanya mengangguk. Genggaman parangnya semakin kuat.
Badal kembali menebaskan parangnya. Kali ini tepat mengenai leher sang lelaki perlente. Namun bukan leher lelaki itu putus, parang Badal lah yang ternyata titil. Badal langsung membuang parangnya. Kuku jari Lelaki perlente itu memanjang, ia membalas serangan Badal dengan cakar. Akhirnya cakar berbalas hantaman dari Badal, banting berbalas banting dan pergumulan pun terjadi.
Apabila Badal mulai kelelahan, Badul menggantikannya berjibaku dengan sosok perlente berekor putih itu. Kadang kedua saudara kembar itu menyerang lelaki perlente secara bersamaan. Lelaki perlente itu seperti tak pernah lelah. Kekuatan kedua pihak berimbang. Perkelahian mereka terjadi sepanjang malam.
Memasuki subuh, sayup terdengar azan dari tengah dusun. Perkelahian yang tampaknya tak berkesudahan itu terhenti. Tak ada yang berani menyerang. Kekuatan mereka bertiga ternyata sama-sama menghilang saat fajar menyingsing. Kekebalan mereka bersumber dari kegelapan malam.
Lelaki perlente kemudian meloncat mundur. “Malam besok akan kita lanjutkan!,” katanya kepada dua saudara itu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil, memutar mobilnya dan melesat cepat meninggalkan Badal dan Badul yang bersimbah peluh dan baju robek di sana sini.
***
Hari masih pagi ketika pekarangan rumah tetua Budir telah dipadati puluhan warga dusun. Kabar tentang hasil imbang perkelahian antara saudara kembar dan lelaki perlente tadi malam telah beredar di antara warga dusun sejak subuh.
“Apa gunanya dusun kita memiliki Tacut seperti Badal dan Badul itu kalau mereka berdua tidak bisa mengusir lelaki jejadian macan itu!,” teriak salah satu warga dusun.
“Sia-sia lampahan mereka selama empat puluh hari empat malam di belantara Meratus sana!,” kata yang lain.
“Sabarlah saudaraku sekalian,” berdiri di teras rumah, tetua Budir coba mendinginkan suasana.
“Toh selama ini Macan Tandang itu tak pernah bisa masuk ke dusun kita,” sambung tetua Budir.
“Ini sudah tujuh minggu berlalu, tidak ada hasil apapun. Kami sudah bosan memberi makan dua saudara kembar yang menjaga di perbatasan dusun sana. Persedian beras kami mulai menipis. Tahun ini kemarau lebih awal, sebelum panen, tikus membabat habis padi di huma kita! ” sahut yang warga lain lagi.
“Lagi pula apa sih ruginya kalau Macan Tandang itu masuk ke dusun kita?. Warga di dusun-dusun sebelah sudah dimasukinya. Kehidupan mereka sekarang jauh lebih baik dari kita!” sambung yang lain.
“Yaa!, kehidupan dusun lain jauh lebih baik dari kita,” hampir seluruh warga mengamini pernyataan tadi.
Tetua Budir menghela nafas panjang. Selama menjadi tetua dusun Kabai, baru kali ini dusunnya terancam dengan serius. Sejak usia masih sangat muda, ia memang sekali dua mendengar ada manusia yang ditemukan dengan dada robek dan tanpa hati. Itu berarti telah menjadi korban macan Tandang, makhluk gaib berbentuk macan dan bisa menyaru sebagai manusia. Namun sebagai putra seorang tetua, ia telah diajari pengetahuan untuk menangkal dan mengusir sang macan. Hanya beberapa Papantunan singkat, sang macan akan kabur ke tengah hutan belantara, tak akan berani lagi mendekati dusunnya.
Kali ini yang mengancam dusunnya bukan macan Tandang biasa. Makhluk itu tak berasal dari belantara Meratus, namun berasal dari kota. Macan itu tidak bersarang di atas pohon besar, namun tinggal di apartemen mewah. Papantunan jelas tak mempan. Kelambu buncu empat sebagai perisai bagi serangan macan juga sia-sia.
Kabarnya macan dari kota itu telah memasuki beberapa dusun sekitar dusun Kabai. Ia mengincar hati tiap orang yang berada di dalam dusun. Anehnya, manusia yang menjadi korbannya tidak mati. Setelah tergeletak bersimbah darah karena diterkam sang macan, manusia- manusia itu hidup kembali esok paginya. Para korban itu hidup tanpa memiliki hati.
Korban-korban macan Tandang itu kemudian menebang pohon besar dan menjualnya ke kota. Membongkar tanah di hutan-hutan terlarang untuk mendapatkan bahan tambang dan mineral di dalamnya. Mereka memecah gunung-gunung batu juga hanya untuk dijual. Hanya sebentar setelah hidup tanpa hati, manusia-manusia itu menjadi kaya raya. Mereka membangun rumah-rumah beton dan membeli mobil-mobil dari kota. Mereka hidup bergelimang harta.
“Ini bukan tentang kemewahan tapi kehidupan,” ucap tetua Budir kemudian.
“Untuk apa kita punya mobil kalau kehidupan kita hanya di sekitar dusun ini. Untuk apa rumah-rumah besar jika untuk membangunnya kita harus menebang pohon yang menjadi rumah ratusan hingga ribuan makhluk lain, untuk apa kita bekerja seharian di huma sementara hasil dari bekerja separo hari saja kita sudah bisa mencukupi makan kita. Untuk apa kita hidup bersama jika dalam satu hari kita tidak sempat bertegur sapa dengan tetangga kerabat karena asyik bekerja menumpuk hasil bumi dan uang?,” tetua Budir mencoba memberi nasihat.
“Terus, untuk apa kita kita terancam paceklik dan ketakutan dari Macan Tandang dari kota jika kita bisa hidup mewah tetua?,” kata seorang warga menyanggah. Mendengar sanggahan itu, tetua Budir tak bisa berkata apa-apa lagi. Memang cara hidup adalah pilihan, ia tak punya hak untuk melarang warganya.
“Baiklah, kalau begitu terserah kalian maunya bagaimana,” akhirnya tetua Budir menyerahkan keputusan kepada kesepakatan warga. Lelaki separu baya itu membalikkan badan, dengan langkah lamban dan kepala tertunduk ia memasuki rumahnya.
Sepeninggal tetua Budir, warga dusun tak perlu waktu lama untuk mencapai kata sepakat. Pagi itu akhirnya diputuskan bahwa akan membiarkan hati mereka dimakan oleh sang macan Tandang. Menurut mereka sang macan Tandang akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
Mengetahui sikap dari warganya, hari itu juga tetua Budir membawa seluruh keluarganya meninggalkan dusun menuju pedalaman Meratus. Ia lebih memilih tinggal di hutan belantara di bawah ancaman macan Tandang dari hutan daripada harus merelakan hatinya dan hati keluarganya dimakan mancan Tandang dari kota.
Malam harinya seperti pada malam sebelumnya, kembali daun kering bercampur debu yang teronggok di tepi jalan itu menjadi saksi perkelahian sengit Badal dan Badul melawan Macan Tandang. Namun pada malam kali ini pertarungan itu tidak seimbang. Badal dan Badul harus bertarung dengan perut lapar karena sejak siang tadi tak seorang pun mengantarkan makanan.
Hanya beberapa saat kedua saudara kembar itu bisa menahan serangan sang macan Tandang. Pertarungan itu berakhir dengan mayat kedua saudara kembar itu bersimbah darah dengan dada robek. Mayat mereka tergolek di tengah jalan, tanpa hati.
“Warga dusun, sambutlah kemajuan!,” dengan tersungging, wajah tanpa lekukan di antara bibir dan hidung itu berkata lantang. Langkahnya pelan memasuki dusun Kabai.***
Keterangan:
Titil: Mata pedang atau parang rusak sedikit akibat beradu dengan benda keras
Tacut: Jawara
Lampahan: Cara untuk mendapatkan kesaktian
Papantunan: Semacam mantra yang mempunyai rima
Buncu: Sudut
Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 13 September 2015
http://ambahkata.blogspot.co.id/2015/09/cerpen-pemakan-hati.html
0 komentar: