Cerpen Ni’matul Abadiah: Qie...
( dalam gelut lepas sepenggal episode malam )Denyut nadi malam seakan menelan perkabaran angin selatan. Meruah perlahan senyum kunang-kunang pada cahaya yang dibawanya mampu mengalahkan keindahan nyala lampu di pinggir-pinggir jalan. Bahkan purnama pun iri melihat terang remangnya.
Rinduku muncul seketika saat melintas jalan sunyi itu. Jalan di mana yang mempertemukan aku dengan realita hidup. Ah, sebenarnya tak ingin aku mengungkitnya karena terlalu menyimpan kepedihan. Tapi, aku ingin mengulang semua kejadian itu yang telah membuat aku menyadari semua kesalahanku. Rinduku juga ingin bertemu dia lagi. Seseorang yang sebenarnya kokoh dibalik baju lusuhnya. Yang menyimpan semangat dalam hidup keterbatasan. Ah, andai saja aku dipertemukan lagi, pasti ku akan mengajaknya bercengkrama lagi di bawah sinar bulan yang mengantar keresahan pergi bersama angin semilir.
Di jalan sunyi itu aku bertemu dia. Seorang perkasa yang begitu sabar dengan hidupnya. Seorang yang ingin bertahan meraih cintanya. Dia adalah sang pejuang dengan semangat membara di dadanya. Sungguh menghapus keresahanku selama ini setelah perjumpaan aku dengannya. Bila kuingat, betapa bodohnya aku yang ingin mengakhiri hidup yang kuanggap percuma dengan segala ketidakberdayaanku. Hanya aku yang pada mulanya tak mengerti bagaimana hidup itu harus dijalani.
Setahun lalu aku melarikan diri dari keluargaku. Capek akan sikap keluarga yang memperlakukan aku dengan sebegitu hinanya. Terutama Bapak yang sering kalap memukul aku. Aku sering tak terima mengapa dia berbuat seperti itu. Tanpa ada kesalahan yang kuperbuat. Bahkan dia sendiri juga berkata malu memiliki aku. Mengapa takdirku sedemikian peliknya? Tak henti kumenghiba pada Tuhan mengharap Dia menjawab semua kedukaanku. Tapi, Dia cuma diam kupikir. Hanya menontonku saja yang berteriak dan menangis kesana kemari. Hingga aku ingin melenyapkan nyawaku yang kurasa tak ada gunanya lagi bernafas di dunia ini.
Mungkin aku anak yang tega dengan membiarkan kesedihan seorang ibu berlarut-larut dengan kepergianku. Hanya segores tinta yang kutulis pada selembar kertas sebelum aku beranjak pergi.
“selamat tinggal semuanya, mungkin kepergianku akan melegakan hidup penghuni rumah ini tanpa aku di dekat kalian”
Dengan segenap pilu,
Qie
Hanya itu pesan yang kutinggalkan dan aku bisa merasakan perasaan ibu setelah kupergi dari rumah. Aku pun sebenarnya tak ingin melihat dia mengucurkan air matanya untukku. Terlalu pedih. Tapi, aku pun tak tahan dengan pahit yang kurasakan. Maafkan aku ibu.
Dengan ditemani sebuah tongkat yang selalu setia menemani, aku mengembara di malam itu. Tak tau tujuanku mau ke mana. Yang terpenting menjauh dari kutukan hidup itu. Tapi lagi-lagi aku dicemooh. Tak hanya di rumah, mereka yang di jalan-jalan pun memandang aku dengan anehnya. Rupanya takdir itu tak bisa lepas dari penderitaanku. Tentu saja Qie. Di luar itu lebih luas dari rumahmu terkungkung selama ini. Kau baru terbebas dari penjara. Itu kan yang kau rasakan ? benakku ikut nimbrung bicara. Ah,baru saja aku menyadari hal itu. Aku baru tau dunia luar saat ini. Saat di mana aku bisa bebas dari rumah yang ku anggap penjara dan saat ini pula aku benar-benar mengembara. Terasa asing semuanya bagiku. Jelas Qie.
***
Aku terduduk menangis seorang diri di trotoar jalan sunyi itu. Sebuah belati sudah di tangan bersiap mengakhiri hidup ini. Tapi, dia datang saat itu dengan tersenyum dan berujar,
”Apakah kamu sudah sebegitu bencinya dengan Tuhan?”
Isakku terhenti sejenak mendengar pertanyaannya.
”Siapa kamu? Apa maksud pertanyaanmu?” Tanyaku balik.
”Seberapa besar bencimu pada Tuhan?” Dia bertanya lagi.
“Aku tak membenciNya.” Jawabku.
”Kalau kamu tak membenciNya, mengapa harus melakukan itu.”
”Aku benar-benar tak mengerti apa maksudmu. Jelas aku tak membenci Tuhanku. Selama ini aku taat beribadah kepadaNya”.
”Hei,lantas mengapa kamu mau mengakhiri hidupmu? Bukankah Dia telah memberikan kesempatan besar untukmu. Kesempatan bisa merasakan dunia ini untuk terus bisa mengabdi kepadaNya. Kalau kamu melakukan itu, sama artinya kamu membenci apa yang telah dianugerahkan kepadamu. Sama juga kamu lelah dengan pemberianNya. Dan itu sama dengan kamu benci pada Dia.”
Aku jadi dibuatnya berpikir. Apakah aku seperti itu? Tidak. Tidak. Aku tidak ingin membenci Dia. Aku hanya inginkan kasih sayangNya. Aku ingin perhatian dariNya. Tapi, sampai saat ini Dia belum menjawab keluh kesahku hingga aku membiarkan benci dengan diriku sendiri. Lebih baik aku pergi dari dunia ini agar tak dihadapkan dengan masalah yang selama ini membebaniku.
”Mengapa harus berputus asa? Itu akan membuatmu semakin tak berdaya, lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. Kalau kamu benci dengan keterbatasanmu, berarti kamu bukan seorang yang mensyukuri nikmatNya?” Lanjutnya lagi.
Dia seperti telah memahami permasalahan yang sedang kuhadapi saat ini.
”Hei, masalah itu niscaya dalam hidup. Hanya orang-orang yang sabar yang bisa tetap bertahan dengan semua ujian yang diberikan Tuhan. Kalau kamu bisa melewatinya, kamu termasuk orang yang beruntung. Jangan kamu berhenti di sini dengan anggapan bahwa kamu tak berarti bagi siapa pun. Setiap insan yang diciptakan Tuhan mempunyai peranan masing-masing di dunia ini. Meski dengan keterbatasan yang kamu miliki. Itu adalah sesuatu keunikan yang tidak dimiliki orang lain.”
Aku tak mengira dia menceramahiku demikian spiritualnya. Kata-katanya membuat aku harus menentukan pilihan. Aku tertunduk hening.
”Ya, kamu benar. Mengapa aku harus menyerah. Aku harus kuat. Harus tetap bertahan.” ucapku dengan mengumbar sedikit semangat.
”Siapakah kamu sebenarnya, mengapa kamu juga ada di sini.” Tanyaku dengan heran akan keberadaannya yang tiba-tiba dihadapanku. Kuamati dia. Sama sepertiku memiliki keterbatasan. Apakah dia pernah mengalami seperti apa yang kualami saat ini? Sehingga dia mampu mengucapkan perkataan yang membuatku tercerahkan.
”Aku adalah orang yang sama sepertimu. Aku sadar, aku juga tak sempurna...”
Terdiam.
” Tapi aku yakin, Tuhan pasti punya rahasia dibalik penciptaan diriku ini. Aku mampu bertahan karena cinta yang hendak kuperjuangkan. Pada seseorang yang teramat sangat aku harapkan cintanya. Oleh karena itu, aku harus membuktikan padanya kalau aku bisa berbuat sesuatu yang dapat membanggakan dia. Sehingga dia bisa membalas cinta yang kuhadirkan buatnya itu.” Tuturnya begitu indah.
”Pasti dia sangat berarti bagimu.” Ku mulai menikmati bercakap dengannya.
”Sungguh, sangat begitu berarti. Aku rela berkorban demi dia. Meski selama ini dia tak menganggapku. Pahit.” Ucapannya dalam. Getir. Kurasakan air mata yang tumpah di wajahnya.
”Aku bisa rasakan itu, kawan.”
Ya, seperti kamu merasakan kesedihanku saat ini.
***
”Qie, kamu benar mau balik sekarang?” Tanya Faiz.
”Iya, Iz. aku sudah teramat kangen sama kedua orangtuaku. Terima kasih atas bantuanmu selama ini. Do’akan aku ya, semoga aku juga bisa mendapatkan kebahagiaanku bersama keluargaku.”
”Baiklah Qie, aku tak akan melarangmu pergi. Aku hanya merasa kehilanganmu saja kalau kamu tak lagi di sini. Ingat aku selalu ya Qie..dan jangan lupa dengan janjimu.”
”Iz, pasti. Kita masih bisa komunikasi. Kamu orang yang sangat berjasa dalam hidupku, mana mungkin aku melupakanmu. Kamu adalah saudaraku. Insya Allah akan kupenuhi janjiku. ”
”Semoga kita dipertemukan lagi Qie.”
”Insya Allah. Aku berangkat ya Iz. Jaga dirimu. Assalamu’alaikum...”
” ’Alaikumsalam warahmatullah...jaga dirimu juga Qie.”
***
Di terminal ini, akhir pertemuan sementaraku dengan Faiz. Semoga suatu saat nanti aku bertemu dia lagi. Selamat tinggal Amuntai. Selamat tinggal Faiz. Aku akan selalu mengenang kalian. Taxi melaju menuju bumi Lambung Mangkurat membawaku serta bersama sebuah keyakinan. Aku akan bertemu orang tuaku lagi dan semoga Bapak sudah ikhlas menerima keberadaanku.
Tanpa Faiz yang menolongku ketika aku kebingungan di daerah Amuntai, mungkin aku ngambang jadi apa. Setelah kejadian di malam di mana aku nyaris mau bunuh diri, aku dikuatkan oleh seseorang yang aku sendiri tak tau siapa dia. Dari sana aku melangkah menuju terminal, membawa diri ke tanah Pahuluan. Entahlah mengapa hatiku mengajak ke sana. Mungkin hanya karena namanya sering kudengar dari keluargaku. Terutama bapak yang sering ke luar kota ke daerah tersebut. Yang kutau saat itu hanya ingin pergi dari daerah tempat tinggalku.
Sebenarnya bingung juga aku di mana letak terminal itu karena selama ini aku hanya menjalani hidup di rumah. Dengan diantarkan oleh seorang tukang becak yang masih mangkal di pinggir-pinggir jalan aku taunya. Pengetahuanku tentang dunia luar kudapat dari ibu dan guru homeschoolingku sewaktu aku kecil. Tanpa pernah bisa kunikmati sendiri bagaimana bentuk daerahku. Aku selalu mengharap bapak bisa mengajakku jalan-jalan, tapi tak pernah. Ibu pun dilarang membawaku keluar. Bapak teramat malu memiliki aku. Malu dengan rekan-rekan kerjanya, malu dengan teman-temannya. Tapi, tentunya aku harus patut bersyukur dia masih membiayai makan dan homeschoolingku. Ternyata semua taxi sudah tidak beroperasi di malam selarut itu. Aku terpaksa menunggu pagi.
***
Ketika aku telah sampai di terminal Amuntai hampir saja aku kecopetan. Untung Faiz yang menolongku. Waktu itu dia juga mau menjemput ibunya di teminal Amuntai yang baru datang dari Banjarmasin yang ternyata satu taxi penumpang denganku. Dari perkenalan singkat itu, dia mengajakku ke rumahnya karena aku juga bingung saat itu mau kemana.
Faiz cuma tinggal berdua dengan ibunya. Adiknya perempuan sedang kuliah di salah satu universitas terkemuka di Banjarmasin. Oleh karena itu, ibunya baru dari menjenguk putrinya yang ternyata sedang kuliah di kotaku. Sedang ayahnya sudah lama meninggal ketika Faiz baru berumur 12 tahun. Ternyata lagi-agi aku harus bersyukur, aku masih punya bapak. Tapi Aku masih menganggapnya mati di hatiku.
Faiz sebaya denganku, dan ibunya pun juga hampir sebaya dengan ibuku. Bedanya aku dengan Faiz, dia kini mampu menjadi tulang punggung keluarganya. Mampu membiayai kuliah adiknya dan kebutuhan hidupnya bersama dengan ibunya. Sedangkan aku, aku cuma seorang cacat yang tak bisa apa-apa. Faiz bekerja menjadi seorang pengajar di salah satu lembaga pendidikan. Kulihat hidupnya mapan meski dengan kehidupan yang sederhana nampaknya.
Faiz memintaku agar tetap tinggal dirumahnya ketika aku ingin mencari tempat tinggal yang lain. Ibunya pun tidak keberatan. Aku merasa tidak enak karena sudah beberapa hari tinggal di sana. Mereka begitu baik kepadaku dan telah banyak mendengarkan cerita tentang kehidupanku. Faiz juga mengajakku untuk membantu usahanya. Ternyata dia memiliki sebuah toko pakaian di dekat pasar Amuntai yang mana semua barang di sana adalah bikinan ibunya sendiri dengan dibantu dua orang penjahit lainnya.
Aku diminta untuk menggantikan dia mengelola usahanya itu alias memanajemennya. Aku sangat tidak mengerti mengapa dia begitu mempercayai orang yang baru saja dikenalnya seperti aku ini. Entah feeling apa hingga dia menunjukku. Itu yang membuat aku salut sama dia. Beribu kebaikan yang telah aku terima dari keluarga sederhana itu hingga aku tak mampu tuk menolakya. Aku pun merasa terbantu dan aku juga tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan besar yang telah diberikannya padaku. Memang aku belum pernah tau bagaimana caranya mengelola sebuah usaha. Tapi Faiz berusaha sabar mengajarkannya padaku.
Akhirnya aku punya pekerjaan di sini. Telah berjalan hampir tiga bulanan aku tak tau kabar rumah. Bagaimana dengan ibu, aku merindukannya. Setiap kutatap wajah ibunya Faiz, kulihat senyum ibuku di wajahnya serta getir rautnya merindukan aku. Selalu aku diliput kesalahan. Tapi aku tak berani tuk menghubunginya. Hingga kutahan rindu yang berkepanjangan setelah aku mampu menunjukkan kepada mereka terutama bapak bahwa aku juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku bisa membuat mereka bangga. Seringkali pula Faiz menasihatiku agar aku menghubungi mereka, paling tidak mengurangi kecemasan ibu terhadapku. Pernah suatu kali, ku telpon ibu memakai telepon umum, ku dengar suara tuanya menyahut di seberang sana.
” Siapa ya?”
Sedang aku hanya diam mendengarnya.
”Halo,halo, ini siapa ya?”
Isak kerinduanku muncul seketika.
“Qie? Apa itu kamu nak? Qie, ibu kangen sama kamu. Bicara Qie, apa ini benar kamu. Qie, Qie...”
Telepon kututup, masih terngiang dia memanggilku.
***
Gadis itu terkejut melihatku ada di rumahnya. Mungkin dia heran melihat kakiku yang cacat sebelah ini.
”Fathi, ini mas Baihaqie yang pernah kaka ceritakan itu.”
Faiz baru saja menjemput adiknya dari terminal yang mau berliburan semester.
”Fathiyah, Mas.” Dia memperkenalkan namanya dengan menganggukkan sedikit kepalanya.
”Oh,kalau mas, Muhammad Baihaqie.”
”Ibu mana Ka Faiz?”
” Biasa, di ruang jahitnya bersama dengan mba Mimin dan bu Saidah.” Jawab Faiz.
”Kalau gitu aku mau nemuin ibu dulu ya Ka. Mari mas Baihaqie.”
”Panggil mas Qie aja.” Kataku.
Fathiyah tersenyum manis dan berlalu ke dalam.
***
Kehadiranku dikeluarga Faiz ternyata memberatkan Fathiyah karena dia merasa tidak bebas bergerak di rumahnya sendiri. Tentu saja aku maklumi itu dari perilakunya. Setiap keluar kamar, dia berpakaian tertutup serta harus mengenakan kerudung dan kaos kaki. Aku tau dia gadis yang solehah. Kalau saja aku mahramnya, mungkin dia tidak merasa risih seperti itu. Aku minta ijin ke Faiz agar tinggal di toko pakaian saja. Biar aku tidur di sana. Sepertinya Faiz memahami maksudku yang merasa tidak enak dengan adiknya. Namun, Faiz masih dengan segala kebaikannya, mencarikan tempat tinggal yang layak untukku.
”Mana mungkin Qie, aku membiarkanmu menempati toko itu. Di sana gimana mau tidur, mau makan dengan leluasa. Tokonya kan ga seberapa luas.” Ucapnya saat itu.
***
Waktu pun semakin berlalu tak terasa hampir setahun. Banyak hal yang telah kulalui. Kini aku sudah mampu mengembangkan usaha Faiz dan ibunya. Kami membuka toko cabang baru di daerah pasar Alabio, yang kotanya sekitar tujuh kilometer dari Amuntai. Kota yang terkenal dengan ternak khas itiknya. Sedang toko yang di Amuntai itupun kami perbesar lagi. Alhamdulillah, aku bisa membalas semua kebaikan Faiz dan keluarganya. Mereka pun sekarang memiliki sepuluh orang penjahit yang cukup handal. Didikan Bu Maryam, ibunya Faiz.
Faiz juga telah punya pujaan hati. Teman satu profesinya. Dia ingin melamarnya segera. Sedang Fathiyah, dia juga telah menyelesaikan kuliahnya. Sebulan lagi dia di wisuda. Bahagia sekali aku bisa mendapatkan keluarga seperti mereka. Tapi, mungkin ini saatnya aku harus pergi. Aku juga ingin menemukan kebahagiaanku bersama keluargaku. Sampai aku utarakan maksudku untuk meninggalkan mereka.
”Nak Qie, ibu sudah menganggapmu sebagai anak ibu juga. Ibu sangat senang dengan kehadiranmu di keluarga ibu. Tinggallah di sini Nak. Jadi saudaranya Faiz.”
”Bu, sebenarnya Qie juga sudah teramat sayang dengan kalian semua di sini. Qie mendapatkan semangat hidup lagi berada di tengah keluarga ini. Qie juga telah menganggap ibu seperti ibu Qie sendiri. Tapi maaf sekali Bu, Qie harus pergi.”
Bu Maryam menangis memelukku. Aku merasakan pelukan ibuku juga menyambut kedatanganku nanti.
”Mas Qie, Fathi minta maaf bila Fathi ada salah sama Mas. Ntar hadir ya di wisudaku. Ka Faiz sama ibu juga datang.”
”Insya Allah Fathiyah. Qie juga sangat berterimakasih atas kebaikan kalian semua yang telah membantu Qie selama hidup di sini.”
“Ayo Iz, kita ke terminal sekarang.”
***
Banjarmasin dalam kabut malam sepi...
Tak lantas aku menuju rumah setelah menginjakkan kembali langkahku di kota ini. Rinduku muncul dengan seseorang di jalan sunyi ini. Aku ingin bertemu dia, sang lelaki itu. Kususur kembali jalan yang pernah kulewati setahun silam. Ku mencari-cari sosoknya, adakah dia kutemukan lagi di sini.
Tapi, kali ini hanya senyum Tuhan yang kudapatkan. Dia membisikkan sesuatu ke dalam dadaku sebuah reward bahwa aku bukan lagi sosok yang dulu. Sekarang ini adalah Qie yang kuat, yang mampu melawan keterbatasan. Seperti itulah gambaran sosokku dalam sang lelaki itu. Cinta yang hendak kuperjuangkan adalah untuk bapakku sendiri.
***
Di depan pagar besi ini aku telah berdiri. Tapi aku tak ingin membangunkan penghuninya. Kulihat Pa Yus, satpam yang menjaga rumah itu sedang menikmati kopinya. Teringat ku ketika kabur dari rumah, mengendap-endap seperti pencuri agar tidak kelihatan Pa Yus. Biarlah ku tunggu sampai esok pagi, kupikir. Ketika aku hendak menjauh dari sana, Pa Yus memanggilku.
”Mas Qie...”
Aku kembali menengok ke belakang.
”Pa Yus.”
”Kemana saja Mas selama ini. Ayo masuk, masuk.” Ujar pa Yus sembari membukakan pagar.
“Pa Yus, kangen sama Mas. Apalagi ibu Mas. Ibu sekarang kurusan. Beliau kini sedang sakit.”
”Apa Pa Yus? Ibu sakit?”
”Iya Mas Qie, Mas sih tega ninggalin ibu.”
Astaghfirullah al ‘azhim... ya Allah, ibu.
“Kalau bapak Pa Yus?”
“Bapak selama ini mencari-cari Mas. Ayo Mas masuk aja. Pa Yus temenin.”
Apa benar bapak mencari-cari aku, tanyaku dalam hati.
”Pak Surya, Bu Ratih... ini mas Qie pulang...” teriak Pa Yus seakan tak peduli dengan waktu istirahat kedua orang tuaku yang mungkin telah terlelap jauh. Tak lama pintu kamar orang tuaku terbuka. Kulihat sosok wanita mulia di depanku sedang mengenakan mukenanya. Dengan linangan air bening di matanya, beliau menghambur ke arahku.
”Qie...”
”Ibu..., maafkan Qie Bu.” Bersimpuh kumencium kakinya.
”Qie,” Suara itu memanggilku dengan teduh. Kulihat seorang laki-laki tua sudah berdiri di belakang ibu.
”Bapak...”
”Qie, maafkan bapak, Qie. Sungguh, bapak telah buta selama ini. Bapak banyak salah sama kamu.”
”Pa, Qie juga minta maaf.”
Babak satu adegan di malam itu menuai kebahagian dalam benakku. Selama ini aku salah paham dengan Tuhan. Ternyata Dia masih peduli padaku.
Mengaduh resah ku tentang dia
Di antara serpihan rasa
Yang melibat nestapa dalam raga
Terperangkap ku pada yang semu
Hingga berujar malam padaku
Tentang larut ku sedalam asa
Melenakan pelik yang tak terbendung jiwa
Meruah cerca pada diri
Namun tak upaya kuat ku menahan getir
Hingga tetes basah mengaliri pipi
Mengaduh gundah ku tentang dia
Dalam sepenggal malam
Yang mencatat sebuah episode
Perjalanan tersalah hidupku
***
Hari ini, ku akan mengutarakan maksudku melamarnya. Aku akan menepati janjiku pada Faiz. Ya, gadis dengan senyum termanisnya telah menyentak dinding jiwaku pada saat pertama kalinya kumelihat dia. Bidadari pertama yang pernah kulihat dalam mimpiku.
Hari ini dia menyambut hari bahagianya juga, semoga aku tak mengacaukan rasa bahagianya itu dengan tujuan hatiku ini. Bersama kedua orang tuaku, kami menunggu di depan gedung itu. Gedung yang akan mencatat sejarah bahwa aku dengan segenap keberanianku akan melamar dia di sini.
Namanya dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai wisudawati berprestasi dengan nilai cumlaude tertinggi di antara mahasiswa-mahasiswi satu fakultasnya. Riuh tepuk tangan menyambutnya naik ke atas latar didampingi oleh Faiz dan ibu Maryam. Ah, betapa bahagianya mereka. Aku sebenarnya merasa minder untuk melamarnya karena aku tak memiliki catatan sejarah pendidikan yang bagus bahkan untuk meraih gelar sarjana seperti dia.
Tapi, kumencoba angkuh dengan keberanianku. Meski ku menjadi seorang Qie seperti ini, aku sudah berjanji tak akan menjadi Qie yang mudah rapuh dan patah semangat dalam mencari kebahagiaannya sendiri. Yang terpenting aku berusaha.
Bagaimana ku hendak jadi dirimu
Sedang hatiku merasa bangga menjadi diri sendiri
Allah terlalu baik
Hingga ku tak pantas meminta banyak kelebihan ada padaku
Hanya perlu belajar dan berdo’a saja agar ku juga bisa sepertimu
Berupaya dan berproses itu lebih baik dari pada ku terlalu menuntutnya
Jalan itu banyak untuk menjadi orang baik yang berkembang.
***
” Insya Allah mas, Fathi tak menolaknya. Fathi ikhlas kalau itu yang menjadi takdir Fathi.” ucapnya jelas tanpa pikir panjang untuk menjawab pertanyaanku.
Semuanya berujar mengucap Alhamdulillah...
Aku tak mengira satu kemudahan Tuhan lagi yang Dia berikan padaku.
Kisah itu seumpama kita
Berjalan di muara hati dengan ria
Membawa jiwa pada sahaja
Menepis kabut pada asmara
Hati nak tau
Pada siapa labuh bercerita
Sehangat cinta yang merumpun kita
Disemai buih embun Maharaja
Duri bicara dalam nganga
Lelah membendung segala duka
Merayap jelma rindu bertahta
Nak sampai segera pada angkasa
Binarmu dengan cahaya
menghapus segenap lelah yang terbawa
Menjalar pada sukma
Dengan syair sang pujangga
Bertutur lembut di telinga
Membawa pesan tentang cinta
26 September 2009
02.52 p.m
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/nimatul-abadiah/minta-kritikan-pedasnya-masmba-buat-cerpen-saya-_/136424673156
0 komentar: