Cerpen Nailiya Noor Azizah: Prajurit Langit

15.00 Zian 0 Comments

1 Muharram 1450 H
Air mataku menetes, tepat di ujung sepatu boot hitamnya. Berjuta ’mengapa’ seolah tak kuasa ku bahasakan. Nyatanya mulutku terkatup rapat. Lidahku kelu. Hanya rasa yang menari-nari di hatiku. Benarkah dia akan pergi?
Seolah tak ingin menyiakan waktu yang tersisa, ku pandang sekali lagi wajahnya dengan lekat. Kulitnya begitu bersih, matanya agak sipit, hidungnya mancung, dan bibirnya selalu mengulas senyum. Sebagai seorang lelaki dia begitu tampan. Aku yakin semua wanita yang melihatnya pasti langsung jatuh hati. Tidak hanya itu, kepribadiannya pun sungguh luar biasa. Dia sangat penyayang dan penyabar. Rasa takut kehilangan tiba-tiba menyeruak batinku. Lagi-lagi kristal bening ini tak kuasa ku bendung.

***



1 Muharram 1430 H
”Wah lihat, Bi, Fatih berdiri lagi!” teriakku nyaring. Memang akhir-akhir ini adik ku, Fatih, mulai belajar berdiri. Dia nampak menggerakkan badannya ke atas dan ke bawah, persis gaya orang senam. Aku cekikikan dibuatnya.
”Iya, jagoan Abi hebat ya, Kak,” sahut Abi sambil memasuki kamar tidur kami. ’Kak’ itu sapaan dari Abi dan Ummi untukku sejak adikku lahir, digegap gempitanya gema takbir, tepat di hari Idul Qurban.
”Siapa dulu dong umminya...” Ummi menyusul Abi di belakang.
”Salah, Mi. Siapa dulu dong kakaknya...” bantahku dengan gaya seolah marah.
”Tsabita!!!” jawab Abi dan Ummi serentak. Kami tertawa bersama. Sejak adikku lahir rumah ini terasa sangat ramai. Aku biasa memanggilnya ’Danding’. Danding itu berasal dari kata ’ading’ (bahasa Banjar yang berarti ’adik’). Bagaimana rumah tidak berubah ceria, adikku itu selalu bertingkah polah lucu. Dia bahkan suka menggelitiki pusar ku. Duh...geli, Danding!!!
”Kakak kalau besar nanti ingin jadi apa?” tanya Abi mengagetkan lamunanku.
”Guru dong, Bi” jawabku tanpa berpikir panjang lagi. Cita-citaku ini terinspirasi dari Ummi. Ummi kan seorang guru. Ummi selalu punya cerita yang asyik kalau pulang dari mengajar. Makanya aku ingin jadi guru. Jadi, siapa saja yang menanyakan cita-citaku pasti akan ku jawab dengan lantang ’Aku ingin menjadi guru seperti Ummi’. Bahkan guru dan teman-temanku di TK Hunafa juga sudah tahu dengan cita-citaku ini. Bagiku menjadi guru adalah cita-cita yang paling hebat.
”Oya, Bi, adik nanti kalau besar mau jadi apa ya?” tanyaku penasaran.
”Kalau menurut Abi sih adik nanti mau jadi tentara” jawab Abi tegas.
”Tentara???” aku dan Ummi bertanya berbarengan.
”Ga ah, Bi, Ummi ga mau Fatih jadi tentara” kata Ummi nampak serius.
”Eit, tunggu dulu. Siapa bilang jadi tentara biasa? Nanti Fatih akan jadi tentara Islam lho. Tentara yang akan membantu umat Islam di Palestina.” jawab Abi yang akhirnya disambut Ummi dengan senyuman yang sekilas kulihat ragu. Pikiran anak TK ku melang-lang buana. Ku coba memahami apa yang tengah dibicarakan oarang tuaku ini. Tentara Islam? Palestina? Aku tidak mengerti. Yang ku tahu tentara itu adalah orang yang punya senjata dan pekerjaannya adalah berperang.
”Palestina itu dekat rumah siapa sih, Bi?” tanyaku akhirnya.
”Palestina itu jauh sayang. Di luar negeri”
”Kenapa harus di Palestina, Bi?” aku memotong penjelasan Abi.
”Karena saat ini Palestina dalam bahaya. Kaum Yahudi mencoba merebut Palestina dan mereka membantai ummat Islam di sana. Banyak anak-anak yang oarang tuanya dibunuh oleh orang Yahudi. Mereka juga tidak punya rumah dan tidak bisa sekolah seperti Tsabita”
”Kenapa kita harus menolong ummat Islam di sana, kan kita tidak kenal dengan mereka?” potongku lagi.
”Sayang, semua ummat Islam itu bersaudara. Di manapun mereka berada kita tetap saudara mereka. Bahkan kata Rasulullah ummat Islam itu ibarat satu tubuh. Jika yang satu sakit maka sakitlah seluruh tubuh itu” Ummi mencoba memberiku pemahaman.
”Tsabita tahu tidak tentang Palestina?” tanya Ummi sebelum aku yang bertanya. Aku hanya menggeleng.
”Palestina adalah salah satu negeri yang namanya tercantum dalam Al Qur’an. Ia adalah kiblat pertama umat Islam. Dalam sebuah hadits Palestina disebutkan sebagai salah satu dari tiga mesjid yang dianjurkan untuk diziarahi, yakni, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al Aqsha. Palestina juga merupakan negeri para nabi, yakni Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Saleh, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw. Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw juga menjelaskan bahwa Baitul Maqdis akan menjadi lokasi padang mahsyar dan tempat dibangkitkannya manusia diakhir zaman” Ummi menjelaskan panjang lebar.
”Bahkan, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa di Palestina ada bukit Thur, tempat Allah berbicara dengan Nabi Musa. Bukit itulah yang Allah bersumpah dengannya dalam surah At Thur dan At Tin. Di sana ada masjid Al Aqsha. Di sana tempat diutusnya para nabi, tempat hijrahnya Nabi Ibrahim. Tsabita masih ingat cerita Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad kan. Nah..ke sanalah batas akhir Isra’nya nabi kita, dan awal mi’raj beliau. Di sanalah kekuasaan beliau dan tiang kuat agama dan kitabnya. Di sanalah tempat padang mahsyar dan tempat kembali, sebagaimana Mekkah sebagai tempat awal kehidupan” Abi kini turut memaparkan lebih rinci. Aku mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti. Jujur, aku belum memahami penjelasan mereka. Tapi yang aku tahu sekarang adalah ummat Islam semua bersaudara, Palestina itu milik ummat Islam dan orang Yahudi itu jahat. Aku mulai membayangkan tampang mereka. Seperti apa ya? Apakah seperti tokoh-tokoh jahat di film atau sinetron? Dan Fatih...?
”Tsabita tidak mau, Bi, kalau adik jadi tentara!” simpulanku akhirnya.
”Kenapa tidak mau?” tanya Abi sambil menatapku.
”Kalau pergi ke Palestina, Adik kapan akan kembali ke rumah?” jawabku justru dengan sebuah tanya.
”Ya...Abi tidak tahu. Mungkin satu bulan, dua bulan atau bahkan tidak akan kembali” jawab Abi mantap.
Kulirik Ummi yang mendesah pelan. Seperti ada yang berat dari dalam hatinya. Tapi Ummi lebih memilih diam. Tidak sepertiku.
”Kan Ummi yang memberi nama Muhammad Al-Fatih. Katanya mau punya anak seperti Muhammad Al-Fatih???” Abi senyum-senyum penuh kemenangan sambil mlirik ke arah Ummi. Sepertinya Abi juga menangkap raut wajah Ummi yang nampak tidak rela Adik berangkat ke Palestina.
Aku teringat cerita Ummi perihal nama itu. Kata Ummi, Muhammad Al-Fatih itu adalah seorang khalifah yang pernah menaklukan konstantinopel. Dalam bahasa Arab pun Al-Fatih berarti sang pemimpin. Nama yang sangat hebat kan?
”Iya..iya, nanti kita akan dibelikan adik tiket ke syurga” Ummi mencoba mencairkan hatinya, barangkali.
”Tapi, Tsabita tetap tidak mau adik jadi tentara...” rengekku.
”Tapi, Abi ingin adik jadi tentara” ujar Abi tegas.
”Sudah, sayang. Ayo tidur. Besokkan harus sekolah” Ummi melerai perdebatan kami.
”Ya, sudahlah” aku membatin. Bukan menyerah. Aku tahu Abi orangnya pelupa. Paling-paling besok Abi sudah lupa dengan cita-citanya menjadikan adik tentara. Aku tidur dengan senyuman.

***

”Hwuah...” aku menguap ketika menyadari ada udara sejuk yang menyeruak dari balik jendela kamar. Eh, aku lupa menutup mulut. Syukurlah aku segera ingat membaca ta’awudz dan membaca doa bangun tidur.
”Assalamu’alaikum..Sudah bangun, nak” sapa Ummi seperti biasa.
”Iya, mi. Tsabita mau sholat dulu ya, Mi. Eh, adik mana, Mi?” tanyaku ketika menyadari si Danding tak ada di sampingku.
”Adik sudah bangun. Tuh, lagi main sama Abi di ruang tamu” jawab Ummi sambil mulai merapikan tempat tidur. Segera ku beranjak dari kamar. Air wudhu yang dingin membuat badanku sedikit menggigil. Usai salam aku berdoa seperti biasa. Mendoakan Abi dan Ummi tentu saja tidak ku lupakan.
”Ayo tentara Abi jalan ke sini” sayup-sayup aku mendengar kata-kata Abi dari ruang tamu. Hei...rupanya Abi masih ingat dengan keinginannya. Adik akan jadi tentara?
”Tidak, Bi, adik jangan jadi tentara ya...” teriakku sambil membenahi mukena stroberiku. Berkali-kali aku berdebat dengan Abi tentang satu kata itu, tentara. Aku selalu berharap besok Abi akan melupakan keinginannya. Tapi justru Abi selalu mengucapkan kata itu. Dan entah kebetulan atau bagaimana, sejak percakapan dan perdebatan kami soal tentara, televisi tengah gencar-gencarnya memberitakan tentang serangan Israel ke Palestina. Bahkan, ketika aku mulai belajar membaca koran, di sanapun ku temukan berita tentang Palestina. Aku ngeri membayangkan Dandingku yang mungil harus berada di antara desingan peluru dan bara api.

***

1 Muharram 1450 H
Dandingku itu kini menjelma menjadi si lelaki tampan. Otaknya yang cerdas, badannya yang kokoh dan jiwanya yang teguh memegang agama menjadikannya seorang tentara maha berani. Bagai prajurit langit yang siap menjemput syahid, yang merindukan pertemuan dengan Rabbnya.
Hari ini dandingku akan berangkat jauh ke negeri seberang yang bernama Palestina, persis seperti yang diramalkan Abi. Muslim di sana memerlukan lebih banyak prajurit untuk berjuang melawan kekuatan Israel yang kian hari-kian canggih senjatanya.
”Namaku Muhammad Al-Fatih, kak..” ucapnya pelan namun terdengar sangat jelas di telingaku. Ku peluk dia erat. Aku tahu dia sedang mencoba meneguhkanku dengan mengingatkan makna namanya.
”Segera pulang ya, dik” pintaku, tapi hanya dalam hati. Kata-kata Abi dan Ummi dua puluh tahun yang lalu terngiang-ngiang di telingaku. Tenatng saudara-saudaraku yang ada di sana. Tentang Palestinaku yang selalu dirundung duka.
”Pergilah, dik. Semoga Allah memberi kemenangan atas kaum muslimin” ujarku akhirnya. Ku balikkan tubuhku, menyusul Ummi yang sedari tadi menyibukkan diri dengan tilawahnya.

***

Rintik hujan menawarkan sendu, mestinya. Tapi hatiku tersenyum memandang pelangi. Kata-kata Rasulullah membisikki kalbuku
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang berada di atas kebenaran dan menghadapi musuh mereka dengan kekuatan. Tak ada yang bisa memberi mudharat pada mereka sampai Allah mendatangkan urusan-Nya sedangkan mereka tetap berada dalam kondisinya.” Ketika ditanya oleh para sahabat: “Di mana mereka ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Di Baitul Maqdis dan sekitarnya.”
Ya..di sanalah Dandingku kini menjadi prajurit. Bukan prajurit biasa. Tetapi, prajurit langit.
”Aku siap menjadi bunga syurgamu, dik,” ucapku getir.[]

flamboyan, akhir tahun 2008
untuk prajurit langitku, Muhammad Al-Fatih Adha dan bunga syurgaku, Tsabita Addiena Azhari

Catatan:
Abi: Ayah
Ummi: ibu

Sumber:
Tabloid Serambi Ummah, 2008
Nikmah, Nailiya, dkk. 2012. Kiat Menulis dan Cerpen-cerpen Pilihan. Banjarbaru: Penakita Publisher
https://www.facebook.com/notes/nailiya-noor-azizah/kangen-cerpen-lamaku/10150567992038033

0 komentar: