Cerpen Nailiya Nikmah JKF: Segelas Teh untuk Anakku

15.14 Zian 0 Comments

Aku tahu pada umumnya orang hamil suka menginginkan sesuatu, kadang-kadang yang diinginkan itu aneh dan tak masuk akal. Ngidam, istilahnya. Dulu aku suka tertawa dan menganggap konyol jika mendengar cerita ngidam para istri teman-temanku sekantor. Menurutku, itu cuma akal-akalan sang istri saja agar diperhatikan suaminya. Istri Joko waktu hamil anak kedua, ngidam anggur. Tiap hari maunya makan anggur. Istri Ahmad lain lagi, selama hamil maunya jalan-jalan ke Duta Mall. Ya, jalan-jalan saja, tidak membeli apa-apa. Istri Tolik waktu hamil muda ngidam buah ketapi padahal waktu itu sedang tidak musim. Istri Jupri lain lagi, waktu hamil muda ngidam buah durian padahal Jupri sangat tidak suka buah durian. Ya…masih bisa dipenuhi lah semuanya. Aku pernah dengar cerita dari teman-teman lain, ada yang istrinya ngidam minta dibelikan kalung emas, ada yang ngidam minta dicium artis, ngidam buah mangga curian, konyol sekali menurutku.
Nah, kini tiba giliranku menghadapi orang hamil yang lagi ngidam. Sejak tahu istriku hamil, aku selalu berusaha memenuhi semua permintaannya, lebih memperhatikannya, lebih menjaganya, dan mungkin terlalu memanjakannya. Sebenarnya istriku tidak seperti perempuan pada umumnya yang kalau hamil minta perhatian ekstra. Justru aku yang berinisiatif untuk lebih memperhatikannya. Ini adalah anak pertama kami yang sudah kami nantikan selama kurang lebih tujuh tahun usia pernikahan.

“Ayolah, Ti. Katakan saja kau mau makan apa,” bujukku sepulang dari dokter kandungan. Aku sangat cemas, menurut dokter istriku harus menambah berat badannya.
“Biasa saja lah, Kak. Sisti tidak ingin apa-apa. Yang ada saja dimakan. Jangan terlalu cemas, nanti juga beratnya akan bertambah.”
Begitulah, Sisti tak pernah meminta apa-apa. Pun sekedar sebiji mangga muda padahal aku harap-harap cemas menanti ngidam apakah gerangan istriku tercinta. Sisti santai saja menjalani kehamilannya. Aktivitasnya hampir tak ada yang berubah. Ia masih tetap mengajar di salah satu SMP di kota Banjarmasin, mengisi pengajian ibu-ibu di komplek kami, dan melatih anak-anak SD melukis di Taman Budaya. Seingatku, cuma satu kali ia muntah-muntah.
Sampai siang itu, sepulang dari tempatnya mengajar, Sisti mengeluh sakit kepala. Kusarankan agar ia beristirahat, eh malah membuka laptopnya. Lalu ia asyik mengetik.
“Ti, istirahatlah dulu. Kasihan si bayi,” ucapku.
“Kak, Sisti sedih sekali. Nilai ujian nasional para murid bagus-bagus semua.”
“Lho, nilai muridnya bagus, kok malah sedih?” tanyaku heran.
Sisti menghela nafas lalu menepikan laptopnya. “Sisti sedih karena nilai yang mereka peroleh bukan hasil jerih payah mereka, kejujuran sudah tidak ada lagi di muka bumi ini.”
“Maksudmu, tentang bocoran kunci jawaban itu?”
Sisti mengangguk. Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku teringat beberapa pekan sebelumnya Sisti menangis sepulang dari sekolahnya. Waktu itu ia baru saja bersitegang dengan rekan kerja dan kepala sekolahnya. Semua sepakat menempel kunci jawaban di tiap meja, ditutupi kartu peserta ujian. Hanya Sisti yang menolak ide tersebut. Hasilnya, tentu saja Sisti kalah. Setelah curhat, Sisti berlari ke kamar mandi, ia muntah-muntah. Itulah momen muntah Sisti yang cuma sekali selama kehamilannya. Sisti bahkan sempat ingin berhenti saja mengajar. Ia putus asa melihat kecurangan yang dilakukan teman-temannya.
“Sudahlah, Ti. Serahkan semuanya pada Allah. Kita sudah berusaha mencegahnya, kan? Bagaimana kalau sekarang kita makan? Kamu mau dibuatkan apa?” aku mencoba mengalihkan topik.
“Hm…sudah tiga hari ini Sisti ingin sekali minum teh.” Sisti mengatakannya dengan penuh perasaan seolah yang dimintanya itu sesuatu yang sangat spesial.
“Baiklah nyonya, sebentar lagi teh manis permintaan Anda akan segera datang. Tapi jangan terlalu sering minum teh ya, Ti. Ibu hamil sebaiknya minum susu,” kataku.
“Tunggu dulu, Kak. Kemarin Sisti sudah membuatnya tapi…sepertinya bukan teh yang di rumah kita ini yang Sisti mau,” sahutnya agak ragu.
“Maksudmu?” aku menatap sepasang mata indah Sisti, dadaku berdebar-debar. Inikah? Inikah ngidamnya Sisti?
“Entahlah, Kak. Sisti ingin teh yang ada aromanya…”
“Ah, gampang. Teh melati? Teh hitam? Teh hijau? …” kusebutkan semua jenis dan merek teh yang kutahu.
Sisti menggeleng lemah. “Sisti mau teh yang ada aroma sabunnya.”
“Apa?! Teh pakai sabun? Kamu mau minum sabun? Ti…ayolah, sadarlah. Jangan aneh-aneh” Aku mulai tidak bisa memahami permintaannya.
“Bukan, bukan minum sabun tapi teh. Teh hangat yang beraroma sabun.” Sisti mencoba menegaskan bahwa ia tidak aneh.
“Tapi bagaimana?” tanyaku.
“Teh yang dibuat di gelas yang baru dicuci, trus masih ada aroma sabunnya,” jelasnya.
Aku segera mengambil gelas di rak piring lalu mencuci gelas bersih itu. Segelas teh hangat kusajikan untuk Sisti. Sisti menghirupnya. Beberapa detik kemudian ia menggeleng.
“Tak ada aroma sabunnya,” Sisti mengembalikan gelas itu.
Oh, Tuhan. Aku mencuci ulang gelasnya setelah menghabiskan sisa tehnya. Kali ini aku membilasnya asal-asalan supaya aroma sabunnya tertinggal. Teh kedua. Sisti masih menggeleng. “Sabunnya. Sabunnya bukan sabun yang ada di dapur kita. Sabun colek, Kak. Ya, sabun colek” Sisti bersemangat.
Aku memborong semua merek sabun colek dan semua merek teh. Aku membuat percobaan. Perpaduan teh dan sabun colek yang mana yang diidamkan Sisti. Konyol, dasar konyol, tidak ada satu pun yang di-acc oleh Sisti.
“Sepertinya…unsur airnya yang kurang tepat.” kata Sisti.
“Maksudmu?”
“Entahlah, Kak. Kenapa tak ada satupun teh yang sama dengan teh di kantin sekolah Sisti”
“Oalah…Sisti…! Kenapa kamu tidak minum di kantin sekolahmu saja?” sungutku sambil meremas rambutku.
“Bukan, bukan kantin sekolah tempat Sisti mengajar sekarang, Kak tapi…”
“Tapi apa? Kantin sekolah apa?”
“Kantin sekolah SMP Sisti dulu” lirihnya.
“SMP Amuntai???” Aku menepuk dahiku. Haruskah kami ke Amuntai cuma untuk membeli segelas teh? Oh, Sisti…
Teman-temanku tertawa medengar ceritaku. Ada juga yang mengolok-olok. “Rasain kamu sekarang! Dulu kamu menertawakan kami.” Tapi ada juga yang mengompori. “Kamu harus menurutinya, nanti anakmu beliuran.” Ada juga yang menakut-nakuti, “Hati-hati kamu, itu pasti gangguan jin. Kalau kamu turuti, ntar dia minta yang lebih aneh lagi!”
Aku nyaris tak percaya. Sisti yang lurus-lurus saja, Sisti yang sholehah, kenapa harus ngidam aneh-aneh begini? “Istrimu kan bukan malaikat?” seloroh Jupri. Iya juga, pikirku.
Sisti tak pernah lagi meminta dibuatkan segelas teh tapi tiap malam menjelang tidur Sisti tak lupa bercerita tentang kantin sekolahnya itu sambil mengelus perutnya yang mulai agak muncul. “Ada dua kantin di SMP Sisti. Kantin depan lebih luas, menunya nasi sop dan soto. Murah meriah. Nasi atau ketupat dikasih soun, ditaburi bawang goreng dan sedikit penyedap lalu dikuahi. Yang penting kenyang. Kantin belakang, kantin Ni Ulak. Semula kantin ini tak pernah dimasuki Sisti karena menurut cerita teman-teman, kantin ini khusus kantin cowok. Suatu hari kantin depan tutup. Sisti dan seorang temannya sangat haus dan lapar. Terpaksa mereka ke kantin Ni Ulak. Ternyata di kantin Ni Ulak banyak jenis kue dan Sisti sangat menyukai tehnya. Mulanya Sisti tak bisa menelan teh beraroma sabun colek itu, lama-lama jadi terbiasa. Sisti jadi sering ke kantin belakang, apalagi setelah Sisti tahu anak-anak suka curhat dengan Ni Ulak. Ni Ulak sangat ramah dan melayani pembelinya dengan hati yang tulus. Ni Ulak tak hanya menjual teh manis tapi juga perhatian yang manis. Yang mengagumkan, Ni Ulak sering menggratiskan kuenya untuk para murid. Murid yang tak punya duit karena memang tergolong miskin atau murid yang tak berduit karena sudah habis – yang ini biasanya geng anak-anak bandel. Ni Ulak tak pilih-pilih. Menurutnya, lebih baik diberikan daripada para murid mencuri kuenya, atau ngutang tapi tidak jelas kapan mau dibayar.
Ni Ulak seorang perempuan yang tak memiliki kerabat tapi semua murid adalah kerabatnya. Semua murid menyukainya. Ia suka menasihati. Ucapannya yang paling Sisti ingat adalah ‘Rajin-rajin belajar, jangan nyontek kalau ulangan. Ada Malaikat di kanan-kiri kita.’ Sisti tak tahu kenapa dipanggil “Ni” padahal beliau waktu itu belum tua dan tidak terlihat seperti nini-nini. Di hati Sisti Ni Ulak adalah orang ketiga yang mengajarkan kejujuran setelah ayah dan ibunya. Ah…Sisti kangen Ni Ulak. Sisti kangen teh aroma sabun coleknya” Kalimat penutupnya ini lah yang membuatku tak enak hati.
Usia kandungan Sisti genap tujuh bulan. Tubuhnya sudah mulai berisi. Sisti rajin minum susu, makan-makanan bergizi, rutin memeriksakan kandungan, mengikuti anjuran dokter, meningkatkan kuantitas dan kualitas tilawahnya. Sisti calon ibu yang hebat. Ia sudah menyiapkan segala-galanya termasuk mempelajari kiat dan teknik supaya sukses memberi ASI. Aku pikir, Sisti pantas mendapat sesuatu.
“Ti, kamu kuat nggak bepergian jauh” tanyaku.
“Memangnya kita mau ke mana?”
“Hm… bagaimana kalau kita ke Amuntai.”
Sisti memelukku erat. Kulihat matanya berembun.
Jadilah hari ini kami ke Amuntai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara. Aku meminjam mobil Epan. Kalau naik angkutan umum atau mobil Colt agak riskan buat Sisti. Rencananya kami menginap di rumah Wenny, teman SMA Sisti. Sisti sangat bersemangat. Perjalanan empat jam terasa berabad-abad bagi Sisti. Ia tak sabar ingin bertemu Ni Ulak.
Setelah tiba di Amuntai, tempat pertama yang Sisti kunjungi adalah kantin sekolahnya! Sisti tak menemukan Ni Ulak di sana. Sisti mendapat alamat Ni Ulak dari gurunya.  Ni Ulak tinggal di Palampitan. Kasihan sekali, ternyata ia sedang sakit keras dan tak punya biaya untuk berobat. Sisti meminta tolong tetangga sekitar untuk membawa Ni Ulak ke Rumah Sakit Pambalah Batung. Sisti minta perawatan terbaik untuk Ni Ulak. Ni Ulak terharu menerima bantuan kami.
Esoknya, Sisti bersilaturahim ke rumah kepala sekolahnya. Sekarang beliau sudah pensiun dan sedang merintis rumah baca. Sisti berjanji akan mengirimi buku-buku dari Banjarmasin. Kepala sekolah yang sekarang masih guru yang dikenalnya. Sisti diminta menjelaskan cara memasuki perguruan tinggi, cara belajar yang baik, ya seputar motivasi belajar di hadapan murid-murid yang dikumpulkan di aula sekolah. Sisti seakan lupa dirinya sedang hamil. Ia sangat lincah. Semangatnya tumbuh setelah tahu sekolahnya masih memegang nilai kejujuran.
“Pernah kami mencoba mengikuti cara-cara kotor seperti yang Nak Sisti ceritakan. Para murid protes. Bahkan murid-murid yang bandel sekalipun tak suka diajari cara curang. Mereka mengatakan, ‘lebih baik kami jadi murid Ni Ulak saja daripada jadi murid di sekolah ini.’ Rupanya Ni Ulak lah yang mengajarkan mereka nilai-nilai kejujuran.” Kepala Sekolah bercerita panjang lebar ketika kami menghadap beliau di ruang tamu untuk berpamitan. Tak lama kemudian seorang murid perempuan muncul membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat. Kepala Sekolah menyilakan kami minum. Aku dan Sisti berterima kasih sambil masing-masing mengambil segelas teh dan meminumnya. Sisti menyeruput tehnya dengan nikmat. Ketika meminumnya, aku mencium sesuatu dan sebelum aku menyadarinya, Sisti mengagetkanku, “Alhamdulillah…, Kak. Teh beraroma sabun colek yang Sisti inginkan.” Sisti berbisik sambil mengelus perutnya. Aku merasa bukan Sisti yang menginginkan teh itu melainkan anakku dan sepertinya anakku sangat menyukai teh beraroma sabun colek itu.


Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 8 Mei 2011
Jumbawuya, Aliansyah, dkk. 2011. Ketika Api Bicara: Kumpulan Cerpen Pendidikan Berkarakter. Banjarmasin: Tahura Media
https://www.facebook.com/notes/nailiya-nikmah/cerpenku-segelas-teh-untuk-anakku/10150244284646280

0 komentar: