Cerpen Mahfuzh Amin: Istana Biru

18.54 Zian 0 Comments

Lonceng berbunyi enam kali. Halaman Madrasah Aliyah yang tadinya lengang sekarang dipenuhi oleh siswa-siswinya yang dengan sukacitanya menyambut waktu pulang sekolah, waktu yang selalu ditunggu-tunggu ketika masih belajar. Aku turut serta berbaur di tengah keramaian tersebut. Dengan cepat, kulangkahkan kakiku ke parkiran sepeda. Disitu kutemui sebuah sepeda bercat biru kusam, sepedaku yang butut. Walau begitu, aku bahagia mempunyai sepeda yang diberikan oleh Bu Mut – begitu aku biasa
menyebut beliau – yang memiliki nama lengkap Muthmainnah ketika aku berhasil lulus SD dengan nilai tertinggi. Sepeda yang kukatakan butut ini jugalah yang selalu setia menemaniku bepergian kemana saja, termasuk ikut pengajian dari satu surau ke surai lain, bahkan ke mesjid raya yang jauhnya berkilo-kilo dari tempatku tinggal.
Aku membenarkan tata letak kopiah hitamuku – di Madrasah Aliyahku ini setiap siswa laki-laki diwajibkan memakai kopiah hitam – sebelum melakukan peluncuran dengan sepedaku.
“Rei, tunggu!!!”

Aku mengurungkan niat landasku. Sebenarnya namaku adalah Muhammad Raihan, tapi teman-temanku lebih suka memanggilku dengan mengganti huruf ‘a’ setelah ‘R’ menjadi ‘e’. Biar lebih keren, kata mereka. Dan aku enjoy saja dengan panggilan tersebut. Toh tidak jauh-jauh amat dengan nama asliku.
Setelah kutengok ke belakang, tampak seorang gadis berjilbab dengan seragam putih abu-abu seperti aku tengah terengah-engah mendekatiku.
“Kamu hari ini ke mesjid raya lagi ya?”
“Tidak.”
Kulihat ada raut bahagia di wajahnya akan jawabanku.
“Memang ada apa, Nita?”
Raut bahagia itu tiba-tiba merona merah setelah kuluncurkan satu pertanyaan balik.
“Ee… anu…. E… ah, tidak jadi…” katanya dan berbalik dariku, tapi tidak langsung pergi.
Aku bingung dengan tingkahnya tersebut. Tapi aku cuek saja. Aku pun kembali bersiap dengan peluncuranku, tetapi tertunda lagi oleh panggilan Nita.
“Mm… gini, Rei, aku boleh nggak ke rumah kamu sore ini? Aku mau minta tolong diajari Pertidaksamaan yang tadi diajarkan bu Rika. Aku masih belum begitu paham,” pinta Nita akhirnya.
“Maaf, Nit. Aku harus ke surau sore ini. Ngajar anak-anak ngaji.”
“Kata kamu tadi tidak,” protes Nita.
Aku tersenyum, “Kamu ‘kan tadi nanya apa aku ke mesjid raya hari ini. Kujawab jujur saja tidak, karena sebenarnya aku memang tidak ke mesjid raya hari ini. Tetapi aku harus ke surau, dan kamu tidak ada nanya apa aku ke surau hari ini atau tidak.”
Nita tampak salah tingkah dan juga kecewa.
“Begini saja, lebih baik kamu ke rumah Winda. Kurasa dia lebih paham pelajaran tadi daripada aku,” saranku.
Nita hanya diam dengan kecewanya, sebelum akhirnya pergi dengan meninggalkan ucapan terimakasih.
Aku bergegas meluncurkan sepedaku sebelum ada lagi yang memanggilku.
Sebenarnya aku merasa aneh dengan sikap Nita akhir-akhir ini, dan sikapnya yang aneh itu tentu membuatku risih. Pertama, aku sering mendapati dia memandangiku, terutama ketika jam belajar sambil senyum-senyum. Kedua, entah kenapa setiap berada di dekatku, wajahnya selalu memerah dan dia terlihat gugup, tidak seperti dekat dengan yang lain. Dan ketiga, dia sepertinya selalu mencari-cari sikon untuk bisa bersamaku, seperti kejadian barusan.
“Sepertinya dia jatuh cinta padamu, Rei,” komentar Wisnu setelah kuceritakan tiga kejanggalan tersebut. Aku ngakak mendengar tanggapan sohib sebangkuku itu. Bagiku, komentarnya itu cuma lelucon. Tapi setelah kupikir dan kuamati, dari beberapa kejadian, termasuk kejadian barusan, apa yang dikatakan oleh Wisnu tersebut mungkin benar. Eits… jangan bilang aku kegeeran duluan ya. aku bilang kan tadi mungkin, dan itu belum tentu benar. Lagipula, jujur, aku belum berharap apa yang kupikirkan itu terjadi. Bagiku itu terlalu dini. Terlalu awam untuk anak ingusan kelas 2 MA sepertiku, bagiku.
Aku kayuh sepedaku di bawah terik mentari yang ganas ditemani butiran-butiran air yang keluar dari dahi dan tubuhku. Walau begitu, terasa nikmat saat angin membelai-belai bagian yang mengeluarkan air tersebut. Terbayang olehku, ketika sudah sampai tujuanku nanti, Bu Mut menghampiriku dengan membawakan segelas es limus yang menggairahkan. Pasti sangat nikmat. Tapi langsung kutepis bayangan itu. Kasihan Bu Mut. Lagipula kurasa terlalu egois aku untuk berharap yang seperti itu.
Seratus lima puluh meter dari MA-ku, aku menemui sebuah SMA favorit di kotaku. Sewaktu di MTs, aku sangat mengidamkan bisa melanjutkan ke SMA tersebut. Dan ketika aku mendapat nilai tertinggi ketika kelulusan MTs, tentu aku merasa mendapat sepercik harapan untuk sekolah di situ. Aku merasa optimis bahwa siswa-siswa terbaik di setiap sekolah akan mengenyam pendidikan di SMA tersebut, dan itu termasuk aku. Tapi kenyataannya berbeda. Ternyata nilai terbaik tidak menjadi jaminan bisa sekolah di situ, tapi materilah yang harus berbicara. Permasalahan biaya itu lah yang kemudian mengaburkan mimpiku bersekolah di SMA fovirat itu dan terdampar ke Madrasah Aliyah. Walau begitu, aku tetap bersyukur bisa melanjutkan sekolah setelah menunaikan wajib 9 tahun. Yang terpenting bagiku adalah ilmunya, bukan kepopulerannya. Ilmu di MA bagiku tidak kalah dengan ilmu di SMA, bahkan ada nilai tambahnya yakni pelajaran agama. Walau fasilitasnya tidak sebanding dengan SMA, tapi niat ikhlas dan kesungguhan untuk menuntut ilmu, bagitu lebih penting daripada fasilitas tersebut.
Seperti biasa, ketika aku melewati SMA itu, aku selalu mendapati sebuah sedan hitam terparkir manis di depannya. Walau bisa juga mobil-mobil sedan dengan motif yang lain yang terparkir di situ, tapi mobil sedan hitam ini yang lebih sering kulihat, tentunya semua mobil lebih mewah dibandingkan mobil dinas Pak Bupati. Siapa lagi kalau bukan keluarga istana biru, pemilik sedan tersebut, yang masih mempunyai 4 jenis sedan lain dengan motif yang berbeda-beda, dan 3 buah mobil mewah lainnya dengan berbagai tipe, merk dan penampilan.
Istana biru, begitulah aku biasa menyebutnya. Sebuah rumah besar bercat biru yang dipagari oleh tembok bata besar dan tanaman entah apa namanya yang menjulang tinggi menjadi pagar depan rumah tersebut.
Aku hanya bisa melihat kehebatan rumah tersebut melalui pagar besi yang juga menjulang tinggi di depan rumah, dan memang hebat, besar dan mewah. Tidak kalah dengan istana presiden yang pernah kulihat di tv. Istana itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang mempunya dua anak gadis. Bisa dikatakan lebih banyak dihuni oleh orang lain, karena dua setengah kali lipat penghuni rumah tersebut adalah orang bayaran. Seperti yang pernah diceritakan paman Yadi, tetanggaku, bahwa di rumah tersebut mempekerjakan 4 orang pembantu, 2 orang sopir, dan 4 orang satpam, dan paman Yadi termasuk salah satu satpam di Istana biru tersebut.
“Kak Rei!!!”
Suara itu kukenal. Aku menoleh ke asal suara, yakni mobil sedan tersebut. Kulihat seorang anak gadis berwajah putih dengan rambut pirang yang sedikit bergelombang tersenyum sambil melambaikan tangan kepadaku dari dalam mobil mewah tersebut. Itu adalah Bella, anak kedua dari pemilik Istana biru yang masih kelas 4 SD. Aku mengenal dia karena dia sekelas dengan Asiah, adikku, dan sering ke tempatku untuk belajar bersama dengan Asiah. Terkadang aku diminta mereka untuk menjadi guru jadi-jadian, jika mereka kesulitan dalam pelajaran mereka.
Aku pun melakukan hal yang sama dengannya seraya berucap, “Dah, Bella, kakak duluan ya…”
Melihat Bella, aku jadi teringat Stephani, anak pertama pemilik Istana Biru. Stephani dulu juga teman sekelasku di SD, bahkan bisa dikatakan kami sangat akrab dulu, walau usia kami berbeda 2 tahun karena aku sempat tidak sekolah, sehingga Fani – begitu aku biasanya memanggilnya – selalu memanggilku dengan awalan ‘kak’. Tetapi sebuah kejadian membuat kami menjadi kurang bahkan tidak akrab lagi hingga sekarang. Kejadian di SD yang masih kuingat hingga sekarang.
Aku kembali menikmati kayuhanku. Kali ini aku sudah menyimpang ke jalan yang lebih kecil. Jalan yang dihimpit oleh persawahan dan pepohonan, membuat suasana yang panas menjadi terasa teduh. Inilah pemandangan yang sangat kusukai, sawah dan pohon-pohon nan hijau, sungguh membuatku merasa damai dan tentram setiap kali melihatnya. Dan pemandangan ini makin mantap karena nanti aku akan melewati sebuah sungai kecil dengan air yang begitu jernih. Air sungai yang setiap kali aku melihatnya, membuatku ingin langsung bercebur dan menikmati belaian segarnya di tengah gerah sang raja. Sebuah jembatan menjadi penghubung jalan ke sebarang, dan dari jembatan tersebut aku sudah bisa melihat atap Istana Biru.
Ketika aku masih di jembatan, tiba-tiba sedan hitam yang kulihat di depan SMA favorit tadi perlahan melewatiku dan kemudian berhenti di depanku. Aku pun juga menghentikan kayuhanku. Ketika itu, seorang gadis keluar dari mobil sedan tersebut. Gadis yang berambut pirang kehitam-hitaman dengan panjang sampai punggung, berwajah putih bersih tanpa jerawat dengan tinggi sekitar seratus enam puluh sentimeter, tidak gemuk tidak pula kurus. Dialah Stephani, teman SDku.
Cukup lama aku tidak bertemu dengannya, dan aku menyetujui kebenaran berita yang hanya kudengar bahwa dia sangat cantik. Tak heran kalau dia menjadi primadona di sekolahnya. Tidak hanya di sekolah, tapi di luar sekolah, begitu yang aku dengar, dan selalu menjadi buah bibir para lelaki. Banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Tapi pantang bagiku untuk menaruh hati padanya, karena keyakinan adalah standar nomor satu bagiku untuk menaruh hati kepada seorang gadis, dan keyakinan kami berbeda.
Dengan senyumnya, Fani mendekatiku. Aku hanya menunduk menghindari senyumannya tersebut.
“Kak Rei, lama ya tak bertemu…”
Aku hanya mengangguk bisu. Fani memalingkan pandangannya ke arah sungai.
“Lama ya kita tak pernah mandi di sini lagi,” katanya.
Aku langsung teringat masa SDku. Ketika kami pulang sekolah dalam kondisi yang sangat panas, aku, Fani, dan beberapa teman kami langsung bercebur di sungai kecil tersebut, bermain di sana. Dan aku juga ingat, Fani yang tidak bisa berenang itu sempat hanyut, tapi aku berhasil menyelamatkannya.
“Terimakasih ya waktu itu kakak udah menyelamatkanku ketika aku hampir hanyut,” ucap Fani seakan memiliki pikiran yang sama denganku. Aku hanya menjawab dengan kata ‘sama-sama’ yang pelan.
"Eh, Kak, aku ingin ngasih undangan ini pada kakak?” Fani kembali menghadapku, kali ini sambil menyodorkan sebuah kertas barwarna biru.
“Undangan apa ini?” tanyaku sambil menyambut undangan itu.
“Ulang tahunku yang ketujuh belas.”
Jeb!!!
Aku langsung teringat sebuah kejadian. Kejadian yang membuat kami menjadi tidak akrab lagi. Waktu itu ulang tahun kedua belas Fani, dan aku menjadi salah satu undangannya. Setelah acara tiup lilin dan potong kue, di tengah keramaian orang, Fani mendekatiku dengan membawakan kue irisan ketiganya –setelah irisan pertama dan kedua untuk ayah dan ibunya – kepadaku dan langsung mencium pipiku. Semua bersorak, bersorak, dan bersorak. Dan itu sangat membuatku malu, malu, dan malu. Setelah kejadian itu, aku menjadi bahan ledekan teman-teman. Kata mereka aku pacaran dengan Fani. Tapi kulihat Fani enjoy saja dengan ejekan itu, tidak halnya aku, yang tidak bisa menganggap biasa ciuman, apalagi dari lawan jenisku. Saat itu, mulailah aku menjauhi Fani.
“Maaf atas kejadian waktu itu,” kata Fani seakan mengetahui isi pikiranku.
Aku hanya diam. Suasana bisu pun terjadi. Hanya desir-desir angin yang terdengar.
“Aku sangat berharap kakak akan datang di ultahku kali ini,” kata Fani memecahkan kebisuan. Aku tidak menjawab.
“Baiklah, aku pulang duluan,” putus Fani di tengah kebisuanku. Dia pun berbalik menuju sedan hitamnya.
Tetapi sebelum masuk ke dalam sedan, dia berkata kepadaku, “Kakak akan menyesal jika tidak datang!”
Kulihat sedan hitam tersebut sudah bergerak ke tujuannya. Aku pun juga meluncurkan sepedaku dengan arah yang sama namun tujuannya berbeda. Sekitar lima ratus meter dari jembatan tadi, akhirnya aku berada di jalan depan Istana biru tersebut. Kulihat dari celah pagar jeruji besi, sedan yang tadi sempat menghalangi luncuranku sudah terparkir manis. Dari situ kulihat juga paman Yadi yang sedang bermain catur di pos jaga dengan rekan kerjanya.
Perjalananku masih satu kilometer lagi. Kali ini jalanan tidak lagi mulus seperti tadi. Jalan yang diaspal hanya sampai depan Istana Biru, dan seterusnya hanya jalanan berbatu, dan itulah kawasan tempatku tinggal sekarang, kampung Rahayu. Kadang aku berimajinasi, bahwa Istana Biru itu adalah benteng yang harus dilewati sebelum memasuki istana sebenarnya, yakni tempatku tinggal, panti asuhan An-Nor Rahayu.

***

Aku yatim piatu. Ibuku meninggal ketika melahirkanku, anak pertamanya. Sedang ayahku meninggal di sebuah musibah kebakaran. Ayahku berhasil menyelamatkanku, tapi sayang, beliau tidak bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga beliau pun meninggal di tengah lalapan api disaat usiaku masih satu tahun. Begitulah cerita Bu Mut tentang masa laluku. Sungguh cerita yang selalu membuatku meneteskan air mata setiapku mengingatnya.
Aku pun tidak pernah melihat foto ibuku. Sepertinya semua hal tentang ibuku telah habis dilalap si jago merah. Hanya foto ayah yang kupunya. Foto yang ditemukan oleh Bu Mut di balik selimut yang memeluk tubuhku ketika beliau memungutku. Bahkan yang lebih parah lagi, menurutku, tidak ada seorang pun tahu dari mana asal-usul keluargaku. Tidak ada yang tahu siapa pamanku, siapa bibiku, siapa kakekku, siapa nenekku. Tidak ada yang tahu, termasuk Bu Mut.
Sungguh malang nasib seorang yatim piatu. Aku selalu menagis ketika aku belajar tentang berbakti kepada orang tua. Biasanya setelah itu, aku pulang dan langsung mengunci diri di kamar sambil menangis.
Bagaimana aku bisa berbakti kepada kedua orang tuaku? Bahkan bertatap muka langsung dengan mereka pun aku tidak pernah. Tapi untung ada Bu Mut. Melalui beliaulah aku menyalurkan hasratku untuk berbakti kepada orang tuaku. Bagiku, Bu Mut juga adalah orang tuaku. Beliau yang sudah merawatku sejak usiaku satu tahun hingga sekarang aku sekolah di kelas 2 MA. Begitu besar pengorbanan beliau. Terutama ketika aku memasuki usia sekolah, beliau mati-matian mencarikan biaya sekolah untukku. Walau aku harus rela terlambat 2 tahun sekolah, tapi aku bertekad, aku akan membuat beliau bangga dengan prestasiku di sekolah. Aku tidak akan mengecewakan pengorbanan beliau untuk menyekolahkanku. Dan wajiblah juga bagiku untuk berbakti dengan beliau. Semoga dengan bakti itu, akan sama dinilai Allah berbakti terhadap kedua orang tuaku. Dan kuberharap, dengan ilmu-ilmu yang kuperoleh, aku bisa mengangkat derajat orang tuaku di hadapan Allah. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk berbakti kepada mereka yang telah tiada.

***

“Kamu akan menyesal jika tidak datang!” Perkataan Fani mengganggu pikiranku sekarang.
Sebenarnya hari ini adalah hari ultah Fani. Dan sampai sekarang hatiku masih urung untuk hadir di ultahnya tersebut. Kejadian ultahnya yang kedua belas dulu yang masih membekas di ingatanku yang membuatku masih merasa enggan. Ingatan itu sekarang bertarung dengan kata-kata Fani setelah menyerahkan undangan.
Aku sedang membantu Bu Mut membereskan ruang kerja beliau sekarang. Sebenarnya kalau aku memberitahu beliau kalau hari ini ultah Fani, pasti beliau mengizinkanku untuk ke tempat Fani. Tapi malah hatiku lebih memilih untuk membantu Bu Mut. Berbakti, itu motivasiku untuk mengusir kata-kata mengancam dari Fani. Aku yakin, tidak akan ada yang kusesali jika aku tidak datang di hari ultahnya.
Mungkin dia mengira aku akan menyesal karena jika aku tidak datang, aku tidak akan mendapat ciumannya yang didambakan banyak lelaki. Tidak akan menyesal! Bahkan aku merasa telah selamat.
Aku kembali ke pekerjaan dengan semangat berbakti. Dengan penuh semangat, aku menyapu langit-langit ruangan dari sarang laba-laba dengan sapu yang gagangnya telah kuperpanjang. Secara tidak sengaja, sapuku menyenggol sebuah odner yang ada di atas lemari sehingga odner itu terjatuh dan hampir menimpa kepalaku. Akupun memungut odner yang telah terbuka di lantai. Tapi, begitu terkejutnya aku melihat sebuah foto seorang pria dan wanita dalam odner tersebut.
“Ada apa, Raihan?” Bu Mut tiba-tiba datang. Mungkin beliau kaget mendengar bunyi jatuh, sehingga langsung mendapati asal bunyi jatuh tersebut.
“Apa maksud ini sem ua, Bu?” Aku balik bertanya sambil menunjukkan sebuat foto di odner tersebut. Bu Mut terlihat begitu kaget dengan apa yang ku tunjukkan.

***

Apakah ini yang Fani sebut bahwa aku akan menyesal?
Ya, aku benar-benar menyesal sekarang. Aku terlambat. Nasi sudah jadi bubur. Kembali kubaca surat dari
Fani yang dikirimnya melalui paman Yadi.
Kak Rei…
Fani benar-benar kecewa dengan kakak. Sangat kecewa!
Ternyata sampai sekarang kakak belum bisa memaafkan Fani atas kejadian 5 tahun silam. Padahal Fani tau, di agama Islam, Tuhan mereka Maha Pemaaf, tapi kenapa umat-Nya tidak bisa memaafkan kesalahan orang yang sudah berkali-kali memohon maaf.
Kak, Fani sangat menanti kehadiran kakak di ultah Fani. Tapi ternyata penantian Fani hanya berbuah sia-sia. Kakak tidak datang! Padahal perlu kakak ketahui, hari ultah Fani ini bisa jadi hari terakhir Fani tinggal di Indonesia. Sore harinya Fani langsung berangkat bersama seluruh keluarga Fani ke kampung halaman Dad Fani di London.
Dan yang harus kakak sesali, ketidakhadiran kakak telah menghancurkan niat tulus seseorang untuk masuk agama Islam.
Fani tertarik dengan Islam dan ingin masuk Islam. Tapi Dad melarang. Fani bersikukuh, sehingga akhirnya Dad memutuskan agar kami semua pindah ke London. Mungkin tujuan Dad agar Fani semakin jauh dengan Islam. Dan karena kakak, tujuan Dad itu tercapai! Padahal Fani berharap kakak datang dan bisa mempertahankan Fani untuk tetap tinggal di Indonesia. Bahkan saat itu Fani siap untuk tinggal di panti asuhan tempat kakak tinggal. Tapi sungguh, harapan itu telah hilang ditelan bumi.
Fani kecewa dengan kakak!
Selamat tinggal kakak!
Selamat tinggal Islam!
Stephani
Air mataku pun seketika menetes tepat di kertas biru surat Fani. “Maafkan kakak, dik!” ratapku.
Selain itu aku, aku juga menyesali karena aku sudah melepaskan kesempatanku untuk bertemu ibu. Ibu Maria, ibunda Fani ternyata adalah ibu kandungku. Artinya, aku dan Fani adalah saudara, kakak-beradik.
Setelah menemukan sebuah foto di odner, yakni foto ayahku dan seorang wanita yang sama dengan ibu Fani, akupun menuntut penjelasan dari Bu Mut. Pengasuh panti asuhan itu pun mengakui kalau dirinya selama ini telah mengarang cerita atas permintaan ayahku sendiri.
“… Ayahmu tidak meninggal di musibah kebakaran, tetapi meninggal karena kecelakaan. Waktu itu ayahmu sedang frustasi karena mendapati istrinya, yakni ibumu berselingkuh dengan seorang pria bule yang sekarang telah menjadi suaminya. Ayahmu sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal. Waktu dirawat itulah ayahmu menitipkan kamu kepadaku, dan memintaku berjanji tidak akan menyerahkanmu kepada ibumu jika ibumu keluar dari agama Islam. Setelah ayahmu tiada, akupun mencari informasi tentang ibumu. Ternyata ibumu telah menikah dengan pria bule selingkuhannya dan kembali keagamaannya dulu seperti dugaan ayahmu. Kamu harus tahu, ibumu itu dulunya adalah nonmuslim, dan masuk Islam ketika menikah dengan ayahmu, tapi kembali lagi nonmuslim ketika menikah dengan si bule.
Ayahmu tidak ingin kamu jadi ikut-ikutan nonmuslim karena bersama ibumu, sehingga ayahmu mempercayakan aku untuk merawatmu…”
Terbongkarlah semua kisah hidupku yang sebenarnya dari Bu Mut.
“Tapi kenapa harus dirahasiakan?” tuntutku. “Tidak ada salahnya ‘kan aku tahu semua itu.”
“Maafkan ibu, nak. Ibu cuma memegang amanah dari ayahmu.”
“Tapi ‘kan ujungnya tetap akan terbongkar,” emosiku mulai meninggi. “Sepandai-pandainya menyimpan mayat, pasti akan keciuman juga baunya.”
Bu Mut hanya diam.
Tapi aku berpikir, ternyata aku tidak berhak menyalahkan Bu Mut, apalagi jika kuingat semua pengorbanan beliau. Beliau hanya menjaga amanah yang dipercayakan kepada beliau. Bahkan harusnya aku berterimakasih, karena beliau telah menyelamatkan imanku. Aku kembali menangis. Menyesal.
Aku tidak menduga, ternyata penghuni Istana Biru itu adalah keluargaku yang sesungguhnya. Walau sekarang hak milik atas istana biru tersebut telah berpindah tangan ke seorang milyader asal Sumatera, tapi di hatiku, Istana Biru tetaplah Istana Biruku dan keluargaku. Dan kini, aku hanya bisa berdoa, semoga di London sana, ibu dan dua adik seibuku, Fani dan Bella, juga si bule mendapat cahaya hidayah dari-Mu, ya Rabb, dan kembali lagi ke Istana Biru. Amin…* * *

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mahfuzh-amin/istana-biru/491654680850511

0 komentar: