Cerpen Mahfuzh Amin: Negeri Dongeng
Kepalaku masih terasa nyut-nyut, namun tidak menghalangiku untuk meraih kembali kesadaranku. Sedikit demi sedikit, cahaya menerobos bilah-bilah bulu yang tidak lentik dan masuk membelai retinaku. Walau agak silau, cahaya itu mampu membiaskan secara perlahan pemandangan di depanku. Kayu berwarna cokelat, dilengkapi hiasan mata dan bibir, tak lupa hidung runcing seperti ranting pohon dengan selembar daun kecil di ujungnya. Walau masih buram, kurasa jarak wajah kayu itu sangat dekat dengan wajahku.Hah?! Aku begitu kaget dan terlonjak dari pembaringanku. Mata di wajah kayu itu berkedip dan bibirnya bergerak mengembang senyum. Tidak hanya itu, wajah kayu itu juga memiliki badan, dua tangan, serta dua kaki. Dan semuanya bisa bergerak! Aku mengucek-ngucek mataku, menepuk-nepuk pipiku, tapi, hah?! Inikah manusia kayu? Aku langsung teringat Pinokio.
Aku semakin kaget ketika aku sadar ada seorang perempuan tertidur pulas tepat di samping aku berbaring. Hah!! Aku tidur dengan perempuan? Apa yang telah terjadi di antara kami? Aku langsung loncat dari tempat tidur itu.
“Teman-teman!!! Si Lelaki Langit sudah bangun!!!”
Aku terperangah mendengar teriakan si ‘Pinokio’ itu, apalagi tak lama kemudian muncul gerombolan manusia cebol masuk ke dalam ruangan. Tu, wa, ga… Ada tujuh manusia cebol berjenggotdan berjambang tebal putih dan bertelinga lancip ke atas. Aku menampar-nampar pipiku kemudian mencubitnya, namun aku tidak juga terbangun.
Apa ini benar-benar nyata?
Mereka mendekatiku, tapi aku malah mundur. Hanya bisa selangkah mundur, karena di belakangku berdiri dinding kayu.
“Siapa kalian?” tanyaku, berharap mereka tidak melangkah maju lagi.
“Perkenalkan, aku Pinokio,” jawab si Manusia Kayu yang berada di depanku. “Dan mereka ini adalah tujuh kurcaci yang merawat tuan putri di rumah pohon ini.”
Apa maksud semua ini? Di mana aku?
“Dari mana kamu, wahai Lelaki Langit?” tanya seorang kurcaci yang terlihat lebih tua di antara para kurcaci lainnya.
Lelaki langit? Mereka memanggilku Lelaki Langit?
***
“Namanya Puteri Aurora. Dia telah tidur sejak seratus tahun yang lalu. Waktu itu, saat ulang tahunnya yang kedelapan belas, tiba-tiba datang seorang penyihir jahat yang iri dengan kebahagiaan mereka. Untung ada peri baik hati yang setia menjaga kerajaan. Berkat kekuatan si peri itu lah, si penyihir berhasil disingkirkan. Namun sepercik sihir hitam si penyihir mengenai puteri Aurora dan langsung membuatnya sekarat. Si peri berusaha menolong, namun sihir itu terlalu kuat, sehingga mau tidak mau si peri pun mengorbankan nyawanya untuk menolong puteri. Puteri berhasil ditolong, namun baru bisa bangun setelah ada seorang ksatria yang dapat mencium bibirnya.”
“Emang sampai saat ini belum ada ksatria yang bisa menciumnya?”
“Belum ada.”
“Kok bisa? Padahal ‘kan sekedar mencium itu tidak susah?”
“Selama ini, semua lelaki yang datang tidak mampu mencium puteri Aurora karena tidak tahan mencium aroma jengkol yang keluar dari mulut puteri Aurora. Hanya lelaki terpilih yang akan mampu melakukannya.”
Aku tertawa sepuasnya. Tawa yang telah kutahan sejak cerita puteri tidur yang aneh itu keluar dari mulut Pinokio. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa jengkol masuk ke negeri dongeng.
Dan bagaimana juga aku bisa sampai di negeri dongeng?
Tawaku langsung terhenti. Kupandangi danau jernih yang dikelilingi pohon yang rimbu di hadapanku. Penjelasan Pinokio kembali melintasi ingatannya,
“Aku menemukanmu bersama bintang jatuh. Itulah kenapa kami memanggilmu lelaki langit.”
Aku ingat! Waktu itu aku sedang menimba air di sumur belakang kost-ku. Setelah mengangkat ember untuk yang ketiga kalinya, aku melihat katak berwarna pelangi melompat ke dalam sumurku. Aku pun mendongakkan kepalaku melihat ke dalam sumur. Pada saat itu lah, aku merasa ada yang menendang bokongku. Tak ayal, aku pun langsung terjun masuk ke dalam sumur dan seketika pandanganku gelap. Ketika aku bangun, aku sudah berada di rajang bersama puteri tidur.
Jadi, aku memang berada di negeri dongeng?
Tiba-tiba seuntai rambut pirang menjuntai persis di hadapan wajahku seperti ular yang ingin menerkam wajahku, membuatku kaget luar biasa.
“Lebih baik di atas. Pemandangannya lebih bagus.”
Seketika aku mendongakkan wajahku. Seorang gadis berwajah putih kemerah-merahan duduk santai di dahan pohon sambil tersenyum kepadaku. Senyumnya sungguh manis. Rambutnya terurai hingga ke depan wajahnya.
“Ayo naik! Jika kamu tidak bisa menaiki pohon ini, pegang saja rambutku.”
Walau agak ragu, aku pun memegang rambut itu. Perlahan, aku merasa tubuhku terangkat dari tanah. Gila! Kuat banget rambutnya. Pakai shampoo apa ya? batinku. Kini aku telah duduk tepat di sampingnya.
Memang benar, pemandangan dari atas sini jauh lebih indah. Perpaduan hijau pohon dan biru langit, ditambah kilauan sinar matahari yang memantul dari permukaan danau. Aku mengitari hamparan indah tersebut, hingga kemudian mataku terpaku pada sebuah bangunan megah. Bangunan seperti istana yang sering kulihat di buku dongeng adikku.
“Itu adalah istana kami, tempat aku tinggal.”
Aku memandang gadis yang hampir terlupakan kehadirannya. Ternyata, dari dekat, kecantikan gadis itu semakin terpancar.
“Perkenalkan, namaku Rapunzel,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku tidak langsung menjabat. Pikiranku berputar mengingat salah satu tokoh dongeng yang berambut panjang dan dikurung di sebuah menara tanpa pintu oleh seorang penyihir. Persis!
“Namaku Rudi,” jawabku dan menyambut uluran tangannya.
Dia menatapku cukup lama, membuatku salah tingkah. Aku pun melepaskan jabatan itu.
“Namamu terdengar asing. Kamu dari negeri mana?”
“Mmm… Indonesia,” jawabku.
“Indonesia? Di mana itu?” Dia terlihat bingung. Matanya terus menatap tajam kepadaku. Aku mulai risih.
Aku bingung mau menjawab apa. Nilai geografiku tidak bagus, sehingga susah buatku untuk menjelaskan tata letak geografis Indonesia. Lagipula belum tentu dia paham.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang lelaki.
“Auwo……”
Hah?! Suara apa itu? Seperti suara Tarzan.
“Waduh, gawat! Kalau Tarzan lihat aku berdua dengan cowok seperti ini, pasti dia mengira aku selingkuh. Dia pasti marah.” Rapunzel panik. Aku pun juga ikut panik dan bingung harus berbuat apa.
“Kamu harus sembunyi!” perintahnya padaku, lantas mendorongku hingga aku jatuh ke semak-semak. Aku pun meringis kesakitan.
“Sstt! Diam! Nanti ketahuan Tarzan.”
Walau samar-samar, kulihat Rapunzel memainkan telunjuk di bibirnya ke arahku. Sungguh tega! Aku hanya bisa meringis dalam hati.
***
Matahari telah melewati ubun-ubunku dan sedikit condong ke barat. Waktu zuhur telah tiba. Walau badanku masih terasa sakit akibat jatuh tadi, tapi tetap kupaksakan untuk berwudhu melalui pancuran air yang ada di dapur rumah para kurcaci yang terbuat dari bambu. Bagi seorang muslim seperti aku, shalat adalah kewajiban yang harus kukerjakan dalam kondisi apapun. Ketika air menyentuh kulitku, kesegaran segera merayap ke sekujur tubuhku, seakan membasuh semua rasa sakit yang ada. Usai wudhu, aku kembali ke kamar sang puteri tidur, karena hanya tempat itu satu-satunya yang cukup untuk aku shalat. Sebelum shalat, aku mencoba membuka lemari dan beberapa laci di ruangan tersebut, siapa tahu ada kain yang bisa kujadikan sajadah. Namun ternyata, aku malah menemukan sebuah benda yang terbuat dari kaca. Kukeluarkan benda itu.
Ini adalah sebuah sepatu kaca.
Saat sepatu kaca itu berada di tanganku, tiba-tiba seorang kurcaci masuk ke kamar. Si kurcaci itu terlihat begitu kaget, hingga dia sempat mematung beberapa detik sebelum akhirnya lari terburu-buru.
Aduh! Pasti dia mengira aku ingin mencuri sepatu ini.
Aku tidak karuan. Pikiran-pikiran buruk mulai merasukiku. Untungnya, secuil pikiran positif berhasil menyusup masuk ke otakku. Ya! Sebagai seorang muslim, shalat seharusnya menjadi obat penenang hati di kala gundah. Walau awalnya aku bingung ke mana arah kiblat, aku tetap shalat menghadap sekenanya dengan alas kayu. Daripada aku tidak shalat karena tidak tahu arah kiblat. Insya Allah, Allah Maha Memaklumi, pikirku
***
Aku menggelengkan kepalaku ke kanan kemudian ke kiri sambil mengucapkan salam. Alhamdulillah, zuhur telah kutunaikan dan semoga Allah berkenan menerima ibadahku ini. Setelah bermunajat, aku dikagetkan dengan banyak orang yang berdiri di ambang pintu kamar. Ada pinokio, tujuh kurcaci, Rapunzel dan seorang lelaki berkulit sawo matang dan berotot kekar – kutebak itu adalah Tarzan – serta seorang gadis yang tak kalah cantik dengan Rapunzel dengan rambut sepunggung dan pirang. Mereka semua berwajah bingung sambil terus menatapku. Aku hanya mengangkat bahu.
“Apa yang kamu lakukan tadi?” tanya Rapunzel.
“Shalat.”
“Shalat?” kata mereka semua bersamaan.
“Apa itu shalat?” tanya Pinokio.
“Shalat adalah ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam sebagai tanda taat kepada Tuhan.”
“Ibadah?”
“Islam?”
“Tuhan?”
Kulihat wajah mereka makin bingung. Aku pun ikut bingung mau menjelaskan apa.
“Apa kalian tidak mempunyai agama?” tanyaku.
Mereka saling pandang satu sama lain.
“Apa maksud kamu agama itu sejenis kepercayaan?” si Tarzan mencoba menjawab.
“Seperti itulah,” jawabku setelah sejenak berpikir.
“Aku pernah berpetualang di negeri bagian barat. Di sana mereka memiliki kepercayaan dengan sebuah pohon yang sangat besar. Menurut mereka, pohon itu bisa membawa anugerah dan malapetaka untuk mereka, sehingga setiap hari mereka menaruh banyak makanan di sekitar pohon tersebut. Terkadang, ketika mereka lengah, kuambil makanan itu. Mereka sangat senang setiap kali makanan itu sudah tidak ada lagi. Mereka pikir, pohon itu telah memakan makanan yang mereka sajikan. Sungguh bodoh!” kata si Tarzan diikuti tawa mengejek.
“Jadi, apa di sini kalian juga mempunyai kepercayaan seperti itu?” tanyaku kembali.
Tawa Tarzan berhenti. Dia menggeleng, diikuti makhluk dongeng lainnya.
Apa aku ‘dilempar’ ke sini untuk membawa risalah Islam kepada para penduduk negeri dongeng?
“Ah, sudah lah,” gadis cantik berambut sepunggung tadi angkat bicara, membuyarkan pikiran nakalku. “Aku tidak paham dengan pembahasan kalian. Yang jelas, aku sudah mendapatkan pangeranku,” lanjutnya seraya tersenyum padaku.
Aku bingung. Gadis itu mendekatiku dan mencoba memelukku. Walau gadis itu sangat cantik untuk ukuranku, namun aku tetap sigap menghindar.
“Maaf, kita bukan muhrim.”
Si gadis itu agak bingung, tapi hanya sekejap, senyum kembali mengembang di bibir merahnya. “Aku bukan cari muhrim, tapi mencari sepatuku yang telah kamu temukan.”
Sekarang aku yang kembali bingung. Beberapa saat terdiam, aku teringat sepatu kaca yang ada di sebuah laci. Jangan-jangan, sepatu itu yang dimaksud. Aku pun segera mengambilkan sepatu itu. “Ini sepatu yang kamu maksud, nona?”
Si gadis itu tersenyum sangat merekah. “Jangan panggil aku nona. Panggil saja aku Cinderella. Dan sesuai janjiku, orang yang telah menemukan sepatuku akan kujadikan sebagai pangeranku.”
“Memang tuan puteri Cinderella pernah mengadakan sayembara pencarian sepatu kaca tuan puteri?” tanya Ponikio cepat. Wajahnya tampak kaget. “Kok aku tidak tahu.”
“Rencananya sore ini mau kuumumkan, tapi tidak jadi. ‘Kan sepatunya sudah ditemukan. Tapi aku tetap harus menepati janjiku. Janji itu ‘kan hutang.”
Aku hampir tertawa. Ternyata di negeri dongeng juga ada istilah seperti itu.
“Di mana kamu menemukannya?” tanya Cinderella setelah mengenakan sepatu kacanya.
“Di laci itu,” jawabku sambil menunjuk laci tempat aku mengambil sepatu kaca tadi.
Semua terlihat kaget dengan jawabanku, tak terkecuali Cinderela. Dia langsung mendelikkan matanya kepada tujuh kurcaci.
“Apa maksud semua ini?! Apa kalian yang telah mencuri sepatuku?”
Ketujuh kurcaci itu saling pandang. Mereka berkeringat dingin. Hingga beberapa menit kemudian, sang tertua pun menggelengkan kepala, diikuti oleh yang lainnya.
“Terus, bagaimana bisa sepatuku ada di laci kalian kalau bukan kalian yang mencuriny? Apa kamu yang mencurinya?” Cinderella mengarahkan tuduhan ke Pinokio
Pinokio langsung gelagapan. Warna cokelatnya berubah sedikit memudar. Mungkin itu efek ketakutannya. “Bukan aku,” jawab Pinokio gagap.
Inilah pertama kalinya aku melihat hal yang sangat mustahil bisa kulihat dengan nyata, yaitu hidung yang memanjang. Ya, hidung Pinokio memanjang, dan itu artinya dia berbohong.
Kulihat embun keluar di sudut mata Cinderella. “Aku tidak menyangka. Aku pikir kamu itu baik, tapi ternyata tidak!”
Pinokio hanya bisa memunduk dengan hidung lebih panjang beberapa senti dari sebelumnya. Dengan pelan, dia berkata, “Sebenarnya aku mencuri sepatu tuan puteri karena aku mencintai tuan puteri. Aku ingin menjadi pangeran tuan puteri. Tapi, apa tuan puteri bersedia menjadikan sepotong manusia kayu sebagai pangeran? Aku pikir tidak mungkin. Kecuali dengan satu cara, yakni dengan mencuri salah satu benda paling berharga tuan puteri, sehingga nanti tuan puteri akan mengadakan sayembara, siapa yang menemukan benda berharga itu akan dijadikan pangeran tuan puteri, dan saat itulah aku akan datang layaknya seorang pahlawan, dan tuan puteri akan menciumku.”
Cinderella lari meninggalkan ruangan dengan sepatu kacanya tanpa ada yang mengejarnya. Sepertinya dia benar-benar tidak terima dengan penjelasan Pinokio. Suasana hening seketika. Aku hanya melongo menonton adegan sedih yang kurasa sungguh aneh ini. Namun tiba-tiba, keheningan itu terusik oleh kembalinya Cinderella dengan berlari dan langsung mencium pipi Pinokio, kemudian berlari lagi meninggalkan ruangan.
Ajaib!
Setelah mendapat ciuman, tubuh Pinokio mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Begitu silau, bahkan kututup mata sekuat-kuatnya pun tetap terasa silau. Perlahan cahaya itu meredup hingga menghilang. Setelah kubuka mataku, kudapati tubuh kayu Pinokio tidak ada lagi, berubah menjadi kulit asli layaknya aku.
“Ayo, Pinokio, kejar Cinderella!” kata Tarzan bersemangat.
Tanpa pikir panjang, Pinokio segera berlari menyusul Cinderella.
Setelah kepergian Pinokio, semua mata tertuju padaku. Tajam. Ah, apa lagi yang akan mereka lakukan? Perasaaan tidak nyaman mulai merayapiku.
“Jangan-jangan, dia lelaki terpilih itu?” seorang kurcaci menudingku yang tampaknya disetujui oleh yang lainnya.
Hah?! Aku lelaki terpilih?
“Kalau memang benar, berarti Rudi adalah kakekku,” ujar Rapunzel
“Hah?! Jadi kakek? Apa maksudnya?” Aku benar-benar selalu dihantui bingung selama di sini.
“Rapunzel adalah cucu Ratu Aurel, saudara kembar puteri Aurora. Begitu juga Cinderella.”
Begitukah? Aku akan jadi seorang kakek? Kakek muda?
“Ya. Jadi kamu harus mencium tuan puteri,” kata kurcaci yang lain.
Hah?!
Seumur-umur aku tidak pernah mencium perempuan, kecuali ibu dan kedua adik perempuanku, apalagi mencium di bibir.
Para kurcaci mulai mendorong-dorong kakiku, mendekatkanku ke pembaringan si puteri tidur. Aku mematung ketika pembaringan itu telah di hadapanku. Tidak tahu harus bertindak apa. Sedang ketujuh kurcaci, Rapunzel dan Tarzan mulai mendesakku untuk melakukannya. Aku melirik ke wajah Puteri Aurora dan lirikanku tepat ke bibir si Puteri.Sungguh bibir merah yang indah. Aku mulai tergoda. Astagfirullahil ‘adzim… Tapi…. Ah, tak bisa kupungkiri, memang menggoda bibir puteri Aurora.
Desakan para makhluk dongeng itu semakin membuatku terpojok. Apa memang sudah takdirku akan melepas keperjakaan bibir dengan wanita yang sudah berusia lebih seratus tahun di negeri antah berantah ini? Tapi aku ingat, agamaku melarangku mencium wanita yang bukan mahramku, bahkan bersentuhan kulit pun kami dilarang, demi menjaga kesucian diri kami masing-masing. Tapi ini darurat! Aku sudah menjadi yang terpilih, dan jika aku tidak melakukannya, puteri Aurora akan tidur selamanya. Apa agama akan mentoleransi?
Aku menarik diriku, membatalkan adegan ciumanku dengan orang yang tidur.
“Kenapa?” Mata biru Rapunnzel menatapku penuh tanda tanya.
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawabku dengan sedikit gagap di awalnya.
“Hanya kamu harapan kami.” Rapunzel berlutut di hadapanku. Kulihat biru matanya berkaca-kaca.
“Tolonglah!” Tarzan menambahi dengan wajah penuh harap, diikuti oleh semua kurcaci.
Sungguh hatiku tergugah. Aku tidak tega. Dan akhirnya aku kalah.
Ketika bibirku dan bibir Puteri Aurora akan bersatu, aku menghentikan gerakanku. Aku teringat jengkol. Kuendus-endus udara sekitar, berharap mencium buah yang sebenarnya kubenci itu. Namun malah bau wangi yang kudapati. Kulirik mereka yang terlihat was-was melihat aku berhenti. Dan ketika kulihat bawahku…
Deg…
Jantungku tiba-tiba berdetak hebat. Bibir yang merah merekah, wajah yang sungguh ayu, berada tempat di hadapanku. Tubuhku bergetar hebat. Panas dingin. Aku merasakan peluh berebut keluar pori-poriku. Hampir aku mengurungkan kembali tindakanku, namun mata biru yang berkaca-kaca dan wajah penuh harap mengerubungi ingatanku. Aku pun memejamkan mataku kuat-kuat, dan….
Cup…
Di negeri dongeng, aku telah melepas keperjakaan bibirku. Kulihat Puteri Aurora bergerak, menguap, bahkan mengeliat, hingga terbangun. Aku pun mulai berusaha mengikhlaskan status bujangku dilepas dan menjadi kakek untuk Rapunzel dan Cinderella.Ya Allah, kalau memang ini jalan hidupku yang Engkau takdirkan, aku ikhlas. Aku akan memanfaatkan kesempatan yang Engkau berikan ini untuk menyampaikan risalah-Mu.
Ya! Aku akan menjadi pangeran bagi Puteri Aurora. Itu berarti aku pun akan menjadi orang ternama di istana, karena calon istriku adalah saudara ibu raja, dan itu akan menjadi kesempatan untukku membawa risalah Islam. Aku pun langsung terpikir untuk meminta Puteri Aurora mengucapkan kalimat syahadat dulu sebelum menikah. Aku tersenyum.
Namun, tiba-tiba, aku merasa saluran pernafasanku tertutup. Tubuhku kembali panas dingin, bahkan terasa seperti ditusuk ribuan jarum dari segala arah. Aku pun terjatuh. Ingin meminta tolong, tapi tenggorokanku pun terasa tersumbat. Dengan samar, kulihat mereka semua hanya diam memandangiku yang seperti cacing kepanasan.
“Sebenarnya, lelaki terpilih itu adalah lelaki yang terpilih untuk mati. Orang yang berhasil mencium puteri Aurora dan membangunkannya itu akan mati karena sisa racun di tubuh Puteri Aurora akan berpindah ke lelaki itu dan langsung mengerogoti nyawanya. Racun itu juga yang telah membunuh si peri.”
Entah suara siapa itu. Tapi yang jelas, aku sadar kalau aku telah ditipu. Dan aku akan mati! Ya Allah, inikah takdir hidupku sebenarnya? Aku makin sekarat,dan disaat inilah aku teringat orang tuaku. Jika aku mati dan dikuburkan di sini, bagaimana nanti orang tuaku mengunjungi rumah terakhirku? Aku masih ingin berbakti dengan orang tuaku. Aku masih bercita-cita untuk membawa mereka naik haji. Aku belum minta maaf kepada mereka karena selama ini aku sering membentak mereka. Oh, ibu… Oh, ayah…
Jika aku mati sekarang, amal apa yang nanti akan kuandalkan di pengadilan Allah? Aku langsung bergetar ketakutan. Aku merasa seakan dihadapkan pada neraka, yang akan membasuh segala dosa-dosaku dengan jilatan apinya. Ya Allah, ampuni dosa-dosaku.Sambil meneteskan air mata, kubaca lafadz syahadat dalam hatiku berkali-kali. Hingga akhirnya gelap……
***
Inikah kesempatan kedua yang telah diberikan kepadaku?
Benarkah ini, ya Allah?
Kupandangi wajah ayah dan ibuku dengan mata yang berair. Kupikir, aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Aku merasa sangat merindukan mereka.
Kukira aku telah mati, tapi ternyata aku hanya ditidurkan-Nya selama tiga hari.* * *
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mahfuzh-amin/negeri-dongeng/533108756705103
0 komentar: