Cerpen Mahfuzh Amin: Hujan di Ujung Fitri
Di ujung FitriKata orang, setiap kali hari raya Idul Fitri, pasti hujan selalu turun. Paling tidak gerimis. Itu adalah tanda bahwa langit sedang berduka karena telah ditinggalkan oleh Ramadhan.
Seperti malam ini, hujan turun dengan lebat. Menyebarkan hawa dingin yang begitu menyengat. Tetesannya membiaskan embun dan mengaliri jendela kaca tempat aku berada. Alirannya bak sebuah anak sungai yang menghanyutkan debu. Aku terus memandanginya dalam kegundahanku.
Hari ini adalah hari kemenangan bagi umat muslim, dan aku termasuk dalam bagian umat muslim tersebut. Harusnya aku merasa bahagia dengan datangnya hari ini. Namun, entah mengapa lebaran kali ini aku tidak merasakan kebahagiaan yang selalu kurasakan? Kebahagian berbaju baru. Kebahagian berkumpul dengan keluarga. Kebahagian makan siang setelah sebulan tidak boleh makan siang. Kebahagian dapat THR dari abah.
Apakah aku bukan pemenang sehingga aku tidak bisa merasakan kebahagiaan ini?
Apakah yang sebentar lagi akan kulakukan ini adalah kebahagianku?
Tidak! Ini bukan kebahagianku!
Tapi, mengapa aku mau melakukannya di hari yang spesial ini?
Mataku tidak menangis, namun jiwaku yang menangis. Basah seperti kaca jendela yang ada di hadapanku. Airnya bak anak sungai yang mengikis debu yang menempel di kaca. Apa aku bisa mengikis debuku?
Tangan itu mulai terasa membelai bahuku dan lenganku. Aku merasa belum siap untuk bekerja. Bimbang.
***
Gerimis menjelang gema takbir
“Kamu serius nggak pulang, Fit?” tanya Arika sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam ransel besarnya.
Aku tidak menjawab. Mataku hanya mengamati kegiatan Arika.
Sebenarnya aku ingin pulang, seperti tahun-tahun kemarin. Namun tawaran yang kudapat pagi tadi sungguh menggiurkan.
“Aku nggak habis pikir, kenapa kamu bisa memilih tawaran itu? Emang menggiurkan sih. Tapi, ini kan lebaran. Rasanya tak pantas bekerja di waktu lebaran,” ungkap Arika bersamaan dengan ditutupnya semua resleting tasnya.
“Tapi, kalau itu emang maumu, yah, apa boleh buat. Terserah kamu lah,” lanjutnya sambil mengangkat ranselnya.
Aku tetap bertahan untuk tidak menanggapi. Memang karena aku tidak tahu mau menanggapi apa. Aku hanya terus mengamati apa yang dilakukannya, tanda aku memerhatikannya.
Dia berlalu dari hadapanku yang sejak dari tadi berdiri di ambang pintu kamarnya. Kuiringi langkahnya yang berjalan menuju teras rumah.
“Kupikir, sudah saatnya kita mandi dari kubangan ini,” katanya dengan tangan ke bahuku sebelum akhirnya pergi menuju kampung halamannya. Aku kembali tidak berkata apapun dikepulangannya. Dia melangkah cepat tanpa menoleh ke belakang. Seakan dia tidak akan pernah kembali lagi ke rumah ini.
***
Mercon di rintikan gema takbir
“Fitri baik-baik saja, ma.”
“Kenapa kamu tidak pulang, nak?”
“Besok Fitri ada janji untuk riset skripsi Fitri, ma. Fitri ingin cepat menyelesaikan skripsi, biar kuliah Fitri cepat kelar.”
“Tapi besok ‘kan hari raya? Tidak bisakah ditunda risetnya?”
Aku tidak langsung menjawab. Harus berbohong seperti apa lagi aku?
“Mama kangen ingin ketemu Fitri.”
Seketika air mataku membelah pipi. Kutahan agar tidak keluar suara isakan.
“Iya, ma. Fitri akan usahakan pulang,” sahutku dengan suara bergetar.
Kini aku duduk di sudut ranjangku dengan isakan yang tertahan setelah telponku dengan mama berakhir. Hatiku bergetar mendengar ungkapan rindu mama. Aku pun sebenarnya merindukannya. Namun…
Kuseka air mataku. Aku tidak ingin menghabiskan malam ini dengan tetesan air mata.
Aku sendirian malam ini. Selama ini aku tinggal berdua bersama Arika. Awalnya kami adalah seorang mahasiswi biasa, sebelum akhirnya menjadi mahasiswi ‘plus’. Aku sudah sering menjalani malam sendiri di rumah ini, karena Arika telah lebih dahulu bekerja dariku sehingga sering keluar malam. Namun berbeda dengan malam ini. Aku merasa sangat sepi. Mengigil kedinginan.
Kudengar suara takbir menggema membelah langit di antara bunyi rintik yang memukul-mukul seng rumahku. Namun kenyataannya, suara mercon terdengar jauh lebih nyaring dan meriah dibandingkan gema takbir itu. Aneh bagiku. Yang mana kah tanda kemenangan yang disebut-sebut itu? Takbir kah, mercon kah, atau rintik hujan kah?
“Tak pantas kau mempertanyakan itu!”
Siapa itu?!
Aku merasa ada gema yang asing di telingaku. Bukan gema takbir, mercon, maupun rintik hujan.
“Coba kau cari kemenanganmu saja!”
Suara itu semakin keras, bahkan sangat memekakkan telingaku, hingga aku pun menutup telinga. Bukannya hilang, suara itu malah semakin menjadi-jadi. Saat itulah aku kembali teringat salam perpisahan Arika siang tadi.
Ya! Kapan aku akan ‘mandi’?
Aku pun teringat pekerjaanku selama ini. Tak lebih dari seekor babi yang bermain di dalam kubangan. Kotor dan berbau. Namun bedanya, aku selalu diselimuti parfum. Demi kebahagian semu, kerelakan lidah-lidah bajingan itu menjilati sekujur tubuhku. Menari untuk menyegarkan mata mereka. Tanpa cinta, tanpa kasih, tanpa restu, hanya untuk kebahagian semu dan kepuasan nafsu di dalam kegelapan belaka.
Pantaskah aku meraih kemenangan?
Ke mana aku harus mencarinya?
Apakah orang yang tidak puasa sebulan, tidak terawih, tidak mengaji, bahkan tidak shalat, bisa ikut serta meraih kemenangan?
Bisakah dengan tubuh yang penuh dengan lumpur?
Bisakah?
Bisakah?
Air mata itu kembali membelah pipiku. Kali ini terasa lebih hangat. Tubuhku semakin menggigil. Aku pun memeluk lututku. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untukku.
Tiba-tiba ping BBM menyapa layar BB-ku.
Besok kujemput kamu pas orang shalat id. Biar ga keliatan.
***
Hujan di ujung fitri.
“Kupikir, sudah saatnya kita mandi dari kubangan ini.”
Seharian kata itu selalu menggema di telingaku, membuatku gundah. Ditambah ungkapan rindu dari mama yang sangat menyayat hati. Sekejap aku berpikir, kenapa aku mau menerima tawaran ini? Padahal hari ini adalah hari lebaran. Sama seperti perkataan Arika kemarin. Harusnya saat ini, aku sedang berada dalam pelukan hangat mama. Tapi, apakah mama tetap mau memeluk tubuh yang penuh lumpur ini?
Hujan tak kunjung berhenti, menambah suasana dingin. Suasana yang tentu sangat diinginkan bajingan itu.
Kurasakan tangannya mulai bermain bersama birahinya. Tak seperti biasa, kali ini ada setitik penolakan dalam diriku, namun belum sanggup meledakkan tubuhku. Aku hanya diam, tanpa merespon setiap sentuhannya.
“Aku mau ke toilet dulu,” kataku. Aku merasa tidak tahan dengan suasana ini. Tidak ada kenikmatan yang biasa kurasakan. Seketika tangannya berhenti kelayapan menyetujui permintaanku.
Di toilet aku kembali duduk termenung di samping bak mandi. Kudengar suara hujan yang deras menyerang atap hotel. Ketika kututup mata, aku merasa hujan itu seakan menghujani jiwaku. Inikah hujanku? Inikah hujan yang akan memandikanku?
Aku tidak memungkiri bau busuk tubuhku. Busuk akibat lumpur-lumpur kubangan. Namun, mengapa aku masih mau bercebur? Oh, tidak!!! Aku ingin mandi!!! Aku ingin mandi!!! Aku ingin mengakhiri semua ini! Sudah cukup sampai hari ini! Aku ingin hidup bersama melati-melati putih yang harum. Aku ingin kehangatan mama dengan tubuh yang suci. Aku ingin kemenangan itu!
Tak kuasa, air mataku pun bercucuran membanjiri toilet. Aku sesegukan. Aku merasa seperti orang yang hina. Sangat hina. Lebih hina dari iblis yang telah diusir Tuhan dari surga. Aku tak lebih dari seorang pencuri. Pencuri suami orang. Pencuri anak lelaki orang. Pencuri kesucian orang. Pencuri keimanan orang. Seperti seorang iblis!
Sudah cukup semua ini! Aku ingin pulang!!!
Dengan mata yang masih banjir, aku ke luar toilet dengan langkah memburu dan langsung mengambil tasku yang tergeletak di ranjang. Aku tidak memerdulikan bajingan tanpa baju yang menyembunyikan tubuhnya dalam selimut.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya setengah berteriak.
“Aku mau pulang!”
“Tidak bisa begitu! Aku telah membayarmu untuk malam ini.” Dia pun langsung bangkit dari ranjang.
Seketika aku menggeledah isi tasku. Terselip di dalamnya uang tunai lima juta rupiah yang diserahkan si bajingan itu sebelum kami memasuki kamar hotel ini. Kulempar uang itu hingga berserekan di ranjang dan di lantai.
Kulihat dia terdiam. Aku pun langsung menuju pintu dan keluar. Di tengah hujan yang deras, kuberlari dengan air mata yang telah menyatu dengan hujan. Berlari sangat kencang. Hingga tak sengaja kaki kiriku terperosok lobang dan aku pun terjatuh dalam kubangan lumpur. Kubangan yang sebenarnya. Tubuhku pun berubah coklat dan aku mencium bau yang tidak sedap.
Hujan, mandikan aku!!! Basuhlah lumpur-lumpur yang hina ini dari tubuhku!!!
***
Kata orang, setiap kali hari raya Idul Fitri, pasti hujan selalu turun. Paling tidak gerimis. Itu adalah tanda bahwa langit sedang berduka karena telah ditinggalkan oleh Ramadhan. Namun, ada maksud lain dari langit, yakni dia ingin membasuh lumpur-lumpur yang masih menempel pada tubuh manusia agar mereka bisa meraih kemenangannya dengan tubuh yang suci selama sebelas bulan ke depan.
Hujan di ujung fitri. Sungguh dingin. Namun kehangatan mama mampu mengusir kebekuan hatiku. Aku tidak lagi mengigil seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenapa tidak kulakukan hal ini dari kemarin?
Sumber:
Amin, Mahfuzh, dkk. One Month of the Year. Lamongan: Pustaka Jingga
https://www.facebook.com/notes/mahfuzh-amin/hujan-di-ujung-fitri/710663175616326
0 komentar: