Cerpen Mahfuzh Amin: Dompet Ajaib

19.17 Zian 0 Comments

Junai tidak habis pikir kenapa dia tetap membeli dompet putih itu. Dipandanginya  dompet itu, tidak ada yang terlihat istimewa. Putih polos dengan sedikit goresan sebagai label merknya. Dibuka-bukanya tiap kantong dompet itu, juga tidak ada yang istimewa. Masih kosong juga. Tapi, persis seperti yang dia lihat malam tadi. Hampir lima belas menit dia memandangi, akhirnya dilemparnya juga dompet itu  hingga jatuh di dekat kakinya.
Dia melipat siku kedua tangannya dan meletakkan kedua telapaknya di bawah kepalanya. Matanya terus memandangi kipas angin kecil yang menempel di plafon. Putarannya terlihat sangat cepat, namun tidak terasa anginya. Seperti waktu yang terus berputar cepat, namun dia tidak juga merasakan kesejukan. Duit selalu menjadi masalah dalam hidupnya.
HP-nya berbunyi. Dengan malas-malasan diraihnya HP butut yang tergeletak di samping kepalanya. “Jun, jangan lupa ya rapat BEM jam tiga.”
Huh… Junai menghembuskan nafasnya dengan berat. Diletaknya kembali HP itu ke tempat semula. Rapat BEM, pasti akan membahas masalah keuangan. Kenapa aku harus ikut memikirkan keuangan BEM, sedang aku sendiri juga butuh uang? Apalagi sudah lewat tiga hari ulang tahun Farida, sedangkan dia belum memberi kado apapun untuk pujaan hatinya itu.

Junai kembali menghembuskan nafasnya dengan berat. Dilihatnya jam dinding masih menunjukkan jam setengah dua belas. Di samping kanannya, ada Windi yang masih tertidur pulas. Dia pun memutuskan untuk mengikuti jejak Windi.

***

Dia memeriksa isi dompet hitamnya yang lucek. Ada selembar lima puluh ribu dan selembar sepuluh ribu. Ditatapnya dompet putih yang masih terbungkus plastik itu. Masih mengkilap.
“Tidak bisa kurang, mas, harganya?” tanyanya.
“Wah, tidak bisa, mas. Itu sudah harga pas,” jawab si penjual.
“Dikurangi sedikit lah, mas,” pinta Junai agak memelas. “Dua puluh delapan ribu saja, mas, gimana?”
“Tiga puluh ribu, mas.  Itu sudah harga pas. Saya cuma mengambil untung sedikit. Coba saja mas cari di toko lain, tidak ada yang jual dompet merk ini seharga tiga puluh ribu kecuali di sini.”
Junai garuk-garuk kepala. Jika dia membeli dompet itu, berarti selama sebulan ke depan dia harus bisa bertahan dengan uang tiga puluh ribu.
Haruskah aku membeli dompet itu?
“Mas, boleh aku lihat dompetnya?”
Si penjual pun mengambilkan dompet yang dia maksud. Dibolak-baliknya, kemudian dibuka-tutupnya dompet yang kini telah di tangannya itu. Persis seperti yang dia lihat semalam.
“Ayo lah, mas, dikurangi dikit,” pintanya lagi memelas.
Si penjual hanya menjawab dengan gelengan.
Junai terus menimbang-nimbang. Haruskah? Haruskah? Haruskah? Diletaknya kembali dompet itu. Dilihatnya si penjual itu terus menatapnya. Junai pun mengeluarkan dompetnya, “Baiklah, mas, kuambil dompetnya.”
Namun, setelah hak milik dompet itu telah resmi berpindah tangan kepadanya, tak henti-hentinya dia mengatakan bodoh, bodoh, dan bodoh pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka dirinya bisa percaya dengan mimpinya semalam.

***

Junai duduk bersila di hadapan orang yang asing baginya. Orang itu memakai pakaian serba putih dengan ikat kepala kain putih. Orang itu juga duduk bersila. Untung saja dadanya tidak terlihat. Jika terlihat dan ada tulisan 212, berarti orang itu adalah Wiro Sableng.
Pendekar dari manakah dia?
Mereka berdua bersitatap dengan tajam. Junai ingin beranjak dari tempat duduknya, tapi tubuhnya terasa seperti dibius sehingga tidak mampu bergerak sedikit pun dari posisinya. Si pendekar itu menggerakkan tangannya ke belakang, mengambil sesuatu.
“Ini adalah dompet ajaib,” kata si pendekar sambil menunjukkan sebuah dompet berwarna putih.
“Kamu pendekar dari mana?” tanya Junai. Dia lebih tertarik identitas si pendekar itu dari pada dompet ajaib.
“Aku bukan seorang pendekar.”
“Berarti kamu malaikat?”
“Aku juga bukan malaikat.”
“Jadi?”
“Aku cuma orang yang diutus untuk membawakan dompet ini untukmu.”
Junai mengerutkan kening. Kali ini perhatiannya telah teralihkan ke dompet itu. Tampak biasa-biasa saja, tidak bercahaya layaknya sebuah benda ajaib dan terlihat tipis yang artinya kosong. Dalam kondisi keuangan yang menipis, dia lebih tertarik uang tunai atau cek daripada sebuah dompet. Diisi apa juga dompet itu jika aku sendiri tidak punya duit,pikirnya. Dompet yang selama ini dia gunakan pun tidak pernah merasakan makan yang sangat kenyang.
Jangan-jangan memang ada selembar cek di dalamnya, duga Junai. Dia tersenyum penuh harap.
“Berapa duit ada di dompet itu?” buru Junai.
“Sesuai yang kamu inginkan.”
“Maksudnya?” Junai jadi bingung.
“Ini adalah dompet ajaib. Dompet yang selalu mengerti kebutuhanmu.”
“Maksudnya, jika aku butuh duit, di dompet itu akan tersedia duit secara ajaib?”
“Seperti itu lah.”
“Wah, kalau begitu, aku mau.”
Tangan Junai langsung bergerak ingin mengambil dompet itu, tetapi si bukan pendekar itu sigap menarik tangannya menjauh.
“Kamu harus membelinya.”
“Membelinya?” Junai agak kaget dan bingung. Katanya dompet itu dibawakan untukku. Kok harus membeli lagi? “Berapa harganya?”
“Kamu tidak membelinya di sini.”
“Lalu?”
“Carilah di pasar besok?”
“Di pasar?!”

***

“Jun, cepatan! Anak-anak sudah pada ngumpul. Tinggal kamu saja lagi yang belum datang.”
Mata Junai langsung terbelalak. Wajah kantuknya seketika hilang. Dia langsung teringat rapat BEM.
“Iya, iya. Aku segera ke sana.” Langsung diputuskannya panggilan yang telah mengganggu tidurnya itu
Bergegas dia ke kamar mandi, cuci muka dan sikat gigi. Kemudian ke kamar lagi mengambil bajunya yang tergeletak di samping kasurnya dan celana hitam yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Sebelum bergegas pergi, dia sempat melihat Windi yang masih juga tertidur pulas.
Bukan rapat BEM yang sebenarnya menjadi motivasinya buru-buru datang, karena dia sudah menduga pembahasan yang akan dibahas adalah pembahasan yang sangat malas untuk dia bahas saat kondisinya seperti sekarang. Bukan juga karena ingin menjadi anggota BEM yang paling aktif, karena selama dia menjabat sebagai wakil ketua BEM, tak pernah sekali pun dia tidak hadir dalam rapat. Bukan kedua alasanya itu, melainkan karena Farida. Gadis imut itu telah menarik perhatiannya sejak menjadi peserta osmaba (orientasi mahasiswa baru) setahun yang lalu. Sejak itulah, dia menjadi pengagum rahasia Farida. Hanya pengagum rahasia, tanpa pernah memiliki seutuhnya. Entah karena dia tidak berani mengungkapkan perasaannya atau karena dia sadar kastanya berbeda dengan Farida yang merupakan anak seorang pejabat di kabupaten. Yang jelas, Farida telah menjadi cinta pertamanya sejak pertama dia dinobatkan sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di HSU. Tak ayal, sepanjang rapat, hanya Farida yang menjadi pusat perhatiannya.
“Jun, serius dong rapatnya. Jangan melirik Farida terus,” kata Dayat pelan sesudah menyenggolnya.
“Alah… Paling yang dibahas itu-itu saja. Ujung-ujungnya paling membuat proposal permohonan dana,” sahut Junai pelan. Matanya tak henti-hentinya memandangi wajah putih nan imut itu. Di sebarang, si pemilik wajah imut yang menyadari ada yang memerhatikannya, tersenyum-senyum salah tingkah. Wajahnya sedikit merona merah. Junai makin kesemsem.
Tiba-tiba, Junai menyadari ada yang janggal padanya hari ini. Dia merasa duduknya tidak seimbang seperti biasanya. Bagian bokong kanannya terasa lebih tinggi dari bagian kirinya. Tentu itu membuatnya kurang nyaman. Dia pun teringat sesuatu.
Benarkah?
Junai segera memutuskan ijin ke toilet. Di sana, dia mengeluarkan dompet putih itu. Terlihat lebih tebal dari dompetnya biasa. Penasaran, perlahan dibukanya dompet tersebut. Seketika matanya terbelalak melihat isinya. Ada sepuluh lembar seratus ribu, sepuluh lembar lima puluh ribu, dan beberapa lembar dua puluh dan sepuluh ribu.
Jadi dompet ini benar-benar ajaib?
Senyum pun tak henti-hentinya mengembang di wajahnya. Bahkan ketika dia sudah berada di ruang rapat pun, senyum itu tidak hilang juga. Dayat merasa aneh melihatnya, juga beberapa teman BEM lainnya.
“Kamu gila ya, Jun?” tanya Dayat.
“Durian tuntuh, Yat.”
“Durian runtuh?” Dayat bingung. Dia garuk-garuk kepala.
“Hari ini kutraktik kamu makan bakso sepuasnya.”
“Serius?” Dayat merasa tidak percaya.
Junai tidak langsung menjawab. Matanya kembali melirik Farida. “Sekalian juga ajak Farida. Terserah dia mau bawa siapa saja, asal jangan cowok. Jika dia tidak ikut, traktiran baksonya gagal.”
“Tapi kamu serius, tidak?” Dayat masih tidak percaya.
Junai menatap mata Dayat. “Kurang serius apa aku?”
Ehem…”
Junai dan Dayat kembali tenang.

***

Dayat gelisah. Dia telah berada di warung bakso bersama Farida dan Yulia. Tanpa Junai.Gila! Jika Junai tidak datang, mampus aku bayarin mereka berdua, batinnya. Kegelisahannya membuat bakso di hadapannya terlihat tidak enak. Dia ingat, di dompetnya cuma ada lima belas ribu, itu pun rencananya untuk beli bensin. Seporsi bakso plussegelas es jeruk pasti totalnya minimal sepuluh ribu.
“Tunggu bentar ya,” kata Dayat pada kedua gadis di depannya. Keduanya hanya mengangguk sambil melahap bakso mereka. Dayat pun menuju depan warung. Di sana dia langsung menelpon Junai.
“Jun, kamu di mana? Kami sudah di warung sejak dari tadi.”
“Sebentar lagi aku sampai,” sahut Junai dari seberang.
Tut… Tut… Tut……
Dayat pun kembali ke meja baksonya dengan tetap membawa kegelisahannya.
“Kamu kenapa, Yat? Sakit ya?” tanya Yulia.
“Tidak,’ jawab Dayat gelagapan.
“Junai mana, Yat?” tanya Farida.
“Ee… Bentar lagi dia datang.” Semoga, lanjut batinnya.
Tak lama, Dayat pun akhirnya bisa bernafas lega. Junai yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
“Maaf ya, aku terlambat. Tadi ada sedikit urusan,” ujar Junai dan langsung duduk bersama mereka. Tidak ada sahutan dari perkataannya tadi. Dia juga tidak langsung memesan bakso, tapi malah sibuk dengan sesuatu di dalam tas punggungnya. Oleh Dayat, tas punggungnya terlihat lebih menggelembung dari tasnya sewaktu di kampus tadi.
“Ini untukmu, Farida, hadiah ulang tahunmu.”
Sebuah boneka Panda keluar dari tas Junai dan langsung diserahkan kepada Farida. Farida yang sangat menyukai Panda pun langsung histeris menerima hadiah Junai. Boneka itu pun langsung dipeluk-peluknya, bahkan dicuimnya. Bakso pun terabaikan.
Harusnya aku yang dipeluk dan dicium seperti itu, batin Junai nakal.
Acara makan bakso pun selesai. Senja jingga pun mulai menyapa. Mereka pun akan berpisah untuk pulang.
“Makasih hadiahnya, ya, Jun,” ucap Farida.
“Iya, sama-sama. Untukmu, apa sih yang tidak,” sahut Junai sedikit mengombal. Farida tersenyum malu-malu. Junai menutup matanya, cium dong… cium dong… harapnya. Tapi yang dia dapat malah dorongan di kepalanya oleh Dayat.
“Otakmu jangan ngeres, Jun,” ujar Dayat. “Tuh Farida sudah mau pulang.”
Mata Junai langsung terbuka. Dilihatnya punggung Farida yang telah duduk di jok belakang motor Yulia.
Lihat ke belakang dong… Lihat ke belakang dong… harap Junai lagi.
Seakan mendengar harapan Junai, Farida menoleh ke belakang dengan sebuah senyuman manis kepadanya sebelum motor bergerak maju, “Nanti malam, telpon aku ya!” kata Farida sebelum akhirnya beranjak pergi.
Bibir Junai pun langsung mengembang. Hatinya dipenuhi bunga bahagia. Saking bahagianya, dia melompat-lompat kegirangan. Junai merasa ini adalah hari yang terbaik baginya.
“Jun, gimana bisa kamu tiba-tiba dapat duit banyak gitu? Dapat arisan ya? Atau jangan-jangan kamu menang togel?” tanya Dayat sebelum mereka berpisah.
Junai pun menceritakan tentang dompet ajaib itu, dari mimpinya semalam hingga sampai dompet barunya yang tiba-tiba berisi uang lebih dari satu juta.
“Wah, sungguh beruntung kamu, Jun. Jadi pengen dapat dompet ajaib itu juga,” komentar Dayat. “Jika berkenan, boleh dong aku minjam sehari.”
“Gampang diatur.”
Toa-toa mesjid dan surau mulai mengaji. Azan maghrib sebentar lagi akan menguasai alam. Senja makin mendekati bintang. Mereka pun berpisah menuju hunian masing-masing. Sebelum ke kos, Junai mampir di sebuah ponsel dan langsung membeli pulsa seratus ribu. Malam ini akan menjadi malam yang terindah untuknya.
Junai memasuki kosnya dengan penuh suka cita. Dia bersiul-siul mengikuti irama nada cinta. Namun, dia agak kaget mendapat teman sekamarnya, Windi, duduk menunduk di ruang tamu. Rambutnya acak-acakan tak karuan. Dia seperti orang yang sedang stress tingkat tinggi.
“Kamu kenapa, Win?” tanya Junai tanpa duduk di samping Windi.
“Celanaku hilang,” jawab Windi dengan tetap menunduk.
“Kok bisa?”
“Aku juga tidak tahu. Seingatku, pagi tadi kugantung di gantungan belakang pintu. Pas aku bangun, celananya sudah tidak ada.”
“Sudah lah, Win. Tidak usah terlalu disedihkan. Cuma celana ‘kan?”
Windi mengangkat wajahnya yang ternyata juga kusut tak karuan, “Kamu tidak tahu…” Tiba-tiba ucapan Windi terhenti. Matanya menatap tajam Junai.
“Kamu kenapa, Win?” Junai bingung dengan perubahan Windi. “Ada yang salah dengan diriku?”
Tidak ada jawaban. Matanya terus memandangi Junai, kemudian ke bawah. Tentu Junai merasa aneh, juga risih. Dia pun memutuskan segera ke kamar.
Di kamarnya, Junai tak henti-hentinya tersenyum sendiri. Senyum Farida yang begitu merekah membuatnya serasa ingin terbang. Dia sudah tidak sabar menunggu selesai isya agar bisa menelpon Farida. Namun senyumnya seketika reda ketika matanya tertumpu pada sebuah dompet putih yang tergeletak di samping kasurnya. Dipungutnya dompet itu. Persis seperti dompet ajaib yang dia beli tadi pagi.
Jangan-jangan?
Cepat dia mengambil dompet putih di kantong belakang celananya. Diobrak-abriknya setiap sudut kantong dompet itu hingga ditemukannya sebuah KTP. Dia sangat kaget mendapati nama di KTP itu bukan namanya. Ditelitinya dengan seksama celana yang sedang dia pakai. Hah?! Ini ‘kan bukan celanaku. Dia benar-benar tidak menyadarinya.
“Alamak!!!”


Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mahfuzh-amin/dompet-ajaib/493683237314322

0 komentar: