Cerpen Mahfuzh Amin: Fenomena Udin
Terik panas mulai membakar. Padahal tangan pendek jam masih berusaha membelai angka sepuluh, walau masih tak sampai. Terlihat sepuluh siswa sedang asik menikmati warna-warni es di bawah payung pohon. Tak jauh dari pohon itu, sebuah pohon lain juga sedang memayungi sepuluh siswi yang sedang asik ngerumpi dengan beralaskan tikar di tanah. Tanpa dipayungi pohon, sepuluh siswa begitu bersemangat bermain basket. Sedang di samping lapangan basket, sepuluh siswa lain malah bermain kelereng. Dan masih banyak lagi aktivitas-aktivitas lain yang sedang dilakukan berpuluh-puluh siswa pada jam sepuluh ini. Memang, bagi siswa-siswi SMK Tunas Kelapa atau yang lebih dikenal dengan sebutan STK, angka sepuluh merupakan salah satu angka yang diidam-idamkan oleh mereka, karena di angka sepuluh inilah mereka dibebastugaskan dari rodi-nya para kursi dan meja yang dipimpin oleh sebuah papan besar yang berdiri angkuh di depan mereka, walau cuma sesaat. Angka sepuluh juga yang sangat membuat mereka bahagia ketika angka tersebut menempel di lembar jawaban ujian mereka. Namun saat ini, kebahagiaan angka sepuluh belum bisa dirasakan oleh sepuluh orang ‘jemuran’.Ini adalah hari kesepuluh dikurang tujuh dari lima hari digelarnya MOS di STK. Jadi masih tampak berpuluh-puluh siswa yang memakai aksesoris MOS. Ada yang mengenaikan topi berbentuk kerucut dengan satu gigi depan dihitami dengan spidol permanen. Ada juga yang memakai topi orang-orangan sawah dengan bibir dilipstick. Masing-masing dari mereka menggandeng sebuah kantong plastik besar yang berwarna-warni sebagai tas mereka. Bahkan tadi pagi, ada seorang siswa yang menggunakan tasnya tersebut untuk muntah saat di angkot menuju STK. Sepatu mereka pun divariasi. Sebelah kanan memakai sepatu boot dan sebelah kiri memakai sepatu bola. Bagi peserta MOS yang tidak melengkapi atribut tersebut, akan dihukum!
Tepat sepuluh menit setelah jam mesjid berteriak sepuluh kali, Imun sang ketua osis menghentikan langkahnya setelah mengelilingi sepuluh siswa baru bersalah itu sebanyak sepuluh kali. Kesepuluh orang tersebut hanya pasrah terhadap apa yang akan terjadi pada mereka. Keringat pun sudah membentuk sungai di tubuh mereka.
“Kalian sadar apa salah kalian?” Imun berkacak pinggang. Suaranya langsung mengundang para penikmat jam sepuluh untuk berkumpul mengitari mereka.
Tidak ada jawaban dari kesepuluh tersangka. Imun pun melanjutkan.
“Dan kalian sudah tahu apa yang akan menimpa kalian jika kalian salah?”
Tiba-tiba seorang tersangka yang berdiri di ujung kanan berlari menghampiri Imun, meraih-meraih tangannya dan berlutut dihadapannya.
“Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Aku memang salah.”
Imun yang kaget dengan cepat melepaskan tangannya dari genggaman si tersangka tersebut. Si tersangka pun menangkupkan tangannya di di atas kepala sambil berdiri dengan lututnya dan tak hentinya mengucapkan maaf.
“Siapa namamu?” tanya Imun setengah berteriak. Mukanya dibuatnya agar terlihat garang.
“Aku Salah. Aku memang salah. Maafkan aku! Tadi pagi aku salah bawa tas, jadi topiku tertinggal. Malah aku membawa ini,” jawabnya sedikit tersedu kemudian menentengkan sekantong besar berisi aneka sayur mayur.
Imun hanya bisa melongo melihat kantong plastik tersebut. Namun tiba-tiba, perhatiannya teralihkan dengan datangnya seorang ibu setengah baya yang berjalan cepat ke arah mereka.
“Aduh, Salahudin! Kamu ini salah melulu. Itu bahan masakan ibu, kok kamu bawa ke sekolah. Barang-barangmu malah kamu tinggal di meja makan. Aduh, Salah, Salah, memang selalu salah.”
Si tersangka yang berlutut tadi pun berdiri dengan wajah tertunduk. “Maaf, bu, Salah memang salah bawa tadi.” Sang ibu pun segera mengambil kantong plastik sayur mayur itu dari tangan anaknya dan menggantinya dengan kantok plastik yang dibawanya kemudian langsung pergi meninggalkan STK. Si anak langsung menggeledah isi kantong yang baru diterimanya tersebut.
“Hore!!! Aku tidak jadi dihukum. Topiku sudah ada!!!” teriaknya kegirangan sambil menari-nari dengan topi kerucutnya kemudian berlari-lari mengelilingi STK, membuat Imun melongo lagi sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya yang memang gatal.
Setelah kehebohan si tukang salah berlalu, Imun mendekati tersangka lainnya yuang tidak memakai sepatu boot seraya bertanya, “Nama kamu siapa?”
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ‘Amma ba’du. Saudaraku yang terhormat, perkenalkan nama saya Zainudin MJ bin Zainuri MZ,” jawab si yang ditanya dengan gaya seorang penceramah.
Imun kaget. Dia mengerutkan kening mengingat sesuatu. “Maksudmu, kamu anak seorang ustadz yang biasa mengajar ngaji di mesjid raya dan sering ceramah di radio setiap pagi?”
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Ya, itu abah saya. Kamu kenal?” ujar Zainudin suara lembut.
Seketika Imun berkeringat dingin dengan tubuh agak gemetaran. Tanpa basa-basi lagi, dia pun langsung meraih tangan Zainudin, anak guru ngajinya itu, dan menciumnya sambil beberapa kali mengucapkan maaf. Terbayang olehnya ustadz Zainuri akan menghukumnya karena dia telah berani menghukum anak semata wayangnya. Tentu hal itu mengundangan pandangan aneh dari tersangka lain dan para penikmat sepuluh. Zainudin pun dipersilahkan meninggalkan podium tersangka oleh Imun.
“Baiklah, sekarang giliran kamu! Perkenalkan dirimu!” tunjuk Imun ke tersangka ketiga setelah suasana hatinya kembali tenang.
“A’udzubillahiminasy syaitonir rajiim. Bismillahirrahmanirrahiim. Perkenalkan nama saya adalah Hafizhudin. Shadaqallahul ‘adziim.”
Imun mengerutkan keningnya lagi. Cara jawabnya aneh, tapi suaranya bagus juga, kayak seorang Qori.
“Kenapa kamu tidak memakai lipstick?” tanya Imun santai.
“A’udzubillahiminasy syaitonir rajiim. Bismillahirrahmanirrahiim. Saya tidak memakai lipstick karena lipstick itu khusus untuk perempuan. Sedangkan dalam ajaran agama Islam, pada sebuah hadits Baginda Rasulullah SAW melarang laki-laki menyerupai perempuan. Itulah alasan kenapa saya tidak memakai lipstick. Shadaqallahul ‘adziim.”
Imun manggut-manggut dengan mulut dibulatkan. Alasannya tepat dan masuk akal. Sepertinya dia juga bukan orang sembarangan.
“Mun, Hafizhudin itu seorang penghafal Al-Qur’an. Terlalu ngerjain dia, entar bisa kualat lho,” bisik seorang siswa yag tidak Imun kenali yang langsung membuat bulu kuduknya berdiri. Tanpa basa-basi lagi dia pun membebaskan tersangka ketiga tersebut.
“Nama kamu siapa?” Sekarang Imun menodong tersangka keempat.
“Eee… Eee…” Tersangka keempat terlihat sangat gugup, bahkan dahinya sudah mengeluarkan banyak keringat, juga di ujung hidungnya.
Imun tersenyum sinis. Sasaran empuk nih.
“Cepat sebutkan siapa namamu!” bentak Imun, membuat tubuh orang itu gemetaran.
Namun belum sempat tersangka keempat memperkenalkan diri, tiba-tiba…
“Mahmu, Din! Mahmu, Din!” Seorang lelaki setengah baya berlari terengah-engah menuju mereka.
“Mamah kenapa, Mang?” tanya tersangka keempat panik.
“Mamahmu jatuh dia toilet lagi. Sekarang mamahmu sedang dibawa ke rumah sakit.”
Tanpa berkata lagi, si tersangka keempat tersebut langsung lari secepat mungkin menuju gerbang sekolah, bahkan dia menabrak Imun. Tentu Imun hampir terjatuh, namun dia cepat menguasai situasi sehingga tidak jadi jatuh. Memalukan jika dia sampai terjatuh. Mau ditaruh di mana muka dan wibawanya sebagai seorang ketua OSIS. Si lelaki setengah baya itu juga mengiringi lari si tersangka empat dengan tetap terengah-engah.
“Woi, tunggu! Nama kamu siapa?!” teriak Imun. Jika aku tidak tahu namanya, susah nanti aku mengeksekusi dia lagi, pikirnya.
Si tersangka empat tidak menjawab. Dia terus berlari kencang, tidak peduli dengan pertanyaan Imun, yang ada di pikirannya hanya mamahnya. Namun, si lelaki setengah baya itu yang malah berhenti dan menjawab pertanyaan Imun. “Namanya Mahmudin, nak.”
Imun hanya bisa memandang kepergian tersangkanya tanpa pamit itu dengan agen pembebasannya sambil terus mengulang-ulang nama tersangka itu dalam otaknya.
Imun kembali ke sisa-sisa tersangkanya. Kali ini Imun memandangi dengan tajam seorang yang tidak memakai sepatu apapun alias pakai sandal. Si tersangka kelima itu sempat melirik ke arah Imun dan tepat di pupil tajam Imun. Tentu hal itu langsung membuat tersangka kelima gugup setengah mati dan berkeringat dingin. Imun kembali tersenyum sinis. Sasaran empuk lagi nih.
Namun ketika Imun hendak meluncurkan perintah memperkenalkan diri, tiba-tiba terdengar histeris para siswi.
Imun kaget bukan kepalang melihat pemandangan yang sungguh di luar dugaannya. Dari mana makhluk penghancur itu datang.
“Muuuunnn!!! Kamu harus bertanggungjawab atas kerusakan ini!!” teriak seorang siswi.
Imun pun mulai panik, hingga dia pun mengeluarkan suara kerasnya yang membuat beberapa orang yang ada di sana, termasuk siswi yang meminta pertanggungjawabannya menutup telinga. “Sapi siapa itu???”
Dilihatnya lagi seekor sapi itu yang dengan muka tanpa salah melahap bunga-bunga yang sudah susah payah ditanam oleh para siswi. Imun makin geram. “Jika tidak ada yang mengakuinya, akan kumutilasi sapi itu!”
“Jangan, kak!”
Semua mata langsung tertuju pada orang yang baru saja berteriak tersebut, terutama Imun. Si yang berteriak yang tak lain adalah si tersangka kelima pun langsung bertunduk dalam dengan tubuh gemetaran.
Perlahan Imun berjalan mendekati si tersangka tersebut. “Jadi, sapi itu milik kamu?”
Si tersangka lima pun mengangguk perlahan.
“Kenapa bisa sampai masuk ke sekolah?” tanya Imun keras.
“Tadi pagi aku sudah menjeratnya di parkiran sepeda sekolah. Aku tidak tahu kenapa ikatannya jadi lepas,” jawab si tersangka sedikit gagap.
“Imun!!! Mun!!” Tiba-tiba seorang siswa berlari terburu-buru menghampiri Imun. “Ada kabar buruk?”
“Kabar buruk apa?”
“Parkiran sepeda sekolah kita rubuh.”
Segera berhaburan seluruh siswa-siswi yang sekolah bersepeda menuju parkiran.
Imun pun makin geram. “Cepat aman kan sapimu itu!” perintahnya.
Si tersangka lima pun langsung akan bergerak.
“Tunggu!”
Hanya beberapa langkah, dia langsung berhenti oleh cegatan Imun.
“Namaku siapa?”
“Sapiudin, kak.”
Hah?! Imun kaget campur bingung. Kok Udin terus yang kutemui?
“Ya udah, urusi dulu sapimu, jangan sampai dia menghancurkan STK kita tercinta. Sebelum pulang sekolah nanti, kamu harus temui saya di kantor OSIS.”
“Baik, kak,” jawabnya sedikit gagap dan segera beraksi membawa sapinya ke tempat yang aman dari para mutilator.
Sekarang Imun berdiri berkacak pinggang di hadapan tersangka enam yang tidak memakai atribut satu pun sambil berdecak-decak dan menggelengkan kepala. Namun, Imun mengakui, penampilan tersangkanya kali ini sungguh rapi.
“Atribut itu sangat menjijikkan. Jauh banget dari kata rapi. Padahal kerapian itu sebagian dari iman, karena kerapian itu bagian dari kebersihan. Aku tidak sudi pakai atribut itu! Karena sangat bertentangan dengan prinsip hidupku yang selalu hidup rapi, seperti namaku……”
“Rapiudin, ya kan?” potong Imun menebak.
“Seratus rupiah untukmu. Tapi, berhubung aku tidak punya uang receh, sedekahkan aja buat aku ya.”
Imun mayun.
“Pokoknya, mau tidak rapi kek, mau tidak bersih kek, yang jelas atribut ini adalah sebuah perintah. Dan perintah ini wajib dipatuhi! Kamu tahu artinya wajib, hah?” bentak Imun.
“Wajib adalah berpahala apabila mengerjakan dan berdosa apabila meninggalkan, jawab Rapiudin dengan muka tanpa salah.
“Betul itu! Pahala dalam MOS kali ini adalah nilai bagus yang akan membuat penerimanya bisa menjadi raja dan ratu MOS tahun ini. Dan dosa adalah sebuah hukuman. Jadi kamu harus menerima hukuman dariku!”
“Aku siap dihukum apapun, asal tidak mengurangi kerapianku,” sahut Rapiudin gentle.
“Hukumanmu adalah push up sepuluh kali. Terus, hadiah seratus rupiah tadi tidak kuikhlaskan untuk sedekah, kecuali dengan push up sepuluh kali. Jadi, aku ingin kamu push up dua puluh kali.”
Tanpa perlu bicara, apalagi protes, Rapiudin langsung menjalani hukumannya. Imun terpana, melihat kecepatan Rapiudin yang hanya perlu dua puluh detik menyelesaikan push up-nya dengan gerakan yang sempurna. Tanpa perlu pamit, Rapiudin berlalu dari podium tersangka dengan wajah tanpa salah dan tetap terlihat rapi. Imun hanya diam melihat kepergian Rapiudin, namun di dalam hatinya dia merasa puas karena dari beberapa tersangka, Rapiudin adalah tersangka pertama yang baru bisa dia hukum. Itu pun membuatnya semakin bersemangat untuk melanjutkan mengorek keterangan dari tersangka lainnya.
Tersangka selanjutnya memiliki wajah yang garang dan cukup menyeramkan bagi Imun. Tapi semangat barunya cukup membuatnya tertantang untuk menyeram-nyeramkan suaranya. Namun ternyata si wajah garang itu langsung marah-marah. Suaranya yang kencang cukup membuat nyali Imun yang dibuat-buat ciut.
“Kau jangan macam-macam!! Mentang-mentang kau kakak kelas di sini, bukan berarti kau berhak bentak-bentak kami seperti ini!! Jangan pikir aku takut sama kau!! Kau belum tahu aku ini siapa!”
Imun mencoba tenang. Dahinya berkerut mendengar kalimat terakhir si wajah garang tersebut. Emang loe siapa?
“Sabar, Pi, sabar!” Seorang tersangka yang berdiri di samping si wajah garang mencoba menenangkan.
“Aku ini adalah anak mantan seorang napi. Ayahku pernah membunuh orang dan ayahku adalah alumni tahanan pulau kembang. Sekali lagi kau berani membentakku, habislah kau! Aku ini permen di terminal!”
Imun makin mengerutkan kening, bingung. Apa aku tidak salah dengar.
“Eh, anu, maksudku preman di terminal. Akulah Napiudin, anak mantan napi dan preman terminal!”
Imun manyun.
“Hey!! Apa maksud kau manyun kayak gitu? Menghina kau! Kugapok kau, baru tahu rasa!”
“Sabar, Pi, sabar!” tersangka di sampingnya kembali menenangkan.
“Begini saudara Napiudin,” Imun tetap berusaha tenang, “Di sini kamu sedang menjalan MOS, dan dalam MOS itu adalah 2 pasal yang menjadi dasar aturannya. Pasal pertama, segala perintah, perkataan, dan tindakan kakak adalah benar. Pasal kedua, apabila kakak melakukan kesalahan, kembali ke pasal pertama.”
“Itu tidak adil! Aku tidak bisa terima. Itu sama saja kau mengambil hak kemerdekaanku!”
“Mau bagaimana lagi, itu sudah peraturannya.”
“Aku tidak terima!” teriak Napiudin. Dia langsung mengangkat lengan bajunya, seperti ingin mengajak berkelahi. “Aku ini adalah preman terminal, dan prinsip seorang preman adalah kebebasan. Bagiku ini penjajahan! Demi merebut kemerdekaanku, aku siap mengobankan jiwa ragaku melawan kau!”
Wajah Napiudin mulai merah padam. Dia pun mulai bergerak mengarahkan hantaman ke arah Imun. Imun pun sontak membentuk pertahanan. Namun hantaman itu tidak sempat meluncur dari busurnya, karena tersangka yang berdiri di samping segera menjadi penengah.
“Sabar, Pi, sabar! Orang sabar disayang Tuhan.”
Nafas Napiudin masih turun-naik menahan amarahnya. Sedang Imun kembali mencoba tenang. Imun pun segera mengambil inisiatif aman agar tidak terjadi emosi yang lebih parah.
“Baiklah Napiudin, kali ini kamu kuberi kebebasan dari peraturan MOS. Dan kamu, Sabarudin,” Imun mengarah ke tersangka yang mencoba menenangkan tersebut, “Sabarkan dan tenangkan dia!”
“Eh, kak, kok kakak tahu namaku? Padahal aku belum memperkenalkan diri,” sang penenang tersebut terlihat bingung.
“Sudahlah, tidak usah bingung. Bawa saja dia!”
Sabarudin pun membawa Napiudin pergi dari podium tersangka. Sembari berjalan pergi, Napiudin masih meneriaki Imun, “Awas kau, ya! Aku ini Napiudin, anak mantan napi dan preman terminal. Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah!!!”
“Hush, sudah, Pi. Sabar!!” Sabarudin terus berusaha menyabarkan Napiudin sambil membawanya –sedikit memaksa – pergi.
Sekarang tersisa dua orang tersangka di hadapannya. Imun memandangi mereka satu per satu. Satu orang berwajah teduh dan selalu berusaha tersenyum dengan sebuah peci di kepalanya. Sedang satu orangnya lagi dari tadi selalu menunduk.
Imun pun kemudian memilih si wajah teduh untuk diinterogasinya lebih dahulu. Namun, belum sempat mengeluarkan sepatah kata pun, tiba-tiba terdengar suara azan. Si wajah teduh sontak berlari menuju mushalla STK.
“Woi, mau ke mana kamu?”
Si wajah teduh menghentikan larinya. “Mau shalat zuhur, kak.”
“Shalat zuhur?”
“Tadi kakak dengar sendiri ‘kan ada suara azan tanda waktu zuhur telah tiba. Shalat tepat waktu itu lebih baik, kak. Apalagi berjamaah.”
“Ngawur kamu! Ini baru jam sepuluhan, masa’ udah zuhur.”
“Gitu ya?” Si wajah teduh langsung melihat jam tangannya, kemudian angguk-angguk sambil garuk-garuk kepala dan senyum-senyum. “Terus, tadi suara azan apa?”
“Itu suara HPku, ada SMS masuk,” jawab Imun sambil menentangkan HPnya.
“Makanya dicerna dulu baik-baik apa yang didengar, jangan main ngacir aja. Mana ada jam sepuluh shalat zuhur, yang ada cuma ada shalat dhuha,” lanjut Imun.
“Oh iya ya, aku ‘kan belum shalat dhuha,” sahut si wajah teduh baru sadar. Seketika dia pun melanjutkan lari cepatnya ke mushalla.
“Woi! Kamu belum memperkenalkan namamu siapa!” teriak Imun, namun tidak dihiraukan oleh si wajah teduh. Dia telah memasuki mushalla.
“Namanya Salehudin, Mun,” bisik siswa yang telah memberitahunya nama tersangka ketiga. “Dia itu sepupunya Hafizhudin. Di kampungnya, dia terkenal sebagai anak yang paling shaleh.”
Imun pun manggut-manggut mendengar informasi tersebut. Dia pun memutuskan untuk tidak meneruskan penyelidikan terhadap Salehudin. Bukan hanya karena khawatir kualat, namun dia lebih tertarik dengan tersangka terakhir yang terus menunduk tersebut.
Imun berputar dengan poros si tersangka terakhir sebanyak 2 kali kemudian berhenti tepat di hadapan tersangkanya itu. Si tersangka terus menunduk seakan kepalanya diberi beban yang sangat berat sehingga tidak bisa diangkat. Imun menaikkan sebelah alisnya sampai melontarkan satu pertanyaan.
“Info yang kudapat, kamu tidak memberi warna hitam di gigimu, benar itu?”
“Sebenalnya aku telah mewalnainya, hanya saja infolmanmu itu tidak melihatnya,” jawab si tersangka dengan tetap pada posisinya.
Awalnya Imun agak susah mencerna jawaban tersangkanya tersebut, namun ketika dapat memahaminya, Imun pun menahan tawanya.
“Maksudmu?” Imun menatap penuh selidik.
Tidak ada jawaban. Dia tetap menunduk.
“Bagaimana kami tahu kamu sudah menghitami gigimu atau tidak, jika kamu terus menunduk seperti itu. Coba kamu perlihatkan!”
“Yakin kamu ingin melihatnya?” Si penunduk memastikan.
“Tentu.”
“Siap dengan akibatnya?”
Imun mengerutkan kening, bingung apa maksudnya. “Tak masalah,” jawab Imun akhirnya.
“Baiklah.” Si penunduk pun perlahan mengangkat wajahmu. Imun yang berada di hadapannya mulai tegang membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, juga siswa-siswi yang hadir di sekitarnya. Malah ada seorang siswa yang terus membuka mulutnya saking tegangnya. Wajah si penunduk pun mulai sedikit terlihat. Dan ketika sudah terlihat semua, dia langsung mengembangkan sebuah senyuman dengan maksud memperlihatkan lukisan hitam di giginya, tapi……
Cling!!!
“Ah, silau!!!”
Baru sedikit senyuman itu keluar, cahaya yang sangat terang keluar dari mulut si penunduk tersebut dan langsung menyinari seluruh STK hingga sampai ke kolong-kolong meja di kelas. Bahkan Salehudin yang sedang khusyu’ berdhuha di mushalla terpaksa mengulangi dhuhanya karena cahaya tersebut mengagetkannya dan mengganggu kekhusyu’kannya.
“Siapa namamu?” tanya Imun sambil mengedip-ngedipkan matanya yang masih terasa kaget dengan kesilauan yang diterimanya.
“Namaku Udin.”
Hah, Udin lagi? Tadi sudah ada Salahudin, Zainudin, Hafizhudin, Mahmudin, Sapiudin, Rapiudin, Napiudin, Sabarudin, dan Salehudin. Sekarang Udin apa lagi? Apa Cahyudin atau Silaudin?
“Nama lengkapmu?”
“Umal Dimansyah Ilwaninglum Namayoga.”
* * *
Udin… Udin…
Namamu norak tapi terkenal…
Udin… Udin…
Biarpun norak banyak yang suka…
Lagu ‘Udin sedunia’ yang mengalun langsung ke telinganya melalui earphone cukup membuat Indra Mukhlis Usman Najib, sang ketua Osis STK yang lebih dikenal dengan panggilan Imun tersenyum-senyum mengingat fenomena Udin yang terjadi siang tadi. Tentu akan menjadi sebuah fenomena yang tak akan terlupakan olehnya., Dan senyumnya makin merekah ketika pamannya yang tinggal di samping rumahnya mengabarkan bahwa bibinya telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang rencananya akan diberi nama Bahrudinnor Khalisudin Al-Khairudin Aminudin.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mahfuzh-amin/fenomena-udin/492865064062806
0 komentar: