Cerpen Mahfuzh Amin: Metamorfosa Cinta
"Apa hebatnya Salim dibandingkan denganku?” tuntut Aldi.Gadis berseragam putih abu-abu berkerudung putih di depannya tidak menjawab.
“Sadarlah, Ra! Aku jauh lebih baik dari pada Salim. Dari segi IQ, aku jauh di atas Salim. Nilai akademisku jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Salim. Aku selalu menjadi juara umum di sekolah, tidak ada yang bisa mengalahkanku di sini. Berbagai prestasi pernah kutorehkan, di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan tingkat nasional. Tidak seperti Salim yang tidak memiliki satu prestasi pun untuk dibanggakan.
“Tiara, aku ini anak orang kaya. Aku lebih pantas denganmu daripada Salim yang hanya orang biasa. Aku pun juga jauh lebih keren dibandingkan Salim. Sadarlah, Ra! Salim itu hanya akan menjadi benalu dalam hidupmu. Kamu hanya akan dibuatnya susah, Ra.”
Gadis di depan Aldi itu tetap bertahan dengan sikapnya.
“Ra, aku benar-benar mencintaimu. Cintaku padamu tulus dari lubuk hatiku yang terdalam. Hanya bayanganmu yang selalu hadir dalam mimpiku, hidupku, di setiap waktuku. Kaulah bidadariku, yang bersemayam di surga cintaku, memberikan pancaran cinta suci ke dalam jiwaku. Apa lagi yang kurang?
“Buka matamu lebar-lebar, Ra! Salim itu cacat, berjalan saja membutuhkan tongkat. Dia itu tak pantas untukmu. Aku yang lebih pantas untukmu. Aku lebih sempurna, dan selalu mencintaimu. Seharusnya kamu bisa menyadari itu.”
“Kau emang terlihat lebih sempurna, tetapi ketahuilah, ada sesuatu yang kusukai dari Salim yang belum kamu miliki.” Tiara akhirnya membuka gembok mulutnya.
“Apa itu?” serbu Aldi penasaran. “Bukan karena kakinya yang cacat itu ‘kan?”
“Jaga bicaramu! Aku tidak suka kamu bicara seperti itu,” tegur Tiara tak senang.
“Oke, oke. Tapi apa kelebihan Salim itu? Agar aku bisa melakukan hal serupa demi kamu.”
“Pikirkanlah!” jawab Tiara singkat dan berbalik akan pergi.
Sigap Aldi menghalangi kepergian Tiara dengan menangkap pergelangan tangannya. Aldi tidak ingin Tiara pergi begitu saja dari hadapannya untuk yang kesekian kalinya. Tiara tidak suka dengan apa yang dilakukan Aldi tersebut.
“Tolong lepaskan tanganku! Aku ingin pergi,” pinta Tiara datar dengan masih membelakangi Aldi.
“Aku tidak akan melepaskan tanganmu jika kamu masih membelakangiku seperti ini,” ancam Aldi.
Walau dengan terpaksa, Tiara pun membalikkan badannya ke hadapan Aldi lagi. “Sekarang, lepaskan tanganku!” pintanya lagi.
“Sekarang kuminta kamu katakan apa kelebihan Salim itu!” Aldi balik meminta.
“Lepaskan dulu tanganku!”
“Kalau aku lepaskan tanganmu, kamu akan pergi seperti tadi tanpa meninggalkan menjawab.”
“Kamu telah berjanji melepaskan tanganku jika aku berbalik,” Tiara mengingatkan.
“Maafkan aku!”
“Jadi kamu membohongiku lagi?” tanya Tiara.
Aldi hanya diam dengan tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Tiara.
“Kamu lupa, aku paling tidak suka orang yang membohongiku,” ungkap Tiara setengah berteriak.
PLAK!!!
Seketika genggaman Aldi melemah. Tiara pun memanfaatkan itu untuk melepaskan tangannya.
“Tiara,” kata Aldi lemah dengan tangan kanannya mengelus-elus pipi kanannya yang menjadi korban Tiara. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Tiara akan melakukan itu lagi padanya.
“Itu memang pantas untukmu,” kata Tiara sebelum akhirnya pergi meninggalkan Aldi yang hanya dapat terdiam berdiri merasakan perih di pipi kanannya, juga hatinya.
“Sabar ya, Di!” kata Rangga yang melihat apa yang menimpa Aldi dan menghampirinya yang telah mematung hampir dua menit seraya menepuk bahunya. “Mungkin sekarang belum waktunya. Lebih baik kita duduk dulu.” Rangga membawa Aldi ke sebuah bangku kosong yang berdiri menyandar di dinding putih tak jauh dari mereka. Aldi menurut dengan tetap diam. Pikirannya masih terasa kosong, kecuali peristiwa yang baru dua menit menimpanya itu yang ada.
“Kamu masih harus berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan Tiara. Mungkin usahamu selama ini masih belum cukup untuk membuktikan cintamu pada Tiara,” kata Rangga yang kini telah duduk di samping kanan Aldi.
“Sudah banyak usaha kulakukan untuk menarik hati Tiara. Sudah banyak pengorbanan kukeluarkan demi cintaku kepada Tiara. Tetapi Tiara hanya diam, diam, dan diam, kemudian pergi tanpa memberi kepastian kepadaku. Dia selalu menggantungku, tidak menerimaku tidak pula menolakku. Kamu tahu sendiri ‘kan?”
Rangga mengangguk. Perkataan Aldi itu mengingatkannya pada usaha-usaha yang telah dilakukan Aldi untuk mengambil cinta Tiara yang berhasil akhir seperti yang Aldi katakan tadi. Aldi pernah memohon-mohon cinta pada Tiara, bahkan sampai berlutut di hadapan Tiara dimana saat itu disaksikan oleh banyak anak-anak sesekolah. Aldi membuang jauh-jauh rasa malunya waktu itu demi cintanya pada Tiara. Tetapi Tiara malah mencuekinya dan pergi tanpa meninggalkan jawaban. Walhasil, Aldi pun disoraki oleh orang-orang yang menyaksikan aksinya itu.
Tetapi itu tidak membuat Aldi jera maupun putus asa. Berbagai genjatan dilakukannya terus untuk mendapatkan cinta yang diimpikannya. Dari mulai mengirimi Tiara surat cinta, puisi cinta, rangkaian bunga, bahkan mempersembahkan lagu cinta yang susah payah diciptakannya sendiri untuk Tiara yang dinyanyikannya di acara perpisahan siswa kelas tiga beberapa bulan yang lalu, tetapi Tiara melakukan hal yang sama dengan sebelumnya.
Aldi juga pernah pura-pura sakit dengan harapan Tiara mengkhawatirkan keadaannya sehingga menjenguknya. Awalnya Aldi tersenyum karena harapannya itu berjalan sesuai rencananya, tetapi belum sempat satu menit senyum itu mengembang, langsung saja memudar karena ada orang kedua yang sangat tidak diharapkannya ikut hadir. Kedatangan Tiara waktu itu ditemani oleh seorang laki-laki yang berdiri dengan satu kaki dan dua tongkat di kanan-kirinya bernama Salim. Kehadiran Salim bersama Tiara itu cukup memercikkan api di hati Aldi, terutama api cemburu. Api itu tidak bisa dikendalikannnya sehingga meledak dan dia pun melakukan sesuatu hal yang membuat Tiara tahu kalau dia bohong tentang sakitnya. Tiara pun marah besar. Tak tanggung-tanggung, satu tamparan mendarat di pipi Aldi, tamparan yang pertama kali diberikan Tiara padanya. Sungguh pedih dan perih. Setelah itu, Tiara selalu menjauh darinya, tidak mau lagi bertemu dengannya, bahkan untuk hanya sekedar bertukar pandang. Tetapi untung lah, sikap Tiara seperti itu hanya berlangsung dua minggu setelah Aldi tak habis-habisnya menyerang Tiara dengan permohonan maaf.
“Dan baru beberapa menit yang lalu, Tiara telah menamparku kembali. Itu artinya dia menolakku,” lanjut Aldi seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tersedu-sedu menangis.
Rangga langsung berusaha menenangkan teman sepermainannya sejak kecil itu dengan mengelus-elus punggung Aldi. “Kamu jangan asal membuat penafsiran. Menurutku tamparan Tiara itu bukan tanda penolakan, melainkan sebagai teguran dengan sikapmu.”
“Maksudmu?” tanya Aldi masih terisak, kedua telapak tangannya kini tidak lagi menutup wajahnya. Terlihat matanya sembab oleh air mata.
“Tiara tidak suka dengan sikapmu yang terus memegang tangannya, padahal kamu telah berjanji akan melepaskan tangannya jika dia berbalik, tetapi kamu tidak juga lepas tangannya ketika dia telah berbalik. Bohong, itulah yang menyebabkan Tiara menamparmu, seperti yang pernah dilakukannya dulu, ketika kamu membohonginya.”
Perkataan Rangga itu membuat Aldi termenung, dan dia pun membenarkannya. Sebelum akhirnya secara tiba-tiba wajahnya menjadi merah padam, menunjukkan kemurkaan yang ada dalam hatinya.
“Ini semua gara-gara Salim!” geram Aldi penuh amarah. “Aku harus bertindak. Salim harus diberi pelajaran!” Terlihat tangan Aldi bergenggam dengan kuat sehingga urat-urat tangannya timbul. Napasnya pun mendesah berat.
“Kamu harus tenang, Di! Kamu jangan asal bertindak, apalagi terhadap Salim,” Rangga menasehati.
“Tidak bisa! Aku tidak tahan lagi dengan keberadaan Salim. Gara-gara Salim lah yang membuat Tiara menjauh dariku. Salim lah yang menjadi penghalang cintaku. Jadi aku harus menghancurkan penghalang itu.” Amarah Aldi makin menjadi-jadi.
“Kamu harus bisa menahan dirimu! Kamu jangan bertindak gegabah! Pikirkan dampak yang akan terjadi jika kamu memuaskan amarahmu itu, bukannya kamu akan mendapatkan cinta Tiara, malah kamu akan makin dibenci Tiara!”
Aldi terdiam seketika. Benar apa yang baru dikatakan Rangga kalau dia nekad memberi Salim pelajaran, hasilnya Tiara akan makin membencinya. Dia pun memutuskan mengurungkan niatnya itu, walau sebenarnya percikan api masih menggeliat-geliat di hatinya.
“Lebih baik sekarang kita ke kantin,” usul Rangga. “Mungkin dengan kamu makan atau minum, amarahmu bisa mereda.”
Aldi setuju. Mereka pun segera menuju tempat yang mereka tuju, walau Aldi hanya berjalan gotai. Ketika melalui mushalla, tiba-tiba langkah Aldi terhenti. Percikan api di hati langsung menggelegar. Matanya menangkap Salim yang berdiri dibantu dua tongkatnya sedang berbincang serius dengan dua orang gadis berpakaian sama yang salah satunya adalah Tiara. Aldi tidak tahan lagi. Kesabaran telah habis. Dengan amarahnya yang menggunung, Aldi pun melangkah cepat menuju Salim. Rangga terkejut Aldi memutar arah mereka menuju kantin secara tiba-tiba. Dia pun terlambat menyadari apa yang membuat Aldi memutar arah, sehingga dia tidak sempat lagi untuk menghalangi Aldi.
“Cowok ini yang dipilih Tiara?” Kini Aldi berada tak jauh dari Salim. Matanya masih menatap tajam penuh amarah ke arah Salim diiringi derap langkahnya yang cepat. Suara Aldi itu cukup mengagetkan Salim dan dua gadis berkerudung putih di depannya. Dan mereka makin kaget lagi ketika Aldi mendorong Salim hingga Salim terjatuh ke tanah dan terlepas dari kedua tongkatnya. Tak puas sampai di situ, Aldi pun mengambil satu tongkat Salim dan menghentakkan tongkat tersebut ke pahanya dengan kuat sehingga patah menjadi dua. “Satu kali dorong saja jatuh. Dasar lemah! Mana bisa menjaga Tiara,” lanjutnya menggeram seraya menghempaskan patahan tongkat Salim di tangan kanan dan kirinya ke tanah.
“Jaga sikapmu, Di!” kata Tiara setengah berteriak dengan mata melotot.
“Oh, jadi kamu lebih membelain Salim,” kata Aldi sinis. “Tiara, apa kamu buta? Tidak kah kamu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang cacat? Amatilah Salim! Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti dia?! Dia itu tak lebih seperti benalu yang hidup tanpa memberi manfaat, menghiasi saja tidak.”
PLAK!!!
“Jangan salah, Di. Justru Salim lebih bermanfaat daripada kamu!”
Dua gadis itu pun membantu Salim bangkit dan memapahnya meninggalkan Aldi yang diam tak berkutik ditemani Rangga yang hanya bisa menatap Aldi prihatin.
“Sudah kukatakan ‘kan, Di, kalau kamu bertindak nekad pada Salim, hasilnya malah Tiara yang makin membencimu,” Rangga mengingatkan lagi.
Aldi tidak menyahut. Napasnya turun-naik tak karuan. Emosinya masih bersemayam.
***
Aldi duduk termenung di sofa empuk di ruang tamu rumahnya yang luas lagi mewah. Kejadian-kejadian yang baru menimpanya di sekolah tadi masih mengusik pikirannya. Dua tamparan sekaligus yang didapatnya hari ini seakan masih terasa di pipinya, tentunya juga mengoreskan sembilu nan pedih di hatinya, meremukkan tulang-tulangnya. Pasti Tiara akan semakin jauh dariku, batinnya. Tetapi di sisi lain, hatinya memohon agar Tiara tidak menjauh darinya. Karena jika Tiara menjauh darinya, itu akan menjadi bencana besar bagi hidupnya. Menerjang tsunami ke dalam jiwa. Tanpa Tiara, dia merasa hidupnya tiada berarti, bagai hidup sendiri di padang Sahara yang tandus tanpa ada teman, bahkan angin sekalipun, kecuali panas yang dapat memanggang tubuhnya hidup-hidup. Baginya, Tiara telah menjadi bagian dalam hidupnya, yang bersemayam di dalam rohnya.
Suara bel ternyata cukup mengusik kegalauan pikiran Aldi. Namun Aldi tidak bangkit juga walau bel telah berbunyi dua kali. Pandangannya masih kosong. Tubuhnya pun terasa lemah, seakan tidak sanggup untuk berdiri lagi. Bel pun berbunyi lagi untuk yang ketiga kalinya. Sedang Aldi malah merebahkan tubuhnya ke sofa dengan menatap kosong ke atas. Bunyi bel sekali lagi berbunyi dan mengusik kesendirian Aldi. Akhirnya Aldi pun memutuskan untuk bangkit, walau gontai.
“Mau apa kalian ke sini?” tanya Aldi sinis setelah membuka pintu dan menemukan teman-teman sekolahnya bergerombol di depan pintu rumahnya. Entah berapa jumlahnya.
“Gini, Di, kamu kan terkenal di sekolah sebagai orang yang paling pintar dalam berbagai pelajaran,” kata Surya, salah satu orang yang ikut bergerombol.
“Jadi?” tanya Aldi malas.
“Jadi kami ke sini ingin minta kamu mengajari kami, terutama untuk hari ini adalah pelajaran Matematika. Soalnya kamu tahu sendiri ‘kan, sebentar lagi kita akan ulangan umum, sedangkan kami masih belum mengerti betul pelajaran yang telah diajarkan di sekolah,” jelas Surya.
“Apa?! Mengajari kalian?!” Aldi tampak tidak percaya dengan permintaan temannya itu.
“Iya, Di. Kamu mau ‘kan? Plis... Kami sangat membutuhkan bantuanmu,” mohon Kikan.
“Enak aja!” tolak Aldi. “Kalian tahu, aku butuh uang banyak untuk bisa menjadi pintar seperti ini. Banyak pengorbanan-pengorbanan kukeluarkan untuk bisa menjadi seperti ini. Les sana-situ. Panggil-panggil guru privat. Ikut bimbel. Dan banyak lagi! Sedangkan kalian, datang-datang ingin minta diajari, gratis lagi. Itu sama saja aku yang menanam dan merawat, eh, pas berbuah, kalian ikut nimbrung memetik hasilnya. Rugi aku.”
“Jadi kami harus bayar dulu agar kamu mau mengajari kami?” tanya Surya memastikan.
Aldi tidak menjawab.
“Kami siap membayarmu!” kata Mega tegas.
“Tapi jangan mahal-mahal ya!” Juleha menambahi malu-malu.
“Ogah! Berapa pun kalian membayar, aku tidak mau mengajari kalian. Tidak ada untungnya bagiku. Malah akan membuatku rugi, karena bisa jadi setelah aku mengajari kalian, nilai kalian akan menjadi lebih baik dariku. Dan statusku sebagai siswa terpintar akan lenyap hanya gara-gara aku mengajari kalian. Jadi, lebih baik kalian pergi! Tak ada gunanya juga kalian di sini, karena aku tidak akan mengajari kalian.”
“Kami mohon, bantulah kami!” Surya masih tidak menyerah begitu saja.
“Sekali tidak, tetap tidak!” jawab Aldi kasar.
Teman-temannya itu pun tertunduk lesu.
“Sudah kukatakan ‘kan tadi, tidak ada gunanya kita ke sini karena Aldi pasti tidak akan mau mengajari kita. Lebih baik kita ke rumah Salim saja. Walau dia tidak sepintar Aldi, dia pasti bisa membantu kita.”
Aldi sangat terkejut mengetahui siapa orang yang baru saja berbicara tadi. Perlahan dan pelan mulutnya berujar, “Tiara?”
“Ayo teman-teman, kita pergi dari sini!” ajak Tiara yang langsung dituruti oleh yang lainnya.
“Tunggu!” cegat Aldi, menghentikan semua kaki yang mulai melangkah pergi. “Aku mau mengajari kalian.”
“Sudah terlambat, Di. Kami sudah terlanjur tersinggung dengan ucapanmu tadi,” ungkap Tiara dan langsung pergi. Yang lainnya tak punya pilihan lain untuk pergi juga mengiringi Tiara, karena mereka tahu, kehadiran Tiara lah yang membuat Aldi tiba-tiba menjadi mau. Kalau Tiara tidak ada, Aldi pasti tidak akan mau.
Aldi kesal. Dia pun langsung ke kamar dan mengacak-acak kamarnya tak karuan. Dia benar-benar tak menyangka kalau di antara gerombolan teman-temannya itu terselip pujaan hatinya. Andai dia tahu lebih awal, dia pasti akan bersikap lebih ramah dan akan bersedia mengajari mereka, demi mendapat simpati Tiara. Tetapi itu hanya pengandaian yang tidak akan terjadi. Dia sangat menyesal.
Tiba-tiba niat jahat keluar kembali dari dalam pikirannya dan meracuni hatinya untuk memaksa semua organ tubuhnya melaksanakan niat tersebut ketika teringat perkataan Tiara tadi.
***
“Salim, terima kasih ya sudah mengajari kami,” ucap Surya.
“Sama-sama. Semoga kita berhasil menghadapi ujian nanti dengan hasil yang memuaskan,” sahut Salim
“Amin!!!” kata semua yang ada di situ berbarengan.
“Kami pulang ya, Lim,” kata Tiara.
“Iya. Hati-hati di jalan.”
Semua tamu Salim itu pun pergi. Salim duduk di bangku teras rumahnya mengamati hilangnya teman-temannya dari pandangannya sambil menghembuskan napas penuh rasa puas dan bangga. Ketika dia menyadari lelah di tubuhnya, dia pun bangkit dari bangkunya dibantu satu tongkat yang masih utuh di tangannya, berniat untuk kepembaringannya, istirahat. Tetapi belum sempat dia masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba ada orang mendorongnya dari belakang sehingga dia terjungkal ke depan. Ketika dia memalingkan pandangannya, dilihatnya Aldi berdiri dengan wajah merah padamnya, seperti yang dilihatnya di sekolah tadi.
“Aku sudah muak dengan sikapmu yang sok itu!” geram Aldi. Salim terlihat bingung tak mengerti.
Sukses Aldi memukuli wajahnya Salim sampai babak belur tanpa ada yang menghalangi aksinya, termasuk orang tua Salim yang waktu kejadian memang sedang tidak ada di rumah, melainkan sedang berjualan bakso di pinggiran jalan. Ketika sudah puas, Aldi pun pergi meninggalkan Salim yang meringkuk meringis kesakitan di depan pintu rumahnya sendiri.
***
“Den, ada tamu,” kata mbok Inah, pembantu di rumah Aldi.
“Siapa, mbok?” tanya Aldi dari dalam kamarnya yang telah dirapikan oleh mbok Inah.
“Neng Tiara,” sahut mbok Inah dari luar kamar.
Aldi tersenyum. Tiara berkunjung ke rumahnya. Langsung saja Aldi bangkit dari tempat tidurnya, keluar menuju ruang tamu. Di ruangan tersebut, Aldi melihat Tiara telah duduk manis di sofa yang tersedia di ruangan tersebut.
“Akhirnya kamu mau berkunjung ke istanaku, istana yang akan menjadi tempat peraduan cinta kita kelak,” sambut Aldi.
“Tak usah basa-basi,” Tiara bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Aldi yang terus tersenyum manis padanya.
PLAK!!!
Aldi kaget dengan apa yang dilakukan oleh Tiara.
“Ada apa, Ra?” tanya Aldi bingung sambil mengelus-elus pipinya yang telah ditampar.
“Kamu itu keterlaluan, Di! Apa salah Salim sehingga kamu memukulinya?!”
“Oh, jadi kamu ke sini karena Salim, bukan karena aku? Emang dasar, Salim! Tukang ngadu!” geram Aldi.
“Aku tak menyangka kamu akan berbuat senekat itu. Aku makin muak denganmu. Aku makin benci kamu!” Tiara pun berlari keluar dari rumah Aldi sambil tersedu menangis.
“Tiara! Tiaraaaa!!!!” teriak Aldi, berharap Tiara akan berhenti. Tetap ternyata Tiara tidak berhenti.
Aldi kembali lagi ke kamarnya, dan mengacak-acak kembali kamarnya sambil menangis, menumpahkan segala kekesalannya dengan melempar bantal gulung tak karuan. Dia benar-benar kesal, karena Tiara lebih membela Salim. Padahal dia sudah cinta mati pada Tiara, apapun juga telah dilakukannya demi mendapatkan Tiara, Tiara telah menjadi cinta sejati di hatinya, tetapi perlakuan Tiara itu sungguh menyakitkan hatinya, mengacaukan pikirannya, meremukkan tubuhnya, menghancurkan jiwanya, bahkan seakan ingin mencabut rohnya. Hati Aldi telah hancur berkeping-keping, karena baginya, sikap Tiara tadi menunjukkan kalau Tiara menolaknya. Pupuslah harapannya untuk mendapatkan Tiara. Gagal lah mimpi-mimpi yang telah dirancangnya bersama Tiara. Sekarang mungkin dia harus bersiap untuk hidup menderita di panasnya padang Sahara, menangisi remuknya cintanya yang selama ini dijaganya.
Kau membuat ku berantakan
Kau membuat ku tak karuan
Kau membuat ku tak berdaya
Kau menolakku
Acuhkan diriku
Bagaimana caranya untuk
Meruntuhkan kerasnya hatimu
Kusadari ku tak sempurna
Ku tak seperti yang kau inginkan
Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku1
***
“Tiara, aku akui kalau aku salah. Aku minta maaf,” pinta Aldi sambil terus mengiringi langkah Tiara yang berjalan ke gerbang sekolah untuk pulang yang sejak dari tadi tidak menghiraukannya.
“Aku khilaf. Waktu itu aku sedang dibakar rasa cemburu. Semua itu kulakukan demi cintaku padamu,” lanjut Aldi. Tiara tetap tidak menghiraukannya, malah Tiara memanggil sebuah taksi dan masuk ke dalamnya tanpa menghiraukan Aldi sedikit pun.
“Tiara! Tiara!” teriak Aldi dari luar mobil sambil menepuk-nepuk kaca pintu mobil.
Sebelum mobil jalan, Tiara membuka sedikit kaca jendela mobil di sampingnya seraya berkata, “Bukan kepadaku kamu minta maaf, tetapi kepada Salim.” Mobil pun langsung melaju.
Aldi kesal. Pikirannya pun tak karuan. Pusing hasilnya, karena terus memikirkan cara bagaimana agar Tiara mau memaafkannya. Itu semua mengganggu konsentrasinya dalam mengendarai motor bebek empak taknya yang gagah berwarna biru. Bahkan dalam keadaannya seperti itu, Aldi malah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dan tiba-tiba, di tengah perjalanannya pulang, Aldi me-rem motornya secara mendadak. Motor pun terhenti, walau terdengar bunyi gesekan ban dengan aspal jalan yang lumayan keras. Untung waktu itu tidak ada kendaraan lain yang dekat di belakangannya. Tindakan itu dilakukannya karena dia melihat Salim sedang berjalan susah di trotoar seberangnya. Setelah memarkir motornya di pinggir jalan, Aldi langsung melompat dan meluncur menyebarang jalan untuk menghampiri Salim, tetapi....
BRAKKK!!!!
Aldi melayang, terjatuh, menghamburkan darah, dan pingsan.
***
Ruangan putih menyambut Aldi ketika dia membuka matanya. Langsung saja terasa nyeri di sekujur tubuhnya sehingga membuatnya tak bisa bergerak. Dia pun teringat apa yang telah menimpanya sehingga membuatnya terbaring di kasur yang tidak seempuk kasurnya di rumah. Mobil truk itu membuatnya seperti ini. Sungguh sial dia. Cintanya kandas, tubuhnya pun ikut terlindas. Nyeri di tubuhnya sekarang terasa semakin menusuk ke sum-sum tulangnya. Dia pun meringis menahan sakit.
“Rupanya kamu telah sadar.”
Suara wanita membuatnya langsung berhenti meringis. Suara itu sepertinya dia kenal. Langsung saja pandangannya bertransfer ke arah asal suara tersebut. “Tiara?” katanya lemah. Dia mencoba terus mengamati wanita yang duduk tak jauh dari tempatnya berbaring. Tidak salah lagi, dia Tiara. Rasa nyeri di tubuhnya terasa hilang seketika, berubah senyum yang menyirami bunga di hatinya.
“Kamu jangan ge-er dulu. Aku di sini karena Salim yang memintaku,” kata Tiara.
“Salim?” Senyum Aldi hilang seketika.
“Ya,” jawab Tiara tegas. “Dan asal kamu ketahui, Salim lah yang telah menolongmu. Orang yang begitu kamu benci lah yang telah membawamu ke sini. Bukan orang yang telah membuatmu begini, karena dia telah melarikan diri.”
Aldi hanya diam. Termenung. Suasana hening pun tercipta di antara mereka.
“Ra, boleh aku tahu, apa yang membuat kamu lebih suka dengan Salim?” tanya Aldi mencoba mengakhiri keheningan yang tercipta.
Tiara menatap Aldi. Mata Aldi tampak berbinar, seakan turut memohon agar Tiara menjawab pertanyaan tuannya tersebut. Hanya sebentar, Tiara langsung mengalihkan pandangannya ke objek lain, tetapi hatinya sebenarnya masih menatap Aldi. “Karena Salim seperti lebah,” jawab Tiara datar.
“Lebah?” Aldi ingin tertawa mendengar jawaban Tiara itu.
“Ini bukan lelucon,” kata Tiara segera, seakan mengetahui tawa Aldi yang masih terpendam. “Kamu tahu, Di, lebah adalah makhluk yang sangat bermanfaat bagi manusia. Dia menghasilkan madu yang menyehatkan dan bisa dijadikan obat.”
“Jadi maksudnya Salim itu dokter yang pengobatannya dengan madu?” Aldi masih ingin tertawa mendengar ucapan Tiara.
“Di, yang perlu kamu garis bawahi dari perkataanku tadi adalah makhluk yang bermanfaat bagi manusia,” kata Tiara dengan menekankan lima kata terakhir yang disebutkannya. “Sekarang kamu dengarkan baik-baik perkataanku ini dan bandingkan dengan dirimu jika kamu rasa perlu! Aku mengumpamakan Salim seperti lebah, karena Salim selalu bermanfaat bagi orang lain. Walau dia cacat, dia dapat menutupi kecacatannya tersebut dengan berusaha menampilkan kebisaannya yang bermanfaat bagi orang lain, walau hanya sedikit. Salim bisa mengaji, lalu dia bersedia mengajari anak-anak di kampungnya mengaji tanpa mengharap imbalan. Dia bisa menjahit, sehingga dia membuka usaha jasa penjahitan dan juga mengajari pemuda-pemudi di kampungnya yang menganggur menjahit, sehingga usahanya itu dapat mengurangi angka pegangguran di kampungnya, dan perlu kamu ketahui juga, sebagian laba dari usaha yang didapatnya itu dibelikannya buku-buku untuk dibuat perpustakaan kecil yang sangat bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya, terutama kalangan pelajar di sana. Salim pun juga membuka taman belajar untuk anak-anak yang kurang mampu agar bisa mengecap bagaimana rasanya belajar dan tidak ketinggalan dalam ilmu pengetahuan. Bahkan, di antara kesibukannya itu, dia rela meluangkan waktunya demi mengajari teman-temannya matematika.”
Kalimat terakhir yang Tiara katakan terasa sangat keras menghantam telinga dan hati Aldi.
“Sayang, usaha semulia itu terhambat oleh uang, uang, dan uang,” lanjut Tiara dengan nada sedih. “Padahal jika orang yang melakukan hal seperti itu adalah orang yang kaya raya, mungkin tidak akan ada lagi hambatan dalam masalah uang.”
Perkataan Tiara semakin menusuk-nusuk Aldi. Sekarang dia tak heran lagi, kenapa Tiara lebih memilih Salim daripada dirinya. Ternyata selama ini dia salah menyebut Salim benalu, justru dirinya lah yang benalu. Perlahan tapi pasti bening kristal meluncur membelah pipinya.
“Kamu kenapa, Di?” tanya Tiara ketika melihat mata Aldi berlinang air mata.
“Ternyata aku salah selama ini. Aku ini egois. Lebih mementingkan diriku sendiri tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarku yang membutuhkan bantuanku. Aku pun juga sombong dengan prestasi yang kutoreh selama ini yang hanya dapat kurasakan sendiri. Padahal di tempat lain, ada orang yang menggoreskan prestasi yang tidak hanya dirasakannya sendiri, tetapi juga orang lain. Selama ini aku merasa diriku lah yang paling hebat dan sempurna, tetapi justru ada yang lebih hebat dariku, yang dengan kehebatannya itu dapat membuatnya sempurna di ketidaksempurnaannya. Ternyata, aku lah yang benalu. Aku malu! Aku malu!” Air mata makin deras mengaliri pipi Aldi.
Tiara bergerak mendekat kepada Aldi dengan pandangan prihatin kepada Aldi yang menangis. “Di, masih ada waktu untukmu bermetamorfosa,” katanya.
Aldi langsung menatap Tiara dengan matanya yang sembab oleh air mata. Tiara mengalihkan pandangannya sebelum menjawab, “Mungkin kejadian yang baru menimpamu ini adalah teguran dari Allah atas semua kelakuanmu selama ini. Tetapi untunglah, Allah masih memberimu kesempatan untuk bermetamorfosa. Allah masih memberimu waktu untuk merenungi semua kelakuanmu selama ini dan memberikan jalan kepadamu untuk memperbaiki yang belum baik. Mungkin ini lah waktumu untuk berubah, bermetamorfosa dari seekor ulat yang hanya merusak menjadi kupu-kupu yang indah dipandang, bermetamorfosa dari benalu menjadi seekor lebah. Mumpung kamu masih dililiti perban seperti ini, jadi terkesan seperti kepompong.” Tiara tertawa kecil. Aldi pun ikut tertawa. Dan itu adalah pertama kalinya mereka tertawa bersama.
“Tapi, apa aku bisa bermetamorfosa?” tanya Aldi setelah tawanya berakhir.
“Aku akan membantumu. Salim pun pasti akan mau membantumu. Dan perlu kamu ketahui, sebenarnya aku sekarang ini dalam proses metemorfosa juga, dibantu Salim.”
“Jadi selama ini kamu dan Salim.....”
“Kamu jangan mengambil penafsiran lewat pandangan saja, karena pandangan bisa menipu. Telitilah dulu, baru mengambil kesimpulan. Karena selama ini kedekatanku dengan Salim tidak seperti yang kamu kira,” potong Tiara.
“Jadi, Ra, em…, apa kamu, sebenarnya, mencintaiku?” tanya Aldi ragu-ragu.
Tiara tidak langsung menjawab. Pertanyaan Aldi tersebut terasa cukup mengganggunya. Beberapa saat kemudian, setelah berkali-kali menghirup O2 dan menghembuskan CO2 lebih panjang dari biasa demi menenangkan hatinya, akhirnya Tiara pun menjawab, “Entahlah. Karena aku sekarang lebih memfokuskan hatiku pada cinta sejati yang satu.”
“Cinta sejati?” Aldi menatap Tiara lekat-lekat. Pancaran matanya seakan membuat pertanyaan siapa cinta sejati itu.
Tiara menundukkan wajahnya. Dia tidak mau matanya menangkap mata binar Aldi, tetapi dia tahu maksud tanda tanya Aldi. “Cinta sejati umat Muslim adalah cinta kepada Allah. Itulah yang mesti kita tancapkan dan pegang teguh di dalam hati kita. Cinta Allah akan membawa kita ke ketenangan, kedamaian, dan keselamatan dunia akhirat, serta memberikan manisnya iman ke dalam hati kita. Inilah cinta yang sesungguh-sungguh cinta, dan kita tidak akan sampai kehilangan cinta kita tersebut, kecuali kita sendiri yang menghilangkannya, berpaling dari-Nya.
“Sedangkan cinta sejati dua insan yang berbeda jenis adalah cinta yang terjalin setelah akad nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta sebelum menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan2. Cinta seperti itulah yang begitu kuidam-idamkan, cinta yang dihujani oleh rahman dan rahim, serta diridhai oleh Allah, cinta yang terwujud karena cinta kita kepada Allah. Bukan cinta semu yang tidak memiliki status yang jelas, yang bisa membuat Allah cemburu hingga murka.”
Perkataan Tiara itu seakan mengalir di setiap pembuluh darahnya, mengunjungi seluruh anggota tubuhnya, hingga membawanya ke alam perenungan yang membuatnya menitikkan air mata kembali.
“Yang dikatakan Tiara itu benar. Cinta kepada Allah harus diutamakan daripada cinta kepada siapapun, termasuk diri sendiri,” sahut Salim tiba-tiba masuk ke kamar putih tersebut dibantu satu tongkatnya. “Dan kalau boleh aku jujur, menurutku, cintamu selama ini adalah penyakit,” lanjutnya membuat Aldi tertegun seketika. Tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Cintaku adalah penyakit?
“Yang namanya cinta sejati itu menyembuhkan, tidak menyakiti 3. Bukan seperti yang kamu anggap selama ini. Bukan seperti cinta Romeo kepada Juliet, yang rela meneguk racun demi cintanya pada Juliet yang dikiranya telah meninggal. Cinta sejati itu adalah cinta yang dilandaskan takwa kepada Allah, bukan dilandasi nafsu dan syahwat yang kurasa terjadi selama ini padamu, sehingga kamu rela melakukan apapun demi cintamu itu, walau harus merendahkan martabatmu sendiri, terutama di sisi Allah. Di, Cinta sejati itu tidak menzhalimi. Cinta sejati itu berorientasi ridha ilahi. Dan pecinta sejati adalah orang yang mencintai karena Allah dan Rasul-Nya3.”
Kata-kata Salim tersebut terasa merasuki tubuh Aldi, berlari cepat ke dalam otak dan menerjunkannya ke dalam hati sehingga membuatnya merasa ada getaran-getaran yang mengoncang dalam dirinya. Getaran perenungan, getaran penyesalan, dan getaran tekad membara untuk segera bermetamorfosa. Ya Allah, izinkan hamba bermetamorfosa, memetamorfosa diri, memetamorfosa sikap, dan memetamorfosa cinta hamba untuk-Mu.* * * * *
Catatan :
1. Teks lagu D’Masiv, Cinta Ini Membunuhku
2. Kata-kata diambil dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy
3. Kata-kata diambil dari novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman el Shirazy
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mahfuzh-amin/metamorfosa-cinta/141922865823696
0 komentar: