Cerpen Arief Rahman Heriansyah: Kabut Hitam di Mata Annabelle

07.25 Zian 0 Comments


Musim gugur akan segera berakhir. Udara pada musim ini membuat banyak penduduk menggigil setiap harinya. Pohon citrus di halaman rumah besar itu pun hanya tinggal sedikit yang berwarna merah tua. Rumah itu bertingkat dua. Di sebuah jendela besar lantai atas, seorang gadis kecil masih terpaku mamandangi kepergian ayahnya. Dengan seragam militer lengkap dengan senjata, ayahnya baru saja keluar dari pintu gerbang rumah yang terlampau besar bagi penduduk sekitar. Ada beberapa serdadu mengiringi langkah Ayah gadis kecil itu. Ketika ayahnya hendak masuk ke mobil, para serdadu itu kemudian memberikan hormat lalu mereka ikut masuk ke dalam mobil. Saat mobil yang hanya dimiliki para tentara itu mulai melaju, gadis kecil di jendela itu semakin murung, pipinya merona kemerahan. Dipeluknya erat boneka panda besar hadiah ulang tahunnya yang ke delapan tahun. Hatinya kembali dingin, sedingin cuaca sekarang ini. Khadija, seorang pelayan di rumah besar ini tampak sedang membersihkan debu-debu di dinding rumah yang berarsitektur klasik dan tampak berkelas.

“Khadija, bisakah kau buatkan aku secangkir susu?” Ucap gadis kecil itu polos.
“Baik. Tunggu sebentar, Nona.” Khadija lalu meletakkan pembersih debu dan bergegas menuju ke dapur. Tak lama kemudian ia datang dengan membawa baki dan secangkir susu hangat di atasnya. “Silakan, Nona,” ucapnya ramah sembari tersenyum.
“Terimakasih, Khadija.” Pelayan itu mengangguk hormat seraya bergegas kembali ke belakang.
“Emm… Tunggu!!” Suara gadis kecil itu tertahan.
“Ya, Nona?”
“Maukah kau tetap di sini temani aku? Yaa… rasanya aku sedang kesepian akhir-akhir ini.”
“Baiklah, dengan senang hati Nona,” ucapnya ramah.
“Kemarilah, kau tahu? Aku sangat tidak suka bila ayahku pergi dari rumah ini secara mendadak  tanpa memerhatikan kondisiku sekarang. Kau tahu kan, semenjak kematian Ibunda dua tahun lalu aku jadi suka menyendiri. Dan teman bicaraku hanya Ayah dan kau saja.”
Khadija tersenyum mendengarkan penuturan polos dari majikan muda di hadapannya ini.
“Mungkin Tuan sedang sibuk, Nona.”
“Tapi apakah itu harus setiap hari? Tanpa mempedulikan siang atau malam. Aku paling benci jika para lelaki berseragam aneh itu datang ke rumah ini menjemput Ayah untuk pergi entah kemana, senjata-senjata besar mereka kadang membuat aku takut. Ya ampun! Aku melihat senapan yang sangat besar digantung di dinding kamar Ayah kemarin malam. Kurasa Ayah baru membelinya, soalnya senapan itu masih mengkilap.”
Gadis kecil itu makin bersemangat berseloroh tanpa disadarinya rasa sepi itu hilang dengan sendirinya. Khadija dengan takzim mendengarkannya dengan seksama curahan hati majikannya, walaupun tubuhnya cukup lelah hari ini.
“Baiklah Nona, kurasa sudah waktunya Anda istirahat siang. Tapi sebelumnya Anda harus berendam di bak air hangat dulu, itu baik untuk kesehatan Nona. Aku akan menyiapkannya.”
“Terimakasih, Khadija. Oh, aku lupa! Di mana tempat tinggalmu?”
“Indonesia… Negeri yang indah sekali,” ucapnya kembali tersenyum.
“Wow, bolehkah kapan-kapan aku dan Ayah berkunjung ke sana? Aku ingin sekali menikmati suasana alamnya, pasti sangat menyenangkan bukan?”
“Oh, tentu saja!”
Gadis kecil itu berjalan riang menuju kamarnya. Ia bernama Annabelle. Parasnya sangat mirip dengan Ibunya yang masih keturunan Eropa. Dengan rambut panjang bergelombang berwarna keemasan semakin menambah manis wajahnya. Walau kadang kelakuannya sedikit membuat Khadija harap-harap cemas.
Khadija berjalan pelan menuju dapur untuk membersihkan baki dan gelas bekas majikan mudanya tadi. Pekerjaan rumah hari ini sangat menguras tenaganya, apalagi waktu menyiapkan jamuan untuk pasukan tentara serdadu anak buah tuannya tadi pagi. Tapi semua itu ia lakukan dengan senang hati tanpa mengeluh sedikit pun. Bagaimanapun ia harus betul-betul mengabdi pada majikan yang telah membantu hidupnya selama hampir sepuluh tahun ini. Dan ia tahu betul untuk menghormati adat di negeri orang lain.

***

Angin musim gugur kian menderu-deru tengah malam ini. Tampak dahan pohon citrus bergoyang-goyang karena diterpa angin deras, salah satu ujung dahannya mengetuk-ngetuk jendela besar kamar Khadija, sehingga membuat ia terjaga dari tidur lelapnya. Pada saat yang bersamaan telinga Khadija menangkap bunyi sesuatu yang agak ribut di halaman rumah, ia pikir mungkin Tuan baru datang dari tugasnya. Setelah suara ribut-ribut itu mulai reda diiringi berlalunya dentuman mesin motor, Khadija bangkit dari peraduaan mimpinya menuju ke kamar mandi. Percikkan air dingin membasahi wajah dan anggota tubuhnya yang lain. Ia hamparkan sebuah kain permadani suci. Ia benamkan sujud pasrahnya di hamparan kain itu, sangat khusyuk. Dengan gerakan pelan yang lembut, kesyahduan merasuki sukma raganya sampai ia akhiri sujud sembahnya. Telah terlaksanalah tahajjudnya tengah malam ini.
Ia sadar ada sesosok orang yang memerhatikannya dari tadi. Pintu kamarnya sedikit terbuka, setelah Khadija menoleh memastikan, ia kaget bukan kepalang. Karena yang telah berdiri di situ adalah sosok Annabelle!
“Kenapa kau selalu melakukan itu? Apakah itu semacam gerakan senam?”
Khadija sedikit kaget karena baru kali ini Annabelle bertanya seperti itu, seakan-akan menohok hatinya.
“Nona, kenapa Anda berdiri di situ? Oh, akan saya antarkan Anda ke kamar tidur  sekarang juga.”
“Tidak perlu, Khadija.” Mata Annabelle sembab. Ia berjalan mendekati Khadija yang masih duduk terbungkus dengan pakaian sucinya.
“Aku terbangun karena kedatangan Ayah tadi. Dia langsung tidur tanpa menjenguk anaknya ke kamar terlebih dulu.” Annabelle terisak, namun secepatnya ia seka air mata yang baru ingin keluar dari mata beningnya itu.
“Kemarilah Nona, duduklah di pangkuanku.” Annabelle menurut, dan segera menghambur ke pelukan Khadija.
“Khadija… bisakah kau menjelaskan apa yang sedang kaulakukan tadi?”
Khadija terdiam kaku. Annabelle kembali berseloroh. “Kulihat kau selalu melakukannya setiap hari. Dan, oh… lihat seragammu itu! sungguh lucu karena hanya mukamu saja yang terlihat. Apa kau tidak capek? Ayah tidak pernah mengajarkan hal semacam ini kepadaku.”
Khadija tersenyum mendengar penuturan dari majikan mudanya ini. Hal ini membuat ia jauh dari rasa kantuk. “Anda akan mengerti bila sudah saatnya nanti,Nona” ucapnya lirih.
“Aku tidak mengerti ucapanmu, Khadija.”
“Ini tentang suatu keyakinan manusia di muka bumi ini. Dan semua manusia memiliki keyakinannya masing-masing.”
“Aku semakin tidak mengerti ucapanmu...”
“Maaf, saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi. Tuan akan marah jika mengetahui putrinya berada di kamar pelayannya setinggi malam ini. Nona akan mengerti semuanya bila sudah dewasa, percayalah padaku!”
“Baiklah, aku akan kembali ke kamarku sekarang juga. Selamat malam…” Annabelle bangkit menuju keluar pintu kamar Khadija. Perasaan bersalah menyelimuti hati Khadija. Ia menatap kepergian Annabelle dengan perasaan gamang.
“Oh, satu lagi! Aku lupa… Bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan Nona? Kita berteman baik bukan? Panggil saja aku Anna.”
“Ba..baiklah kalau begitu, Anna.” Khadija menahan suatu perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.

***

Browndr Crealdmeer, salah satu pasukan pimpinan perang sedang memantau keadaan rumah-rumah yang telah hancur berantakan dan selebihnya rata dengan tanah. Dengan senapan panjang yang selalu sedia di kedua tangannya, moncong senjata itu seperti siap memuntahkan isi peluru dengan hanya satu gerakan jari saja. Akhir-akhir ini ia sering kesal karena selalu luput dari pandangan anak-anak yang sering melempari batu-batu ke arah mobil tank besar miliknya. Entah dari mana datangnya, satu kerikil tepat mengenai pelipis kirinya, sehingga membuat ia makin geram pada segerombolan anak-anak sialan itu. Komandan Browndr sering mengumpat-umpat di dalam hati akan kekesalannya pada anak-anak itu. Mereka memang terlalu gesit dan lincah, sehingga selalu luput dari pandangan para tentara sekutu. Komandan Browndr bersumpah akan menguliti mereka habis-habisan bila suatu ketika tertangkap oleh anak buahnya.
Lamunan komandan Browndr buyar seketika saat matanya menangkap sesuatu sosok di seberang sana. Ia memicingkan sebelah matanya untuk memastikan siapa di sana. Tank besar yang dikendarainya terus berjalan mendekati arah yang dituju. Setelah hampir dekat, komandan Browndr baru sadar kalau itu sesosok lelaki tua berjubah kumal. Komandan Browndr langsung memompa selaras senapannya dan bersiap menarik pelatuk ke arah lelaki tua itu. Namun gerakan tangannya terhenti seketika saat melihat lelaki tua itu melakukan gerakan-gerakan aneh, terlihat tersungkur mencium tanah dan duduk, kemudian terlihat mencium tanah kembali. Seketika pikiran komandan Browndr melayang entah kemana. Ia baru ingat kalau gerakan-gerakan lelaki tua itu sama persis dengan yang dilakukan pelayan di rumahnya! Entah kenapa sekujur tubuh komandan Browndr seperti disengat aliran listrik, sehingga membuatnya urung dan menurunkan senapan yang ada di tangannya.
Segerombolan tank yang ukurannya lebih kecil mendekat ke arah komandan Browndr untuk melaporkan bahwa tugas pantauan hari ini selesai dan hari sudah mulai petang. Ia menurut dan memutar kembali jalur menuju jalan lain. Para pasukannya itu tidak mengetahui kalau ia dari tadi sedang mengintai seseorang dari jauh.
Mobil-mobil tank itu melaju pelan membelah jalanan berpasir menuju ke tempatnya masing-masing. Saat di persimpangan jalan, tank besar yang dikendarai Browndr Crealdmeer itu berpisah dengan tank-tank yang lebih kecil menuju ke arah jalur lain. Pada saat itulah tanpa ia sadari sekelompok anak-anak dengan penampilan kumal dan tatapan dingin mengintainya dari belakang. Tank besar itu terus melaju membelah kegelapan malam.

***

“Annabelle..!! Bangun Annabelle..!!!”
Browndr mengguncang tubuh putrinya dengan keras untuk membangunkannya. Antara sadar dan tidak, Annabelle terkejut karena sudah melihat ayahnya di depannya dengan raut muka cemas.
“Ada apa, Ayah?” ucap Annabelle dengan wajah yang masih mengantuk.
“Ikut Ayah! Kita keluar dari rumah ini sekarang juga!”
Annabelle masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Saat mereka berdua berlari melalui pilar-pilar di depan rumah mereka, Annabelle baru sadar kalau rumahnya telah terbakar! Di luar terlihat telah berkumpul para pasukan tentara lengkap dengan tank-tank mereka.
“Oh, tidak. Siapa yang telah melakukan ini semua, Ayah?”
“Para bocah-bocah sialan itu! Rupanya Ayah telah salah karena meremehkan akal busuk mereka. Ayo Nak, kita naik mobil sekarang juga! Untuk sementara waktu kita harus pergi dari sini karena seluruh kota ini telah hangus terbakar.”
Annabelle menurut, dengan tergopoh-gopoh ia berlari kecil menuju ke mobil Ayahnya. Tiba-tiba suatu hal yang hampir terlupakan melesat di pikiran Annabelle.
“Oh.. tidak, Ayah! Tidak!! Kita harus menjemput Khadija. Dia masih di dalam!”
“Tidak ada waktu lagi, sayang. Kita harus mementingkan keselamatan kita. Ayo lekas masuk!”
“Tidak, Ayah! Khadija baik denganku…” Isak Annabelle tertahan.
“Ayah mengerti. Tapi kita tidak mungkin lagi menyelamatkannya karena rumah hampir seluruhnya telah terbakar. Selain itu dia sama memiliki keyakinan dengan musuh-musuh Ayah!”
“Apa? Apa yang Ayah bilang tadi?”
“Sudah, Annabelle! Ayah bilang masuk ke dalam mobil sekarang!!”
Annabelle tidak bisa lagi membantah perkataan Ayahnya. Ia menangis di dalam mobil. Ia cuma bisa mengingat perkataan terakhir yang terlontar dari mulut Khadija.
“Sesungguhnya Tuhan berlaku baik bagi hamba-Nya yang berperilaku baik pula.”
Annabelle semakin hanyut terbawa oleh suasana, tanpa disadari kabut di matanya semakin mengepul. Mobil dan pasukan tank terus melaju meninggalkan kawasan kota yang telah hangus terbakar. Meninggalkan sebuah kenangan pahit yang takkan kunjung selesai.[ ]

Penjara Suci, 25 Nopember 2010

Sumber:
Forum Pena Pesantren. 2011. Tembok Suci. Banjarbaru: Mingguraya Press
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2013/01/kabut-hitam-di-mata-annabelle.html

0 komentar: