Cerpen Arief Rahman Heriansyah: Pelangi di Kehidupanku

07.31 Zian 0 Comments

Mata itu masih memperhatikan dengan lekat langit buram yang terus bergeming. Gusar. Matanya menatap nanar ke atas sana. Seperti mengharapkan sesuatu. Hujan lebat yang barusan mengguyur tempatnya berpijak mulai tampak reda sehingga membuat perkebunan teh ini sejuk dan cocok untuk ia menyendiri. Tangannya masih memeluk kedua lutut kakinya yang lembab karena sedikit becek. Ia mendesah perlahan, karena yang diharapkan tak kunjung tiba.
“Kumohon datanglah... Datanglah...! Aku ingin melihatnya.”
Bibirnya bergumam kecil. Bergetar mengucapkan kalimat tadi. Udara sore yang dingin semakin membuatnya menggigil. Ia terus memerhatikan langit kelam yang tak bereaksi apa-apa. Matanya bergejolak, berkaca-kaca. Tulus berharap tak pernah bertepi. Penantian akan sesuatu yang mustahil. Tapi tidak baginya.
“Dawiah...”

Suara itu menyadarkan lamunannya. Secepatnya ia menyeka air matanya yang hampir jatuh lalu menoleh ke sumber suara. Pak Rahman. Salah satu tukang kebun di perkebunan teh ini.
Lelaki tua itu merasa iba menatap gadis kecil di hadapannya. Gadis yang masih belia, namun sudah cukup dewasa karena banyak cobaan hidup yang tak henti-henti menerpanya. Pak Rahman mencoba untuk tersenyum, walaupun pahit.
“Kamu dari tadi melamun terus, Nak. Apa ada masalah lagi di sekolahmu?” tanya lelaki itu lembut.
Dawiah terdiam, kemudian menggeleng perlahan, lalu kembali menoleh ke atas sana, ke langit kelam. Pak Rahman tersenyum getir. Ia tahu betul bagaimana Dawiah. Seorang gadis lugu yang cerdas. Seorang gadis yang selalu membanggakan orang tuanya. Seorang gadis kecil yang berusaha untuk tegar walau dengan keterbatasan hidup.
“Udara di sini semakin dingin. Kamu sebaiknya segera pulang ke rumah sebelum sakit. Bapakmu sepertinya sebentar lagi juga akan pulang.”
Dawiah tak bereaksi sedikit pun. Tetap memandang ke atas sana. Pak Rahman mendesah pelan. Merasa tidak berhasil membuat Dawiah bicara, ia pun menjauh sambil membawa cangkul yang selalu dipapah di pundak tuanya.
Dawiah tetap membisu. Bagaimanapun ia takkan pernah lupa kejadian di sekolahnya pagi tadi.

***

“Eh, orang kampung!”
Dawiah yang sedang menulis kaget. Pulpen yang berirama di bukunya terhenti seketika. Ia gelisah. Ia tahu kejadian seperti ini pasti akan terjadi.
Stephani mendekat, dibuntuti kedua temannya di belakang.
Brak!!!
Tangan kasar Stephani menghantam meja tepat di depan Dawiah. Matanya melotot seperti hampir keluar. Meski begitu, Stephani tetap saja terlihat cantik.
“Lu ini belagu banget ya! Jangan mentang-mentang lu dapat beasiswa di SMP elit ini, lu bisa seenaknya merebut perhatian guru-guru di sini!”
Dawiah terperangah. Tidak tahu harus berbuat apa.
“A... aku tak mengerti apa maksudmu, Stephani...”
Suara Dawiah terdengar gugup. Pasrah oleh keadaan.
“Heh, lu ini bego ya! Lu lahir di mana sih?! Maksud gue, pagi tadi lu pinter banget merebut perhatian Bu Aida berkat nilai tugas matematika lu. Asal tau aja, gue gak suka itu!”
Tiba-tiba tangan Stephani refleks menjambak rambut kusut Dawiah. Nabila, gadis berkerudung teman sebangku Dawiah kaget dan panik.
“A... ampun Stephani.” Dawiah tercekat. Ia meringis kesakitan. Tak ayal, air matanya bercucuran begitu saja. Stephani tetap bersikukuh, tangannya masih mencengkram rambut Dawiah.
“Lepaskan Stephani...! Kasihani Dawiah!” Nabila berusaha membela, namun upayanya tak berhasil.
Suasana di kelas tegang. Semua mata kini tertuju pada Dawiah dan Stephani. Mereka berkeinginan melerai pertikaian itu, tapi mengingat Stephani anak pemilik sekolah, mereka tak mau mengambil resiko. Kini Nabilalah satu-satunya orang yang mau bertindak.
“Stephani, Bu Aida datang!!” Terdengar teriakan Ricka dari depan pintu.
Cengkraman Stephani semakin kuat.
“Aaaa....” pekik Dawiah tertahan. Ia semakin ketakutan.
“Ingat ya, kalau lu sekali lagi macam-macam, lu tau sendiri kan akibatnya?! Lu tau kan bokap gue, apa lu mau dikeluarkan dari sekolah ini hah?!”
Dawiah menggeleng cepat. Dengan kasar Stephani melepaskan cengkramannya, seiring kedatangan Bu Aida. Stephani menjauh dengan tatapan sinis, tetap dibuntuti kedua temannya Ricka dan Viera di belakang.
Dawiah lega. Ia tertunduk. Segera ia seka air matanya. Nabila menghibur sambil mengelus lembut pundak Dawiah. Begitu Bu Aida masuk kelas, suasana hening seketika.

***

Lamunan Dawiah buyar. Ia terkesiap ketika bola matanya memantulkan cahaya. Cahaya yang bergerak membentuk gumpalan warna. Dawiah bangkit berdiri. Matanya menatap tajam ke atas sana. Senyumnya makin merekah saat cahaya itu mendekati sempurna.
“Ia datang!” pekik Dawiah riang.
Di atas sana, membentang cahaya yang membentuk jembatan nirwana. Cahaya itu kokoh bagai bintang kejora yang sinarnya berpendar-pendar, memancarkan tujuh warna kehidupan.
“Terima kasih...” ucap Dawiah lirih.
Hatinya amat berbunga-bunga. Lebih berbunga dari pujian Bu Aida akan nilai matematikanya yang tertinggi di kelas. Lebih berbunga-bunga dari pujian bapaknya akan peringkat pertama yang diraihnya waktu semester ganjil lalu. Senyum di bibirnya makin mengembang.
Tak jauh dari sana, Pak Rahman turut memerhatikan tingkah polah Dawiah dari jauh. Ia turut senang melihat Dawiah tersenyum manis. Senyum yang terlihat jarang semenjak Dawiah sekolah di SMP swasta itu.
Mata sendunya ikut takjub melihat pelangi indah yang memancarkan warna bagaikan kristal menyala-nyala. Ya, cahaya itu sangat kokoh. Sulit untuk dilukiskan akan keindahannya. Tak heran kalau Dawiah sangat menyukainya.
Sore ini angin sangat lembut dan dingin. Lambaiannya membelai-belai rambut Dawiah. Matanya masih bergeming, menatap ke atas sana. Senyumnya tetap terjaga. Di sekitar ia berdiri, dua ekor capung mengitarinya dengan tarian yang sangat elok. Salah satunya lalu hinggap di kelopak bunga seroja yang hampir merekah.

Kau tebarkan keindahan di kaki langit
Keindahan fatamorgana langit biru
Memancarkan tujuh warna kehidupan
Bak bidadari turun dari khayangan

***

Malam mengitari bumi dengan membawa ketenangan. Tak lupa pula bulan dan bintang ikut menghiasi tirai langit malam. Awan gelap bergumpal-gumpal, semakin menutupi bulan yang hampir purnama.
Di sebuah rumah mewah dilapisi beton bertingkat serta arsitektur hebat lainnya. Suasana rumah itu tampak sunyi dan tenang.
Stephani belum bisa memejamkan matanya. Diraihnya boneka beruang besar hadiah dari papanya di waktu ulang tahunnya yang kesebelas dulu. Wajahnya tampak kesal. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Dawiah anak kampung itu bisa lebih pintar dan hebat darinya. Yang membuatnya lebih geram ialah Dawiah juga pintar menarik perhatian guru-guru, terutama Bu Aida. Apalagi ketika Dawiah menyandang predikat juara satu waktu semester ganjil dulu. Bukan main panasnya Stephani. Semua orang mengucapkan selamat kepada Dawiah, tak terkecuali Bu Aida. Hati Stephani makin membara waktu itu.
Padahal Stephani juga bintang di kelas. Selain cantik dan kaya, ia juga cerdas, namun kecerdasannya selalu di bawah Dawiah. Stephani harus puas dengan peringkat dua. Padahal di SD dia selalu juara pertama.
Tok... tok...
Stephani kaget. Ia menoleh ke arah pintu kamarnya. Lalu kembali membenamkan separuh wajahnya ke boneka kesayangannya.
“Stephani sayang, Papa boleh masuk?”
“Masuk aja, nggak dikunci kok.”
Pak Darmawan masuk dengan senyum di bibirnya. Tampak setelan kemeja dilapisi jas warna abu-abu masih melekat di badannya, pertanda Pak Darmawan baru saja pulang kerja.
“Sudah larut malam. Kamu belum tidur Stephani?”
Stephani tidak menjawab pertanyan ayahnya tapi malah balik bertanya.
“Mama mana, Pa?”
Pak Darmawan terdiam. Petanyaan itu bagaikan panah yang tepat menghujam hatinya. Bagaimanapun pertanyaan itu polos keluar dari mulut putri semata wayangnya. Ia masih ingat kejadian siang tadi. Ya, siang tadi! Ia melihat Veronika, istrinya masuk ke mobil pria lain. Kejadian itu cuma sekilas di mata Darmawan, tapi terlalu perih untuk ia rasakan.
Bagaimanapun Stephani masih gadis kecil yang lugu, yang tidak mengerti problematika orang dewasa. Mana mungkin ia menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Mama masih sibuk kerja, sayang...” Suara Pak Darmawan terdengar parau dan kaku. Ia merasa iba melihat wajah putrinya.
Stephani cuma diam menanggapi jawaban dari ayahnya. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela sana. Masih tampak segerombolan bintang memancarkan kelap-kelipnya. Seandainya papa tahu, kalau hati Stephani sekarang sedang gusar.
Pak Darmawan tak nyaman dengan suasana seperti ini. Dengan cepat ia mengalihkan pembicaraan.
“Anak papa dari tadi cemberut terus. Apa ada masalah denganmu?”
Hati Stephani yang tadinya kosong tiba-tiba membara kembali. Ia cepat teringat kepada kekesalan yang terus menghantuinya akhir-akhir ini.
“Dawiah, Pa! Siapa lagi kalau bukan Dawiah!!”
“Loh, Dawiah anak kampung Waruyan itu kan? Memang Dawiah punya salah sama kamu?”
“Nggak sih, Pa... Cuman Stephani kesal aja. Dawiah lebih pinter dari Stephani sih...”
Darmawan tertawa lebar. Stephani semakin cemberut.
“Papa gimana sih?! Bukannya membela, eh... malah tertawa!”
“Stephani sayang, itu namanya bukan Dawiah yang salah, tapi Stephani saja yang iri. Kamu semestinya bersyukur bila mempunyai teman yang pandai seperti Dawiah. Kamu bisa banyak belajar dari dia. Bukannya malah memusuhi dia. Ya... kalau kamu masih peringkat dua, berarti kamu harus meningkatkan belajarmu lagi.”
“Loh, tapi Stephani belajarnya rajin kok pa!”
Pak Darmawan kembali tersenyum.
“Papa tahu persis siapa Dawiah dan keadaan ekonominya. Dan papa juga tau kalau anak Papa belajarnya rajin. Mungkin karena faktor lingkungan dan keadaan saja Dawiah lebih fokus belajarnya.”
Stephani terdiam, mencoba mencerna nasehat ayahnya dengan bijak.
“Coba bayangkan sayang, kalau seandainya kamu jadi Dawiah. Tidak salah apa-apa tapi dimusuhi orang, perasaanmu seperti apa jadinya? Kamu paham maksud papa sayang?”
Stephani mengangguk pelan. Ayahnya benar. Selama ini Stephani selalu menganggap Dawiah sebagai musuh besarnya, padahal Dawiah tidak pernah sama sekali menyakiti ataupun mnganggap Stephani musuhnya. Bahkan saat Stephani kehilangan HP, Dawiahlah yang pertmama kali ia tuduh. Tapi setelah itu Viera menemukan hapenya tertinggal di kantin. Stephani baru ingat kalau ia meninggalkan HP-nya di sana. Tapi ia bersikukuh tak ingin meminta maaf pada Dawiah.
Ah, jahat sekali aku ini. Gumam Stephani.
“Kenapa sayang, kamu kok melamun?”
“Nggak papa kok, Pa.”
“Sudah larut malam. Kamu sebaiknya tidur sekarang ya. Besok pagi kamu sudah harus berangkat ke sekolah.”
Stephani mengangguk sembari tersenyum pada ayahnya. Lalu merebahkan dirinya di kasur. Pak Darmawan keluar, setelah sebelumnya ia kecup kening anaknya.
“Mimpi indah ya, sayang...” bisiknya di telinga Stephani.
Tak bisa dipungkiri, Pak Darmawan sangat mencintai putri semata wayangnya. Putrinya yang menginjak masa remaja, cantik sepeti ibunya. Walaupun istrinya sekarang acuh tak acuh kepada dirinya dan Stephani.

***

Malam kian merambat dingin. Bulan yang tadi hampir redup kini perlahan kembali memancarkan cahanya.
Dawiah terbelenggu di teras rumahnya. Di pandanginya awan-awan hitam yang bergerak melindungi separuh sang bulan serta bintang-bintang yang berkalap-kelip memamerkan keelokannya. Dawiah tersenyum.
“Wahai bintang yang setiap hari menemaniku di setiap malam. Walaupun aku disini selalu kesepian, tapi bila melihat pancaranmu, aku seperti ditemani dari kesendirianku yang mencekam.”

***

Dawiah terjaga dari tidurnya saat suara gaduh itu membangunkannya. Dawiah mengucek kedua matanya, lalu bangkit dari rebahnya mencari ke arah sumber suara berisik itu.
Suara ketokan palu itu semakin jelas seiring langkah kaki Dawiah mendekati pintu belakang rumah reotnya. Sesaat ia bingung ketika mendapati bapaknya sibuk mengerjakan sesuatu.
“Abah sedang buat apa?”
Suara ketokan palu itu tetap berdendang.
“Abah lagi buat jukung. Kebetulan air sungai sekarang sedang surut. Sangat pas untuk abah melunta cari ikan. Kata amang Rahman ikan haruannya besar-besar. “
Dawiah manggut-manggut mendengar penjelasan bapaknya barusan. Tapi sekarang ia semakin bimbang. Ada satu hal yang ingin diutarakannya. Ia tak ingin menundanya lagi. Tapi mungkinkah bapaknya akan...
“A... Abah punya uang?”
Ketukan palu itu tiba-tiba terhenti. Lama bapaknya menatap Dawiah.
“Anu, u... ulun mau bayar ulangan semeser akhir. Kalau tidak bayar, nanti ulun tidak bisa ikut ulangan.”
Suara Dawiah tercekat. Perasaan gugup mulai menghinggapinya.
“Lah, bukannya kamu sekolah di SMP itu gratis?”
“Iya, tapi itu cuma SPPnya saja. Kalau ulangannya tetap harus bayar.”
Bapaknya mendesah. Raut mukanya sulit untuk diartikan. Palu yang tadinya bekerja kini tergeletak begitu saja. Lama bapaknya berpikir keras.
“Galuh.... galuh.... Memang kamu perlu uangnya berapa?”
“Tiga puluh lima ribu. Tapi kalau Abah belum punya uang, tidak papa. Dawiah bisa ngutang sama Nabila.”
“Jangan biasakan berhutang galuh. Abah masih punya uang, walaupun itu untuk membayar tagihan listrik dan ledeng. Tapi... ya sudahlah.Tunggu di sini sebentar.”
Lelaki tua itu bangkit menuju ke kamar dalam. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa uang lusuh.
“Ini uang untuk bayar ulangan kamu, ambillah!”
“Tapi Bah, ini kan untuk bayar tagiah listrik dan ledeng rumah kita.”
“Sudah... ambillah. Abah sadar, walaupun abah bodoh, anak Abah harus pintar. Kamu kalau besar harus jadi orang hebat. Jangan sampai seperti Abah. Bahagiakanlah orang tua!”
Dawiah ragu untuk menerima uang itu. Melihat senyum bapaknya, Dawiah jadi tak tega.
“Terima kasih Abah! Dawiah janji akan belajar rajin-rajin biar Dawiah bisa rangking satu lagi.”
“Ya sudah, kamu cepat mandi dan salat subuh. Ada ubi kayu abah siapkan di padu, masih hangat. Makanlah sebelum kamu berangkat sekolah.”
Dawiah manggut-manggut sembari tersenyum manis kepada abahnya. Hatinya sekarang lega. Bukan hal ini saja yang membuat hatinya terasa plong. Tapi senyumnya merekah saat melihat hujan lebat turun dengan berirama deras. Entah kenapa ia tersenyum menyaksikan guyuran hujan lebat itu.

***

Dua bulan kemudian.
Musim penghujan belum berakhir. Sampai sekarang pun desa Waruyan masih sering diguyuri hujan lebat.
Hujan tampak mereda ketika matahari mulai memperlihatkan keperkasaannya. Walaupun keadaan hari sudah bisa dikatakan siang, awan mendung masih saja menutupi akan keindahan langit biru.
Dawiah melangkah ringan menelusuri jalalan
setapak perkebunan menuju ke rumahnya sambil menenteng buku besar berwarna biru. Senyumnya terlihat mengembang. Hatinya sudah tak sabar ingin melimpahkan seluruh kegembiraannya kepada Abah.
Ya, Dawiah kembali meraih prestasi juara satu pada semester ini. Seperti semester kemarin, Stephani harus puas dengan peringkat kedua. Tapi anehnya Stephani tidak marah sama sekali, malah sempat memberi ucapan selamat kepada Dawiah.
Saat pekarangan rumahnya mulai terilhat, tak jauh dari pintu depan Pak Rahman duduk di bangku panjang dengan muka cemas. Tapi sontak ia bangkit dari duduknya ketika mengetahui Dawiah datang dengan tiba-tiba.
“Assalamualaikum Amang Rahman. Kenapa diam di situ? Masuk rumah saja,” Dawiah menyapa lelaki tua itu dengan wajah berbinar-binar. Belum sempat Pak Rahman menjawab, Dawiah keburu masuk ke dalam rumahnya serayaberteriak lepas.
“Assalamualaikum Abah!” Tak ada jawaban dari dalam rumah.
“Abah?!” Hening.
“Dawiah!” Suara keras itu membuat Dawiah repleks berpaling ke belakang. Pak Rahman berdiri di ambang pintu dengan sorot mata yang sulit diungkapkan.
“Bapak kamu di rumah sakit! Penyakit TBC beliau kambuh lagi…” Suara Pak Rahman terdengar serak namun pasti.
Dawiah ternganga. Seluruh persendiannya terasa kaku. Tanpa ia sadari raport merah yang berada di genggamannya terlepas perlahan. Hatinya terasa gemuruh.
Dawiah seakan berlari tak tentu arah. Menghujam serapah akan takdirnya sendiri. Mengapa….. Mengapa di saat ia dengan bangganya menunjukkan prestasinya, musibahitu datang dengan tiba-tiba. Ia tak ingin kebahagiaan itu datang bersamaan dengan kepedihan. Kepedihan yang telah merenggut nyawa ibunya dan Rafiqah
Rafiqah?
Dawiah mempunyai saudara kembar bernama Rafiqah. Tak lama setelah melahirkan Dawiah dan Rafiqah, nyawa ibunya tak bisa tertolong. Sedangkan Rafiqah sempat menghirup udara luar. Tapi sebulan kemudian Rafiqah menyusul ibunya karena gangguan saluran
pernapasan. Sungguh tragis! Beruntung Dawiah tidak mempunyai nasib serupa dengan saudara kembarnya. Tapi cuma bapaknya lah yang cuma satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Dan sekarang, Dawiah tidak mau bapaknya mengalami hal serupa seperti ibunya maupun saudara kembarnya. Dawiah tak ingin lagi keterpurukan akan kesendirian terus-terusan mencekamnya. Satu hal yang harus ditekankan. Dawiah sangat benci sendirian.
Padahal Dawiah tidak tahu, di langit sekarang menjulang cahaya kristal itu. Cahaya kehidupan yang selalu menemani Dawiah di saat ia sedih. Tapi cahayanya itu lama-kelamaan meredup! Seiring datangnya kabut senja berlapis kekecewaan. Sangat kontras dengan perasaan Dawiah sekarang.

wahai kau Tuhan yang agung
yang menciptakan alam semesta ini
mengapa pelangiku tak kunjung datang?
aku mohon, aku ingin melihatnya sekali lagi
agar aku bisa tetap hidup
meresapi warna di remang kehidupan
nirwana sanubariku

***

“Nabila Hafizah?”
“Hadir, Bu.”
“Oppie Oktaviana?”
“Hadir, Bu!”
“Rabiatul Adawiah?” Hening. Tak ada jawaban.
Pandangan Bu Aida menyapu ke seluruh penjuru kelas. Keningnya berkerut. Hatinya bertanya-tanya ada apa gerangan dengan murid teladan ini, sehingga dia tidak biasanya absen di kelas?
“Anu, Bu,” seorang murid memecah keheningan. Murid itu adalah Nabila.
“Dawiah menjaga bapaknya di rumah sakit. Kabarnya penyakit TBC bapaknya kambuh lagi.”
Fuuh… Hembusan angin dari ventilasi kelas menyapa. Bu Aida menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya.
“Anak-anak, Ibu mau ke ruang kepala sekolah sebentar membicarkan perihal ini. Kalian harap tenang!” Tegas Bu Aida sembari berlalu meninggalkan ruang kelas. Spontan Stephani bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju ke muka kelas. Yang lain bingung dan saling berbisik-bisik.
“Eham, teman-teman. Sekarang kita sudah tahu kalau Dawiah lagi mendapat musibah. Maka dari itu alangkah baiknya kita menyisihkan uang jajan untuk keperluan biaya pengobatan bapaknya Dawiah.”
Semua penghuni kelas melongo. Seakan takpercaya apa yang diucapkan Stephani barusan. Saking kagetnya bahkan ada yang menduga-duga kalau Stepahani kerasukan malaikat. Tidak terkecuali Nabila. Ia masih heran dengan tingkah Stephani pagi ini. Tidak seperti biasanya! Namun secapatnya ia tepis perasaan aneh itu. Sekarang tampak jelas sebuah senyuman manis tersungging di bibirnya.[]
Ketika kepergian menyisakan luka di dalam tahta hati yang karam, Pelangiku akan menjemputku dari pekatnya malam temaram. Mengungkap semua kenangan di masa lampau. Yang masih tersimpan rapi di dalam kotak sejuta impian .

Amuntai, 1 Desember 2009

Sumber:
Buletin Literasi Edisi 5
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2010/03/pelangi-di-kehidupanku.html

0 komentar: