Cerpen Lis Maulina: Usai Ijab Kabul
PENGANTIN wanita pingsan beberapa menit usai ijab kabul. Suasana berubah seketika. Mulanya kebahagiaan dan kemeriahan meliputi. Menjelang ijab kabul, keheningan menyebarkan kesakralan sekaligus ketegangan. Saat ijab kabul berjalan lancar, kelegaan penuh rasa syukur menyembur. Namun kemudian berubah heboh oleh kepanikan bercampur kecemasan."Ambilkan minyak angin!"
"Aduh, jangan bergerombol di kamar! Beri Aida ruang agar bisa bernafas dengan leluasa!"
"Bawa kipas anginnya ke kamar. Dia kegerahan."
Hampir aku berdiri. Tapi sebuah tangan menahan lututku sehingga tak bisa membongkar sila.
"Kamu di sini saja!" bisik Julak Imad.
"Benar," ujar Pak Basri, lelaki setengah baya yang baru saja resmi jadi mertuaku. "Sudah banyak orang yang mengurus Aida."
Aku menurut. Berusaha mengikuti kelanjutan prosesi pernikahan dengan hikmat. Namun, aku tak bisa menulikan telinga dari berbagai komentar yang dilontarkan di sela hiruk-pikuk. Tidak mengherankan, karena kejadian pengantin pingsan usai ijab kabul memang bukan peristiwa biasa. Banyak spekulasi mengenai penyebabnya. Hampir semua bernada miring, semakin memantapkan kegalauan yang sempat kurasakan menjelang pernikahan kami.
Sebenarnya kasak-kusuk ini sudah seminggu menghantuiku. Tepatnya, sejak kepulanganku ke kampung halaman untuk menyunting Aida. Gosip mengatakan Aida terpaksa menerima lamaranku. Soalnya, dia tidak tahan terus didesak keluarga dan digunjing tetangga karena umurnya sudah melewati usia ideal seorang wanita desa untuk menikah. Padahal sesungguhnya Aida sudah memiliki pria yang dicintainya.
Aku tak percaya desas-desus itu begitu saja. Memang dalam proses lamar-melamar, aku tidak terlibat langsung. Saat Bunda memintaku menikah, aku setuju karena memang sudah lama berniat menggenapkan dien setelah memperoleh pekerjaan yang cukup mapan. Begitu pula ketika Bunda mengajukan nama calonnya, 'Aida', aku juga tidak memerlukan waktu panjang untuk mempertimbangkan. Aku sudah mengenal Aida. Kami tetangga kampung. Bahkan sempat jadi teman sepermainan ketika masih kanak-kanak.
Menjelang remaja, kami menapaki hidup masing-masing. Setelah Ayah meninggal, Bunda menitipkanku pada Julak Imad, saudara tertuanya yang tinggal di kota. Sementara kabarnya, Aida melanjutkan kuliah ke Jawa.
Beberapa kali kami sempat bertemu. Biasanya menjelang Idul Fitri, karena aku selalu menghabiskannya bersama Bunda dan adik-adikku di kampung. Tapi kami sebatas saling sapa dan bertukar salam saat berpapasan di masjid atau ketika bersilaturrahmi Idul Fitri.
Kemudian kesibukan kerja membuatku semakin jarang pulang kampung. Akhir-akhir ini aku lebih sering meminta Bunda dan adik-adik yang datang berkunjung. Bahkan tawaran pernikahan itupun diajukan Bunda ketika mereka menghabiskan liburan Idul Fitri di rumah kreditanku.
"Bagaimana dengan Aida Zuraida?" ujar Bunda waktu itu. "Kalau kau setuju, Bunda ingin dia menjadi menantu Bunda."
Aida Zuraida? Aku tercenung. Aku tahu siapa yang dimaksud, karena hanya satu Aida yang kami kenal. Kucoba membongkar kembali bayangan gadis itu di memoriku. Wajahnya cukup manis. Dia juga ramah dan sopan. Sedikit pemalu dan agak pendiam. Namun sebenarnya dia pintar dan cerdas. Kelebihan itu sudah terlihat sejak dia kanak-kanak.
"Saya setuju sekali, Bang. Kak Aida orangnya baik," cetus Abizar, adikku ikut nyeletuk.
"Saya sependapat. Kak Aida terlihat makin dewasa sejak kematian mamanya. Semua urusan rumah tangga sekarang berada di pundaknya, sementara dia juga tetap aktif mengajar anak-anak tsanawiyah." Isna, adik bungsuku ikut mendukung.
Karena mereka sepakat, aku mengangguk setuju. Lagipula, setahuku sejak lulus kuliah, Aida mengubah penampilannya dengan berjilbab. Meski kadang masih dipadu kemeja longgar dan jeans baggy. Dia juga cukup aktif ke mesjid. Bagiku kenyataan itu sudah cukup untuk memberikannya nilai positif. Ditambah lagi kebulatan pendapat keluargaku.
Ternyata prosesnya berjalan mulus, meski aku tidak ikut acara lamaran karena kesibukan kerja yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi aku sempat mendengar persetujuan langsung Aida melalui telepon. Sebelumnya, aku bicara dengan ayahnya, menyampaikan maaf atas ketidakhadiranku. Ayahnya pun memaklumi dan menganggapnya bukan masalah penting.
Maka disusunlah rencana pernikahan. Kedua pihak keluarga berembuk masalah waktu dan tetek-bengek lainnya, berusaha menyesuaikan dengan jadwal kerjaku di kantor sehingga bisa mengajukan permohonan cuti tanpa hambatan. Namun ketika aku pulang ke kampung untuk acara sakral yang telah direncanakan secara matang itu, hembusan kabar burung sampai ke telingaku. Bukan kabar menyenangkan sehingga bukan saja membuat wajahku merah, tapi juga mengacak-acak kemantapan dalam hatiku.
Aku bertanya pada Bunda. Secara jujur beliau mengakui ada kemungkinan gosip itu bukan sekedar isapan jempol.
"Sekitar dua tahun lalu, memang ada lelaki yang kerap mengunjungi Aida. Tidak jelas apakah mereka pacaran atau sekedar teman biasa. Bahkan keluarganya pun tidak tahu pasti sejauh mana hubungan mereka karena Aida tidak pernah membicarakannya secara terbuka," tutur Bunda. "Tapi lelaki itu tidak pernah datang lagi. Juga tidak jelas apa sebabnya. Apakah mereka putus atau belum. Karena Aida juga tidak cerita. Sejak itu, dia tidak pernah terlihat dekat dengan lelaki manapun."
Bunda memintaku untuk tidak terlalu merisaukan masalah itu. Aku tahu, karena pernikahan kami semakin dekat. Apapun yang terjadi, aku tak mungkin mundur lagi. Tapi tetap saja kenyataan ini membuatku ragu melangkah. Bagaimana mungkin aku bisa tenang menikahi wanita yang menyimpan lelaki lain di hatinya? Bagaimana mungkin aku bisa hidup bersama sebagai suami istri dengan wanita yang mencintai pria lain?
***
"APA kita akan menginap di sini? Kasihan pengantinnya kalau kita tidak pulang-pulang!" ujar Pak Erwin, ketua RT yang ikut rombongan pengantin pria.
Gurauannya disambut gelak tawa dan kerlingan nakal tamu-tamu lain.
"Iya, katanya istrimu juga sudah baikan," cetus Julak Imad.
"Akan semakin baikan lagi setelah dipijitin suami."
Suasana jadi riuh-rendah. Aku hanya bisa menanggapi candaan mereka dengan senyum getir. Berusaha menutupi kekhawatiran akan kemungkinan malam pengantin kami tidak berjalan semanis yang mereka bayangkan.
Satu persatu tamu pamit, termasuk keluarga dekatku. Tinggal beberapa keluarga dan tetangga dekat Aida yang membantu membereskan remah-remah pesta. Sementara aku digiring ke depan kamar pengantin dan ditinggalkan di depan sambil terus digoda.
Agak ragu, aku mengetuk pintu. "Assalamualaikum...!"
"Waalaikumsalam!" Terdengar sahutan lemah. "Pintu tidak dikunci."
Aku masuk dengan langkah berat. Kulihat Aida berbaring di ranjang pengantin yang penuh hiasan. Pakaian dan aksesoris pengantinnya sudah dilepas, tinggal mengenakan pakaian rumah sederhana. Kontras dengan kondisi kamar yang ditata sedemikian rupa layaknya kamar pengantin.
"Jangan, tidak perlu bangun!" Aku buru-buru mencegah Aida yang mencoba bangkit.
Aku menghampiri, duduk di tepi ranjang. Kupandangi wajah Aida yang pucat pasi. Tak ada sisa-sisa riasan di wajahnya. Rambutnya yang melebihi bahu pun tergerai begitu saja. Tapi bagiku, tetap terlihat lebih cantik dari bayanganku semula. Tapi... ah... apa gunanya istri cantik bila...
"Maafkan Aida, Bang!" Suaranya lirih.
"Maaf? Untuk apa?" tanyaku penuh debar.
"Karena merusak suasana pernikahan kita. Maaf, itu karena Aida terlalu tegang sampai lupa makan."
Aku memandang wajah cantiknya. "Apakah hanya karena itu?"
Kening Aida berkerut. "Maksud Bang Ihsan?"
"Apakah hanya itu yang membuatmu pingsan? Hanya karena tegang dan lupa makan? Apa bukan karena sebab lain? Karena tertekan misalnya--- tertekan karena terpaksa menerima lelaki yang tidak kau cintai menjadi suami, sementara sebenarnya kau mencintai lelaki lain?"
"Bang Ihsan!" Aida terbelalak. Wajahnya semakin pias. Bibirnya bergetar. "Gosip murahan itu... Abang juga mendengarnya? Abang... Bang Ihsan mempercayainya?"
Aku menghela nafas. Terbersit rasa sesal dalam hatiku. Mengapa aku harus mengungkapkannya sekarang? Bukankah Aida sedang tidak sehat? Kenapa aku malah makin merusak suasana malam pengantin yang sudah keruh? Mengapa aku tidak menunggunya jernih dulu? Tapi sungguh, aku tak bisa menahannya. Kegalauan itu benar-benar menghantuiku.
"Memang, bukan hanya ketegangan dan lupa makan yang membuat Aida pingsan. Memang benar, itu juga karena Aida merasa sedih. Sangat sedih. Namun penyebabnya bukan seperti yang mereka kira," tutur Aida dengan suara bergetar. "Akhir-akhir ini Aida ingat almarhumah Mama. Aida sedih, di saat yang paling bersejarah dalam hidup Aida, justru orang yang paling Aida kasihi itu tidak bisa hadir mendampingi. Dan tadi, entah mengapa, seolah Aida melihat sosok Mama ikut hadir, menyaksikan prosesi ijab kabul. Aida begitu terharu dan ingin meraihnya. Dan ketika itulah, Aida kemudian hilang kesadaran."
Aku tertegun. Rasa bersalah semakin mendera. Terlebih melihat mata Aida mulai berkaca. Bibirnya bergetar hebat. Nyata benar dia tengah membendung tangis dalam dadanya. Duh, kenapa pula aku harus membuat pengantinku menangis di saat malam bersejarah kami?
Aida menelan ludah. Tangisnya urung tumpah. Agaknya, usaha kerasnya membendung air bah di matanya tidak sia-sia.
"Namun, harus Aida akui, Aida pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu. Meski berjilbab, Aida tetap melakukan hal yang dilarang agama. Aida pernah terbius cinta fatamorgana penuh warna, sehingga lupa bahwa pacaran adalah perbuatan mendekati zina. Bagaimana tidak, cinta itu begitu indah tampaknya, begitu memabukkan sehingga merenggut hampir seluruh kesadaran. Tapi syukurlah, dengan cara-Nya sendiri, Allah kemudian mengeluarkan Aida dari keremangan sebelum terlanjur terperosok jauh dalam kegelapan. Cahaya hidayah itu menyadarkan Aida, betapa cinta-Nya lebih indah dari segala cinta dunia yang ada."
Aku kembali tertegun. Jadi benar, Aida pernah mencintai pria lain? Tiba-tiba bara itu memercik lagi. Apalagi kulihat Aida menuturkannya dengan tenang. Berbeda dengan penuturan pertamanya yang penuh getar.
"Pria itu..." Tenggorokanku tercekat rasa cemburu. "Kau mencintainya?"
"Itu masa lalu, Bang. Sungguh, Aida sama sekali tidak merasa bangga mengenangnya! Bahkan sebaliknya, Aida malu. Kadang juga takut. Takut dosa masa lalu itu tak terampunkan meski Aida sudah bertobat." Suara Aida kembali serak.
"Kenapa kau menerimaku? Apakah untuk melupakan masa lalu itu?" Aku tak bisa menyembunyikan kesinisan dalam suaraku.
Aida memejamkan mata. Mengumpulkan udara dalam dadanya, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan.
"Pengalaman sudah mengajarkan, cinta pada makhluk itu fana. Lalu mengapa tidak mencoba meraih cinta abadi dari Sang Maha Pecinta? Caranya adalah melakukan segala yang diperintahkan-Nya demi mendapatkan ridho-Nya. Demi cinta-Nya pula, Aida menerima lamaran Bang Ilham melalui Ibu Baedah. Karena sebelumnya, Aida sudah mempertimbangkannya melalui istikharah. Apa menurut Abang itu salah?"
Aku tergugu. Tutur katanya melantun tenang, setenang matanya yang bening bak telaga tanpa riak. Tak terlihat kemarahan, atau rasa tersinggung di sana.
Astaghfirullah...! Tiba-tiba aku tersadar. Setan telah berhasil menghembus was-was melalui rasa cemburu dan curiga ke dalam hatiku. Bukankah semula niatku menikahi Aida juga demi menggenapi dien agar hidupku semakin diridhoi-Nya? Kenapa sekarang aku begitu egois hendak memaksakan cintanya? Bukankah dengan memperoleh cinta-Nya, aku juga akan mendapatkan cinta makhluk-Nya, termasuk cinta Aida.
"Eh ... kamu sudah sholat Isya?" Aku membelokkan topik pembicaraan. "Kalau belum, kita berjamaah. Abang wudhu dulu!"
Sebelum Aida menjawab, aku sudah beranjak ke kamar mandi. Kubasuh diriku sebersih-bersihnya, termasuk membersihkan penyakit-penyakit hati yang sempat menghinggapiku. Usai shalat, aku berjanji akan minta maaf pada istriku. Sebelumnya, aku akan menghadiahkan surah Ar-rahman untuk meluruhkan hatinya, dan mendapatkan kasih sayangnya karena aku sangat menyesal telah meragukan cintanya.
Hm... aku harus banyak belajar untuk lebih memahami wanita. Terutama wanita yang sekarang sudah menjadi istriku.[]
Sumber:
https://www.wattpad.com/story/114295538-usai-ijab-kabul
0 komentar: