Cerpen Lis Maulina: Harga Sebuah Keberanian

09.14 Zian 0 Comments

SEANDAINYA boleh menurutkan kehendak hati, ingin rasanya Latifah bolos pagi ini. Minimal, datang terlambat barang sejam dua jam. Soalnya, saat-saat seperti inilah yang paling dia benci dan sangat ingin dia hindari.
Seandainya saja mesin absen sidik jari bisa diajak kompromi, pasti sudah dilakukannya keinginan itu. Sayang, mesin tetap saja alat yang tak punya hati. Bila dia tak datang pagi ini, pastilah mesin itu takkan bisa diajak bekerja sama untuk berdusta. Itu berarti, bakal ada catatan hitam yang masuk ke bagian personalia tentang dirinya. Bila begitu, bisa ditebak, setelahnya dia akan mendapat surat peringatan yang akan berakibat pada bonus tahunannya.
Latifah menghela nafas. Dia menguatkan hati tetap berangkat pagi-pagi. Absen di depan pintu gerbang, dan memasuki gedung yang masih sepi. Lantai pertama dan kedua sepi, demikian juga lantai tiga dan empat. Dia berhenti di lantai lima, lantai paling atas. Di sinilah dia bertugas. Situasinya sama, sepi.
Latifah maklum, statusnya memang berbeda dengan karyawan lain yang tidak terikat jam kerja. Sebagian besar staf di redaksi adalah wartawan yang tidak punya jam kerja tetap selama dua puluh empat jam. Tidak seperti dirinya yang bertugas sebagai sekretaris redaksi. Bertugas di bagian redaksi, tapi kewajiban jam kerjanya sama dengan staf di bidang administrasi.
Mudahan dia tidak datang hari ini, doa Latifah sambil menatap pintu ruangan yang masih tertutup rapat. Hati-hati dia menuju mejanya, berusaha untuk tidak menimbulkan berisik. Mematikan beberapa lampu yang masih menyala, dan membuka gorden dan jendela agar cahaya matahari masuk ke ruangan.
Dia ada tidak, ya? Apa harus kusiapkan minum? Latifah tercenung sejenak. Namun sedetik kemudian, dia beranjak menuju dapur. Dia tak mau disalahkan dan dianggap melalaikan tugas. Maka dia menyiapkan seteko teh.
Baru saja dia bermaksud menyendok gula, tiba-tiba pintu dapur terbuka.
"Ah, untung kamu sudah datang Tifah! Kukira masih belum ada orang."
Latifah terkesiap kaget. Dia tak sempat menghindar ketika lelaki setengah baya itu mendekat dan memepet dirinya.
"Kamu bikin teh untukku, kan?" Dia berpura-pura membantu Latifah menyendok gula, namun sengaja menggenggam tangannya. "Gulanya jangan banyak-banyak! Aku kan takut diabetes."
"I...iya, Pak!" Latifah berusaha melepaskan genggaman yang mencengkeram jarinya. Namun semakin dia berusaha, justru semakin kuat. Bahkan Pak Bowo berusaha mendekapnya.
"Jangan, Pak! Nanti ada yang lihat!"
"Ah... kamu jangan munafik begitu, dong! Kamu kan juga sudah lama nganggur dan kedinginan. Pastinya juga mendambakan kehangatan, kan?"
Latifah merinding. Hembusan nafas Pak Bowo yang hangat bagai menggelitik tengkuknya. Untunglah, di saat genting seperti itu, tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. Refleks Latifah berontak, Pak Bowo pun terjajar. Ketika sadar, dia langsung menuju pintu.
"Tehnya langsung bawa ke ruangan, Tifah!" ujarnya dengan suara sengaja dikeraskan sebelum pergi.
Latifah bergegas menyelesaikan pekerjaannya, dan membawa teko teh keluar dari dapur. Di ruang redaksi, dilihatnya Agus, wartawan kriminal sedang sibuk di depan komputer. Tampangnya masih acak-acakan. Pasti dia baru saja mendapat liputan berita kriminal dan belum sempat mandi.
Latifah berlalu. Melihat tampang Agus yang terlihat serius, dia urung mendekat. Dia kuatkannya hati untuk mengetuk ruangan Pak Bowo.
"Masuk!"
Latifah masuk dan meletakkan teko di atas meja. Namun saat berbalik, Pak Bowo menghadang langkahnya, sangat dekat.
"Pak, saya mohon! Bila Bapak nekat, saya teriak supaya orang mendengar," ujar Latifah geram.
Wajah Pak Bowo yang mulai dihiasi kerut memerah.
"Dasar munafik! Awas, kalau kamu berani bicara macam-macam! Kita lihat saja, orang lebih mempercayai janda genit dan gatal sepertimu ataukah aku!"
Hati Latifah hangus terbakar. Tanpa menunggu, dia langsung beranjak dari ruangan. Jiwanya babak belur. Penghinaan Pak Bowo bagai cemeti yang melecut harga dirinya.

***

"APA katamu?" Kening Fauzi berkerut. Matanya mengungkapkan ketidakpercayaan.
"Kamu mendengar dengan jelas!" tegas Latifah.
"Kamu tidak sedang bercanda, kan?"
"Apa aku kelihatan seperti bercanda? Aku serius, Zi. Aku sungguh-sungguh!" Latifah menandaskan.
Mata Fauzi menyipit. Mulutnya sedikit tertarik, terlihat sinis.
"Kamu tidak percaya padaku?" Latifah mulai geram.
"Siapa yang bisa mempercayai ceritamu itu? Kamu...? Pak Bowo...?" Fauzi menggeleng ragu. Manajer Personalia yang baru saja diangkat itu jelas tidak mempercayainya.
"Jadi, kamu pikir aku berbohong? Kamu pikir aku hanya mengarang cerita? Untuk apa?"
Fauzi mengangkat bahu. "Mana aku tahu?"
Kedua kalinya, hati Latifah terbakar. Jiwanya terluka.
Pak Bowo menang. Lelaki gaek itu menang. Dia sukses bersembunyi di balik jabatan dan sosok berwibawanya, dengan kacamata minus yang menyamarkan mata keranjangnya sehingga tampak sabar, dengan rambut ubannya sehingga terlihat matang. Orang lebih mempercayai sosoknya yang bertopeng senyum kebijakan daripada cerita dari mulutnya, seorang wanita centil dan lincah yang sudah lima tahun menyandang status janda seperti dirinya. Hanya pegawai rendahan pula.
Latifah menggigit bibir. Menahan airmata yang nyaris tumpah. Dia kemudian berbalik, melangkah lebar menuju pintu, keluar ruangan Personalia.
"Tifah!" panggilan Fauzi menahan langkahnya sejenak di ambang pintu. "Bila kamu tidak betah di redaksi, aku bisa memindahkanmu ke bagian lain."
Kalimat itu membuat Latifah semakin meradang. Tanpa buang waktu, dia keluar. Bersamaan itu juga, sesak di dadanya tumpah menjadi butiran airmata. Dia lari mencari toilet terdekat, karena airmata itu mengalir seiring kegeraman dan kepedihan yang diredamnya di dada dan menuntut dilampiaskan lewat erangan, isakan dan sedu-sedan.

***

"MBAK Tifah kenapa? Sakit?" Ratna menghampirinya.
"Aku tidak enak badan, Rat. Kayaknya, aku mau izin pulang saja."
"Kalau begitu, saya antar, Mbak. Kebetulan saya juga mau keluar, ada liputan yang tempatnya searah dengan rumah Mbak."
"Tidak usah, Rat. Jangan repot!" Latifah mengelak.
"Tidak repot, Mbak. Kan sekalian!"
Latifah tak bisa menghindar. Apalagi, Ratna sudah menyambar tasnya yang tergeletak di samping komputer yang monitornya menayangkan sebuah situs berita. Sedetik kemudian, dia sudah menggandengnya turun.
"Mbak, habis nangis, ya!" tanya Ratna hati-hati.
Latifah diam sesaat. Ingin berdusta, tapi dipikirnya takkan berguna. Jadi dia hanya menjawab dengan seutas senyum getir.
"Kayaknya, aku mau dipindah ke bagian lain, Rat," cetusnya tak mampu menahan cerita.
"Dipindah? Kenapa. Mbak? Kalau Mbak dipindah, aku bagaimana? Aku tak punya teman cewek lagi di redaksi. Aku jadi perawan di sarang penyamun, dong. Ih... seram!"
Di saat biasa, gurauan Ratna mungkin lucu, namun tidak saat perasaan Latifah sensitif seperti sekarang. Tanpa bisa ditahan, kepedihan kembali menyeruak, mengeluarkan isak. Tentu saja Ratna kaget
"Mbak, kenapa?" tanyanya cemas sambil membawanya ke sudut anak tangga.
"Menurutmu, apakah aku terlalu genit, Rat?" Latifah bertanya dengan nada pedih. Dipandangnya wajah berbingkai jilbab di hadapannya.
"Terlalu genit? Ah, tidak! Lincah, ramah, dan supel mungkin iya," ujar Ratna.
"Tapi kenapa orang tidak bisa mempercayai ceritaku?" Suara Latifah mulai serak.
"Cerita apa, Mbak?" Ratna jadi penasaran.
Seketika itu juga, tangis Latifah kembali pecah. Di sela sedu-sedannya, dia menceritakan kepedihannya. Tentang pelecehan dan penghinaan. Tentang ketakpercayaan dan keraguan orang saat dia mengadukannya pada atasan yang dianggapnya bisa melindungi haknya. Tentang ketidakadilan dan ancaman pemindahannya akibat keberaniannya mengadukan pelecehan yang dilakukan pimpinan yang seharusnya mengayomi bawahannya.
Ratna tertegun. Perlahan airmatanya ikut merebak. Seakan terbawa virus menular, kepedihan cerita mulai merambati hatinya. Batinnya bergolak, saat beberapa kejadian yang selama ini ditutupnya dalam ingatan bagai digelar di layar matanya.

***

KANTOR heboh. Pak Bowo dipanggil kantor pusat. Untuk beberapa lama ruangannya kosong. Untuk sementara Latifah merasa dirinya bebas dan aman. Dia tidak lagi merasa takut dan khawatir bila pagi-pagi harus ke kantor. Demikian juga Ratna, dia juga bisa kembali bekerja lembur mengejar deadline tanpa kecemasan Pak Bowo yang berada di ruangan memanggilnya dan menjadikannya kesempatan untuk melakukan pelecehan.
Semula memang tak ada yang mempercayai cerita Latifah. Karena sosok Pak Bowo memang terlihat terlalu alim untuk menggoda Latifah, janda yang tergolong genit dan terkadang suka menggoda rekan-rekan sekantornya. Namun ketika Ratna angkat bicara, semua baru terlongo.
Ternyata, Ratna juga sempat menjadi korban. Bedanya, Latifah digoda saat pagi-pagi dia masih sendiri di kantor, sementara Ratna malam ketika dia bekerja lembur mengejar deadline. Bedanya lagi, saat merasa dihinakan Latifah yang ekstrovert dengan berani berusaha mencari keadilan dengan melaporkannya pada atasan, sebaliknya Ratna lebih memilih merahasiakannya sendiri dan menghindar bekerja malam lagi. Sampai hari itu, waktu Latifah setengah putus asa bercerita, meletupkan keberanian Ratna untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini disimpannya.
Keduanya kembali datang mengadu. Elit perusahaan tersentak. Mereka langsung rapat. Berita pun cepat menyebar sampai ke sudut gudang. Akhirnya diputuskan dibawa ke kantor pusat. Buntutnya, Pak Bowo dipanggil kantor pusat.
Seminggu berlalu, kehebohan perlahan mereda bagai tertiup angin senja. Senin pagi, tiba-tiba Ratna menerima telepon Latifah dari kantor.
"Ratna, dia kembali. Tak ada sangsi apa-apa. Dia tetap bertugas di sini sebagai utusan kantor pusat. Perjuangan kita sia-sia, Rat!"
Ratna tercenung. Padahal, untuk mengungkapkan kebenaran, dia berusaha menghimpun keberanian, menepis ragu dan malu yang membelenggunya.
Ratna merasa keberaniannya benar-benar tak berharga.[]


Catatan:
Dimuat di Annida No 13/XIV/15-30 April 2005

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/117159892-harga-sebuah-keberanian

0 komentar: