Cerpen Lis Maulina: Suatu Siang di Warung Pojok Terminal

08.57 Zian 0 Comments

SEAKAN sang bagaskara sedang murka hari ini. Sejak mengintip dari balik fajar, sudah menebarkan angkara ke permukaan bumi. Membuat embun yang biasanya membelai pagi, lari lintang pukang dan menghilang di balik gumpalan awan. Bahkan sang mega pun tampak enggan menyapa surya sehingga seolah selalu menghindar.
Dan matahari pun menjadi raja yang dengan leluasa menghujamkan teriknya. Mengucurkan keringat manusia-manusia yang mulai melakukan aktifitasnya masing-masing. Menerbangkan debu-debu ke seluruh penjuru kota yang mulai berderap.
Sementara itu, di sebuah warung pojok di sudut terminal, Dijah merenungi fenomena alam yang semula dianggapnya biasa. Namun saat jarum jam merangkak semakin tinggi, dan tak satu orang punsinggah di warungnya, dia mulai merasakan ada yang tak biasa. Biasanya sebelum buka pun, sudah ada satu dua pelanggan menunggu. Mereka ingin sarapan sebelum bergelut dengan pekerjaan. Sebagian besar para supir dan kenek. Sebagian lainnya para karyawan, mahasiswa, atau anak-anak sekolah yang tidak sempat sarapan di rumah, dan memanfaatkan waktu menunggu angkutan untuk mengganjal perut mereka.
Tapi sekarang ..... hfuuuuhhh....! Dijah menghela nafas sambil memandang dagangan yang telah disiapkannya. Dia sudah beberapa kali mengangkat gorengan sehingga pisang, tempe, tahu isi, bakwan, dan ubi tampak menggunung di nampan. Akhirnya dia berhenti menggoreng dan mematikan kompor karena tak ada tempat lagi. Sementara nasi, lontong, ketupat, berikut lauk pauknya juga belum tersentuh. Hanya berkurang beberapa piring untuk makan keluarganya. Belum lagi jejeran gelas yang diisi teh kental seperempat berikut gula, serta beberapa gelas yang diisi bubuk kopi dan gula, siap ditambah air panas bila ada pesanan, juga masih lengkap.
Ada apa hari ini? Batinnya sambil kembali melempar pandangan keluar. Ditatapnya ratusan manusia yang berseliweran di terminal dengan penuh tanda tanya. Mereka hanya lewat. Jangankan mampir, melirik warungnya pun tidak. Beberapa yang dia kenal dan coba disapanya, hanya menjawab dengan senyum atau lambaian tangan.
Apa mereka kenyang semua? Apa mereka sempat sarapan semua? Atau mereka justru singgah di warung lain yang lebih enak makanannya, lebih murah harganya, dan lebih ramah pelayanannya? Kembali Dijah memandang dagangannya. Apakah rasa masakanku berubah? Apakah aku mengurangi bumbunya? Atau mengurangi kualitas bahannya? Atau jangan-jangan akhir-akhir ini sikap ramahku berkurang kepada pelanggan? Maklum, jaman sulit! Semua barang kebutuhan naik. Sehingga untuk tersenyum pun rasanya sukar.
Tapi rasanya tidak. Bila ada yang berubah dengan masakannya, pasti dia dan keluarganya yang lebih dulu merasakan. Karena mereka juga makan dari warung.
Atau aku kurang bersyukur? Apakah aku lebih sering mengeluh belakangan ini sehingga Allah menguji? Jangan-jangan shalatku tidak khusuk. Jangan-jangan ibadahku tidak lagi intens. Jangan-jangan keikhlasanku sudah mulai berkurang.
Dijah terus merenung dan mengintropeksi diri. Sampai dia tidak sadar ada seseorang memasuki warung kecilnya.
"Ada es, Bu?"
Dijah tergugah. Seorang wanita muda berdiri di hadapannya. Ah, tidak terlalu muda juga sebenarnya. Mungkin malah sebaya dengannya. Hanya saja dia keliatan berasal dari kalangan masyarakat yang mampu merogoh kocek lebih dalam untuk penampilan berpakaian maupun perawatan kecantikan.
Dijah tertegun beberapa detik. Heran. Warung kecilnya bukan persinggahan masyarakat kalangan ini. Biasanya mereka memilih warung makan yang lebih berkelas. Yang sesuai dengan penampilan mereka. Bukan warung yang kondisinya sangat bertolak belakang. Seperti ....
"Bu...."
Sekali lagi Dijah tersadar. Kenapa dia harus memusingkannya?
"Es apa?" tanyanya sambil beranjak ke jejeran gelas yang siap saji. "Teh, jeruk, atau sirup?"
"Jeruk saja," katanya sambil meletakkan tasnya dan duduk.
Diam-diam Dijah mengintip. Dia mengagumi kemulusan kulit wanita itu. Warnanya juga terang. Pasti perawatannya mahal. Rambutnya juga bagus. Panjang, lurus, dan hitam. Dan tubuhnya sangat ideal. Meski tidak terlalu tinggi, tapi ramping dan berisi. Apalagi, pakaiannya yang berupa jeans ngepas dan kaos oblong plus blus luar gantung membungkusnya sempurna.
Tapi ada yang aneh pada wanita cantik ini. Dijah kembali mengintip saat menghidangkan segelas es jeruk di hadapannya. Meski menunduk dalam, namun dia tetap bisa menangkap kesedihan. Apalagi saat itu dia baru melepaskan kacamata hitam yang tadi dipakainya. Sepertinya, dia habis menangis.
Dijah buru-buru mundur. Dia merasa tidak berhak memperhatikan terlalu lama dan memberi penilaian. Apa urusannya? Dia kemudian memilih duduk di pojok, sambil pura-pura sibuk mencuci piring bekas makan keluarganya.
Wanita itu merogoh tasnya. Tas kulit berukuran sedang dengan model mewah. Mungkin harga warung sederhananya berikut isinyapun tidak akan bisa membeli tas semahal itu.
Ternyata dia mengambil handphone. Sangat mungil. Pasti juga merk terkenal dan model terbaru. Meski tidak hapal merk dan tipe handphone. Tapi Dijah tahu mana yang keluaran terbaru, mana yang sudah kuno. Pengetahuan yang didapat dari iklan teve.
"Halo...! Ini siapa? Mel mana? Ini nomor Mel, kan? Bohong! Kamu siapa? Bohong! Suruh Mel bicara sendiri! Kemarin pasti dia sedang mabuk. Sedang tidak sadar. Mel tidak mungkin bicara munafik seperti itu. Cepat, suruh dia bicara! Atau kalau tidak..."
Wanita itu tampak gusar setengah mati. Agaknya sambungan diputus. Dia mengomel panjang pendek. Bahkan memaki-maki tidak karuan. Kemudian kembali berusaha menghubungi. Tapi selalu gagal. Beberapa kali, tetap gagal. Dia marah. Melempar handphonenya ke tas. Lalu menelungkup. Terdengar isaknya. Dia menangis cukup keras. Bahkan sampai tersedu-sedu.
Dijah berdiri bingung. Hendak mendekati, tapi tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya penjaga warung. Selama hampir lima tahun mengelola warung sederhana di pojok terminal ini, tak pernah dia mengalami hal seperti ini, ada yang menangis di warungnya. Karena warung ini tutup setelah sore. Kalau sampai malam mungkin saja. Karena konon kabarnya, terminal ini juga digunakan wanita malam menjajakan diri. Tapi apa iya wanita malam pernah menangis di sini? Ah.... Kok, semakin ngelantur?
Tiba-tiba wanita itu menengadah. Wajahnya basah, membuat make up tipisnya luntur sebagian. Matanya bersimbah. Dia memandang Dijah dengan marah.
"Dia mencampakkan saya, Bu! Bayangkan, setelah lebih dari tujuh tahun... akhirnya dia mencampakkan saya! Padahal selama ini saya mengabdikan hidup saya untuknya. Padahal saya begitu mencintainya. Demi cinta kepadanya juga saya rela hidup seperti ini. Mel kejam!"
Dijah terlongong bingung. "Maksud Mbak si Mel itu...? Kenapa namanya seperti wanita?"
"Dia memang wanita. Kenapa?" Mata wanita menyala-nyala. "Kami memang sesama wanita. Tapi apa kami salah bila saling mencintai? Apa salah bila kami saling berbagi?"
Dijah semakin kebingungan. "Ya... tidak salah bila cintanya bukan sebagai pasangan... bila cintanya sebatas persahabatan atau persaudaraan. Tidak salah bila...."
"Kami memang pasangan. Selama tujuh tahun kami hidup bersama, saling mencintai sebagai pasangan. Memang kenapa? Pasti Mbak menganggapnya salah. Pasti Mbak beranggapan sama dengan masyarakat lainnya. Mbak pasti menganggap kami menyimpang."
"Tapi bukankah itu memang menyimpang?" cetus Dijah lugu.
Wanita itu mendengus. "Dan kalian menganggap hidup kalian lebih lurus? Kalian menganggap hidup kalian paling bersih dan suci?"
Dijah menggeleng, bingung sekaligus heran. Meski hanya penjaga warung, bukan berarti dia tidak tahu sama sekali tentang sekelompok masyarakat yang lebih menyukai sesama jenis. Ini karena dia hobby membaca. Dia sering numpang baca di kios koran dan majalah sebelahnya. Tapi sama sekali dia tidak mengira bisa berhadapan langsung dengan wanita yang terang-terangan mengakui dirinya dari golongan tersebut. Apa benar mereka sekarang tidak merasa malu lagi akan keadaan dirinya?
"Saya tidak tahu apakah hidup saya sudah lurus, walaupun saya selalu berusaha untuk itu. Saya tidak pernah menganggap diri paling bersih dan suci, karena saya sadar manusia tempatnya salah dan khilaf. Saya hanya tahu, yang normal dan wajar itu, adalah hubungan cinta antar jenis. Itu saja. Sementara hubungan sesama jenis, berarti menyimpang dari kewajaran. Agama juga melarang...."
"Huh... agama!" Wanita itu kembali mendengus. "Saya lupa, ibu berjilbab. Wajar saja bila ibu bicara mengatasnamakan agama. Lalu ke mana Tuhan saat saya diperkosa secara bergiliran di usia belia? Dia malah meninggalkan saya dalam keadaan ternoda, tercampak, dan terhina. Demikian pula orang-orang yang selalu bersembunyi di balik tabir agama. Untung saya bertemu Mel. Kami senasib. Kami saling menguatkan. Dan akhirnya saling menyayang dan berbagi segalanya. Tapi orang-orang masih menyalahkan kami. Mencap kami sebagai orang-orang sesat yang telah menyimpang dari jalan kebenaran."
"Namun akhirnya si Mel pun mencampakkan Mbak, kan?" tukas Dijah. Dia benar-benar gemas dengan kesinisan wanita itu terhadap agama dan Tuhan. Mengapa menyalahkan Tuhan sementara Dia sudah menganugerahkan kepada manusia bekal yang cukup berupa akal dan hati nurani untuk memilih jalan yang akan dilalui?
Tangis wanita itu kembali meledak.
"Mel jahat. Lelaki itu berhasil mempengaruhinya. Padahal semula dia benci laki-laki, sama seperti saya karena juga pernah disakiti. Tapi ketika lelaki bernama Bowo itu datang, Mel berubah. Dia mengatakan akan menata hidupnya kembali dari awal. Ketika kularang, dia malah melarikan diri ke kota ini --- kampung halamannya. Kususul ke sini, dia bersembunyi, tak mau menemui. Bahkan menerima telepon juga tidak. Oh... Mel, mengapa engkau begitu tega? Bukankah demi engkau aku rela hidup begini? Mengapa kau lupa saat kita bersama-sama melewati masa sulit kita?" Dia kembali tersedu.
Dijah diam. Dia membiarkannya sampai tangisnya terhenti dengan sendirinya. Baru ketika yang tertinggal hanya sedu-sedan, dia kembali buka suara.
"Saya kira, saya mengerti perasaan Mbak. Memang menyakitkan rasanya dikhianati orang yang pernah kita percaya. Tapi kalau Mbak mau, ada cara untuk membalas dendam kepadanya."
"Benarkah? Bagaimana caranya?"
"Dengan berbuat seperti apa yang dilakukannya. Cari seorang pria, dan jalinlah hubungan dengannya. Bila Mel masih mencintai Mbak, pasti dia merasakan sakit yang sama dengan yang Mbak rasakan sekarang," tutur Dijah.
Wanita tercenung sejenak. "Tapi bagaimana bila dia tidak merasakan sakit hati seperti saya?"
"Itu berarti, dia tidak benar-benar mencintai Mbak. Itu berarti, selama ini dia hanya ingin memanfaatkan Mbak. Orang seperti itu tidak layak untuk dicintai sedemikian rupa. Untuk apa?"
Wanita itu kembali tercenung. Cukup lama. Dijah hanya memperhatikannya. Sama sekali tidak berharap dia menerima sarannya. Dia hanya asal bicara. Memuaskan rasa gemas dan geregetannya karena ada wanita menangis terisak hanya karena ditinggalkan kekasih wanitanya yang berniat menata kembali hidupnya.
"Ibu benar. Saya pikir, ibu ada benarnya. Saya akan melakukannya. Saya memang ingin tahu, apa Mel benar-benar mencintai saya. Saya memang curiga, dia hanya memanfaatkan saya."
Ganti Dijah tertegun. Tidak mengira saran nyelenehnya mendapat tanggapan positif. Dia masih tertegun ketika wanita itu meraih tasnya dan melangkah mantap meninggalkan warungnya tanpa setetespun meminum es jeruk yang dipesannya.
Dijah baru kaget ketika sekelompok anak berseragam SMP memasuki warungnya. Jumlah mereka puluhan. Berebut mengajukan pesanan. Berebut menjangkau gorengan yang disediakan. Celoteh mereka membuatnya tak berkesempatan memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya.
Dan ternyata, meski matahari tetap bersinar terik, hari itu tidak berjalan sejelek yang diperkirakannya. Saat menutup warung, seluruh dagangannya habis tak bersisa --- meninggalkan rezeki yang tak henti disyukurinya.[]

Sumber:
https://www.wattpad.com/423506815-suatu-siang-di-warung-pojok-terminal/

0 komentar: