Cerpen Lis Maulina: Tragedi Pringgadi
SEMUA mata membelalak memandang sosok tubuh yang sedang berlari-lari kecil menghampiri mereka. Jeans hitam membungkus kakinya yang bergerak gesit. Oblong putih bergambar Donal Bebek menyembul di antara jaket jeans yang juga hitam dengan kancing dibiarkan terbuka. Topi kulit hitam nyantel seadanya di atas kepala yang rambutnya dikuncir dua."Hai, udah mau berangkat, ya?" tanya cewek itu cuek sambil memandang mobil yang siap terparkir dan barang-barang yang teronggok di sampingnya.
"Dri, katanya kamu nggak ikut?"
Indri melirik Anto yang bertanya mewakili keheranan teman-temannya. Kemudian tertawa. Kuncirnya bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepalanya.
"Kejutan," sahutnya seenaknya.
"Alah, paling juga kamu minggat dari rumah," Handi menimpali.
"Tahu aja, lu."
Jaka maju, mendekati Indri.
"Kalo gitu kamu pulang aja, deh! Kami nggak nerima anak pelarian. Bisa kualat."
Indri meletakkan ranselnya. Lalu bertolak pinggang di hadapan Jaka.
"Enak aja! Saya pergi dengan restu, tahu? Mau lihat surat izinnya?" Indri merogoh saku jaketnya. "Nih, duit! Tanda saya direstuin. Kalo nggak, mana dikasih dulit?"
"Iya, nih! Yang penting kan dia bayar."
Huuhhh!
Iyan yang baru saja angkat bicara kena timpuk.
"Makan tu duit!" Indri memasukkan limaribuan ke genggaman Iyan. "Sekarang, ayo berangkat!"
Semua kemudian kembali sibuk, mengatur barang-barang. Sedang ceweknya semua sesekali membantu.
"Asyik, akhirnya kamu ikut juga, in," ujar Riri yang berdiri di samping Indri.
"Kenapa?"
"Kalo ada kamu, cowok-cowok itu nggak bakalan berkutik."
"Kok, gitu?"
"Tapi bukan berarti mereka nggak suka kamu ikut, In," Jean angkat bicara. "Saya tahu, mereka mengharapkannya. Kemarin, ketika kami bilang nggak ikut, mereka ngomel-ngomel."
"Iya?"
"He-eh!"
Pembicaraan mereka terpecah. Anto berteriak, menyuruh mereka semua bersiap.
Satu-satu, duabelas remaja itu berloncatan ke dalam mobil. Indri memilih tempat paling belakang, dekat jendela. Supaya tenang buat tidur. Buat membayar hutangnya tadi malam, karena terlalu sibuk mempersiapkan yang akan dibawanya. Sedang paginya buru-buru kabur, sebelum penghuni rumah bangun.
Indri menguap. Dia berancang-ancang untuk tidur. Topinya ditutupkan ke wajah.
"Kalian tahu nggak, yang paling bahagia dengan keikutsertaan Indri yang mendadak ini?" celetuk Handi dengan tiba-tiba.
Anak-anak berebut ingin tahu.
Handi dan anak-anak cowok lainnya tertawa.
"Rudy."
Rudy cuma bisa nyengir karena semua mata beralih kepadanya. Kecuali Indri tampaknya cuek saja.
"Dia kan punya rencana kemping ini akan dibuat ajang romantis-romantisan."
Semua berteriak kegirangan. Anak muda, kalo sudah nemu gossip, persis semut nemu gula. Rakus.
Kin menyodok pinggan Indri. Topi yang menutupi wajah indri terjatuh. Dia melotot.
"Kamu dengar, nggak?"
"Nggak," Indri menutupi kembali mukanya. "Saya tuli."
***
GELAP baru saja turun. Namun keheningan sudah terasa menyergap di mana-mana. Nyanyian jangkrik mulai menggigit telinga. Burung-burung malam pun mulai ke luar dari sarangnya.
Indri menghela napas. Dipandanginya tubuh-tubuh yang tergeletak tanpa daya di keremangan lampu petromak. Letak mereka tidak beraturan. Simpang siur tidak karuan.
Indri mengulum senyum. Kasihan, desisnya, mereka kelelahan. Hampir seharian melakukan perjalanan panjang. Sampai di tempat tujuan menjelang petang. Lalu disambung kerja keras mendirikan kemah dan mempersiapkan tempat bermalam mereka.
Pelan-pelan, Indri melangkah ke luar. Tadi niatnya juga ingin tidur, tapi matanya nggak bisa terpejam. Siang tadi, sepanjang perjalanan dia tidur banyak. Jadi sekarang belum ngantuk.
Indri menghampiri teman-teman cowoknya yang berkumpul. Kalo cowoknya emang lain, udah bakatnya untuk begadang. Lain dengan cewek yang gampang kecapekan.
"Belum tidur, In?" tanya Bobby yang sedang memeluk gitarnya.
"Belum ngantuk." Indri menghempaskan pantatnya di samping Bobby. "Ayo, nyanyi lagi!"
Suara mereka yang tadi sempat terhenti bergema lagi. Walau nggak terlalu merdu, lumayanlah! Daripada mendengar nyanyian jangkrik.
"Kamu yang nyanyi, In!"
Indri mengulum senyum.
"Ah, jangan!" sergah Handi. "Entar disangka orang suara kuntilanak."
Indri melotot. Dia berdiri dan melangkah pergi.
"Yee... merajuk, tuh!"
"Nuduh sembarangan! Mau bikin kopi, tahu!"
"Sip. Saya segelas, In!"
"Enak aja. Emang warung?"
Indri melangkah ke belakang tenda. Tan urung, disiapkannya juga beberapa gelas. Lalu diraihnya plastik berisi kopi dan gula.
Dahi Indri berkerut ketika tanyannya mengangkat termos kecil tempat menyimpan air panas. Terasa ringan.
Wuah, dasar rakus! Baru sekejap, udah habis.
Indri melongok ember penyimpanan air bersih. Kosong melompong. Sial benar!
Ember kosong itu disambarnya, kemudian kembali ke tempat teman-temannya berkumpul.
"Eh, temenin, dong! Saya mau ke sungai, nih."
Semua melongok. Acara main gitar, nyanyi-nyanyi dan ngerumpi tertunda lagi.
"Ngapain, In? Buang air? Biar saya aja yang nemanin," Handi berdiri.
Bobby menarik tangannya. "Jangan, In! Handi belum mandi. Sama saya saja, ya?"
Indri melotot. "Kalian ini, pikiran nggak waras semuanya. Saya mau cari air, tahu? Kalian entar mau minum apa kalo air habis."
"Mereka duduk lagi. Cuek.
"Mau nemenin, nggak?" tanya Indri mulai sewot.
"Ah, biar Rudy aja yang menemani!"
Indri membelalak. Mereka mulai lagi.
"Ya, udah. Saya juga bisa pergi sendiri."
Indri bergegas. Dalam hati dia memaki. Kadang dia sebel juga sama teman-temannya itu. Suka seenaknya sendiri. Apalagi kalo soal ledek-meledek. Jodoh-jodohin teman seenak perutnya. Iya kalo benar, kalo nggak? Apa nggak payah? Lebih parah lagi kalo yang bersangkutan udah punya pacar. Apa nggak bakal mengobarkan perang dunia, tuh?
Tapi Indri heran juga, atas dasar apa teman-temannya menjodohkan dia dengan Rudy. Padahal sebelumnya nggak. Indri tenang-tenang aja berteman dengan Rudy. Malah suka ngegoda dia.
Kini, setelah suka diledeki, Indri jadi nggak enak hati sama Rudy. Suka serba salah sendiri. Dia jadi enggak bercanda lagi. Mendekati pun pikir-pikir dua kali. Entar kalo Rudy nyangka dia yang nggak-anggak, hancurlah semua.
Ah, mereka nggak tahu. Ulah mereka bisa merenggangkan persahabatan kami, keluh Indri dalam hati.
Langkah Indri yang pelan dan hati-hati tercegat. Telinganya menangkap suara rumput terinjak-injak. Ada orang lain di belakangnya.
Indri meningkatkan kewaspadaan. Hatinya cemas juga. Malam-malam begini, di tempat yang tidak ia kenal lagi. Walau kata Anto, tempat ini aman, dekat perkampungan penduduk. Juga ada keluarganya yang jadi kepala desa di desa yang bernama Pringgadi ini.
"In."
Indri menarik napas lega. Rudy muncul dari tikungan yang penuh rimbunan pohon. Hampir saja sepotong ranting besar yang sebelumnya telah dipatahkannya terayun.
"Kamu nekat juga, ya?" kata Rudy setelah mereka berhadapan.
"Lha, daripada nanti kehausan."
Mereka melangkah bersama, menelusuri jalan setapak yang gelap. Hanya remang-remang cahaya bulan sepenggal yang membantu penerangan.
Suasana sunyi lagi. Indri enggan membuka suara. Hanya terdengar jerit rumput yang terinjak sepatu kets mereka.
Jalan mulai menurun dan berbatu-batu. Gemercik air mulai terdengar, pertanda sungai sebentar lagi akan mereka jumpai. Tinggal beberapa puluh meter lagi. Kilauannya karena tertimpa sinar bulan sudah kelihatan.
Indri mempercepat langkahnya. Dia turun agak tergesa. Tak dipedulikannya batu-batu licin yang bisa menggelincirkannya.
Tiba-tiba Indri terpekik tertahan. Batu-batu yang diinjaknya berjatuhan. Hampir saja Indri jatuh tergelincir.
Rudy segera memegang bahu Indri.
Indri bergidik, antara ngeri dan geli. Seonggok benda panjang melingkar, menghalangi jalan. Kulitnya yang hitam legam berkilat-kilat. Matanya hijau kebiru-biruan. Lidahnya bercabang keluar masuk dia antara taring yang sedikit menyembul.
Indri merapatkan tubuhnya.
"Tenang, In! Dia tidak akan mengganggu kalo kita nggak ngeganggu," bisik Rudy sambil menggenggam erat tangan Indri yang gemetar.
Perlahan, ular sebesar ibu jari kaki itu menyusup ke semak-semak. Sedikit demi sedikit tubuhnya yang luar biasa panjang itu menghilang.
"Nah, kan! Dia ngerti sendiri kalo kita mau lewat," kata Rudy lagi setelah tubuhnya yang panjang mengkilat itu menghilang seluruhnya.
Wajah Indri masih kelihatan pusat. Bibirnya bergetar. Masih tak bisa mengeluarkan suara. Pancaran ketakutan masih terlihat di matanya.
"Sudah, In! Ular itu sudah pergi."
Indri masih juga tak bergeming.
"In!" Rudy menyentuh pipi Indri.
Baru Indri tersentak. Seperti tersadar. Putih pucat wajahnya berubah menjadi semu merah. Jengah.
Cepat Indri menarik tangannya, lalu menjauhkan diri. Buru-buru melangkah, meniti bebatuan sungai. Lagi-lagi dia nyaris tergelincir.
"In, hati-hati!" Rudy menghampiri, dan merampas ember di tangan Indri. "Biar aku yang ambil! Ah, kamu emang keras kepala!"
Indri membiarkan Rudy naik, memanjat bebatuan. Mencari sumber air yang tinggi. Karena di situ airnya lebih bersih, lebih jernih. Dia sendiri ngeri juga bila harus memanjat. Batunya licin dan agak berlumut. Mana gelap lagi. Agak di bawah tadi beberapa kali dia nyaris tergelincir.
Rudy kembali sambil menenteng ember penuh berisi air.
"Biar saya yang bawa!" katanya ketika Indri mengulurkan tangan, ingin mengambil alih.
Mereka kembali jalan beriringan. Tepat di tempat ular tadi melingkar, indri menyingkir. Tangannya mencekal pergelangan tangan Rudy.
Rudy tertawa pelan.
"Tak kusangka, kamu bisa takut juga rupanya."
"Emang saya malaikat, nggak punya rasa takut?" jawab indri sambil cemberut.
"Setidak-tidaknya, mulanya anggapan saya begitu."
Indri membeliak. Cemberut wajahnya hilang. Berganti nada heran.
"Bukan hanya saya, teman-teman lain juga punya anggapan yang sama." Rudy memandang indri sebentar, kemudian meneruskan. "Cewek-cewek terutama. Kemarin, ketika kamu ngomong nggak bakalan ikut kemping ini, mereka sangat kecewa. Mereka menggantung harapan padamu. Mereka anggap kamu bisa melindungi mereka. Waktu rapat tentang kemping ini, kamu yang mati-matian membela kepentingan mereka."
"Begitu?"
"Ya. Mereka mengagumimu. Kami semua mengagumimu. Kamu tipe cewek mandiri. Kamu serba bisa. Kamu seakan mampu berbuat segalanya."
Kali ini Indri yang tertawa. Tawanya hambar. Tidak seperti tawanya yang biasa, ceria.
"Percuma. Percuma saja kalian mengagumiku. Percuma saja kalian memberi kepercayaan besar kepadaku. Karena orangtuaku sendiri, orang yang paling dekat padaku, tidak memberikan kepercayaan itu. Saya tidak pernah mampu meyakinkan mereka akan kemampuan saya yang kalian kagumi itu."
Rudy ternganga.
"Maksudmu?" tanyanya tak mengerti
Indri tak menjawab. Senyumnya masam. Wajahnya berubah muram. Matanya suram.
Indri melangkah sambil menekuri kegelapan yang pekat. Rudy tak mau mengusiknya lagi.
***
"KOPIMU, Rud!"
"Thank's!"
Indri duduk di samping Rudy. Turut memang api yang menjilat-jilat kayu. Sebagian wajah mereka memerah, kena kilatan lidah api.
"Kamu jadi kuliah ke Yogya, In?" tanya Rudy tiba-tiba.
Indri tersentak. Dipandangnya Rudy sejenak. Kemudian mengangkat bahu.
"Entah," jawaban Indri lebih mirip keluhan.
"Kok, gitu?"
"Nggak pasti diizinkan, Rud. Susah. Mereka nggak ngerti-ngerti juga. Ada aja alasannya. Masalah biayalah, terlalu jauhlah, nggak ada kepastian masa depanlah. Pokoknya susah!" Indri menghela napas. "Tapi bagi saya sama saja, itu pertanda mereka nggak mempercayai saya. Mereka meragukan kemampuan saya, pilihan saya, putusan saya."
Rudy tersenyum maklum.
"Oh, ini toh maksud ucapanmu tadi di sungai?"
"Begitulah. Mungkin kedengarannya lucu, saya yang tomboy gini, ternyata, masih suka dipingit. Dulu, saya berhenti ikut kegiatan pramuka, karena nggal diizinkan ikut berkemah, apalah artinya? Lalu PMR pun bubar, karena kegiatannya pun mengharuskan saya mesti keluar rumah malam. Nah, itu kegiatan jelas positif. Apalagi acara kemping yang bagi mereka cuma dianggap hura-hura saja."
"Tapi katamu, kamu sudah dapat izin."
"Ya, dari bos cewek. Tapi dari Dirut, nggak tuh! Keputusan tetap di tangan Papa. Terpaksa saya merayu Mama agar bisa berkomplot mengelabui Papa. Saya bilang, saya bisa gila bila tidak ikut. Pikiran saya lagi mumet berat karena persoalan sekolah yang nggak rampung-rampung juga."
"Sudah belajar nekat, ya?"
Indri tertawa. "Sekali-sekali."
"Tapi tampaknya kamu suntuk banget."
"Walau bagaimana, kebohongan tidak pernah membawa ketenangan. Apalagi kalo bohong sama ortu sendiri." Indri berdiri. "Udah ah, saya mau tidur."
Rudy mengangguk. Dibiarkannya Indri melangkah, memasuki tenda cewek. Matanya terus mengikuti sambil tubuh itu lenyap di balik tenda.
Rudy menarik napas panjang. Cewek tomboy itu sudah mulai terbuka, pikirnya. Dan dia tak menyangka, cewek yang tampaknya selalu ceria itu ternyata menyimpan persoalan juga.
Rudy terus memandang api yang menghabiskan kayu yang tersisa. Letupan bara terdengar di mana-mana. Antara kemerahan lidahnya, wajah Indri tergambar, lengkap dengan senyum khasnya yang begitu istimewa.
***
INDRI baru saja bangun. Dia langsung menuju sungai ketika dilihatnya teman-temannya tak ada lagi. Tidurnya yang terlambat membuatnya bangun telat. Dan dia yakin, semua temannya pasti tengah bersuka ria di sungai sana.
Benar saja! Lihat, mereka persis anak itik yang lama tidak melihat air! Bersuka ria sambil bercanda. Tawa mereka bersaing dengan senandung pagi burung-burung. Percikan air beterbangan, persis air hujan.
"Eh, Putri Tidur kita telah bangun dari pulasnya," teriak Riri melihat Indri turun dengan handuk di pundaknya.
Indri tersenyum. Tidak menghiraukan gidaan mereka. Dia sibuk menikmati air yang menjilati telapak kakinya.
Di bagian ini, arus air tidak terlalu deras. Cocok untuk mandi dan berenang. Batu-batunya pun jarang. Lain dengan bagian hulu sungai. Lebih mirip air terjun kecil-kecilan. Terjal dan berbatu besar. Nekat mandi di situ, salah-salah jadi sasaran empuk batuan runcing dan tajam.
Bagian lain, sedikit ke hilir, aliran mulai deras lagi. Walau tidak seterjal bagian hulunya. Tapi cukup berbahaya. Apalagi bagi yang tidak begitu mahir berenang. Cuma bisa gaya injak-injak semen untuk kolam renang atau injak-injak dasar untuk sungai dangkal.
Indri mengibas. Ribuan butir air menyerbunya.
"Eh, entar dulu!" teriak Indri sambil berlari ke tepi sungai. "Ini bukan baju untuk mandi."
"Teman-temannya tertawa. Mereka tidak menghiraukan teriakan Indri. Tubuh Indri sudah basah sebagian.
Indri mengomel panjang pendek. Dia melangkah lagi ke tenda. Tapi rafleks dia berbalik, ketika teriakan histeris mengambar gendang telinganya.
Astaga! Darah Indri berdesir. Sesosok tubuh timbul tenggelam terbawa arus.
Jean! Begitulah jeritan ngeri yang beluar dari bibir teman-temannya. Semuanya terpana.
"Cari tali, cepat!"
Indri melempar handuknya. Dengan gesit dia lari, mengejar tubuh Jean yang mulai jau terbawa arus. Pontang-panting. Tak dipedulikannya sandal jepitnya yang tercecer entah ke mana. Tak dipedulikannya telapak kakinya yang perih tergores batuan runcing.
Peluh Indri mulai menitik. Dia berusaha keras mendahului arus yang membawa tubuh Jean. Setelah dia berada di depan beberapa meter, Indri langsung terjun ke sungai. Mencoba meraih sebongkah batu besar yang ada di sungai. Sejenak berlindung di sana menunggu tubuh Jean.
Indri menguatkan hatinya. Dilihatnya Jean masih sadar. Anak itu masih berjuang agar tubuhnya tetap berada di permukaan. Dan dia harus mencegah Jean terseret lebih jauh. Sebab di sana keadaan sungai jauh lebih berbahaya.
Tubuh Jean hampir melintasinya.
"Jean, tangkap tanganku!"
Indri mengulurkan tangannya. Jean berusaha menangkap. Dapat. Tapi tenaganya sudah lemah. Genggamannya melonggar. Indri panik. Terpaksa dia meninggalkan batu tumpuannya, ketika genggaman Jean terlepas sama sekali.
Indri berenang, memburu tubuh Jean. Dipeluknya tubuh itu erat. Tapi arus juga menyeret mereka makin jauh. Indri makin panik. Dia tak kuat berenang melawan arus dengan beban tubuh Jean. Tuhan, tolong kami! Rintih hati indri. Jean kehabisan tenaga dan pingsan. Dengan sisa tenaganya, Indri berusaha membawanya ke tepi. Beberapa kali arus menghempaskan mereka, makin jauh dari tepian.
"Indri, tambang!"
Indri tersadar dari keputusasaannya. Sekilas dia melihat, teman-teman cowoknya menghadang di bagian hilir dengan tambang membentang ke sungai. Tapi, ah! Mana tambang itu? Tenggelam. Indri tak bisa melihatnya.
Itu dia ujungnya terselip di dua batu kecil. Hap! Dapat. Tapi lepas lagi.
Indri mengayuh kakinya kuat-kuat, melawan arus. Hap! Dapat. Dan langsung digenggam kuat. Tanpa pikir panjang, dililitkannya ketubuhnya dan tubuh Jean pada tambang. Kakinya berjuang untuk membantu tarikan teman-teman di darat. Dia juga berusaha agar tubuh jean berada pada posisi yang tidak membahayakan.
Indri memejamkan mata, mohon pertolongan Tuhan! Percikan air memasuki hidungnya. Membuat dadanya makin sesak. Arus terasa memukul-mukul seluruh tubunya.
"Indri! Jean!"
Indri membuka mata. Tubuhnya sudah berada di saerah dangkal. Beberapa temanya menghambur menghampiri. Diucapnya syukur berkali-kali.
Tambang yang terasa mencekik pinggangnya dibuka.
"Indri!"
Itu suara Rudy. Samar dilihatnya wajah cowok itu pucat. Ada kecemasan dan ketakutan yang sangat di sana.
Baru Indri merasakan kelelahan menyergap tubunya. Rasa sakit dan nyeri di mana-mana. Tenaganya telah kering terkuras. Dia tak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Indri terkulai.
***
"JEAN?"
Hanya nama itu yang terlintas di benak indri, ketika matanya menangkap wajah-wajah temannya di sekelilingnya.
"Jean sudah dibawa ke rumah sakit, In. Dia selamat. Sudah mendapat pertolongan pertama di puskesmas. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya!"
Indri menarik napas lega. Dipejamkannya mata. Dipanjatkannya syukur setulus-tulusnya.
Indri membuka mata. Dilihatnya wajah dua orangtuanya.
"Mama, Papa," desisnya tak percaya.
Keduanya mengangguk. Mama menggenggam jari Indri. Papa mengelus rambutnya. Penuh kasih.
"Maafkan, Indri! Seharusnya Indri tidak pergi. Mungkin inilah hukuman bagi Indri, karena tidak mau mendengarkan kata-kata Papa dan Mama."
Papa menggeleng. Mama juga.
"Kalau kau tidak ikut, bagaimana nasib kawanmu itu, heh?" sahut Mama. "Tidak kau tahu, bagaimana tadi orangtuanya berterimakasih kepada Papa dan Mama, karena kau telah berhasil menyelamatkan anak mereka."
"Jadi, Papa-Mama nggak masarah sama Indri?"
Papa mengecup kening Indri.
"Malah sekarang baru Papa yakin, anak Papa memang hebat," sahut Papa lembut.
"Eh, anak Mama juga, dong!"
Indri tertawa bahagia. Di sudut kamar, dia sempat melihat Rudy dan beberapa orang lagi temannya, juga tersenyum menyaksikannya. Rudy mengedipkan sebelah matanya.
Indri makin tergelak. Tapi, wadooow! Pinggangnya sakit karena terguncang. Tawa Indri berubah jadi ringisan.
Yang lain terus tertawa, menertawakan ulahnya. Indri Cuma nyengir kuda.[]
Catatan:
Dimuat sebagai Cerita Utama di Anita Cemerlang Vol. 390 Tgl. 9 – 18 Desember 1991
Sumber:
https://www.wattpad.com/335981001-tragedi-pringgadi-tamat-minggat
0 komentar: