Cerpen Lis Maulina: Melody Merdekawati
Namanya Melody Merdekawati,Merah semangatnya bak seorang patriot bersemangat baja,
Namun sesungguhnya putih ketulusan hatinya
Bak kapas yang bersih, ringan dan lembut
ANDRE WICAKSANA
Namanya Melody Merdekawati. Nama yang patriotik memang. Bukan tanpa alasan nama sepatriotik itu diberikan orangtuanya. Karena dia lahir tiga hari setelah perayaan HUT kemerdekaan RI, tepatnya tanggal 20 Agustus, 17 tahun yang lalu. Dia...
Sebuah gebrakan di bahu membuyarkan lamunanku. Yoga duduk di sebelahku sambil terkekeh. "Masih di sini, aja? Cuma ngeliatin doang? Belum berani nyamperin?"
Aku nyengir. Mati kutu! Yoga tahu, sudah hampir setengah jam aku duduk di sini. Memperhatikan Mel dan dua konconya sedang asyik ngobrol. Entah sedang mendiskusikan apa. Sementara aku melamunkannya.
"Aku bingung cara memulainya, Ga," sahutku.
Lagi Yoga terkekeh. "Cara memulai? Kamu ini... kayak tidak kenal Mel saja..."
"Justru karena aku sangat mengenalnya, maka aku bingung. Aku tahu betapa angkuh dan keras kepalanya dia."
"Angkuh dan keras kepala? Mel?" Yoga mengulangi ucapanku. "Kemarin kau bilang, kesalahpahaman dengan Mel karena salahmu juga. Karena kamu terlalu percaya kata-kata Putri. Tidak cek dan ricek. Terlalu over reactive. Kalau memang begitu, kamu yang harus minta maaf pada Mel. Bukan begitu?"
"Oh.. ah... eh, itu..." Aku tergugu.
"Sebenarnya, yang angkuh dan keras kepala itu, Mel atau kau sendiri?"
Lagi aku mati kutu. Yoga benar. Mungkin memang aku yang angkuh. Mungkin memang aku yang keras kepala. Mengapa tidak dari dulu mendekati Mel dan meminta maaf? Mengakui kesalahan karena memutuskan menjauhinya. Seharusnya aku tidak seektrim itu. Tidak memutuskan hubungan persahabatan yang manis hanya karena hasutan Putri.
"Terus terang, aku takut, Ga. Aku khawatir, Mel masih marah padaku. Bagaimana kalau dia menolakku? Apa mungkin dia mau membantuku? Pasti dia berpikir, aku mendekati dan minta maaf, hanya karena kepepet dan butuh bantuannya."
"Lha, memang begitu kenyataannya, kan?" Yoga kembali menggoda.
"Ya, tidak gitu juga. Sebenarnya, aku pengen baikan lagi dengan Mel."
"Jadi kamu nyesal menolak Mel? Baru nyadar Mel itu walau kadang angkuh dan keras kepala, sebenarnya hatinya tulus? Tidak suka iri dan hasut seperti Putri? Tidak..."
"Ah, sudah! Susah ngomong sama kamu! Bukannya bantuin, malah tambah ruwet!" Aku berdiri, dan pergi meninggalkan Yoga yang kembali tertawa menggoda.
"Hei, Ndre! Bukankah kau sangat mengenal Mel? Kamu pasti tahu titik lemahnya, kan? Gunakan itu untuk membujuknya! Kau dengar?" Yoga masih sempat berteriak.
Aku pura-pura tak mendengar. Aku bergegas menjauh, mencari sudut yang lain untuk memperhatikan Mel dan dua sohibnya, Sisi dan Linda. Kembali memikirkan cara mendekati Mel dan meminta bantuannya.
Mel... Mel...! Melody Merdekawati. Anak itu sebenarnya manis. Meski dengan dandanan seadanya. Rambutnya yang lurus sebahu lebih sering diekor kuda. Wajahnya polos tanpa make up. Hanya bedak bayi tipis yang semakin siang kian luntur tergerus keringat, karena Mel tergolong aktif dan tidak bisa diam. Namun tetap saja wajah yang memiliki bibir tipis, hidung mungil, dan mata agak sipit itu terlihat manis. Tingginya juga semampai dengan berat proporsional. Secara keseluruhan, Mel sebenarnya cukup menarik.
Tapi Mel galak. Itu yang membuat cowok berpikir dua kali menjadikannya pacar. Kadang angkuh dan keras kepala. Aku hapal benar sifatnya, karena sejak kecil berteman. Rumah kami berseberangan gang. Lalu sejak SD sampai sekarang, selalu satu sekolah. Makanya kami berteman lumayan akrab. Sering berantem, tapi cepat baikan. Pertengkaran yang justru membuat kami semakin akrab. Membuat orang mengira kami pacaran.
Pacaran dengan Mel? Ih, terlintas dalam pikiranku pun tidak! Punya pacar segalak Mel? Uh, bisa-bisa setiap saat, setiap detik, kerjanya berantem melulu. Bisa stress aku dibuatnya.
Lalu Putri hadir. Dia murid kelas sepuluh, adik kelas kami. Cantik dan ayu. Feminim dan lembut. Benar-benar bertolak belakang dengan Mel. Tapi sama aktifnya. Maka sebagai Ketua Osis, aku cepat akrab dengannya. Keakraban yang katanya membuat Mel cemburu. Dari Putri pula aku tahu, diam-diam ternyata Mel naksir aku. Ternyata dia memendam harapan lebih padaku, tidak sekedar bersahabat.
Aku shock. Selama ini aku hanya menganggap Mel sahabat, tidak lebih. Harapan terpendam Mel membuatku kaget sekaligus takut. Itu yang membuatku memutuskan menjaga jarak dengannya. Sejak itu aku selalu menghindar. Aku menjauhinya. Agar misi ini berhasil, aku sengaja semakin akrab dengan Putri. Membuat orang salah paham dengan mengira kami pacaran.
Sekarang aku memerlukan bantuan Mel. Benar-benar membutuhkannya. Lalu bagaimana caraku untuk meminta? Sementara aku sedang menjauhinya dengan membabibuta. Sama sekali tanpa penjelasan dan alasan.
Tapi aku harus! Hanya Mel yang bisa membantu. Kalau tidak, Pak Rusdi --- Kepala Sekolah, pasti memarahiku. Pasti beliau akan mengomeliku. Atau kalaupun tidak, beliau pastinya merasa kecewa. Dan akulah penyebabnya.
Tidak! Bagaimanapun, ini adalah tanggungjawabku sebagai Ketua Osis. Ini demi menjaga nama baik sekolah. Bila sekolah kami mengundurkan diri dari perlombaan ini, omelan Pak Rusdi bukan masalah, tapi nama baik sekolah yang akan tercoreng. Apa nanti kata orang-orang Dinas Pendidikan? Bukan hanya Pak Rusdi sebagai kepala sekolah yang malu, tapi seluruh penghuni sekolah, termasuk seluruh siswa.
Aku menghela nafas. Aku harus bisa menekan egoku. Tak peduli harga diriku jatuh di mata Mel, karena menghiba-hiba bantuannya. Yang penting, nama baik sekolah terselamatkan. Yah, ini tanggungjawabku! Aku harus bisa.
Tiba-tiba aku teringat kalimat terakhir Yoga. Katanya, titik lemah Mel bisa kugunakan untuk membujuknya. Mungkin nasihat ini bisa kumanfaatkan.
Bukankah dulu kami juga sering bertengkar dan kemudian baikan lagi? Kucoba mengingat-ingat, bagaimana kami bisa baikan dengan mudah setelah musuhan. Setelah merasa yakin, kubulatkan tekat. Sengaja kutunggu Mel dekat persimpangan gang. Saat itu dia sudah sendiri, tidak lagi bersama dua konconya.
"Mel, kamu ikut gerak jalan, ya?" kataku tanpa basa-basi.
***
Namaku Melody Merdekawati,
Maka hatiku juga menyimpan nasionalisme
Ibarat bendera kebanggaan,
Hatiku merah membara saat mencintamu,
Dan mulai meredup ketika kau menjauh,
Setelah berubah putih,
Mengapa engkau kembali hadir untuk mengusik?
MELODY MERDEKAWATI
Namaku Melody Merdekawati. Yah, sebuah nama yang hebat. Kata Ayah, nama itu diberikan karena saat lahir nada-nada kemerdekaan masih nyaring berkumandang. Baik lewat televisi, radio, maupun pengeras suara yang digunakan panitia lomba perayaan HUT RI. Nama yang kadang membuatku terbebani. Seperti kejadian kemarin misalnya...
"Mel, kamu ikut gerak jalan, ya?"
Aku tertegun. Semula sempat berbunga-bunga ketika Andre tiba-tiba muncul di hadapanku. Tampaknya, dia sengaja menunggu di persimpangan gang. Setelah sekian lama, baru kali ini aku kembali berdekatan dengannya. Tapi kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya benar-benar membuatku kecewa.
Keruan saja aku cemberut. Tak bisa menyembunyikan perasaan tidak suka. "Bukankah anggotanya sudah lengkap? Genknya Putri ada lima orang. Tinggal menambah enam orang kan?"
"Itulah masalahnya Mel." Andre menghela nafas. Berat. "Putri mengundurkan diri. Sudah itu, semua anggota genknya juga ikut mundur. Gimana aku nggak bingung?"
Keningku terangkat. Putri mengundurkan diri? Ajaib benar! Bukankah semula dia paling bersemangat? Saking semangatnya sampai aku tersisih. Terutama karena Andre sangat mendukungnya.
"Kenapa dia mundur?" tanyaku penasaran.
Andre nyengir. "Dia ngambek. Marah sama aku."
Aku mencibir. "Rasain!"
Andre menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi aku gimana dong, Mel? Kita kan nggak mungkin mundur dari lomba. Bisa-bisa diamuk Kepsek aku! Kan, gawat!"
Lomba gerak jalan yang akan kami ikuti ini memang bukan lomba gerak jalan biasa. Lomba ini diadakan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-67. Jarak yang ditempuh sepanjang 17 kilometer --- melambangkan tanggal 17. Setiap regu beranggota 8 orang--- dengan 3 cadangan, sama dengan Bulan Agustus yang bulan ke-8. Kemudian yang diundang sebagai peserta adalah SMP dan SMA sebanyak 45 regu yang menandakan tahun 45. Nah, bila sekolah mereka mengundurkan diri, berarti jumlahnya tidak 45 lagi. Itulah sebabnya peserta yang mendaftar tidak boleh mundur. Apalagi saat lomba tinggal seminggu.
"Bukan urusanku!" cetusku cuek.
"Aduh Mel, tolong aku, dong!" Andre memasang wajah memelas.
"Sori! Cari aja orang lain!"
"Aku nggak tahu harus minta tolong siapa lagi." Nada suara Andre menghiba. "Aku sudah minta tolong anak kelas sepuluh, dapat dua. Hanya sebanyak itu cewek kelas sepuluh yang punya fisik kuat sekaligus keterampilan dasar PBB yang baik. Jadi, masih kurang tiga lagi. Termasuk salah satunya sebagai komandan regu."
Aku mengangkat bahu.
"Cuma kamu yang paling layak menggantikan Putri sebagai komandan regu, Mel. Kamu kan anggota senior Paskibra. Ditambah dua sobatmu, maka anggota kita akan lengkap."
Aku membelalak. Kutatap Andre gusar. Cowok ini benar-benar berniat memanfaatkanku. Mentang-mentang aku menaruh harapan padanya! Ketika kepepet, lari padaku. Memohon-mohon bantuan. Begitu yakin aku takkan menolak permintaannya. Bahkan berharap aku melibatkan dua sobatku, Sisi dan Linda.
Melihatku melotot, Andre mengangkat tangan.
"Oke Mel, jangan marah! Aku tidak memaksamu. Sungguh! Aku hanya minta tolong!" Andre mengatupkan telapak tangannya ke dada. "Jangan memutuskan sekarang, Mel! Please, pikirkanlah sekali lagi! Aku tahu, kamu mungkin masih kesal padaku. Jadi, jangan lakukan ini karena aku! Lakukan demi yang lain!"
"Demi yang lain?" Alisku kembali terangkat. "Maksudmu?"
"Yah, kamu bisa melakukannya demi nasionalisme! Bayangkan, kamu bakal membawa bendera merah putih dari start sampai finish sepanjang 17 kilometer, kemudian menancapkan ke ujung tiang. Sebagai seorang anggota paskibra, tidakkah rasa nasionalisme-mu tergugah? Ibarat menjiwai semangat perjuangan pahlawan kemerdekaan, demi tegaknya merah putih --- berkibar gagah di angkasa. Apalagi kamu adalah Mel --- Melody Merdekawati yang lahir hanya berselang tiga hari setelah perayaan kemerdekaan. Tentunya jiwa patriotisme itu mengalir dalam darahmu."
Aku tertegun. Benar-benar tertegun sampai tak menyadari Andre berlalu dari hadapanku.
Aku menghela nafas. Harus kuakui, meski sempat begitu marah pada Andre, tapi kata-kata cowok itu mampu menggugah sebuah rasa di dadaku. Mungkinkah itu rasa nasionalisme yang menyatu dalam namaku yang memang terdengar sangat patriotik?
Ah, inilah beban punya nama terlalu hebat!
***
MELODY MERDEKAWATI
Namaku Mel, lengkapnya Melody Merdekawati. Nama hebat yang terkadang menjadi beban berat. Makanya, untuk memutuskan aku terpaksa minta pertimbangan dua koncoku.
"Bagaimana menurut pendapat kalian?" tanyaku pada Sisi dan Linda.
Keduanya bertukar pandang. "Kalau kami sih terserah kamu aja, Mel."
"Lho, kok terserah aku?"
"Iya, Mel. Kami kan kapasitasnya hanya membantu kamu. Kalau kamu bersedia, kami juga mau. Kita kan sobat. Masak kami membiarkan kamu berjuang sendiri mengibarkan merah putih?"
Aku tersenyum. Soal kekompakan, kedua sobatku ini tak perlu diragukan. Tidak hanya saat suka, saat duka pun kami rasakan bersama. Meski penampilan dan pembawaan keduanya berbeda. Linda tomboy dan cenderung seenaknya. Sementara Sisi feminim dengan rok panjang dan jilbab. Lebih religius, serius dan dewasa. Tapi paling suka menggoda dan ngeledek Linda.
"Sebenarnya berjalan sejauh 17 kilometer demi mengibarkan bendera tidaklah berat bagiku. Tapi terus terang , aku masih dongkol banget sama Andre," ujarku setengah bergumam.
Kembali Sisi dan Linda saling pandang. Sebagai sahabat dekat, mereka sangat mengerti perasaanku. Mereka tahu, aku diam-diam menyimpan harapan lebih pada Andre. Mereka juga tahu hubungan persahabatanku dengan Andre yang rusak sejak kehadiran Putri --- adik kelas yang sok cakep. Merasa jadi idola, dia mendekati Sang Ketua Osis SMA Tunas Muda --- Andre Wicaksana.
Jelas aku cemburu. Eh, Putri malah membongkar rahasiaku, mengatakan pada Andre, aku naksir dia. Andre kaget, dan menjaga jarak. Hampir tak pernah lagi menghubungiku. Bila dihubungi, dia selalu menghindar. Sebaliknya, dengan Putri malah semakin dekat. Bahkan tersiar gosip mereka pacaran. Membuatku diam-diam patah hati.
"Kalau saranku, mungkin ada baiknya kamu bantu, Mel." Linda akhirnya urun pendapat.
"Mengapa?"
"Yah, seperti kata Andre, hitung-hitung menolong! Itu kan juga membuktikan kamu lebih baik dari Putri. Siapa tahu kamu bisa mengambil hati Andre lagi?"
Sisi melempar Linda dengan bantalan kursi. Gemas. "Kamu ni kebiasaan! Niat baik jangan dicampur ngelaba, dong! Kalau menolong ya menolong. Harus yang ikhlas biar jadi pahala."
Linda nyengir. Susah punya sobat alim. Kalau soal pahala dan dosa, tanggapannya selalu serius. Tidak bisa becanda dikit. Mungkin begitu pikirnya.
"Sisi benar," desahku pahit. "Sebenarnya, keinginan ada. Tapi aku ingin niat baik menolong teman serta memupuk rasa patriotisme dan nasionalisme tidak ternodai niat lain. Misalnya; niat membuktikan aku lebih baik dari Putri atau menarik perhatian Andre. Kok, rasanya membuatku kelihatan rendah."
Linda menatap Sisi, menyalahkan. "Tuh, Mel jadi terpengaruh! Mbok, jangan ekstrim! Sudah Mel, kalau punya keinginan baik, kerjakan saja! Kalau soal niat, bisa diluruskan nanti. Percaya, deh, Allah itu Maha Adil! Setiap perbuatan baik, sekecil apapun, bakal mendapat ganjaran. Jangan hanya karena kita meragukan kelurusan niat, akhirnya malah tidak berbuat apa-apa. Kapan dapat pahalanya?"
Kami terdiam cukup lama. Sama-sama berusaha mencermati kata-kata Linda.
"Mel, kayaknya kali ini Linda benar," aku Sisi beberapa menit kemudian, membuat Linda tersenyum senang.
Aku mengangguk, setuju.
***
ANDRE WICAKSANA
Namanya Mel. Lengkapnya Melody Merdekawati. Sekarang tampak segagah namanya. Mengenakan seragam berupa topi, kaos bertuliskan nama sekolah dan training serta sepatu kets. Dia memimpin regu gerak jalan sekolah kami. Berdiri paling depan sambil menggenggam tiang setinggi satu meter yang di puncaknya berkibaran bendera merah putih.
Di barisan paling depan, ada Sisi dan Linda. Yah, mereka bertiga akhirnya jadi menggenapi anggota regu gerak jalan sekolah. Meski hanya tersisa waktu satu minggu untuk persiapan.
"Kira-kira aku kuat nggak, ya?" Linda berujar ketika mereka disuruh bersiap di garis start bersama peserta lain.
Sisi mendelik.
"Kalo cewek kayak kamu nggak kuat jalan sejauh tujuhbelas kilo, malu sama penampilan! Mending buang saja tuh jeans belel, ganti dengan kain kebaya!" ejeknya pada Linda.
"Yee... ini tidak ada hubungannya dengan penampilan, tapi pada persiapan. Kita latihan cuma seminggu, kan? Sebelumnya, kita tak pernah jalan sejauh ini. Jangankan tujuhbelas kilo, jarak lima kilo saja kita naik motor atau angkutan!"
Mel tersenyum. "Tapi kalian semua sudah sarapan, kan?"
"Sudah. Malah pake menu tambahan telur setengah matang dua plus madu." Linda nyengir. "Tapi tetap saja aku ragu."
"Huh, dasar...! Sekarang kita tinggal bulatkan hati dan baca bismillah!"
Mel mengangguk.
Diam-diam aku memperhatikan seluruh adegan itu. Sebagai Ketua Osis, aku berkewajiban mendampingi mereka. Ikut mobil dinas Kepsek yang dipinjamkan sekaligus supirnya. Aku mengajak Yoga untuk bantu membawa perlengkapan regu. Ada konsumsi dan obat-obatan. Mobil ini juga membawa 3 anggota cadangan untuk menggantikan anggota regu inti yang mungkin tidak kuat karena kelelahan atau sakit.
Kilometer pertama, kedua, dan ketiga, regu kami masih kelihatan bersemangat. Mereka tak henti menyanyikan lagu-lagu nasional pemacu semangat. Dari Berkibarlah Benderaku ciptaan Ibu Sud sampai Lagu Bendera-nya kelompok Cokelat. Namun pertengahan kilometer empat, nafas mulai ngos-ngosan. Nyanyian timbul tenggelam.
"Mel, Ranti katanya tidak kuat lagi," bisik Sisi yang baris di samping Mel.
"Suruh tahan ! Tidak jauh lagi pos satu. Kita bisa istirahat atau ganti personil," jawab Mel.
Mel kembali bernyanyi dengan sisa-sisa suaranya. Meski teman-temannya tak terdengar lagi mengiringi. Dia ingin mereka tetap bersemangat sampai tiba di pos satu.
Dalam jarak sepanjang 17 kilometer, setiap lima kilometer disediakan pos. Menurut aturan, peserta hanya boleh beristirahat di sana. Bisa digunakan untuk mengatur nafas yang tersengal juga untuk mencegah dehidrasi dengan minum air secukupnya. Diperbolehkan juga mengganti personil dengan anggota cadangan. Apabila hal ini dilakukan di luar pos, peserta didiskualifikasi.
Untunglah, mereka lolos melewati pos pertama. Aku segera menghimpiri Mel.
"Minum, Mel?" ujarku sambil mengulurkan minuman botol padanya.
Mel hanya melirik sebentar. "Tolong, berikan kepada yang lain! Aku masih kuat."
Yoga yang melihat kejadian itu tersenyum mengejek. "Emang enak dicueki?" imbuhnya.
Di pos ini Ranti, Asma, dan Shinta terpaksa diganti karena tidak kuat meneruskan. Sementara anggota yang lain masih bisa bertahan. Mel berusaha memacu semangat mereka sebelum meneruskan perjalanan menuju pos kedua.
Awalnya masih terlihat bersemangat. Namun di pertengahan, perjalanan makin berat. Kelelahan mulai memuncak. Matahari juga kian tinggi. Teriknya benar-benar menyengat, membuat keringat mereka seperti diperas . Bisa kubayangkan, ubun-ubun mereka, meski sudah terlindung topi, pasti panas sampai ke telinga. Tenggorokan kering bagai tercekik. Selain itu telapak kaki seakan membengkak sehingga langkah jadi tampak sangat berat.
Rintihan dan keluhan silih berganti terdengar. Mel sampai bosan memberi mereka spirit. Bagaimana mungkin memotivasi mereka sementara semangatnya sendiri meredup. Bahkan nyaris padam. Kulihat bibirnya mulai komat-kamit. Mungkin sedang melantunkan doa agar diberi kekuatan sampai akhir perjalanan.
Tuhan menjawab doanya. Lewat hujan lokal yang tiba-tiba mengguyur. Mendinginkan kepala mereka yang nyaris mendidih. Menyejukkan kulit yang terasa memuai. Jarum-jarum air itu bagai menyuntikan tenaga baru dalam tubuh mereka. Meski basah kuyup, tapi mereka bagai tanaman yang segar kembali setelah disiram.
Hanya beberapa menit hujan turun. Namanya juga hujan lokal di tengah kemarau. Namun dampaknya luar biasa. Alhamdulillah! Wajah Mel dan anggota lainnya kembali berseri. Pastinya merasa bersyukur hujan turun. Baru sekarang dirasakan kesejukan kasih sayang Sang Pencipta lewat guyuran hujan.
Matahari kembali dari balik mendung saat mereka mencapai pos ketiga. Kesempatan lagi untuk beristirahat sejenak, memulihkan tenaga dengan meneguk air minum secukupnya. Ada juga yang berusaha mengganjal perut dengan beberapa potong kue. Ada yang hanya sekedar mengunyah permen.
Mereka kembali bersiap meninggalkan pos kedua menuju garis finish. Hanya sekejap, panas kembali menyengat. Terik lagi. Menguapkan kuyup yang membasahi seluruh tubuh peserta. Mengeringkan kain bendera yang mulai kembali berkibaran.
Beberapa kilometer terakhir Mel kembali menyanyikan lagu perjuangan. Kali ini teman-teman satu regu ikut bersamanya. Sangat bersemangat seperti baru meninggalkan garis start. Mereka terus bernyanyi sampai garis finish. Baru diam ketika sampai ke tiang berbentuk pipa. Di sampingnya bertuliskan nama sekolah mereka. Hikmat Mel meletakkan tiang bendera yang dibawanya ke ujung pipa.
"Kepada Bendera Merah Putih, hormaaattt, grak!" Tegas Mel meneriakkan aba-aba.
Serentak mereka memberi hormat. Kulihat mata Mel berkaca-kaca. Bahkan ada sebutir air di sudut matanya saat menatap bendera yang dibawanya berkibar gagah. Terlihat seperti menahan gumpalan keharuan yang membludak di dada.
Aku tergugu. Menatap Mel yang bersimbah peluh, tapi dengan wajah berseri dan mata penuh haru, menggugah kesadaranku. Dia terlihat sangat cantik. ***
***
EPILOG
"Melody Merdekawati adalah komandan regu SMA Tunas Muda, yang berhak memperoleh penghargaan Tropi Wasaka --- semangat membaja sampai akhir!"
Tepuk tangan bergemuruh.
"Mel, sekolah kita!"
Mel terhenyak. Setengah tak percaya dengan pendengarannya. Meski teman-teman bergantian memeluknya --- meluapkan kegembiraan, Mel tak bergeming. Dia sama sekali tak mengira. Bahkan dia sama sekali tidak mengharapkannya. Berhasil mencapai finish saja sudah sangat membanggakan.
"Kami minta Komandan regu SMA Tunas Muda bersama anggotanya naik ke panggung untuk menerima tropi. Meski tidak berhasil meraih gelar juara, namun juri dan panitia sepakat memberi penghargaan pada regu yang berhasil memelihara motivasi dan semangat mereka selama perjalanan. Mereka begitu tegar dan pantang menyerah. Benar-benar mewarisi semangat kemerdekaan." Pembawa acara meneruskan.
Akhirnya Mel percaya. Bersama teman-temannya, dia menerima tropi penghargaan itu.
"Selamat, Mel. Kamu hebat," Andre menghampirinya seraya mengulurkan tangan ketika Mel dan kawan-kawan turun dari panggung. "Tidak salah aku mempercayaimu."
"Terimakasih. Bukan hanya aku yang hebat. Yang lain tak kalah hebatnya." Mel tersenyum tipis.
Andre memandang wajah Mel. Baru sekarang dia menemui senyum Mel. Sejak dia minta tolong seminggu lalu, Mel selalu memang wajah cemberut. Bila ditanya pun, jawabannya pendek-pendek. Nadanya terdengar ketus. Dia masih menyimpan kesal rupanya. Sekarang, amarah itu sudah sedikit mereda.
Andre kembali memandang wajah Mel yang masih belum kering dari keringat. Kulitnya memerah karena terlalu lama terbakar matahari. Namun matanya yang membiaskan rasa haru dan bangga membuat wajah itu seperti bercahaya. Begitu cantik.
"Mel, mengenai Putri ..."
"Ohya, seharusnya aku berterimakasih pada Putri. Bila bukan karena dia, mungkin aku tidak akan mendapat kesempatan ini. Kesempatan untuk belajar dan menyadari, masih begitu banyak jenis cinta lain yang harus diperjuangkan. Salah satunya adalah cinta pada bangsa dan negara. Cinta yang harus kubuktikan dengan pengabdian dan hasil karya."
Andre tertegun. Kembali ditatapnya Mel. Entah kenapa, hanya dalam beberapa jam, cewek itu tampak begitu berbeda dari sebelumnya. Lebih arif dan dewasa. Bukan lagi Mel yang manja dan emosional. Apakah pengalaman hari ini yang mengubahnya?
"Mel, kamu ... "
"Kenapa, Ndre?" Mel balas menatap Andre. Kemudian kembali menatap empatpuluh lima bendera merah putih yang telah dipasang peserta lomba gerak jalan. "Aku kan Mel --- Melody Merdekawati. Bukankah kamu yang mengingatkanku waktu itu?"
Andre ikut menatap bendera yang berkibar. Rasanya, Mel semakin tinggi, sama seperti bendera itu. Tampak gagah dengan optimisme, patriotisme dan nasionalisme yang terpancar lewat matanya. Tapi semakin jauh juga dari jangkauannya.[]
Sumber:
https://www.wattpad.com/story/96959933-melody-merdekawati-tamat
0 komentar: