Cerpen Lis Maulina: Sepanjang Sungai Barito
I still keep coming hereFollow the traces
I travel back in time
Remember all those places
Feels like I never left
The house's still standing
Down by the river where
The dream are never ending
(Where the river flows, sung by Scorpion)
PRAMUGARI mengumumkan, sebentar lagi pesawat akan mendarat di lapangan udara Syamsuddin Noor. Dia meminta para penumpang mematikan rokok serta memasang sabuk pengaman. Annisa menunduk. Sabuk pengamannya tidak pernah dibuka sejak naik dari Bandara Adi Sucipto. Waktu dua jam terasa begitu pendek. Selama perjalanan, lamunannya juga ikut menerobos gumpalan awan.
Pesawat terasa merendah sampai akhirnya berguncang cukup keras. Roda pesawat sudah menyentuh bumi Lambung Mangkurat. Itu berarti dia sudah sampai di kampung halamannya.
Annisa tidak merasa perlu tergesa turun. Dari jendela dia sempat melihat beberaoa sosok yang dikenalnya di antara penjemput yang berdesakan di anjung sambutan.
Setelah hampir semua penumpang turun barulah Annisa berdiri. Tak lupa dia membawa tas plastik berisi dua kotak snack. Inilah enaknya naik pesawat yang transit, dapat jatah konsumsi dobel. Walau dia sendiri tidak berselera, namun bisa dijadikan oleh-oleh untuk keponakan-keponakannya.
Annisa masuk ke ruang kedatangan. Benar, di sana dia sudah ditunggu para penjemputnya. Rame sekali! Ada Abah, Mama, beberapa sepupu dan keponakannya. Pasti Abah bela-belain menyewa mobil untuk mengajak mereka. Padahal kalau mau, dia bisa pulang sendiri, naik taxi bandara. Tapi sesekali tak apa! Toh, tidak setiap tahun mereka menjemputnya di bandara.
Annisa diberondong pertanyaan. Dijawabnya pendek-pendek. Akhirnya mereka behenti bertanya. Mungkin mereka pikir dia kecapekan. Annisa kembali mengisi perjalanannya dengan lamunan panjang.
Mobil memasuki halaman. Terasa singkat sekali perjalanan bagi Annisa. Terlalu cepat sampai.
Annisa menengah. Mengamati bangunan yang berdiri megah di hadapannya. Sebuah rumah tua berarsitektur rumah tradisional Banjar. Menurut Abah umurnya sudah ratusan tahun, namun masih terlihat kokoh.
Annisa menaiki tangga menuju teras.
"Langsung temui Nini, Nis!" suruh Abahnya. "Beliau sudah tak sabar menunggu kedatanganmu."
Annisa mengangguk. Dia terus melangkah. Melewati beberapa ruang yang lantainya berjenjang-jenjang. Dia membelok ke sayap kiri, masuk ke kamar neneknya.
Seorang wanita tua duduk bersimpuh di atas kasur yang terhampar di tengah ruangan. Rambutnya yang putih kelihatan mulai menipis. Tubuhnya kurus dan ringkih. Cuma tulang berbalut kulit yang telah keriput. Kebaya dan kainnya tampak lusuh. Beliau sedang membaca Yasiin. Kacamata bacanya melorot sampai ke ujung hidung. Tangannya yang sedang menggenggam Yasiin kecil tampak gemetaran.
Melihat wanita tua itu, Annisa tak kuasa lagi menahan rindu dan harunya.
"Ni!" panggilnya dengan suara serak.
Nenek mengangkat wajahnya. Membuka kacamatanya dan meletakkannya ke samping bersama yasiin.
"Annis, cucuku!" Nenek tersenyum. Tangannya mengembang.
Serta merta Annisa menghambur ke pelukan tubuh ringkih itu. Tuhan, baru dia sadari, betapa sebenarnya dia merindukan wanita tua ini. Merindukan pelukan hangatnya, tatapan lembutnya, senyum arifnya, kata-kata bijaknya.
"Nini sakit apa?" Suara Annisa menyimpan isak.
"Kangen sama Annis. Kenapa Annis tidak pernah pulang mengengok Nini? Annis tidak kangen pada Nini?"
"Kangen, Ni. Tentu saja kangen," sahut Annisa cepat. "Tapi Annis kan sibuk kuliah."
"Walau pada saat libur juga?"
Annisa menunduk. Dia merasa bersalah.
"Sudahlah! Nini mengerti," kata Nenek lembut sambil membelai rambut Annisa. "Nini tidak menyalahkan Annis. Nini bahagia sekarang Annis sudah datang."
***
I still keep coming here
To that old river
To find my roots just where
The future lives forever
(Where the river flows, sung by Scorpion)
ANNISA sudah berkali-kali mondar-mandir mengelilingi rumah. Dia sendirian. Nenek tidur. Abah bekerja. Mama pergi belanja. Bik Surti mencuci di sungai.
Annisa mendengus kesal. Dia bosan. Sudah tiga hari dia cuma ngendon di rumah. Dia membayangkan, teman-temannya pasti sedang bersenang-senang di Bali. Semula rencananya dia dan beberapa teman yang sama-sama lulus pendadaran pergi refreshing di Bali. Tapi tiba-tiba sepucuk telegram datang mengabarkan neneknya sakit dan memintanya pulang segera.
Mulanya Annisa mengira itu cuma akal orang rumah memaksanya pulang. Selama lima tahun kuliah, dia memang tak pernah pulang sekalipun. Liburan panjangnya malah dihabiskan di kampung halaman teman-temannya, tak pernah di kampungnya sendiri.
Nenek alasan paling tepat untuk memaksanya pulang. Mereka tahu, Annisa sangat menyayangi neneknya. Dia takkan berani mengacuhkan telegram mengenai neneknya. Bila terjadi sesuatu tanpa dia sempat bertemu, dia takkan bisa memaafkan dirinya. Akhirnya Annisa memutuskan pulang.
Annisa terus melangkah ke dapur sampai beranda belakang yang menghadap sungai. Ada Bik Surti dan beberapa tetangga yang mencuci sambil ngerumpi.
"Non Anis!" sapa Bik Surti.
Annisa tersenyum, membalas sapaan itu. Dia menebarkan pandangan ke sekeliling. Pemandangansungai khas Kalimantan. Dia takkan pernah menemui pemandangan seperti ini di tempat lain.
Berbagai jenis perahu, yang bermotor maupun yang didayung hilir mudik menyusurui sungai. Yang bermotor namanya kelotok dan yang didayung disebut jukung. Sesekali melintas speed boat yang membuat gelombang sungai lebih besar.
Di sepanjang pinggiran sungai tampak jejeran batang dan lanting. Batang adalah rakit yang diatasnya dibangun jamban kecil. Di sanalah penduduk mandi, mencuci, dan tentunya buang air. Sedang lanting adalah rumah atau warung yang juga dibangun di atas rakit.
Annisa melihat sebuah jukung dan kelotok tertambat di tiang teras. Dia ingat, Abah memang punya jukung dan kelotok. Untuk penduduk pinggiran sungai, jukung atau kelotok adalah alat tranportasi vital seperti halnya sepeda dan motor untuk penduduk darat. Annisa tersenyum. Dia ingat, dia dulu suka sekali berjukung ria. Setelah tinggal di Yogya yang tak punya sungai besar, hobbynya beralih jadi bersepada.
"Non Anis mau ke mana?" tanya Bi Surti melihat Annisa melompat ke dalam jukung.
"Putar-putar saja, Bik." Sahut Annisa sambil melepas tali jukungnya. "Kangen mau naik jukung."
Annisa mengangguk. Dia pamit kepada mereka, kemudian mengayuh jukungnya membelah sungai
Annisa tersenyum kecil. Sekarang dia baru merasa, betapa rindunya dia pada kampung halamannya ini. Hidup yang mengalun selaras dengan ayunan gelombang sungai.
Aha! Ingat sungai, dia jadi ingat seseorang. Orang yang pernah dengan bangga berkata," bila mencariku, temuilah aku di mana suangai mengalir!" Sungguh sok puitis!
Kenapa aku tidak mencarinya? Annisa membelokkan arah jukungnya.
***
You find me, you find me
You find me by the river
You find me, you find me
You find me where the river flows
By the river where the dream have never died
By the river I look through children's eyes
(Where the river flows, sung by Scorpion)
"AN... NIS...SA?"
Erfani memandangnya dengan mata membelalak lebar, sekan tidak percaya dengan penglihatannya.
"Benar, Pak guru. Saya Annisa Rizkita," jawan Annisa sambil mengangguk hormat.
Erfani tertawa lebar. Dia berlari kecil menghampiri Annisa. Dia menjabat tangannya sambil mengguncang-guncang pundaknya.
"Darimana kau tahu aku di sini?"
"Aku ke rumahmu. Ibumu bilang kamu mengajar di sini."
Erfani tersipu. "Hanya honorer. Kebetulan di sini kekurangan pengajar. Daripada nganggur sementara menunggu ujian pengangkatan, kuterima tawaran kepala sekolah untuk membantunya di sini."
Annisa tersenyum. Dia melipat tangannya sambil memandang temannya sejak kecil itu dari kepala sampai kaki. Fani tidak berubah. Masih tetap sederhana. Sesederhana cita-citanya, jadi guru yang baik. Wuih, sulit sekarang menemukan orang yang mempunyai cita seideal itu! Apalagi yang berotak encer seperti Fani.
"Hei, apa yang kau lihat?"
"Perubahanmu."
"Lalu menurutmu apakah yang berubah pada diriku?"
"Tak ada," geleng Annisa. "kecuali kumismu yang membuatmu tampak lebih tua."
"Sial!" omel Erfani keki. "Terang aja, lima tahun kita tidak berjumpa. Kamu juga mulai tampak berkerut di sekitar mata."
"Ih, emangnya aku manula?"
Erfani tertawa.
"Kapan datang, Nis?"
"Tiga hari yang lalu."
"Dan baru sekarang kamu mencariku. Bagus benar!"
"Aku di rumah saja tiga hari itu, fan. Baru hari ini aku keluar. Abis, bosan!"
"Kenapa?" tanya Erfani agak sinis. Matanya menatap Annisa tajam. "Takut kembali terkenang?"
Annisa mendesah. Dia memalingkan muka, menghindari tatapan Erfani. Tak ada gunanya mungkir di hadapan Fani. Cowok itu tahu semua kartunya. Sejak SD mereka berteman, karena kebetulan sekolah mereka selalu sama. Cuma setelah kuliah, mereka pisah. Annisa ke Yogya, sedang Erfani tetap di sini.
"Aku yakin, sebenarnya kamu tidak pernah berniat pulang kembali ke sini. Lima tahun, tak pernah sekalipun pulang kampong. Kamu pasti berencana menetap di sana seumur hidupmu. Kepulangan kali ini pastu karena terpaksa."
Annisa menunduk. Fani benar. Dia memang tak berniat kembali lagi. Dia bahkan sudah mengirim beberapa surat lamaran kerja di sana. Setelah selesai kuliah, dia ingin tetap bekerja di Jawa. Dia ingin menghapus semua kenangannya di sini.
"Nini sakit," ucap Anisa lirih.
"Nah, benarkan?" Suara sinis Erfani makin menusuk telinga Annisa. "Di sini kamu cuma mengurung diri di rumah. Keterlaluan ekali! Padahal selain kenangan pahit, kota ini menyimpan kenangan manis juga, kan? Apakah kenangan manis itu kalah berkesan dari kenangan bu..."
"Sudah, sudah! Sekarang kan aku sudah keluar, dan langsung menemuimu. Apalagi?"
"Oh, iya! Bagaimana kesanmu setelah keluar dari persembunyianmu?"
"Aku baru sadar, sebenarnya aku amat merindukan tempat ini."
"Benarkah?" Wajah Erfani kelihatan cerah. "Berarti tidak apa-apa bila kamu kuajak jalan-jalan? Akan kuperlihatkan perubahan-perubahan di sini selama lima tahun kamu tidak pulang."
"Boleh. Siapa takut?"
***
"TEMPAT apa ini?" tanya Annisa turun dari boncengan motor Erfani.
"Soto Sungai Jingah."
"Oh, jadi ini!" Annisa manggut-manggut. "Tempat tongkrongan baru anak-anak muda di sini?"
"Bisa dibilang begitu. Tapi yang suka ke sini bukan anak muda saja, kok. Orang-orang tua juga. Kadang bersama keluarga. Soto di sini bukan saja enak, tapi juga banyak."
Mereka masuk. Bentuk warung ini sederhana saja. Tapi seperti kata Erfani, memang laris manis. Mereka hampir tidak kebagian tempat kosong. Untunglah ada juga tempat di pojokan.
Erfani memesan dua porsi soto dan es jeruk.
"Aku yakin, selama ini pasti kamu belum sempat makan soto Banjar yang benar-benar enak," celoteh Erfani ketika pesanan mereka datang.
Annisa mulai menyuap sotonya. Dia mengakui kelezatannya. Benar-benar dia menikmatinya. Tapi setelah beberapa suap, tiba-tiba ayunan tangannya terhenti di udara.
Erfani yang baru mengangkat wajah, menatapnya heran. Dia memutar kepalanya, mengikuti arah pandangan Annisa. Seketika itu juga dia jadi maklum.
Dia kenal benar pemuda yang baru masuk bersama seorang wanita muda dan seorang balita. Dialah Derry. Orang yang menyebabkan Annisa memutuskan pergi dari kota ini, menyebunyikan diri di Yogya selama lima tahun dengan alasan kuliah.
Erfani kembali menatap Annisa. Gadis itu masih mematung dengan mata melebar. Ada gelepar ketakutan di bola matanya. Wajahnya memutih. Bibirnya yang setengah terbuka menyimpan geletar halus.
Erfani menghela napas. Lima tahun telah berlalu. Waktu yang cukup panjang untuk menyembuhkan sebuah luka, menghapus sebait kenangan, dan mematikan sebentuk cinta. Namun agaknya lima tahun belum cukup bagi Annisa.
Separah itukah lukanya? Sehebat inikah akibatnya? Erfani mengeluh dalam hati. Demikian berkesankah kenangan bersamanya bagi Annisa? Begitu dalamkah cinta Annisa padanya?
"Aku harus pergi, Fan," kata Annisa lima tahun yang lalu. "Aku tidak bisa terus berada di sini. Aku tak kuat menghadapi semua ini. Tempat ini terlalu banyak menyimpan kenangan akan Derry. Kenangan manis yang berujung setajam belati. Sakit! Amat sakit!"
Erfani menggeleng. "Tidak, Nis, kamu tidak seharusnya pergi. Hanya karena seorang Derry, kamu tinggalkan orangtuamu, keluargamu, teman-temanmu, kampong halamanmu. Demi Tuhan, Nis, dia tidak seberharga itu. Dia tak pantas menerima pengorbanan sebesar ini."
"Kamu tidak mengerti, Fan. Kamu tidak merasakan dikhianati orang yang paling kita kasihi dan percayai."
"Justru karena itu, Nis. Dia tidak berharga untuk kamu tangisi dan sesali. Kamu harus tetap di sini, Nis. Demi orangtuamu, keluargamu, dan semua orang yang menyayangimu."
"Tidak, Fan, aku tak bisa!" Annisa terisak. "Aku tak kuat melihat tatapan mata orang-orang kepadaku. Tatapan kasihan bercampur cemoohan. Bisakah kau bayangkan kehancuran hatiku, Fan? Derry tidak Cuma meremukkannya, tapi menginjak-injaknya. Aku harus pergi, Fan, untuk menata kembali serpihan hatiku."
Dan Annisa pun pergi. Menghilang selama lima tahun. Setelah kembali, agaknya dia masih belum mampu menata serpihan hatinya yang telah remuk. Derry memang bajingan!
Erfani menggeram. "Kita pergi, Nis?"
Annisa tersentak. Dia menatap Erfani sebentar. Menatap porong soto mereka yang masih penuh. Kemudian kembali menatap tiga orang yang baru masuk yang nampaknya kehabisan tempat.
"Tidak, Fan." Annisa berdiri. "Aku malah ingin menyapa mereka."
Annisa menghampiri mereka.
"Halo, Der! Lama ya kita tidak jumpa? Bagaimana kabarmu?" sapa Annisa ringan.
Wajah Derry pucat pasi. Matanya membelalak. Dia memandang Annisa seolah melihat hantu di siang bolong.
"Ratna, kan? Masih ingat aku?"
Annisa beralih menyalami istri Derry. Dia berjongkok di hadapan anak mereka. "Ini anak kalian yang keberapa? Siapa namamu?"
"Nissa!"
Kening Annisa berkerut. "Nissa?"
"Khairun Nissa!" sahut bocah itu mengulang dengan lugunya.
Annisa tersenyum.
"Sungguh, aku metasa tersanjung! Mari duduk bersama kami, sambil bernostalgia. Kebetulan aku datang bersama Erfani."
Bocah bernama Nissa itu menuntun tangan kedua orangtuanya yang masih terlongo-longo. Mereka mengikuti Annisa menghampiri meja yang ditempatinya bersama Erfani.
***
MEREKA duduk-duduk di teras belakang. Ada sepiring pisang goreng dan dua gelas es teh. Musik Scorpion dari album terbarunya 'Pure instink' mengalun dari mini compo yang sengaja dibawa Annisa ke sana untuk mereka nikmati.
"Ahhh...!" Tiba-tiba Annisa bersuara sambil merentangkan tangannya. Napasnya dihembuskan kuat-kuat. "Aku tidak pernah merasa sebaik ini."
Erfani yang semula asyik menikmati pemandangan lalu lintas sungai menoleh.
"Hampir aku tidak percaya aku bisa melakukannya." Annisa bergumam. "Mungkin karena aku sudah bertambah dewasa, ya!"
"Tidak juga," sahut Erfani. "Sejak dulu aku percaya kamu bisa melakukannya."
Kening Annisa bertaut. "Aku tidak mengerti maksudmu."
"Kita berteman sudah cukup lama, Nis. Aku cukup mengenalmu. Yang paling tidak kusukai adalah kamu terkadang menganggap remeh dirimu sendiri. Kamu tidak pernah mau menyadari kalau sebenarnya kamu lebih baik dari yang kamu kira."
"Aku masih belum mengerti."
"Kamu selalu menganggap dirimu lemah, Nis. Kamu belum berusaha sepenuh kemampuanmu, kamu sudah menyerah. Seperti dulu kamu selalu mengira kamu tidak sanggup menerima pengkhianatan Derry. Kamu kira kamu tidak mampu menghadapi kenyataan, sehingga kamu memilih lari. Padahal aku tahu, Nis, sebenarnya kamu mampu. Kamu tidaklah serapuh yang kamu kira. Kamu hanya melihat kekurangan-kekuranganmu. Kamu menutup mata pada kelebihan-kelebihanmu. Sehingga kamu selalu saja menganggap orang lain lebih darimu. Kamu menganggap dirimu rendah."
"Ketahuilah, Nis! Sesungguhnya kamu lebih baik dari yang kau kira. Kamu lebih pintar dari yang kamu kira. Dan kamu juga..."
"Apa? Kenapa berhenti? Teruskan saja!" ucap Annisa tanpa nada marah. "Mungkin benar, aku tidak adil pada diriku sendiri. Selama ini aku meremehkan diriku sendiri. Teruskanlah, agar mataku lebih terbuka!"
"Kamu sebenarnya tidak sejelek yang kau kira."
"Oya?" Annisa membeliak.
"Yah!" angguk Erfani dengan wajah serius. "Menurutku sebenarnya kamu lumayan."
"Lumayan?"
"Lumayan mengerikan!"
"Sial" omel Annisa sebal.
Erfani tertawa. Senang dia bisa menggoda Annisa.
"Tapi walau begitu, kata-katamu ada benarnya juga. Terimakasih telah menginggatkanku!" kata Annisa serius. "Kamu benar-benar baik, Fan. Kamu benar-benar baik, Fan. Kamu selalu ada saat aku butuhkan."
"Eit, tapi aku tidak melakukan semua itu dengan tanpa pamrih, lho. Aku mengharapkan imbalan."
"Imbalan?"
"Ya. Tapi imbalan yang kuminta tidak berat, kok. Aku cuma ingin kamu terus di sini, tidak pergi ke mana-mana lagi."
"Ups, sorry, ya! Aku tetap akan pergi. Aku kan pengen juga ikut wisuda."
Erfani tercenung.
"Tak apa," katanya kemudian. "Kamu boleh pergi ke mana saja kamu suka. Aku yakin, akhirnya kamu akan kembali ke sini juga."
"Kenapa begitu yakin?"
"Kamu lupa, kata orang-orang tua, orang yang meminum air sungai Barito pasti akan balik lagi ke sini. Apalagi kamu, yang hampir tigaperempat hidupmu selalu meminum air sungai Barito. Maka cepat atau lambat pasti akan kembali ke sini." Erfani mengedipkan matanya. "Tenang saja, aku orangnya sabar, kok. Dan kamu tahu kan di mana bisa menenmukanku?"
Annisa ingin membantah, tapi Erfani tampak tidak peduli lagi. Dia malah ikut menyenandungkan tembang Scorpion dengan suaranya yang fals.
I still keep coming here, follow those traces
I travel back in time, remember all those places
Feels like never left, the house's still standing down
By the river where the dreams never ending
You find me, you find me
(Where the river flows by Scorpion)
Annisa mengulum senyum.[]
Keterangan:
Abah : Ayah
Nini : Nenek
Kelotok (Bahasa Banjar) : perahu bermotor
Jukung (Bahasa Banjar) : perahu dayung
Batang (Bahasa Banjar) : dermaga terapung
Lanting (Bahasa Banjar) : rumah terapung
Catatan:
Dimuat sebagai Cerita Utama di Anita Cemerlang Vol. 565 Tgl. 9 - 28 Desember 1996
Sumber:
https://www.wattpad.com/story/92827220-sepanjang-sungai-barito-tamat
0 komentar: