Cerpen Lis Maulina: Senandung Senja
SANG bagaskara sudah beberapa menit lalu berangkat ke peraduannya di ufuk sebelah barat. Aku meninggalkan Pantai Kuta meski pengunjung yang menikmati sunset masih belum berkurang, bahkan semakin bertambah. Aku ingat pesan yang disampaikan Miss Kobayashi melalui Ketut Tantri. Aku diminta datang ke kamarnya untuk mengantarkan souvenir berupa patung kayu berbentuk Hanoman pesanannya.Berbekal nomor kamar, aku mendatangi hotel yang dimaksud. Letaknya tidak terlalu jauh dari Pantai Kuta. Bukan hotel berbintang, hanya hotel melati, namun kamarnya selalu penuh. Aku sudah sering datang. Kadang bersama turis, karena aku merangkap profesi sebagai guide lepas. Kadang sendiri, apabila diminta mengantar barang atau memijit tamu yang kelelahan. Karyawan hotel sudah hapal, sehingga aku tak perlu lagi berbasa-basi.
Jadi, sebenarnya sudah tidak terhitung lagi aku melewati deretan kamar yang berjejer di hotel ini. Aku sampai hapal tata letaknya. Hanya saja, baru kali ini mendengar senandung yang mengalun dari kamar 127. Bukan lagu dangdut atau pop, bukan juga alunan musik klasik intrumentalia yang biasa diputar stasiun radio swasta.
Senandung ini sontak membuat langkahku terhenti. Alunannya bagai mengandung kekuatan magis yang tak kuasa untuk kulawan, membawa memoriku berkelana ke masa lalu, puluhan tahun ke belakang saat aku masih bocah ingusan berusia lima tahun. Aku ingat, pernah mendengar senandung serupa dari bibir ibuku.
***
WILLY, begitu biasa aku dipanggil di sini. Padahal namaku sebenarnya Wibi. Hanif Wibisono panjangnya. Dua nama perpaduan dua budaya, Islam dan Hindu. Pasalnya, menurut ibuku, namaku hampir saja menjadi sumber perselisihan antara eyang--- orangtua Bapakku yang abdi dalem keraton Surakarta, dan kakekku--- orangtua Ibu, seorang ulama Jember. Akhirnya, dua nama pemberian mereka dirangkum menjadi satu.
Orangtuaku menikah di Solo, namun aku lahir di Jember. Nasib membawa keluargaku sampai Banyuwangi, mengikuti mata pencaharian Bapak yang berganti-ganti. Akhirnya, ketika menjadi supir truk barang di Banyuwangi, dan kami mulai menetap. Hanya setengah tahun setelah kelahiranku, adikku lahir, perempuan diberi nama Nur Aina. Kemudian menyusul adikku yang selanjutnya hingga 3 orang.
Aku ingat, ibuku sangat suka bersenandung. Aku tak tahu senandung apa, namun aku sangat suka mendengarnya. Biasanya, senandung ini dilantunkan saat matahari mulai menyembunyikan wajahnya di balik harizon barat. Namun, tak jarang juga senandung ini dialunkannya saat mengantar kami tidur, atau pada saat memasak di dapur.
'Mengaji', yah itulah jawaban saat aku bertanya tentang senandungnya setiap senja. Namun soal senandung pengantar tidur kami, Ibu mengatakannya sebagai 'syair shalawat'. Ibu pernah pula mengajarkanku beberapa bait senandungnya. Namun, saat itu aku masih cedal sehingga sedikit sukar menirukan senandung ibu yang terdengar merdu dan syahdu.
Hanya lima tahun, senandung itu menemaniku. Setelah kecelakaan merenggut nyawa Bapak, senandung itu tak pernah lagi kudengar. Mulanya kupikir, ibu terlalu sedih untuk bersenandung setelah kami baru saja kehilangan tiang tumpuan keluarga. Namun ternyata, ibu bukan hanya terlalu sedih, tapi juga terlalu sibuk untuk bersenandung. Soalnya, setelah kematian Bapak, otomatis beban untuk menghidupi kami berempat beralih ke pundaknya.
Dari pagi buta sampai menjelang tengah malam, Ibu tak hentinya bekerja. Dia mengambil upah mencuci dan setrika. Selain itu, dia juga membuka usaha jual gado-gado dan soto di pasar. Benar-benar tak ada waktu untuk bersenandung. Setiap malam setelah pekerjaannya yang bertumpuk selesai, bukan senandung yang keluar dari bibirnya, melainkan batuk berkepanjangan. Batuk yang membuat tubuhnya semakin hari semakin ringkih. Batuk yang akhirnya dibarengi darah kental dan memaksanya menyerah di pelukan maut.
Hanya setahun setelah kematian Bapak, Ibu menyusulnya. Berdasarkan keputusan rapat keluarga, kami berempat dibagi-bagi pada saudara-saudara bapak dan ibu. Dua adikku yang paling kecil, Rabia dan Fikri dibawa dua saudara bapak ke Solo. Nur Aina, dibawa adik ibu ke Jember. Sementara aku tetap di Banyuwangi, ikut kakak tertua ibu.
Ternyata, tinggal bersama Pak De Gafar tidak lebih enak. Pasalnya, Pak De juga sudah punya 5 anak. Sebagian besar juga masih kecil dan semua masih sekolah. Akhirnya, akulah yang lebih sering dikalahkan, karena istrinya selalu pilih kasih.
Saat umur 7 tahun, ketika anak lain menikmati bangku sekolah, aku mulai belajar mencari uang sendiri, dari menjadi loper di persimpangan, menjajakan kue di terminal, sampai menjadi tukang semir dari rumah makan ke rumah makan. Kemudian aku mengenal Mas Bowo, tetangga kami yang merantau ke Bali. Katanya, usaha toko souvenirnya yang dibuka di sekitar Pantai Kuta maju pesat. Dia mengajakku untuk ikut membantunya.
Niat ini diutarakan pada Pak De. Tentu saja istri Pak De menyambutnya dengan antusias. Tampaknya, dia memang sudah tidak sabar lagi untuk menyingkirkanku. Dengan bekal seadanya, aku mengikuti Mas Bowo ke Pantai Kuta.
Di sinilah kemudian terungkap, Mas Bowo tidak pernah punya toko souvenir sendiri. Aku disuruh membantu di toko souvenir kenalannya. Dia sendiri juga kerja ikut orang di sebuah rumah makan di kawasan Pantai Kuta. Namun, dia sering memperlihatkan tumpukan uang asing kepadaku. Entah darimana dia mendapatkannya. Katanya, tip dari turis.
Beberapa bulan kemudian, keherananku terjawab. Ketika itu Mas Bowo memperkenalkanku pada seorang turis gaek asal Amerika. Mr James White namanya. Dia sangat baik pada Mas Bowo, juga padaku. Kami diajak jalan-jalan, shoping dan ditraktir makan. Bahkan, kami diajak istirahat di kamarnya, sebuah hotel bintang tiga. Sebuah kamar deluxe yang berconnecting dengan kamar di sebelahnya. Aku yang sedang senang dan kecapekan akhirnya tertidur pulas.
Ketika bangun, aku merasakan kesakitan di seluruh tubuhku, terutama di bokong. Kesakitan ini semakin menjadi waktu aku mau buang air. Aku heran, apa yang telah terjadi padaku. Saat ingin mencari Mas Bowo untuk menanyakan hal ini, aku mendengar suara-suara aneh dari pintu yang berhubungan dengan kamar sebelah. Melalui lubang kunci, aku mengintip. Saat itu juga aku merasa perutku mual. Aku tak hentinya muntah karena mengetahui itulah juga yang terjadi padaku.
Meski jijik luar biasa, aku tak bisa lari. Aku tak mengenal siapa-siapa di Bali kecuali Mas Bowo. Karena itu, aku pasrah saja. Begitu juga ketika kemudian Mas Bowo membawa turis gaek lainnya kepadaku. Lagipula, mereka memberiku uang yang banyak. Meski sebagian diambil Mas Bowo, bagiku uang itu tetap sangat banyak. Aku bisa membeli apa saja yang kuinginkan.
Apalagi kemudian, Mas Bowo tidak hanya membawa turis gaek, melainkan juga turis-turis cewek muda. Sebagian besar wanita karir asal Jepang. Mereka jauh lebih murah hati. Mereka memanjakanku, karena aku pandai menyenangkan mereka.
Begitulah, baru tiga tahun aku tinggal di Bali, namun hidupku sudah sangat berubah. Aku tak lagi dipanggil Wibi, melainkan Willy. Mas Bowo yang menggantinya. Katanya, supaya lebih komersil. Karena sejak itu, aku sudah terkenal sebagai gigolo termuda dan juga tampan. Karena tidak pilih-pilih tamu, aku cepat kaya. Bahkan, aku sudah membuka toko souvenir sendiri. Kecil saja, karena memang hanya sebagai usaha sampingan, sebagai penunjang usahaku yang sebenarnya.
***
SENANDUNG serupa pertama kali kudengar selain dari bibir almarhumah ibuku. Namun tetap terdengar merdu dan syahdu. Aku bagai terbius saat mendengarnya. Sampai tak sadar, pintu kamar terbuka, dan seorang anak lelaki memandangku heran. Dia mengingatkanku pada adikku, Fikri.
"Hai, kamu siapa?" tanyanya setengah berteriak.
"Raihan, tidak baik berteriak malam-malam!" Seorang wanita muncul di belakangnya. Dia mengenakan pakaian tertutup serba putih. Persis seperti yang dikenakan ibuku bila bersenandung saat senja.
"Assalamualaikum!" Dia memandangku sambil menyapaku lembut. "Adik mencari seseorang?"
"Say... saya..." Aku tergagap. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Siapa, Mi?" Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kamar.
"Tamu. Seorang anak."
Lelaki yang hanya terdengar suaranya kemudian menyusul. Dia mengenakan sarung, berbaju agak panjang berwarna krem. Di kepalanya mengenakan kopiah.
"Saya... kebetulan lewat." Akhirnya keluar juga kalimat dari bibirku. "Tidak sengaja, mendengar senandung dari kamar ini."
"Senandung?" Kedua suami istri itu saling pandang.
Yang wanita tersenyum. "Oh... itu bukan senandung, kami mengaji--- membaca Al-Quran."
"Yah, mengaji. Itu juga yang dikatakan Ibu saya."
"Ibumu suka mengaji? Di mana sekarang beliau?" tanyanya penuh hormat.
Aku merasa serba salah. "Sudah meninggal, lima tahun lalu. Sejak itu saya tidak pernah lagi mendengar senandung itu."
"Oh, maaf!" Wajahnya tampak prihatin. "Tapi jangan khawatir, Ibumu pasti senang di alamnya, karena dia suka membaca Al-Quran."
"Maaf, kalau boleh bertanya, nama adik siapa? Tampaknya adik bukan orang Bali?" Yang pria bertanya.
"Wibi. Saya perantauan dari Banyuwangi."
"Oh, pantas!" Dia mengangguk maklum. "Kalau begitu, mengapa adik tidak ikut masuk? Kami baru saja mau shalat Isya bersama. Adik mau ikut berjamaah?"
"Ap... apa?"
"Ikut shalat Isya. Adik muslim, kan? Orang Islam?"
Aku tertegun. Bingung.
"Katanya, ibu adik suka membaca Al-Quran. Berarti muslim, Islam."
"Iya, tapi saya tidak tahu. Saya..."
"Baiklah, kami mengerti. Kenapa adik tidak ikut masuk dulu? Nanti akan kami terangkan apa yang adik tidak tahu."
Aku menurut. Pesan Miss Kobayashi terlupakan seketika. Mereka keluarga Ilham Syarifuddin. Aku memanggilnya Bang Ilham. Istrinya bernama Hafsah. Mereka dari Bogor. Datang ke Bali dalam rangka mengikuti seminar yang digelar kantor Bang Ilham. Karena bertepatan dengan liburan sekolah, akhirnya anak istrinya diajak.
Singkat saja pertemuan itu, namun aku memperoleh sangat banyak. Terlebih setelah kuceritakan pada mereka asal mula perantauanku. Mereka mengajarkan apa yang tidak sempat diberikan orangtuaku semasa hidupnya. Tentang Islam, agama yang kuanut. Mereka juga memberikan kursus kilat shalat dan membaca Al-Quran.
"Supaya Wibi tidak hanya bisa mendengar senandung senja dari bibir orang lain, tapi juga bisa melantunkannya sendiri," ujar Kak Hafsah.
Saat pulang, aku dihadiahi beberapa kaset berikut buku tentang shalat dan baca Al-Quran. Aku juga diberikan sebuah Al-Quran, lengkap dengan terjemahannya.
Sayang, itu pertemuan pertama dan terakhir kami. Soalnya, esok paginya, mereka sudah check-out dari hotel. Namun yang mereka tinggalkan, sangat berarti bagi jalan hidupku selanjutnya.[]
(Terinspirasi kisah anak jalanan di Pantai Kuta dalam 'Jika Ia Anak Kita' oleh Irwan Julianto)
Sumber:
https://www.wattpad.com/story/117290507-senandung-senja
0 komentar: