Cerpen Lis Maulina: Jerat-jerat Cinta

09.31 Zian 0 Comments

SEORANG wanita setengah baya sedang menyapu halaman. Mengumpulkan daun-daun kering yang berjatuhan ditiup angin. Asyik sekali tampaknya, sampai tidak menyadari kehadiran Dinda.
"Kulonuwun!" salam Dinda sambil mendorong pintu pagar bambu.
Wanita itu serentak mengangkat wajahnya. Keningnya berkerut. "Siapa, ya?" gumamnya.
Dinda melangkah mendekati. Sepatu ketsnya yang menggilas kerikil menimbulkan suara rame. Dia tersenyum.
"Bu Nur lupa sama saya?"
Wanita itu diam. Dia coba mengingat-ingat. Lalu tiba-tiba menepuk dahinya sendiri. Sapu lidi di tangannya terlepas begitu saja.
"Eaaalahhh... ! Nak Dinda, too? Adiknya Nak Ayu?"
Dinda mengangguk. "Tepat sekali, Bu. Masak ibu lupa, sih?"
"Ah, tidak, Nak! Ibu tidak lupa. Cuma heran saja." Bu Nur memandang Dinda dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.
Dinda langsung menyadari keadaan dirinya. Dia ngacir dari Solo ke Yogya ini dengan seragam sekolah lengkap. Pasti itu yang membuat Bu Nur keheranan.
"Maaf, Bu. Ayunda ada?" tanya Dinda cepat, sebelum Bu Nur duluan mengajukan pertanyaan yang akan sulit untuk dia jawab.
"Oh, ada! Kebetulan sekali sudah pulang. Kalo biasanya sih masih di kampus. Tapi hari ini, baru saja pulang."
"Jodoh 'kali, Bu," sahut Dinda tertawa.
Bu Nur ikut terkekeh, memamerkan gigi-giginya yang tak utuh lagi. Dinda makin geli melihatnya.
Sambil terus terkekeh Bu Nur membalikkan tubuhnya. Dari gerakannya, Dinda bisa menduga, pasti Bu Nur berniat memanggil Ayunda. Maka cepat-cepat dia meraih lengan Bu Nur.
"Nggak usah dipanggil, Bu!" cegah Dinda. "Kalo boleh, biar saya saja yang masuk! Saya ingin memberi kejutan pada Yunda."
"Oh, tentu boleh," sahut Bu Nur cepat. "Nak Dinda masih ingat letak kamarnya, kan?"
"Iya, Bu. Permisi!"
Dinda melangkah memasuki rumah lumayan besar di hadapannya. Maklum, penghuni rumah itu cukup banyak. Sebagian besar anak-anak kos. Sedang Bu Nur cuma ditemani Sumi, keponakannya yang membantu mengurus rumah kos ini. Sedang anak-anak Bu Nur sendiri sudah menikah dan tinggal di berbagai kota.
Yunda beruntung mendapat induk semang sebaik Bu Nur, pikir Dinda. Orangnya ramah, pengertian, dan bijaksana. Mana rumahnya enak lagi. Dirawat dengan sungguh-sungguh. Lihat saja halamannya yang penuh dengan bermacam jenis tanaman yang teratur rapi!
Dinda menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah kamar paling ujung. Sayup-sayup terdengar suara Michael Bolton berkumandang ditemani saxophone "Don't make me wait for love". Sedang kamar-kamar lain senyap. Mungkin, yang lain kuliah.
Tanpa sadar Dinda tersenyum. Alangkah bedanya suasana kamar kakaknya ini dengan kamarnya sendiri di rumah. Yah, walau terlahir dari rahim dan benih yang sama, dia dan Ayunda berbeda. Ayunda lebih suka mendengarkan lagu-lagu manis dan romantis. Mencerminkan wataknya yang lembut, kalem, anggun, dan penyabar. Beda dengan Dinda. Kamarnya selalu semarak dengan musik-musik cadas milik Bon Jovi, Metalica, Gun 'n Roses, dan lain-lainnya sebagai lukisan sifat tomboy, keras kepala, egois, dan sedikit manjanya. Maklum, dia putri bungsu kesayangan keluarga.
Sedang apa ya Yunda di dalam? Pikir Dinda lagi. Mengkhayal? Melamun? Merenung? Membaca? Belajar? Dinda mengingat-ingat kebiasaan kakaknya bila sedang sendirian di kamar.
Pelan-pelan Dinda mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Dinda mengetuk lebih keras lagi. Masih tak ada jawaban. Sekali lagi...
"Ya, masuk! Nggak dikunci, kok." Terdengar sahutan dari dalam. Suara itu amat dikenalnya. Siapa lagi punya suara semerdu dan selembut itu selain kakaknya tercinta?
Dinda memutar handel pintu. Benar, pintu langsung terbuka. Dia masuk tiga langkah, dan menunggu.
"Ada apa?" tanya Ayunda tanpa membalikkan badannya. Dia duduk di meja belajarnya membelakangi Dinda. Di meja dan sekitarnya penuh dengan berbagai jenis dedaunan.
Dinda terkikik geli. Dasar calon insyinyur pertanian!
Mendengar suara khas itu, tiba-tiba Ayunda berbalik. Dia terbelalak melihat cocok Dinda yang tegar berdiri di depan pintu. Tawa Dinda makin keras melihat mimic kakaknya sedikit bingung campur kaget.
Tapi ini bukan pertama kali. Sering malah kakaknya itu dibuat bingung, kaget, dan tak berdaya oleh ulah Dinda. Demikian juga almarhumah Mama, sering senewen menasihatinya. Cuma Papa tampak santai. 'Kali beliau sadar, kebengalan Dinda diwarisi dari dirinya. Kalo Yunda, banyakan nurunin sifat-sifat Mama.
"Kinoi, kamu..." Yunda bangkit. Dia langsung menjitak sayang kepala Dinda. Mengacak-acaknya dengan gemas. "Apa-apaan kamu, Noi?"
Dinda memeluk kakaknya penuh rindu. Ayunda balas memeluknya. Lama.
Tiba-tiba saja Dinda merasakan keharuan bergolak di balik dadanya. Ingin rasanya dia menangis. Beban yang selama ini memepatkan benaknya dan menyesakkan dadanya seakan luluh dalam kehangatan pelukan kakaknya yang penuh kasih.
Dulu, ketika Mama masih ada, cuma kelembutannya yang mampu mengendalikan kebandelan Dinda. Kesabaran Mama mampu melumerkan kekerasan hatinya. Tatapan Mama yang sejuk mampu meredakan gejolak perasaannya.
Setelah Mama tiada, perannya digantikan Ayunda. Kakaknya itu benar-benar duplikat Mama. Tidak cuma wajahnya, tapi juga sifat dan wataknya. Sehingga Dinda tidak sempat merasakan kehilangan yang teramat karena Ayunda memerankannya dengan nyaris tanpa cacat cela.
Ketika Ayunda harus pergi, meneruskan kuliah di Yogya, barulah Dinda merasakan kehilangan pegangan.
"Yogya-Solo seberapa jauh sih, Noi? Tiap minggu aku juga pulang. Atau kalau tidak, kau yang menjengukku di sana," hibur Ayunda.
Memang, Ayunda selalu berusaha menepati janjinya. Tapi waktu satu minggu cukup untuk membuat cerita yang akan dikisahkannya pada Ayunda basi. Persoalan akan keburu memuncak bila menunggu Ayunda pulang ke rumah dulu. Segala saran dan nasehat takkan ada gunanya lagi bila peristiwanya sudah berlalu.
Untunglah, hal itu tidak berlangsung lama, karena kemudian muncul Intan. Anak baru itu sejak mula sudah menarik perhatian Adinda karena sifat dan pembawaannya mirip Mama dan Yunda. Dan benar saja, Intan bisa menjadi sahabat Adinda yang setia, pengganti Mama dan Yunda. Temannya berbagi cerita, suka dan duka. Temannya dalam menghadapi segala persoalan, minta pertimbangan dan saran.
Kehadiran Intan, sungguh berarti bagi hidup Dinda. Tapi...
Ah! Dinda mengeluh. Mengingat Intan bagai menusuk-nusukan pisau ke dadanya sendiri. Sakit! Nyeri! Pedih!
Kalau persoalan yang tengah dihadapinya kini berkaitan dengan Intan, kepada siapa lagi dia harus mengadu? Pada Papa? Mana mungkin Papa punya waktu memikirkan persoalannya. Kasihan, problem beliau sendiri sudah banyak. Sedang untuk memecahkannya sendiri, dia rasa belum sanggup.
Kalo menurutkan hati, Dinda pasti mengumbar emosi. Dan dia yakin hasilnya bukan baik, tapi tambah runyam. Sekarang dia butuh seseorang untuk memberikan pertimbangan. Dia butuh dukungan dan saran.
Makin lama terbelit persoalan, Adinda makin tak sanggup berkelit. Dia tak mampu lagi menahan gejolak perasaan. Dia tak sanggup lagi untuk bertahan. Dia pun nekat untuk mengabil keputusan, lari menghindarkan diri dari kenyataan.
Ayunda merasakan bahu adiknya berguncang dalam pelukannya. Ada isak tersimpan dalam guncangan itu. Dia merenggangkan pelukannya dan menatap wajah Adinda yang sudah basah bersimbah air mata dengan penuh tanda tanya.
"Adin, ada apa?" tanya Ayunda. Dia tidak lagi memanggil Adinda dengan panggilan manja 'Kinoi'.
Adinda membuang muka, menghindari tatapan kakaknya.
Ayunda mengambil dagu adiknya, memaksa untuk terus memandangnya. "Adin punya masalah?" tanyanya lembut sambil merapikan anak rambut di dahi Adinda.
Adinda melepas pelukan kakaknya. Dia melemparkan tasnya. Lalu dia pun melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur yang tertata rapi. Memeluk guling erat-erat. Menutup mata rapat-rapat.
Ayunda menghela napas. Dia mengerti, tak mungkin memaksa Adinda bicara saat ini. Dia pun kembali ke mejanya, menyelesaikan tugas laporan praktikum.

***

"KALO kita punya sahabat, terus sahabat kita itu senang sama cowok, tapi kita tahu cowok itu tukang bo'ong. Kita bilangin nggak sama sahabat kita?" Adinda memulai ceritanya.
"Iya. Harus, dong!" sahut Ayunda cepat. "Sebelum segalanya terlanjur, kita harus mencegahnya lebih dulu!"
Adinda menghela napas. Berat sekali tampaknya.
Ayunda mengerutkan kening. Dia mulai berpikir dan menebak-nebak arah pembicaraan Adinda.
"Intan?"
Dinda menatap wajah kakaknya sendu. Dia tak pernah bisa menyembunyikan apapun dari Yunda. Lemah dia mengangguk.
"Itulah kesalahanku yang utama, Nda. Ketika cowok itu mendekati Intan, mestinya Adin memperingatkannya. Tapi Adin cuma tutup mulut. Abis Adin nggak tega, Intan kayaknya sangat menyukainya. Dia kelihatan bahagia. Adin nggak sampe hati ngerusak kebahagiaan itu. Adin cuma bisa berdoa, semoga cowok itu telah insyaf dan benar-benar menyayangi Intan dengan tulus. Tidak cuma ingin mempermainkannya.
Tapi harapan Adin tidak dikabulkan. Cowok itu meninggalkan Intan. Menggoreskan luka dalam hatinya yang polos. Intan guncang. Untung saja Adin berhasil mengobarkan kembali semangat. Karena Adin merasa menyesal, Adin merasa berdosa. Adin merasa turut andil dengan terlukanya Intan."
Adinda terdiam. Mengambil gelas tehnya, dan meneguknya. Mungkin dia merasa tenggorokannya kering.
"Kini, setelah luka Intan mulai sembuh, cowok itu kembali datang dengan topeng kepalsuannya. Dia kembali mendekati Intan berbekal sejuta kata maaf dan sesal. Nggak salah kan bila kali ini Adin mati-matian memperingatkan Intan? Adin nggak mau untuk kedua kalinya cowok itu melukai Intan. Tapi kayaknya Intan sudah terbius kata-kata berbisa cowok itu. Dia terlanjur menyukai cowok itu. Dia lebih mempercayai kata-kata cowok itu daripada Adin.
Bahkan ketika tersebar fitnah, Adin menghalangi hubungan Intan dengan cowok itu karena Adin juga menyukai cowok itu, Intan percaya saja. Ah, Yunda! Bisa bayangkan gimana perasaan Adin? Maksud baik Adin malah dibalas prasangka buruk yang menyakitkan."
Ayunda melangkah mendekati adiknya. Dia duduk di sampingnya. Dipegangnya bahu Adinda dengan hati-hati. Dia lihat mata itu berkaca-kaca. Dia pun mengerti, di balik kaca bening itu tersimpan gejolak perasaan yang sulit dikendalikan. Itulah adiknya, sangat emosional.
"Apakah Adin yakin cowok itu akan kembali melukai Intan? Apakah tidak mungkin cowok itu benar-benar insyaf dan menyesali kesalahannya? Bukankah tidak ada manusia yang sempurna? Pasti ada salah dan khilafnya. Intan benar, ingin memberi kesempatan pada cowok itu untuk memperbaiki kesalahannya."
Adinda berbalik, balas menatap Ayunda. Matanya menyala tanda menyimpan amarah dan dendam. Kelihatanlah watak asli Adinda.
"Maaf? Insyaf?" Adinda tersenyum sinis. "Adakah kata-kata itu mempunyai arti bila diucapkan oleh seorang Yoga?"
Ayunda terkesiap. Dia sama sekati tidak menduga jawaban Adinda. "Yoga?"
"Yah. Yoga Pradipa. Yunda masih ingat? Cowok itu yang dulu merebut perhatian Yunda dariku. Yang membuatku merasa tersisih dan tak lagi dipedulikan. Cowok yang akhirnya menghempaskan cinta pertama Yunda yang tulus dan polos dengan kejam. Dia berpaling pada gadis lain."
Ayunda mengerjap. Gambar-gambar masa lalu bagai slide yang berputar-putar di benaknya.
"Cowok yang membuatku harus rela melepaskan kepergian Yunda ke Yogya, karena harus mengobati hati yang terluka." Adinda bangkit dengan sangar. "Cowok itu melukai dua orang yang teramat kusayangi, Yunda dan Intan. Sekarang, haruskah kubiarkan dia melakukannya lagi kepada Intan?"
Ayunda tertunduk. Dia sibuk memadamkan bara yang terpercik di dadanya sendiri. Dendam lama itu bagai kembali tersulut. Luka itu kembali terasa nyeri. Tuhan, sekarang apalah bedanya lagi aku dengan Adinda bila tak sanggup memaafkan? Keluhnya.

***

"MAU ke mana, Yunda?"
"Pulang. Kangen sama Papa."
"Yunda!" keluhan lemah itu membuat Ayunda berpaling menatap Adiknya yang terduduk lesu.
"Persoalan justru bertambah parah bila kau terus di sini, Adin. Persoalan tidak akan selesai dengan melarikan diri dari kenyataan. Kamu harus hadapi semua ini. Pulang, dan jernihkan masalahmu dengan Intan. Yunda yakin, Intan pasti bisa mengerti. Dia sahabatmu. Paling tidak, kalian punya hubungan batin. Dia pasti percaya pada Adin."
Adin makin dalam tertunduk. "Tapi Adin nggak tahan mendengar fitnah-fitnah itu, Yunda. Telinga Adin sakit mendengarnya. Setiap mata yang memandang penuh tuduhan dan prasangka."
Ayunda merangkul adiknya.
"Justru akan lebih parah bila kamu terus menghilang begini. Mereka pasti akan menduga tuduhan itu benar. Lain kalau kau hadapi dengan tegar, Adin. Mereka pasti akan berpikir lagi akan kebenaran semua itu." Yunda membelai rambut Adinda penuh kasih. "Pulang ya, Noi!"
Adinda mengangguk lemah. Dia tak kan mampu membantah kakaknya kalau sudah begini. Lagipula Yunda benar, dia tak mungkin terus bersembunyi.

***

ADINDA mengumpat dalam hati. Darahnya mendidih sampai di kepala. Orang yang sangat dibencinya itu kini malah menghadang langkahnya. Ingin rasanya dia menampar mulut yang terlalu pintar mengumbar kata-kata itu. Ingin rasanya dia lari meninggalkannya. Tapi rasa ingin tahu yang besar menahan langkahnya.
"Mau apa?" tanyanya ketus.
Cowok itu, Yoga tersenyum-senyum. Membuat Adin makin muak melihatnya.
"Aku tahu kamu marah padaku, Adin. Tapi justru itulah, kita mesti membicarakan masalah ini agar jelas."
"Kalau begitu, bicaralah!"
"Di tempat ini? Ah, tidakkah lebih baik kita mencari rumah makan? Kita bisa bicara sambil makan siang."
"Aku tak punya banyak waktu. Keluargaku menungguku makan siang. Tak perlu bertele-tele. Di sini juga tak banyak orang. Semua teman sudah pulang."
"Tapi..."
"Atau aku akan pulang!"
"Tunggu, Adin!" cegah Yoga cemas. "Oke, kita bicara di sini. Tampaknya kamu benar-benar marah padaku."
Adin mendengus. Dia menunggu dengan tidak sabar. Sedang Yoga kelihatan sedikit gugup. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan menyandarkan punggung ke pintu Forsa putihnya.
"Aku... aku heran Adin, kenapa kau keliatan sangat membenciku. Padahal aku sendiri sebenarnya... suka padamu."
Bagai mendengar bom di siang bolong, Adin sangat terperanjat mendengar kata-kata Yoga. Wajahnya langsung membara. Merah padam.
Yoga mengira warna merah di wajah Adin karena tersipu meneruskan. "Pertama melihatmu, aku sudah suka Adin. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Maka aku mendekati Intan, karena dia sahabatmu. Tapi malangnya, Intan malah salah paham. Dia mengira, aku menyukainya. Padahal tidak, Adin, aku cuma menyukaimu. Aku..."
"Diam!"
Ganti Yoga yang tersentak. Dia melihat mata indah Adin membara. Ada kemarahan dan dendam berbaur di sana. Nyalinya tiba-tiba ciut.
"Kadal busuk! Kamu kira aku bodoh, dapat kau cekoki dengan kata-kata gombalmu? Setelah kau sakiti hati kakaku, kau lukai perasaan sahabatku, kini kau memang jerat itu untukku. Cih!" Adin meludah. "Jangan harap, Yoga! Sekarang enyah kau dari hadapanku sebelum murkaku memuncak. Kuharap kau masih ingat Kinoi, adik Ayunda yang dulu pernah kau sakiti juga, bila sedang marah. Nah, itulah aku!"
Yoga mundur beberapa langkah. Sekelebat dia ingat wajah Ayunda. Salah seorang bekas ceweknya. Dia baru sadar, ada kemiripan wajah Adin dengan Ayunda. Dia pun ingat deretan piala di rumah Yunda yang menurutnya milik Adin yang aktif di taekwondo. Adinda, si Kinoi yang keras kepala dan ... pemberang!
Dengan gugup Yoga meraih cunci di saku celananya. Membuka pintu Forsanya dengan gemetar. Tapi kunci itu malah jatuh. Bergegas dia merunduk untuk memungut. Ketika bangkit, dia malah melihat sosok lain di tempat itu. Sosok yang amat dikenalnya.
"Intan," desisnya kalut.
Intan tersenyum dingin.
"Pergilah, Yo! Untuk sementara ini, jangan perlihatkan mukamu di hadapanku!"
Yoga menelan ludah. Buru-buru dia membuka pintu Forsanya, masuk, kemudian melarikannya, meninggalkan tempat itu.
Tak bisa berkata-kata. Hanya matanya yang bulat bening berkilauan. Adinda terpaku. Kehadiran Intan yang tiba-tiba membuatnya terpana. Bingung harus berbuat apa.
Intan melangkah mendekati. Tangannya terentang. "Adin, ke mana saja kau? Aku kangen...!"
Adin tersadar. Dia langsung menyambut pelukan Intan dengan penuh haru. Sahabatnya kini telah kembali.
"Maafkan aku, Adin! Karena aku tak pernah mau mendengar," bisik Intan.
Adin mengangguk. Dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya matanya yang benng berkilauan. Seindah kilauan di mata Intan. Seindah persahabatan tulus yang mereka jalin.[]


Catatan:
Dimuat sebagai Cerita Utama di Anita Cemerlang Vol. 441 Tgl. 28 Mei – 7 Juni 1993

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/90558531-jerat-jerat-cinta-tamat

0 komentar: