Cerpen Lis Maulina: Si Putri Malu

09.42 Zian 0 Comments

JANTUNG Melati berpacu lebih cepat ketika mereka berhenti di depan pintu sebuah kelas. Seperti kelas-kelas yang lain, kelas ini pun bercat kapur putih, kecuali pintunya yang bercat biru laut dan bingkainya yang berawarna biru tua. Melihat sebuah papan bertuliskan 'II A3.2' di atas pintunya, yakinlah Melati, mereka memang sudah sampai di kelas barunya.
Melati menarik napas panjang. Mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa kebat-kebit, grogi. Dari dalam kelas terdengar suara gaduh yang luar biasa. Maklum, kelas yang tidak ada gurunya, ibarat tikus-tikus yang lepas dari pengamatan kucing! Apalagi ini kelas Sosial. Biasanya memang terdiri dari manusia-manusia yang sulit diatur dibanding jurusan Fisika dan Biologi. Menurut Pak Basuki, guru yang sekarang mengantar sekaligus walikelasnya, di antara dua kelas Sosial lainnya, kelas II A.3.2 memang yang paling sulit diurus.
Melati bertambah grogi mendengar penjelasan tersebut. Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana nanti dia digiring memasuki kelas. Ah, kalau saja boleh memilih, Melati lebih suka tetap tinggal di Samarinda, sekolahnya yang dulu. Bersama teman-teman yang sudah dianggapnya seperti saudara. Lagipula diapun sudah merasa menyatu dengan alunan Sungai Mahakamnya, dengan tetangga dan penduduk lainnya, terutama dengan... Galang.
Alangkah sedihnya Melati ketika diberitahu Papa, mereka sekeluarga harus pindah ke Banjarmasin, karena Papa ditunjuk jadi pimpinan anak perusahaan yang baru di sana. Andai saja bisa, Melati ingin tetap tinggal di Samarinda, numpang di rumah Tante Martha. Tapi tentu Papa Mama tak mengizinkannya.
Papa membujuknya mati-matian. Papa berjanji mencari tempat tinggal yang lingkungannya sama dengan lingkungan mereka tinggal di Samarinda. Yang letaknya strategis, mudah bila mau ke mana-mana, dan rasa kekeluargaannya masih kental dan terasa. Papa juga berjanji memasukkan Melati ke sekolah terbaik di kota ini. Pokoknya Papa berjanji semua akan berjalan seperti ketika mereka di Samarinda. Papa meyakinkannya, dia akan mendapat teman-teman yang sebaik teman-teman lamanya.
Masalah sebenarnya bukan itu. Mereka yang mengenal Melati pasti tahu permasalahan sebenarnya terletak pada Melati sendiri. Dia punya sifat pemalu yang kadang melebihi dosis. Terutama bila menghadapi suasana dan lingkungan baru. Melati agak susah beradaptasi. Dia pendiam bila berada di tengah-tengah lingkungan yang belum dikenalnya, sehingga susah akrab dengan orang.
Karena itulah Melati menjadi cemas bila dia harus memasuki lingkungan yang baru. Kalau di rumah, tidak masalah. Karena dia selalu didampingi papa dan mamanya. Mereka kenalan bersama-sama dengan tetangga di sekitar rumah. Tapi bila ke sekolah, mungkinkah juga dia ditemani papa dan mamanya? Jelas tak mungkin.
"Pokoknya usahakan kamu bersikap sewajarnya," begitu nasihat Papa, Mama, maupun Mas Galang kepadanya. "Jangan menghindari tatapan mereka dengan terus menunduk! Angkat mukamu, dan berikan senyum ramahmu! Jangan terlalu diambil hati guyonan mereka, anggap saja angin lalu! Kalau bisa, tanggapi dengan guyonan juga. Biasa kalau murid baru itu dikerjain terlebih dahulu. Yang penting, kamu kuat mental saja!"
Melati mengomel dalam hati. Iya, ngomong sih enak! Yang ngejalanin setengah mati.
"Lho, kok malah melamun?" Pak Basuki menegurnya sambil mengembangkan senyum bijaknya. "Ayo, kita masuk!"
Melati merasa agak tenang melihat senyum itu. Kayaknya guru-guru di sini memang sama baiknya dengan guru-guru yang dulu. Benar kata Papa kalau begitu.
Pak Basuki mendorong pintu yang tertutup setengahnya. Derit pintu yang pelan itu sanggup menghentikan kegaduhan di dalam. Terdengar derap kaki bercampur gesekan kursi dengan lantai. Pasti anak-anak itu bergegas duduk manis menunggu guru yang masuk.
Melati mengikuti langkah Pak Basuki memasuki kelas. Dia tidak berani mengangkat wajahnya. Ah, persetan dengan segala nasihat mereka! Gerutunya dalam hati. Ketika sosoknya nongol di ambang pintu saja sudah mengundang bermacam komentar yang digumamkan dari berbagai sudut. Membuat kepalanya semakin berat untuk diangkat.
"Pagi, anak-anak!" sapa Pak Basuki sambil meletakkan tumpukan buku di pelukannya di atas meja. Melati berdiri di sampingnya.
"Pagi juga, Pakkk...!" Seperti koor yang tidak ditata rapi, murid-murid menjawabnya. Ada yang sengaja dipanjangkan. Ada yang setengah menjerit. Ada yang memakai suara bas, persis suara monster.
"Hari ini kalian mendapat teman baru," lanjut Pak Basuki.
"Assyiiik! Yang ini, Pak? Bolehlah!" celetuk seorang yang bersuara cempreng.
"Kenalin dong, Pak!" sambut yang lain.
"Iya, Pak! Suruh dia cerita yang puannnjang ... tentang dirinya."
"Benar, Pak. Data-data selengkapnya."
"Iya, Pak."
"Benar, Pak."
Matilah aku! Keluh Melati panik. Inilah saat yang paling dia takuti. Tuhan, kuatkan aku! Menyesal rasanya pernah ikutan menggoda Ambar ketika menjadi murid baru di kelasnya dulu. Mereka memberondong Ambar dengan pertanyaan yang kadang tak masuk akal. Tapi Ambar cukup luwes menghadapinya. Dia menjawab semua pertanyaan dengan jawaban yang tak kalah konyolnya.
Tapi aku bukan Ambar, keluh Melati lagi. Kali ini pasrah bercampur putus asa. Dan aku tidak bisa seperti Ambar.
"Teman-teman memintamu memperkenalkan diri," kata Pak Basuki menggugahnya.
Melati mengangkat muka, menatap wajah guru itu memohon perlindungan. Matanya mengerjap, antara bingung dan panik. Tapi Pak Basuki malah mengangguk, membuatnya tak berkutik. Hanya tatap mata arif lelaki setengah baya itu memberi sedikit kekuatan untuknya. Dia yakin Pak Basuki tidak akan membiarkan dia dipecundangi teman-teman barunya ini.
"Nam .. ma saya Melati," ucap Melati dengan bisikan yang tergagap.
"Hahhh? Apa?"
"Kamu dengar, Di?"
"Tauk! Belati 'kali!"
"Masak? Bukannya Bambang?"
Celetukan-celetukan lain terus keluar di sela-sela tawa yang bergema memenuhi seisi kelas.
"Aduh, Pak! Nggak kedengaran," protes seorang cewek.
"Iya. Abis dia menghadap Bapak aja, sih. Nggak mau liat kita."
"Iya, ya. Padahal kita kan lebih manis-manis daripada Pak Basuki."
Pak Basuki mengulum senyum mendengar celoteh muridnya. Dia memandang Melati dan dengan isyarat menyuruh Melatibicara menghadap teman-temannya.
Ingin rasanya Melati pingsan saja saat itu. Supaya terbebas dari keadaan yang sangat menyiksa ini. Tapi apalah dayanya? Akhirnya dia hadapkan juga wajahnya ke arah teman-temannya. Menguatkan diri untuk memandangi mereka. Kebanyakan mereka cengar-cengir menggoda. Beberapa anak cewek berusaha menyembunyikan tawa. Ada juga yang diam dengan tatapan yang lebih mengandung simpati.
"Nama saya Melati Sri Rezeki," Melati mengeraskan suaranya."Ohhhhh? Melati, tho?" Kembali jawaban mereka seperti koor.
"Saya dari Samarinda," lanjutnya.
"Ah, masak? Bukannya dari Jayagiri?" celetuk cowok yang duduk di pojok kanan paling belakang. Dari suaranya yang cempreng, Melati tahu dialah yang paling sering nyeletuk tadi. Dari wajahnya kelihatan dia memang agak bandel.
Suara tawa bergemuruh lagi menyambut celetukannya. Wajah Melati menghangat.
Dari pojok kiri terdengar teriakan bernada girang, "Ih, pipinya memerah, nek!"
"Ih, iya!" sahut yang di depannya. "Dia tersipu."
"Tapi malah tambah manis, ya?" Kembali si cempreng bersuara.
Wajah Melati semakin terasa panas. Telinganya seperti terbakar. Dia bisa membayangkan bagaimana warna wajahnya sekarang. Ya, Tuhan! Jangan biarkan mereka terus menggodaku, doanya dalam hati.
"Wah, pantasnya sih, namanya bukan Melati, tapi Putri Malu."
Untung Tuhan mendengar doa Melati. Pak Basuki mengangkat tangannya, menenangkan kelas yang semakin gaduh.
"Cukup, anak-anak!" katanya lantang, sarat wibawa. "Kita mulai belajar."
Desahan kecewa terlontar dari beberapa mulut yang tidak puas dengan keputusan Pak Basuki. Sedang Melati memandang guru itu penuh terimakasih.
"Kau boleh duduk, Melati!" suruhnya kepada Melati. "Nana, ajak Melati duduk di sampingmu!"
Seorang cewek manis berponi yang duduk sendiri di bangku barisan ketiga mengangguk. Dia tersenyum kepada Melati, dan menggeser duduknya ke dekat jendela.
"Yah, Pak! Perkenalannya kan belum selesai." Lagi-lagi si Cempreng mengajukan protes ketika Melati duduk di samping Nana.
"Sudah cukup! Yang lain-lain bisa kalian tanyakan di luar jam pelajaran."
Tak ada yang berani protes lagi. Pak Basuki membuka bukunya, melihat pelajaran terakhir. Kemudian memulai tanya jawab sebelum melanjutkan pelajaran.
Baru Melati bisa bernapas lega. Walau kecemasan itu belum hilang, karena penggojlokan mungkin belum lagi berakhir sampai di sini.
Benar dugaan Melati, ketika lonceng istirahat berdentang, seluruh penghuni kelas menghambur ke arahnya. Berebut mengulurkan tangan dan menyebut nama masing-masing ditambah embel-embel konyol. Melati bingung menyambutnya. Apalagi secara sengaja, yang sudah salaman pun mengulurkan tangan lagi, lagi dan lagi. Hingga seakan penghuni kelas ini tak ada habisnya.
Kali ini Nana yang menyelamatkannya. Teman sebangkunya itu kasihan melihat Melati kebingungan. Tangan Melati digandengnya, dan diseretnya dengan paksa menjauhi tempat itu.
Tentu tindakan Nana mendapat protes keras. Tapi Nana cuek. "Melati mau kuantar ke Koperasi, beli emblem, lokasi, dasi, dan seragam olahraga," jawabnya berkilah.
Nana mengajak Melati berkeliling lingkungan sekolah. Semula memang ke ruang Koperasi, membeli barang-barang yang diperlukan Melati, kemudian Nana memperlihatkan ruang-ruang lainnya; perpustakaan, lab Biologi, lab Fisika, lab Bahasa, ruang Osis, ruang PKK, bahkan ke kantin segala.
Di kantin itulah Melati bertemu Etha, teman SMP-nya. Hampir saja dia lupa. Temannya itu tambah manis dan tinggi. Untung Etha membantu dengan tawanya. Tawa khas itu yang mengingatkan Melati. Mereka kemudian asyik bercerita, mengenang nostalgia selama SMP. Setelah lulus SMP, Etha melanjutkan ke SMA ini, kembali ikut orangtuanya. Waktu di Samarinda Etha ikut neneknya.
Melati senang sekali. Sekarang dia benar-benar merasa lega. Dia telah mendapat dua teman baik. Nana, teman sebangkunya dan Etha, teman lamanya yang ternyata satu SMA, walau lain kelas. Etha di Biologi. Tapi Melati merasa optimis, karena dua temannya ini pasti akan mau membantunya beradaptasi dengan lingkungan sekolah ini.

***

MELATI dan Nana sedang meneguk es jeruknya yang terasa segar setelah berolahraga, ketika Etha menghampiri mereka dengan seorang cowok cakep. Melati agak tersipu menyadari siapa cowok itu. Dia yang memperhatikannya diam-diam dari ruang Osis, ketika kelas mereka main basket di lapangan.
"Ini Han, Mel, Ketua Osis," ujar Etha memperkenalkan. "Dan ini Melati yang kuceritakan itu, Han."
Melati memandang Etha tak mengerti. Kenapa Etha harus menceritakan dirinya kepada Han? Sedang Nana cuma mendengarkan sambil menikmati bakso yang mereka pesan.
Etha tertawa melihat mimik Melati. "Aku memang cerita tentang kamu pada Han. Soalnya, dia sedang bingung mencari pemain basket yang dapat diandalkan. Aku ingat, waktu SMP kamu kan jago main basket."
"Benar, Mel. Sebab beberapa bulan lagi akan ada kompetisi-kopetisi basket yang lumayan penting; Walikota Cup, Sumpah Pemuda competition, dan lain-lain. Tahun lalu, regu basket sekolah kita, terutama putrinya, adalah regu yang diperhitungkan. Beberapa gelar juara kita rebut. Tapi akhir-akhir ini prestasi tim putr1 menurun, karena sebagian pemain andalan lulus tahun lalu. Sedang pemain baru belum mampu menggantikan mereka. Kualitas permainan masih jauh di bawah standar," jelas Han panjang lebar.
"Lalu kuusulkan pada Han untuk mengajakmu bergabung. Kukatakan, kamu jagoannya three points ketika SMP dulu," sambung Etha.
Melati tersipu. "Ih, Etha bisa saja! Dia terlalu melebih-lebihkan."
"Ah, tidak! Etha benar. Saya sudah melihat sendiri kemampuanmu tadi. Permainanmu cukup memukau. Padahal saya tahu kamu belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu."
Melati makin tersipu mendengar pujian cowok itu.
"Kamu mau bergabung kan, Mel?" desak Etha setengah memaksa.
Melati akhirnya mengangguk setuju.

***

SEJAK itu Melati ikut latihan basket bersama Etha dua kali seminggu di lapangan basket sekolah. Rabu sore jadwal latihan khusus untuk putri. Sedang Jumat sore untuk gabungan putra-putri. Kalau hari Minggu pagi, setelah jogging latihan fisik. Kadang latihan ditambah porsinya menjelang kompetisi.
Semula Melati tidak mengalami kesulitan sama sekali. Semua berjalan mulus. Teman-temannya baik. Mereka menerima kehadiran Melati dengan tangan terbuka. Malah mengagumi permainan Melati, dan mengakui kehebatan Melati yang setingkat di atas mereka.
Padahal Melati sempat mencemaskan adanya iri atau dengki yang timbul karena kehadirannya. Sebab pasti ada satu dua orang yang kedudukannya digeser Melati dari regu inti. Namun kecemasan itu tidak terjadi. Mereka cukup lapang dada menerima segala keputusan yang ditetapkan pelatih. Mereka bahkan mau belajar kepada Melati untuk meningkatkan kemampuan bermain mereka.
Semua berjalan lancar. Mulus tanpa hambatan. Tapi benarkah selalu demikian? Ternyata tidak.
Masalah itu baru terasa setelah beberapa bulan berjalan. Datangnya dari salah seorang teman Melati, sesama pemain basket. Tapi bukan pemain yang tersingkir dari regu inti. Bukan. Justru rekannya di regu inti, sama-sama pemain andalan, yakni Saskia.
Melati sendiri lupa sejak kapan Saskia mulai bersikap sinis padanya. Padahal mulanya dia merasa biasa saja. Sikap Saskia ketika menyambutnya sama ramahnya dengan teman-teman lainnya. Kenapa sekarang berubah? Dia seakan selalu berusaha mencar-cari kesalahan Melati. Dan apabila menemukannya, kesalahan itu dibesar-besarkannya dengan selalu mengungkitnya.
Suatu saat, ketika mengadakan latih tanding setelah latihan, Melati dan Saskia tergabung dalam satu regu. Melawan Etha dan cs-nya. Kalau Melati melakukan kesalahan, Saskia memarahinya habis-habisan, seakan dia melakukan kesalahan yang teramat fatal dalam pertandingan vital. Gerutuannya selalu terdengar sepanjang bermain.
Kejadian seperti itu berulang dua tiga kali. Untuk yang ketiga kali, Saskia tak pernah lagi mau satu regu dengan Melati bila latih tanding tiba. Dia pasti memilih jadi lawan Melati. Dan kalau sudah begitu kejadiannya, Saskia tak segan bermain kasar. Berkali-kali Melati kena sikut, didorong, dipepet, bahkan pernah ditendang tulang keringnya. Kelihatannya seperti tidak sengaja, namun dari tatap sinis Saskia, Melati menangkap adanya unsur kesengajaan.
Melati benar-benar tak habis pikir, mengapa Saskia kelihatan begitu membencinya. Dia tak merasa pernah melakukan kesalahan yang menyakitinya. Melati malah berusaha bersahabat dengannya. Bukankah Saskia dulu begitu juga? Bahkan Saskia pernah berjanji, mereka akan jadi partner yang baik di lapangan, yang akan mengobrak-abrik pertahanan lawan. Sekarang kenapa berbalik seratus delapan puluh derajat? Saskia sangat antipati padanya.
"Dia cuma merasa tersaingi dengan kehadiranmu," kata Etha ketika dimintai pendapatnya.
Namun Melati tidak sependapat. Kalau memang merasa tersaingi, kenapa bukannya dari dulu Saskia bersikap sinis? Kenapa kebencian itu baru diperlihatkannya sekarang? Dulu Saskia malah baik dan amat bersahabat.
Tidak! Melati yakin ada sebab lain. Mungkin dia telah melakukan kesalahan yang menyakiri Saskia tanpa dia sadari. Tapi apa? Melati benar-benar tak tahu. Sedang Saskia sendiri selalu menghindari orang lain yang membicarakannya.
Melati semakin tak enak hati. Apalagi persoalan ini terus berlangsung sampai adanya kompetisi bola basket se SLTA Walikota Cup. Pada penyisihan pertama, dia dan Saskia diturunkan bersama-sama. Baru menit-menit pertama Melati melakukan satu kesalahan. Bukan kesalahan fatal sebenarnya. Tapi sakia mencak-mencak nggak karuan. Akhirnya terpaksa Mas Yos, pelatih mereka menarik keluar Melati untuk menjaga kekompakan tim.
Sejak saat itu, entah atas inisiatif Mas Yos sendiri, ataukah atas permintaan Saskia, mereka tidak pernah lagi turun bareng di pertandingan berikutnya. Kalau Saskia yang turun, Melati nonton di bangku cadangan. Sebaliknya bila ingin memasukkan Melati ke lapangan, Saskia mesti ditarik keluar dulu.
Alangkah tidak mengenakkannya keadaan seperti itu. Tim mereka jelas kehilangan kekompakan. Dan Melati sadar, dia berada pada posisi tidak menguntungkan. Masalahnya dialah yang pendatang, yang menjadi orang baru dalam tim. Sedang Saskia sudah sejak kelas satu menjadi anggota regu inti. Mas Yos dan teman-teman lain pasti lebih memihak Saskia.
Melati kemudian mengajukan permohonan mengundurkan diri dari regu inti. Tapi di luar dugaan, semua menolak permohonannya. Mas Yos, Etha, dan beberapa teman tidak menyetujui gagasan itu. Apalagi Han. Cowok itu mentah-mentah menolak dan membantah. Katanya pengunduran diri Melati bukan memecahkan masalah, malah menambah masalah.
"Benar, Mel," kata Mas Yos mendukung pendapat Han. "Kalau kamu mengundurkan diri, regu kita akan kehilangan asset yang dapat diandalkan. Terus terang, di antara seluruh anggota regu, kamu dan Saskia yang punya potensi paling besar. Andai dua potensi itu disatukan, pasti menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat. Kalian mempunyai kelebihan masing-masing yang saling mendukung. Apabila salah satu dari kalian keluar, akan terjadi ketimpangan."
"Tapi kalau kenyataannya kami selalu turun sendiri-sendiri, apa gunanya, Mas?" tanya Melati putus asa.
"Kita cari lagi jalan keluar yang paling bijaksana. Kita selidiki masalah apa sebenarnya yang ada di balik sikap Saskia."
Mereka memang terus berusaha. Namun waktu juga terus berpacu. Babak penyisihan bisa mereka lewati dengan mulus. Babak perempat final dan semifinal beruntung juga bisa mereka lalui, walau harus dengan perjuangan keras. Sekarang final sudah di depan mata, dua hari lagi. Tapi mereka belum juga menemukan jalan keluar terbaik. Ini jelas akan menguntungkan pihak lawan yang juga punya kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Sampai kedatangan Etha yang tiba-tiba, dua hari sebelum pertandingan puncak. Dia membawa berita yang cukup mengejutkan Melati.
"Aku tahu mengapa Saskia bersikap begitu padamu," katanya dengan napas terengah. "Saskia mau juga bercerita setelah kupaksa. Dia benar cemburu padamu, karena..."
"Merasa kehebatannya kusaingi?" potong Melati.
"Bukan! Karena Han lebih memperhatikanmu."
Melati terbelalak. Dia sama sekali tidak menyangka kalimat yang akan diucapkan Etha. "Hah? Apa?"
"Iya. Diam-diam Saskia menyukai Han." Etha mengangguk mantap.
Melati menepuk jidatnya sendiri. Huh, Tuhan! Mengapa aku begitu buta? Pantaslah kalau itu persoalannya. Han, Ketua Osis sekaligus Kapten Regu Basket Putra itu memang sangat memperhatikannya. Cowok itu beberapa kali menjemputnya latihan, apabila Etha tidak bisa menjemputnya. Juga selalu menawarkan mengantarkannya pulang. Namun sering Melati menolak, kecuali latihan mereka berakhir menjelang Magrib, baru diterima. Juga perhatian-perhatian lainnya, yang menandakan begitu pedulinya cowok itu kepadanya. Tak jarang membuat Melati jengah sendiri.
"Sebelum kedatanganmu, Saskia dan Han memang pernah dekat. Perhatian-perhatian Han dulu menjadi miliknya sebelum beralih padamu."
Melati menarik napas dalam-dalam. "Tapi kami cuma berteman."
"Masak?" Mata Etha menggoda.
"Sungguh!" tegas Melati. "Bagiku Han sekedar teman biasa."
"Saskia tidak percaya. Menurutnya, kamu memberi harapan pada Han."
"Dia tahu dari mana?""Katanya, kamu kelihatan malu-malu kucing menerima perhatian Han."
"Astaga, Etha!" Melati mencengkeram kuat bahu Etha, agak mengguncangnya. "Tidakkah kau jelaskan padanya, sejak dulu aku memang begitu? Tidakkah kau katakana, aku memang pemalu sejak lahir? Tidakkah kamu ceritakan, semua yang mengenalku sepakat menyebutku 'Si Putri Malu'? Jadi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Han. Sama sekali tidak."
Etha terdiam, memandang wajah Melati lekat. Lalu bibirnya mengukir senyum. Melati tersipu melihat senyum yang mengandung godaan itu.

***

MELATI baru datang ketika pertandingan hampir mulai. Semua menunggunya gelisah di kamar ganti. Mereka baru lega ketika sosok Melati berlari kecil masuk.
"Maaf, saya terlambat!" Melati menjelaskan sebelum ditanya. "Habis, sengaja menunggu suporter khusus dari Samarinda."
Tiba-tiba muncul sosok lain di belakang Melati. Seorang cowok kece bertubuh atletis dan berwajah tampan. Tersenyum manis sambil merangkul bahu Melati.
"Hai, saya Galang. Si Melati manja memaksa saya jadi suporternya. Jadi, saya bela-belain datang. Untung kuliah libur dua hari. Kalau tidak terpaksa bolos. Demi..." katanya sambil tertawa kecil.
Semua tertegun. Mereka sama sekali tidak menyangka adegan yang disuguhkan. Berganti-ganti memandang Melati dan Galang.
"Mas kakaknya Melati atau..." Etha bertanya ragu.
"Kakak ketemu gede," jawabnya konyol sambil melirik mesra Melati. "Kenapa? Kalian terkecoh pada Melati yang kayaknya malu-maluin ini, ya? Huh, padahal dulu dia yang ngejar-ngejar, lho!"
Melati langsung mencubit lengan Galang dengan gemas.
Keterpanaan mereka tergugah ketika suara di speaker menyuruh regu yang akan bertanding bersiap. Semua kembali pada kesibukan semula. Dalam kesibukan Saskia tiba-tiba mengampiri Melati, dan berbisik. "Maafkan aku, Mel! Tadi aku minta Mas Yos untuk menurunkan kita bersama-sama. Eh, cowokmu cakep juga, ya?"[]


Catatan:
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 527 tgl. 16 – 26 Nopember 1995

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/90529314-si-putri-malu-tamat

0 komentar: