Naskah Burhanuddin Soebely: Tanah Air Mata

10.12 Zian 0 Comments

KOOR MAMANG
Dangar-dangar kami mahiyau
Dangar-dangar kami manyaru
Ikam turun dikukus manyan
Ikam turun dikukus dupa

ANAK KECIL
Ada sebuah negeri, tempat kebaikan dan kejahatan bisa dirakit jadi suatu bentuk keselarasan. Ada sebuah negeri, tempat ketidak jujuran dipelihara bersama. Sementara berjuta pengeras suara mengumandangkan pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan.



KOOR MAMANG
Dangar-dangar kami mahiyau
Dangar-dangar kami manyaru
Ikam turun dikukus manyan
Ikam turun dikukus dupa

PEREMPUAN I
(Dalam nada keluh yang kemudian meningkat menjadi teriakan serak bercampur sedu) Duh, Ning Diwata[1], dari balik meja-meja berkilat, para petinggi merasa amat tahu apa yang kami perlukan. Mereka mengira kami kesepian di ceruk gunung. Mereka mengira kami terasing di tengah rimba. Maka mereka babat hutan-hutan. Mereka runtuhi gunung-gunung. Mereka bangun jalan raya. Mereka dirikan rimba beton. Lalu mereka tuntun kami ke dunia yang mereka beri nama kemajuan. Mereka tak tahu, ya, Ning Diwata, bahwa di tengah yang mereka sebut kemajuan itu kami justru merasa terasing dan merasa kesepian.

ANAK KECIL
Paman Lamut…Paman Lamut. Aku mendengar suara, jerit hewan terluka. Ada orang memanah rembulan. Anak burung gugur dari sarangnya[2]

Sepi sejenak. Lalu perlahan masuk suara koor mendaraskan mamang/litani.

KOOR MAMANG
iiii…lah
nang manggaduh tihang aras mula jadi
nang manggaduh tihang aras mula ada
iiii…lah
turunan di gantang amas di gantang kaca
turunan di gantang intan di gantang sari
iiii…lah
langit baputar langit baguncang langit bacampin
tanah bagana bakumpang hati carincing gading
iiii…lah
baganti kulit baganti urat baganti daging
basamban darah batunggang angin

ANAK KECIL
Kami bukanlah raja di bukit-bukit, bukan pula raja di hutan-hutan. Kami adalah anak-anak bukit, bocah-bocah hutan. Bentangan bukit berikut hutan-hutannya telah melahirkan, mengasuh, dan menghidupi kami.
Gemercik air di pancur-pancur, suara-suara margasatwa, desir angin di daun-daun, gemerisik ranting-ranting, menjadi tembang kehidupan, indah berpadu dengan tembang nina bobo.

PEREMPUAN I
Tapi siapakah mereka yang menyesap sanginduyung[3], menebarkan bau bunga cendana di petanahan purba wadah semaian asa? Siapakah mereka yang merobeki rahim ibu bumi dan mengangkuti belulang moyang kami?

PEREMPUAN 2
Duh, Ning Diwata, keganasan chain saw telah menciptakan musik rak-rak-gui. Mengalun dari waktu ke waktu. Bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengumandang, bersabung konser kecemasan.

ANAK KECIL
Wahai, tuan-tuan, apalagi yang tersisa? Di mana lagi kami semaikan asa? Bukit-bukit tiada, hutan-hutan tiada, huma-huma tiada, kebun-kebun tiada. Tanah-tanah rekah mengalirkan nanah, pancur-pancur jelaga, sungai-sungai berbisa.

Terdengar lengking tangis bayi. Kain-kain hitam perlahan berubah menjadi ayunan.

PEREMPUAN I
(Menyanyi)
guring-guring anakku guring
guring diakan dalam ayunan
guring-guring anakku guring
matanya kalat bawa bapajam

B L A C K   O U T

EPISODE SATU

PEREMPUAN 1
Genap sudah tujuh senja aku melihat Halang Sapah[4] berkulik panjang sembari terbang memutari perkampungan dalam tujuh pusingan pulang-balik. Kulikan itu mirip ratapan. Dan bagi telingaku seakan bunyi gong, gendang dan serunai yang mengalun mengiringi upacara kematian.

LAKI-LAKI
Apa kau pikir itu merupakan pertanda akan datangnya bencana?

PEREMPUAN 1
Entahlah, tapi hatiku terasa tak nyaman. Sudah beberapa malam ini aku sukar tidur.

PEREMPUAN 2
(Ke arah Balian 1) Adakah pantangan-pantangan yang dilanggar oleh warga kita? Atau pelanggaran adat dan kejahatan yang tidak kita berikan hukuman?

BALIAN[5] 1
Tidak ada.

LAKI-LAKI
Lalu kenapa Ning Diwata seakan siap menurunkan kutuk pada kita?

BALIAN 2
Pertanyaanmu itu adalah pertanyaan di hati kami juga. Entah kenapa kemauan alam sekarang sukar ditebak, bahkan hitungan pergantian musimnya pun seakan tak lagi berlaku.

BALIAN 1
(Kepada Damang) Damang, apa pikirmu tentang semua ini?

DAMANG
Bagiku bencana itu sudah lama tiba. Sepertinya kita cuma tinggal menunggu waktu.

PEREMPUAN 3
Maksud, Damang?

DAMANG
Ketika para petinggi memutuskan untuk membangun kawasan ini, mereka agaknya lupa untuk lebih dahulu mempersiapkan orang gunung seperti kita agar bisa menerima pengaruh kemajuan tanpa harus kehilangan pegangan dalam menilai.

PEREMPUAN 3
Keadaan yang dikatakan Damang itu membuat rasa kebenaran, rasa kebaikan, rasa keindahan, yang di waktu lalu tersimpul erat dengan sekian pamali dan ujaran leluhur, sekarang terasa melonggar.

PEREMPUAN 1
Yah, orang-orang muda kita yang awam cepat sekali tergoda dengan segala yang menyilaukan.

BALIAN 1
Yah, kemajuan kadang diartikan orang dengan keberlebihan semata, sementara keimanan kita, adat kita, tidak mengajarkan keberlebihan itu. Semua yang berlebih kita kembalikan kepada Ning Diwata melewati alam dan kehidupan.

PEMUDA 1
(Dari luar panggung) Damang!

MUSIK : KANJAR

(Pemuda 1 masuk panggung)

PEMUDA 1
Damang, kami ingin tahu jawabanmu tentang persoalan yang kami sampaikan kemarin.

DAMANG
Jawabanku masih tetap seperti semula.

PEMUDA 1
Jadi Damang tetap tak memberi ijin pada kami untuk berangkat ke balik gunung itu?

DAMANG
Ya, itu bukan penyelesaian yang terbaik.

PEMUDA 1
Rupanya Damang tak lagi berpikir tentang keselamatan perkampungan dan kehidupan puak Tingang ini.

DAMANG
Justru keselamatan dan kesejahteraan kitalah yang terus kupikirkan.

PEMUDA 1
Lalu, kenapa Damang tak memberi ijin pada kami untuk menghentikan tindakan orang-orang di balik gunung itu?

DAMANG
Tindakan mereka memang harus dicermati, tetapi bukan dengan cara menindas ancaman lewat kekerasan, apalagi melalui bentrokan.

PEMUDA 1
Kita bertindak karena kita telah dipaksa oleh keadaan. Kita telah turuti anjuran para petinggi agar tak lagi bercocok tanam dengan menggunakan ladang berpindah demi lestarinya alam dan lingkungan kita. Tapi para petinggi itu justru tak mengambil tindakan apa-apa ketika orang-orang di balik gunung sana terus menggunduli hutan-hutan tanpa berusaha menanaminya kembali!

DAMANG
Aku tengah memikirkan…

PEMUDA 1
(Memotong cepat) Berpikir? Berpikir apalagi? Berpikir dan terus berpikir sementara lingkunga kita kian hari kian terancam. Setiap saat kawasan pegunungan ini digerogoti.
Orang di balik gunung itu juga membabat hutan-hutan dengan semena-mena, membabi buta. Hutan-hutan yang kita keramatkan juga mereka babat. Akibatnya para pujut para sangiyang di hutan itu marah sehingga banyak warga puak kita sakit atau meninggal.

BALIAN 1
Mau kalian sebenarnya bagaimana?

PEMUDA 1
Kami hendak memberikan teguran kepada orang-orang itu. Kalau mereka tidak juga memperhatikan maka kami akan memberikan teguran dengan runcingnya tombak, tajamnya mandau, atau melesatnya damak sumpitan. Tapi Damang tak mengijinkan!

BALIAN 1
Damang benar. Negeri ini punya hukum.

PEMUDA 1
Apa orang-orang yang ada di balik gunung sana peduli dengan hukum?

BALIAN 1
Tak seorang pun yang kebal terhadap hukum.

PEMUDA 1
Hukum kadang juga diperdagangkan orang!

BALIAN 1
Terkutuklah orang yang memperdagangkan hukum itu!

PEMUDA 1
Kutuklah mereka! Sumpahi mereka! Seribu kutuk, sejuta sumpah takkan membuat mereka jera!

DAMANG
Diam! Orang-orang puak Tingang adalah orang yang berguru kepada alam. Adat kita mengutamakan kejujuran, keberanian, kegagahan dan kebijaksanaan. Keberanian tanpa kejujuran hanyalah melahirkan manusia-manusia angkara. Kegagahan tanpa kebijaksanaan cuma membentuk insan-insan buas. Dan kita bukan manusia angkara, bukan pula insan-insan buas.
Semua itu harus kalian tanamkan dalam-dalam di lubuk hati, di segenap padang pikir dan rasa, sebab tanpa hal-hal semacam itu maka kalian bukanlah seorang puak Tingang!

Melihat sikap dan mendengar tutur Damang yang penuh perbawa, para pemuda mulai melunak.

PEMUDA 1
Lalu, apa yang harus kita lakukan?

DAMANG
Lusa aku akan ke kota, menyampaikan keluhan kita pada para petinggi.

PEMUDA 1
Apa? Bicara? Aahh…suara orang udik, suara orang awam, suara dari bawah, mana mungkin didengar oleh para petinggi? Mana mungkin diperhatikan?

DAMANG
Pasti didengarkan, pasti diperhatikan, sebab kita juga adalah bagian dari negeri ini, bagian yang wajib untuk diayomi.

PEMUDA 1
(Agak sinis) Yaaahh…kitalah yang selalu mereka pikirkan.

Terdengar tangis bayi.

PEREMPUAN I
(Menyanyi)
Kur sumangat, si bintang timur si bintang timur
Lakas bapajam lakasi guring

PEMUDA 1
(Masih dalam nada sinis) Dan tangisan bayi itulah salah satu hasilnya. Ketika terjadi pembangunan kawasan dan pengusahaan hutan-hutan terjadi pulalah wabah perkawinan antara gais-gadis puak Tingang dengan para pendatang. Tapi pendatang-pendatang itu kemudian minggat begitu saja. Tertinggallah istri-istri tanpa suami. Tertinggallah anak-anak tanpa ayah. Anak-anak yang tumbuh bagai pokok-pokok liar di hutan, tak tahu berasal dari buah pohon yang mana.

PEMUDA 2
(Dari luar panggung) Damang !

MUSIK ; KANJAR

(pemuda 2 masuk panggung)

PEMUDA 2
Damang, aku barusan datang dari kota. Seorang petugas menitipkan surat ini. (Menyerahkan sepucuk surat)

Damang menerima surat itu lalu membacanya. Sesaat kemudian wajah dan sikapnya berubah.

DAMANG
(Membaca surat) Demi kemakmuran bersama maka seluruh puak Tingang diperintahkan agar segera bersiap untuk meninggalkan perkampungan yang dihuni selama ini.

BALIAN 2
Apa? Kita harus meninggalkan tanah leluhur ini? Meninggalkan kawasan yang telah menghidupi kita lebih dari tujuh keturunan ini?

DAMANG
(Tak peduli pada ucapan Balian 2, terus membaca surat) Berdasar foto udara, kawasan puak Tingang termasuk tanah milik negara.
Kawasan puak Tingang akan dialih fungsikan. Di situ akan dijadikan areal pertambangan batu bara. Sebagian lagi akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit, dan sebagian lagi untuk objek wisata. Proyek alih fungsi itu nilai ekonomisnya amat tinggi, amat berguna bagi kemakmuran bersama.

PEREMPUAN 1
Kemakmuran? Adakah kata manis yang lebih pahit dari itu? Kata yang demikian menyihir! Kata yang begitu berkuasa, bahkan mampu menjajah mimpi-mimpi! Kata yang akan membuat sebuah perkampungan menjadi masa lalu!
DAMANG
(Terus membaca surat) Pahamilah maksud baik kami ini.

PEMUDA 1
Maksud baik? Maksud baik untuk siapa?

DAMANG
(Meledak tiba-tiba) Ya, maksud baik untuk siapa? Belum cukupkah maksud baik yang mereka hempaskan pada diri kita? menindih bahu-bahu kita yang telah ringkih! Kemakmuran di satu pihak, dan pengorbanan di pihak kita, manusia-manusia yang telah dinilai sebagai sekumpulan orang yang kehilangan rasa sakit, yang ketawa-ketawa dari perahan kenyerian, yang kebal terhadap penderitaan karena bisa menikmatinya!

PEREMPUAN 1
(larut dalam emosi Damang) Dan sekarang kita digiring lagi ke altar pengorbanan, meninggalkan leluhur-leluhur kita yang telah berkubur, meninggalkan sanginduyung-sanginduyung yang tegak di bukit-bukit, meninggalkan semua yang telah menjadi milik kita setelah kita kucurkan keringat, darah dan air mata!

DAMANG
Laksanakan upacara! Bentangkan jalan untuk aku masuk ke alam sangiyang! Aku hendak membaca tanda-tanda zaman!

MUSIK: TANDIK BALIAN

Tarian upacara berlangsung. Pada gerak persembahan ke arah langgatan, musik tiba-tiba mati, yang terdengar cuma bunyi gong beragam nada yang dipukul satu-satu dan bunyi gemerincing galang hiyang para balian. Seiring dengan itu lampu padam. Dalam kegelapan terdengar para balian mendaraskan mamang/litani.

KOOR BALIAN
iiii…lah
di langit batampa urang
di tanah batampa dadi
di langit bajunjung kaca
di tanah baruntai anggit.

PEREMPUAN 1
(Dari luar panggung) Apa yang kautemui?

DAMANG
Sarang angin!

PEREMPUAN 1
Lepaskan Hakikat diri. Masuki sarang angin

MUSIK : TANDIK BALIAN

SUARA
(Dari luar panggung) Apa yang kau temukan?

DAMANG
Samudera cahaya.

SUARA
Seberangi.

MUSIK : TANDIK BALIAN

SUARA
Apa yang kautemukan?

DAMANG
Mahligai kesunyian.

SUARA
Apa isi mahligai kesunyian?

DAMANG
Angka-angka.

SUARA
Kenapa mahligai kesunyian penuh dengan angka-angka?

DAMANG
Hampir semua orang yang memasuki mahligai kesunyian senantiasa bermaksud membolak-balik angka-angka.

SUARA
(Memotong cepat) Kita tidak memerlukan angka-angka! Susupi mahligai kesunyian!

(Mamang menari tandik balian dengan cepat)

SUARA
Apa warna yang kau suka ??

DAMANG
Hijau !!

SUARA
Mengapa kau menyukai warna hijau ??

DAMANG
Mengingatkanku pada alam !!

SUARA
Apa warna yang kau benci ??

DAMANG
Merah !!

SUARA
Mengapa kau membenci warna merah ??

DAMANG
Mengingatkanku pada darah !!

(Diucapkan berulang sebanyak tiga kali)

SUARA
Apa warna yang kau suka ??

DAMANG
Merah !!

SUARA
Mengapa kau menyukai warna merah ??

DAMANG
Mengingatkanku pada alam !!

SUARA
Apa warna yang kau benci ??

DAMANG
Hijau !!

SUARA
Mengapa kau membenci warna hijau ??

DAMANG
Mengingatkanku pada darah !!

(Diucapkan berulang sebanyak tiga kali)

DAMANG
Ooo, warna-warna senja kala! Pohon-pohon yang tercerabut bersama akar-akarnya! Pohon-pohon yang melintang dan membusuk di jalan waktu! Akankah kubiarkan perkampungan tenggelam dalam air mata, ataukah harus kukibarkan bendera perlawanan?

B L A C K   O U T

EPISODE DUA
Panggung redup. Ada anak kecil di situ. Samar kelihatan Damang, terkulai.

ANAK KECIL
Paman Lamut…Paman lamut. Mereka masukkan Damang itu ke dalam sel yang gelap. Tanpa lampu, tanpa lubang cahaya. Ada hawa tapi tak ada angkasa. Ooo, pengab. Dia pandangi dinding-dinding yang mengurung, lalu…

DAMANG
aku terpisah di balik kabut tak bertepi
secarik kabar darimu akan sangat berarti
di sini cuma ada bangku tidur yang dingin
dan selalu saja ada penuh ratusan nyamuk
seakan suara rakyatku

ANAK KECIL
Dia bernyanyi. Entah untuk melepas rasa sepi, entah untuk membuang rasa nyeri, entah untuk melonggarkan cekikan putus asa. Paman Lamut…Paman Lamut….di mana letaknya keadilan?

( Anak kecil keluar panggung )

B L A C K   O U T

DAMANG
Aku terkurung dalam sel gelap. Suara tercekat hanya dapat menjerit tangis rangrang akan jiwa moyang-moyang yang teriris. Nyanyian rak-rak gui sintuk manampiring bahumbalang. Pusaka tanah air jadi tanah air mata.

( Sayup-sayup orang bernyanyi )

DAMANG

Tanah air mata
Tanah tumpah darahku
Mata air air mata kami
Air mata tanah air kami

Disinilah kami berdiri
Menyanyikan air mata kami

Dibalik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Dibalik gembur subur tanahmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa kami
Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Hijau ku kini jadi darah
Merah ku jadi luka bercucuran nanah[6]



Keterangan:
[1] Ning Diwata = Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan Dayak Meratus
[2] Penggalan puisi Rendra.
[3] Bilah-bilah bambu runcing yang ditancapkan di sekeliling kubur, dipercaya jadi penangkal makhluk jahat.
[4] Halang Sapah = elang berbulu merah, dipercayai sebagai pembawa pertanda kematian.
[5] Balian = dukun, penghubung dengan alam supranatura
[6] Penggalan puisi Sutardji Calzoum Bachri

Sumber:
http://teaterrufaidah.blogspot.co.id/2014/10/naskah-tanah-air-mata.html

0 komentar: