Cerpen Hamberan Syahbana: Warung Tikus
Seandainya tidak ada tikus mati di warung ini, tentu warungku tidak perlu pindah-pindah. Dan ekonomi rumah tanggaku juga pasti tidak akan susah, pendidikan anak-anakku tidak akan terbengkalai, keluargaku juga pasti tidak akan berantakan. Yang pasti fitnah yang sangat menyakitkan hati inipun tentu tidak akan terjadi.
Hari ini orang yang makan tidak lebih dari sepuluh orang, itu pun hanya orang yang kebetulan lewat. Padahal nasi kuning dan lontong jualanku biasanya sudah habis sebelum pukul sepuluh. Sekarang sudah pukul sebelas lewat jualanku masih banyak. Bagaimana ini?
“Kita makan sendiri aja,” kata Dewi anakku yang bungsu kegirangan. Biasanya ia kularang makan banyak-banyak nasi jualan ini.
“Ya kita makan sendiri saja,” kataku layu.
“Asik, Dewi bisa makan yang banyak hari ini. Horee!” teriak Dewi kegirangan.
Tapi di rumah ini kan hanya kami berempat? Bagaimana menghabiskannya?
“Kacang, kerupuk dan makanan lainnya boleh Dewi makan juga ya Bu?”
“Jangan dimakan semuanya. Yang lainnya kan besok masih bisa dijual?”
Walaupun berada di dalam gang, biasanya setiap pagi warungku ini ramai penuh canda ria para tetangga yang berbaur dengan tukang ojek dan tukang becak. Karena semua makanan murah meriah. Asal ada untung sudah cukup, yang penting aku dan keluargaku bisa menumpang makan di warung ini. Tapi tidak demikian untuk hari ini.
Musibah ini terjadi begitu tiba-tiba. Apakah ini cobaan, ujian, ataukah teguran? Yang jelas aku harus sabar menghadapi semua ini. Padahal warung ini adalah satu-satunya harapan buat kelangsungan hidup keluargaku, buat biaya sekolah anak-anakku. Hari ini warungku benar-benar tutup. Padahal aku perlu duit buat biaya hidup sehari-hari. Lebih-lebih lagi buat buat biaya sekolah anak-anakku. Itu semua perlu duit.
***
Aku adalah anak seorang buruh serabutan. Pendapatan orangtuaku hanya cukup untuk makan sehari-hari. Untuk menambah penghasilan, ibuku buka warung jualan nasi kuning dan lontong. Untungnya masakan ibuku lumayan enak dan wajahkupun lumayan cantik, kedua hal tersebut merupakan asset pemikat yang banyak menggaet para pelanggan.
Yang lebih lucu lagi, ada saja pelanggan-pelanggan yang nakal. Masa aku dilirik-lirik, digoda-goda, dicolek-colek, dipegang-pegang, bahkan diremas-remas. Anehnya aku diam saja, ya suka aja, dan sekali-sekali aku melempar senyum nakal. Wah tiba-tiba mereka jadi cekikikan kelepak-kelepak kegirangan.
Sekarang aku sudah tiga kali menjanda. Anehnya setiap bersuami aku melahirkan seorang anak, tiga kali bersuami berarti aku melahirkan tiga orang anak. Anakku yang pertama baru masuk SMA, yang kedua baru naik ke kelas dua SMP, dan yang ketiga baru tammat SD.
Suamiku yang pertama asalah seorang lelaki baik-baik, sabar, penyayang dan bertanggung jawab. Sayang umurnya tidak panjang. Dia meninggal dalam kecelakaan ketika bekerja. Akibatnya aku jadi janda, istilahnya janda cerai mati.
Suami kedua seorang pemabok, suka berjudi, kadang-kadang suka menjambret lagi. Untungnya, dia itu tewas tertembak ketika sedang beraksi. Untuk kedua kalinya aku jadi janda lagi.
Suami ketiga aku dimadu, meskipun agak sedikit tua tapi orangnya baik, ramah, sayang anak. E ternyata istrinya empat, salah seorang di antaranya datang merungkup maudar dan memporak-porandakan seisi rumah. Lebih celaka lagi ia adalah seorang pengedar narkoba.
Suatu ketika ada penggerebekan di rumahku. Polisi menemukan sejumlah ekstasi dan sabu-sabu siap edar, dia langsung dibawa polisi. Sampai kini tidak ada beritanya lagi. Kini aku jadi janda yang tak jelas, karena dia tidak pernah menceraikanku.
***
Dalam keadaan serba sulit begini aku bingung, mau cari duit di mana? Padahal aku ingin sekolah ketiga anakku itu lancar-lancar saja. Tetapi semuanya perlu biaya, sekolah gratis kan Cuma untuk SD dan SMP. Sedangkan yang akan masuk TK dan SMA kan tidak gratis? Surat Keterangan Tidak Mampu juga tidak banyak membantu. Aku juga harus membeli perlengkapan sekolah yang semuanya harus baru. Padahal sekarang usaha warungku ini terpaksa tutup.
Diam-diam akhirnya sampai juga bisik-bisik tetangga itu ke telingaku. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Kalau saja aku kurang sabar barangkali aku sudah lama lumpuh terserang strok. Sekarang, orang-orang lebih suka menyebutku Acil Tikus. Sungguh sangat menyakitkan hati. Tega benar mereka mempergunjingkan semua itu, dan bisik-bisik itupun cepat sekali tersebar. Sebenarnya itu hanya suatu kebetulan, barangkali ada seseorang yang menebar racun tikus, sayangnya tikus itu mati di warungku.
Hidup harus berjalan terus, dan aku tidak punya keahlian lain selain dari jualan nasi. Sejak peristiwa tikus mati itu, aku sudah berkali-kali pindah warung. Pada awal-awalnya warungku selalu penuh, dan aku punya pelanggan baru. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Entah dari mana sumbernya? Selalu saja ada yang membisikan tentang tikus mati itu. Sialan, warungku sepi lagi, dan terpaksa tutup lagi. Kejadian ini selalu terjadi berulang kali.
Aku bingung, aku khawatir, aku gelisah, tetapi aku tidak boleh pasrah, lebih-lebih putus asa. Kami harus tetap hidup, anak-anakku harus tetap sekolah. Dengan sekolah itulah aku berharap masa depan anak-anakku jadi lebih cerah. Tapi semua itu memerlukan biaya. Uang dari mana? Semua tabunganku habis, perhiasan emas yang kumiliku pun sudah habis terjual. Rumahku ini sudah lama tergadai dan aku tak mampu lagi menebusnya. Di rumah ini kami hanya mengontrak bulanan. Kini aku betul-betul sudah miskin, melarat dan sengsara.
Seandainya saja ada yang mau mengawiniku aku mau, tak perduli jadi istri yang ke berapapun. Yang penting biaya hidup sehari-hari bisa terjamin. Tetapi tak ada juga yang mau.
***
Tiba-tiba ada seorang wanita esek-esek menawarkan jalan esek-esek gitu. “Usia mbak memang tiga puluhan, tetapi penampilan mbak kelihatan sepuluh tahun lebih muda. Body mbak oke, wajah mbak juga cantik. Si hidung belang juga pasti banyak yang tertarik. Tapi nilai jualnya nggak setinggi ABG. Yang penting kan mbak bisa keluar dari krisis ekonomi global ini,” begitu bujuknya.
“Ah masa?” sanggahku.
“Mbak nggak percaya? Coba Mbak ngaca, memang dasarnya Mbak ini sudah cantik dari sononya, ya hanya perlu dipoles sedikit saja pasti akan lebih cantik dan menarik.”
“Ya, pikir-pikir dulu lah.”
“Ya Mbak? Jangan lama-lama mikirnya, nanti nyesal lho Mbak.”
“Lagi pula mana ada yang mau sama yang sudah tua?”
“Siapa bilang Mbak tua? Tadi kan sudah saya bilang, Mbak ini punya wajah dan body special, nampak sepuluh tahun lebih muda dari aslinya.”
Masa aku harus ikut-ikutan jadi wanita esek-esek gituan? Apa memang tidak ada jalan lain lagi? Apakah ini bisa dianggap gawat darurat? Apakah dalam situasi gawat darurat semuanya boleh aku lakukan? Atau aku harus jadi tukang pijat merangkap kerja gituan. Rasanya tidak segampang itu, anak-anakku pun pasti tidak mau. Paling tidak sekali waktu nanti pasti akan kepergok. Anakku pasti malu bila ia tahu bahwa ibunya ternyata seorang pelacur.
Astagfirullahul Azhim, mengapa aku jadi bodoh begini? Imanku memang sedang diuji. Aku tidak boleh menjual imanku. Sampai kapanpun bahkan sampai matipun, tak akan pernah.
Dunia terasa begitu sempit, hidup seakan diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat. Tak ada tempat berpegang, tak ada tempat buat mengadu. Hanya kepadaNya aku bisa berharap, agar semua ini semoga cepat berlalu. Aamiin.
Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10206882965273176
0 komentar: