Cerpen Kayla Untara: Jelang Pertempuran Madang [1]

08.43 Zian 0 Comments

Siapakah engkau, yang turun dari asap dupa batangga kukus manyan, berpijak pada awan kelabu, menabur bau mesiu ke udara beku? Tengah malam musim kemarau, perbukitan Madang yang sebelumnya terlihat legam tiba-tiba nyarak cahaya. Dari kejauhan, bawah gunung menggelegar dentum meriam dari empat penjuru mata angin. Lantas berpendaran kembang-kembang api yang cahayanya menyilak kegelapan. Kembang-kembang api itu kemudian menjelma kobaran-kobaran api. Malam tak ubahnya laksana siang. Dari sisi dalam benteng, ada sedikit upaya bertahan melakukan perlawanan terhadap gempuran-gempuran yang semakin gencar dilakukan. Api terus berkobar. Peluru-peluru meluhak dari bermacam moncong senapan. Lolong jerit kesakitan menjelang kematian menyela di antara bunyi letusan senapan. Dalam gelap, memancur telaga darah, air padudusan anak bangsa. Benteng Madang telah diserang.

***

Di bilik sebuah kamar dekat sekali dengan jendela, duduk seorang perawan berambut terurai mayang. Wajahnya, ah, tak ada cela di sana. Juga dekat dengan jendela yang sama, seorang lelaki muda tersandar di sebelah luarnya. Tegap badannya, nampak kokoh rahangnya. Jarang sekali terlihat sosok yang sama. Lelaki berparas satria.
“Kanda, dinda dengar kau hari ini akan bertolak kembali ke benteng menggabungkan diri bersama tuan Tumenggung Antaludin.” Gadis berambut terurai mayang itu memulai percakapan. Suaranya merdu bak senandung ladun dalam pagelaran mamanda. Suara itu, sebagaimana wajahnya. Sungguh, juga tak ada cela.
“Ya. Petang nanti, Dinda. Di saat matahari senja menyeruak warnanya.” Lelaki muda berparas satria itu menjawab sembari mengangguk pelan.
Gadis itu tak lantas menyahut, dirinya membeku. Sekilas, dari balik bayang tirai jendela nampak gadis itu menggigit sebagian bibir bawahnya. Wajahnya yang tertunduk menekur ke arah tikar bilik kamar, menafsirkan kecemasan. Hanya tangannya yang sedari tadi meremas-remas dan memutar-mutar ujung kain baju dengan jarinya yang pucat.
“Artinya, kau kembali membiarkanku bernapas bersama cemas?” cicit gadis itu.
Lelaki yang ditanya tak langsung menjawab. Matanya mencuri pandang ke balik tirai jendela.

Daun mingkudu dilipat-lipat
Batang sulasih bakakambangan
Umpama judu jauh tahalat
Jalinan kasih diputus jangan[2]

Lelaki itu menyenandungkan syair.
“Lalu, kenapa engkau ke sini jika kemudian hanya membawa sejumput harap?” cecar si gadis kembali.
“Ada dua alasan, Dinda.”
“Apa itu, Kanda?”
“Pertama, sesuai amanat tuanku Tumenggung Antaludin, aku mendapat misi untuk mempetakan kekuatan Belanda. Sejak perempuan jalang itu menjelmakan dirinya menjadi anjing kompeni, serta merta keberadaan kami diketahui pihak Belanda.”
“Perempuan jalang? Siapa yang kau maksud, Kanda?”
“Ah, perempuan jalang itu. Seorang pedagang wanita yang sering menjual dagangannya untuk keperluan kami di benteng. Bukan orang penting, Dinda. Tetapi, rupanya dia temaha terhadap kepingan-kepingan harta. Dari mulutnya yang berbisa itulah, Belanda akhirnya mengetahui keberadaan kami. Pengkhianat!” serapah lelaki muda itu.
“Lantas?” Gadis itu menunggu kelanjutan cerita. Sedang mata lelaki muda kembali mencoba mencuri pandang dari balik tirai yang mencipta bayang wajah Sang Gadis. Ia tersenyum. Senyumnya berbalas.
“Barangkali kau telah dengar bahwasanya tepat pada tanggal tiga September yang lalu, mereka mencoba melakukan serangan pertama melalui jalur Karang Jawa dan Ambarai, tetapi berakhir dengan kegagalan. Sebelum mampu memasuki wilayah paling luar dari Benteng Madang, banyak dari mereka terlebih dahulu merasakan dinginnya sembilu sungga. Terlebih di saat melewati Jembatan Serongga ataupun terperosok ke lubang-lubang perangkap lainnya. Jikapun selamat, maka pasukan kami yang berada di garda terdepan di bawah gunung Madang sudah siap menyuguhkan timah panas ataupun menyajikan kaganasan meriam Lila. Kegagalan demi kegagalan terus mereka alami meskipun kekuatan dan taktik mereka coba tingkatkan. Hingga pada satu serangan yang cukup besar memaksa pimpinan mereka berkuang darah. Seorang Belanda, Kapten Koch, dijemput ajal, tewas dirajam peluru. Tetapi, tak hanya itu. Serbuan itupun harus dibayar dengan gugurnya kesuma-kesuma bangsa yang perkasa. Juga Kiayi Cakrawati...” Suara lelaki itu tertahan sebentar. Ada nada geram di akhir kalimatnya.
Kemudian ia melanjutkan, “Pihak Belanda saat ini sedang menyusun langkah serta strategi baru untuk kembali mencoba menembus pertahanan Benteng Madang dengan maksud memutus jiwa juang serta perlawanan tuan Tumenggung Antaludin beserta seluruh pengikutnya, Dinda.”
Sang Gadis menyimak dengan saksama. Giginya masih saja menggigit bibir bawahnya yang merah ranum.
Lelaki itu menghela napas sebelum melanjutkan, “Rupa-rupanya, kematian kapten Koch itu tak hanya menyemaikan bibit amarah tetapi sekaligus pula menjelmakan kemurkaan. Untuk itulah, aku diperintah tuan Galuh Sarinah, ah, bukan! Kiyai Cakrawati! Ya, Kiayi Cakrawati!”
“Bukankah katamu tadi, Kiayi Cakrawati telah gugur?”
“Ya. Tetapi istrinya mengambil alih perannya. Galuh Sarinah menyematkan nama tuan Kiayi Cakrawati pada namanya. Tidak hanya nama, tetapi jubahnya pun dipakainya karena tak ingin pasukan kehilangan pemantik semangat kala bertempur.”
“Teruskan! Aku masih mendengarkan,” ucap gadis itu yang kini semakin mendekatkan tubuhnya ke jendela.
“Kabar bahwa mereka akan mengerahkan kekuatan besar-besaran itu sudah sampai ke telinga tuanku Tumenggung Antaludin. Sebelum serangan besar itu benar-benar dilakukan, kami tetap harus tahu dan mampu membaca kekuatan yang akan mereka kerahkan. Setelah mengetahui hal tersebut barulah akan diputuskan, apakah tetap bertahan meski dengan keadaan benteng yang porak poranda serta kelelahan sebagian besar laskar yang belum pulih benar akibat serangan terakhir itu. Keletihan akibat menahan serbuan Kapten Koch yang berlangsung hampir sehari penuh. Ataukah akan mencari taktik lain yang memungkinkan demi menghindari lebih banyak darah pasukan yang tertumpah. Nah, Dinda. Misi mulia itulah yang kini berada di pundakku.”
“Lalu, alasan keduamu?” sahut gadis itu mengejar.
“Aku rindu padamu…,” jawab lelaki muda itu sembari melekatkan pandangan ke gadis yang duduk bertabir sehelai kain penutup jendela yang setengahnya tersingkap. “Selama aku berada di benteng bersama kawan-kawan, malam-malamku seringkali dipenuhi oleh wajah dan senyummu. Bahkan setiap kali desing peluru melesat di samping telingaku, juga membayang wajahmu. Dalam pertempuran kali terakhir semalam, sempat memunculkan semacam ketakutan yang melingkupi perasaanku. Bukan ketakutan akan kematian. Bukan itu. Sebab kutahu bahwa dalam perjuangan, kematian hanyalah pintu untuk meniti sirah surgawi. Ketakutan itu adalah lebih kepada rasa khawatir. Kekhawatiran jika aku tak sempat bertemu dan menatap wajahmu lagi. Terserah, jika kau bilang aku merayu. Tetapi bunga-bunga rindu itu terasa semakin mekar dikala kesunyian menyergap hari-hari sepiku, Dinda.”
Gadis berambut mayang terurai itu terlihat jengah, kehilangan aksara. Kata demi kata, kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut kekasihnya itu menyihir kemudian resap ke seluruh jelujur urat-urat darahnya, mengalir hingga ke jantung dan mengendap di sana.
Kini tirai penutup jendela itu terbuka sempurna menampakan wajah tanpa cela. Tatapan mereka bertaut, beradu dalam getar gelora yang sama. Sekejap. Dua kejap. Berkejap-kejap. Ah, begitu bening mata itu, pikir si lelaki, bersinar-sinar menyihir hati, membuat setiap orang yang memandang ingin menyelam di dalamnya. Sepasang mata teduh, seteduh tasik di tengah lembah. Gadis itu tak melakukan perlawanan terhadap rayuan yang dia tahu sebagiannya adalah dusta. Dia hendak protes, tetapi mulutnya lebih dulu dipersepi oleh bibir lelaki berparas satria itu. Cumbu panjang yang memang lama menjadi damba.
Sebagian burung dan serangga yang menyaksikan, terlihat malu tetapi sekaligus juga cemburu. Seandainya dedaun tidak berkerisik menegur, maka damba cumbu itu akan berlangsung lebih lama. Terasa enggan untuk dilepaskan.
Sepi melanda sejenak. Hening.
“Jangan pergi, Kanda,” suara memelas gadis itu memecah kebisuan.
“Dinda, kau tahu apa artinya hidup jika tak mampu menjadi cermin? Kau tahu, apalah artinya rebah ke bumi jika ia jadi nyala dalam jelaga?”
Tak ada sahutan. Hanya kerisik dedaun dan kepak burung bersiap pulang menuju sarang.
Lelaki itu kembali melanjutkan.“Aku mesti rela melepaskan peluk, menyandangkan senapan.”
Gadis itu masih terdiam. Kini bening bola matanya mulai basah dengan air mata. Kecemasan semakin membuncah di dadanya.
“Sebelum aku pergi, ada yang ingin kuminta padamu.”
“Merelakanmu? Begitu?”
“Bukan. Bukan itu, Dinda.”
“Lalu?”
Lelaki muda itu diam, menghela nafas panjang lagi. “Aku ingin engkau menungguku…”
Isak tangis gadis itu mulai terdengar lirih. “Menunggumu?”
“Ya. Menunggu dan bersahabat dengan waktu sampai tibanya saat aku menjemputmu sebagai istriku.”
Isaknya semakin nyaring. “Apa jaminan darimu bahwa kau akan kembali?” tuntutnya di sela isakan tangis yang tertahan.
“Jika kubasuh malam ini dengan darah, Kekasih, tidurlah dalam kenangan yang berhak dikenang. Biarkan rinai udara bau mesiu mengendap di pucuk-pucuk daun para. Dan, jika kubasuh malam ini dengan darah, Kekasih, tengadahlah ke pucuk lengkungan langit. Di arakan mega-mega, kau kutunggu…” Lelaki muda itu lantas beranjak pergi, berusaha menyeret kakinya menjauh, tak rela mendengar isak tangis gadis yang jadi kekasihnya.
Benar saja, tangis gadis itu kemudian pecah. Firasatnya mengatakan sesuatu yang tak mampu terucapkan dengan kata-kata.

Jika maut menjemputmu, kekasih
Sambutlah dengan senyum tawa
Tidurlah dalam jenak yang abadi
Jangan pernah sekalipun kau usap bibirmu
Meski darah mengalir di sana
Ingatlah, bahwa di situlah pernah bertamu
Gigil tangis serta merah bibirku

***

Kali ini, rupanya serangan akan langsung dipimpin Mayor Schuak. Sedari pagi roda dari meriam-meriam besar yang dibawa serta Mayor Schuak menyuarakan gemuruh kengerian. Dengan dukungan pasukan Belanda dari benteng di Barabai dan Amuntai, serbuan kali ini terbilang sangat besar. Mayor Schuak yang khusus didatangkan dari Batalyon 13 Banjarmasin menyadari bahwa kekuatan tempur laskar Benteng Madang tak bisa dianggap remeh. Selain kekuatan tempur pasukan, strategi pertahanan Benteng Madang juga tak kalah mengerikan. Lubang-lubang perangkap yang dipenuhi sungga juga banyaknya jembatan-jembatan palsu dari gelondongan kayu yang jika tidak waspada akan terguling, menyebabkan penyebrangnya tercebur ke sungai dan disambut sungga yang ditancapkan di bawahnya. Sedang sisi-sisi sungai itu dipenuhi pula sungga-sungga yang lebih kecil, mengintip dari rerimbun tanaman rambat tebing sungai. Perangkap-perangkap yang memenuhi sekeliling benteng yang sebelumnya luput dari perhatian kini menjadi persoalan serius dari Mayor Schuak. Tak ingin kehilangan serdadunya secara sia-sia akibat jebakan-jebakan itu, maka disiapkannya pasukan penyapu bersih sebelum pasukan utama melesak lebih dalam ke wilayah Benteng Madang. Dengan kondisi benteng yang tak sempat diperbaiki akibat serangan-serangan sebelumnya, maka tugas pasukan penyapu bersih itu jauh lebih mudah.
Menjelang tengah malam. Seruan penyerbuan dikumandangkan Mayor Schuak. Pertempuran berkobar hebat. Di langit berpendaran bunga-bunga api. Gelegar meriam dan letusan senapan bersahut-sahutan. Langit malam memerah memarak cahaya. Sesekali gemerincing keping uang logam terdengar menghambur. Rupanya ini salah satu taktik Mayor Schuak untuk mengacaukan konsentrasi pasukan dengan harapan laskar Benteng Madang yang melakukan perlawanan akan tergiur dan berebutan uang logam itu lantas meninggalkan posnya. Serangan dari empat penjuru mata angin tak mungkin lagi mampu dibendung. Pertempuran berlangsung sengit sekaligus mencekam.
Mayor Schuak tak mengetahui, jika sebelumnya Tuan Tumenggung Antaludin telah mengambil langkah yang jitu. Keputusannya untuk meninggalkan Benteng Madang dengan pertimbangan bahwa sementara tak memungkinkan lagi melakukan perlawanan rupanya bukan keputusan yang keliru. Beberapa saat sebelum serangan Belanda dilancarkan, Tuan Tumenggung Antaludin membagi pasukannya menjadi tiga bagian. Dua pertiga pasukan pergi meninggalkan benteng mengambil jalan yang berbeda, sedang satu bagian lain tetap bertahan melakukan perlawanan selama mungkin untuk memberi kesempatan dan waktu kepada pasukan yang meninggalkan untuk menjauh. Setelah dirasa cukup jauh, maka laskar yang bertahan juga akan meninggalkan benteng melalui sebuah jalan rahasia.
Menjelang subuh, di saat cahaya matahari pudar menyeruak langit, pasukan Belanda mampu menembus pertahanan terakhir Benteng Madang. Lelatu membubung di antara kepulan asap dan bau mesiu. Api terus saja membara dan semakin memerahkan langit gunung Madang. Tetapi Benteng Madang telah sepi penghuni. Mayor Schuak dan pasukannya terkejut karena tak mendapatkan buruannya. Laksana gerombolan serigala kehilangan mangsa, Mayor Schuak dan pasukan mengamuk membabibuta. Terlebih tatkala menyadari bahwa siasatnya telah didahului oleh kecerdikan Tuan Tumenggung Antaludin serta pengikutnya yang lebih dulu meninggalkan benteng, maka kemurkaannya ditumpahkan dengan perintah untuk membumihanguskan Benteng Madang hingga yang tersisa hanyalah abu dan kepak lelatu. Langit semakin memerah.
Dalam kekacauan itu, di antara merah saga yang mewarna langit subuh, nampak seorang lelaki terbaring di atas tanah. Lelaki berparas satria. Luka-luka di tubuhnya meluhak diruyak meriam. Darah mengalir, menganak sungai. Dalam sisa denyut nadinya, ia sempat berbisik kepada angin lalu; “Adinda, kini aku melengkapi janji Tuhanku. Mengkhatamkan surah hidupku. Dan, di arakan mega-mega kau kutunggu.”[]

Brb, medio 2015-2016

Keterangan:  
[1] Cerpen ini merupakan adaptasi dari sajak Alm. Burhanudin Soebely dengan judul yang sama
[2] Pantun; Daun mengkudu dilipat-lipat, batang selasih diputus jangan, sendainya jodoh jauh terpaut, jalinan kasih diputus jangan

Sumber:
Untara, Kayla. 2017. Sirah Darah di Wajah Sejarah. Banjarmasin: Pustaka Banua
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-jelang-pertempuran-madang1/10154880700027741/

0 komentar: