Cerpen Kayla Untara: Imis Bulu
Kendati asap dari enam batang rokok sudah memenuhi paru-parunya, lelaki hitam pendek itu tetap tak mampu menghentikan pertarungan pikiran yang memenuhi ruang di kepalanya. Di antara kedua bibirnya kini terselip batang ketujuh yang sedang ia sempurnakan bara apinya. Asap mengepul, kemudian lenyap disapu udara.Selain urusan mandi dan makan, selebihnya dihabiskan menekur di palatar. Ini minggu kedua jobnya sepi dari pelanggan. Memang, perjalanan karier yang dipilihnya sebagai penggali kubur membuat kantong lebih sering kembang kempis ketimbang sesak. Setiap ada kematian, merupakan kabar yang selalu ditunggu. Tidak ada pengumuman yang lebih menggoda buatnya selain pengumuman perihal meninggalnya seseorang. Bagi Imis, tiap kematian berarti ladang garapan untuk memenuhi kehidupan. Hidupnya. Dan ini minggu kedua kehidupannya terasa getir. Tak ada yang mati, tak ada duit. Tak ada duit, tak ada makan enak. Perut dan lambungnya lebih sering diisi asap rokok.
Imis. Tak banyak yang tahu nama aslinya. Jejaka tua yang belum berkesempatan menjadi nahkoda sebuah rumah tangga. Hidup sendiri di rumah sederhana peninggalan orangtuanya. Orang-orang sering memanggil dengan tambahan ‘Bulu’ di belakang namanya. Imis Bulu. Bukan tanpa alasan. Tubuhnya memang dipenuhi bulu – tepatnya rambut-rambut kecil – hitam dan sedikit panjang dari orang kebanyakan. Wajahnya berjambang. Juga lebat. Pendek dan kekar, itu perawakannya. Sosoknya tak bisa disebut gagah. Agak seram, barangkali iya. Penggali kubur pula. Siapa di kampung Alamatan ini yang tak kenal dengan nama Imis Bulu. Entah siapa yang menyematkan Bulu di belakang namanya.
Bagi orang-orang di kampung Alamatan, sosok Imis Bulu ini menjadi semacam anugerah, ibu-ibu yang punya anak kecil, terutama. Bagi si anak, sebaliknya. Imis Bulu jadi momok yang menghantui hari-hari mereka. Awalnya Imis tidak ambil peduli, bahkan ikhlas saja dengan penyematan Bulu pada namanya. Baginya tak soal, toh bukan hal jelek pula. Tetapi seiring waktu, rupanya mulai dirasa tak nyaman. Bagaimana tidak, setiap kali ia lewat di depan anak-anak kecil, mereka selalu lari ketakutan. Mulanya dirasa biasa, lambat laun makin parah. Sosoknya tak ubahnya setan dibenak anak-anak itu.
“Hayuuu! Ada Imis Bulu!” Ucap si ibu seringkali pada anak-anaknya.
“Ditangkap Imis Bulu kaina mun kada ma-asi!”[1] Kata Ibu yang lain pada anaknya, mengancam.
“Tu yat, parak hudah Imis Bulu datang[2]. Ayo lekas masuk! Jangan main di jalan!” Kalimat lain dari ibu yang lain pula.
Masih banyak ragam kalimat serupa yang acapkali ia dengar. Biasa saja, awalnya. Tetapi dalam beberapa waktu terakhir ini mulai mengganggu pikiran. Kenapa ia dijadikan sosok yang menakutkan buat anak-anak? pikirnya. Dan, apa iya semenakutkan itu? Macam bisa makan orang? Apa salahnya orang berbulu? Gerutu Imis lagi.
Bara api dari batang ketujuh rokoknya sudah hampir mendekati ‘filter’. Hisapan terakhir ia lakukan dengan pelan sekali. Pertarungan pikiran itu masih berlangsung dalam benaknya. Sebuah pertarungan apakah akan menghilangkan Bulu di belakang namanya atau membiarkan saja. Setidaknya penyematan Bulu itulah yang menjadi ‘trademark’ kariernya sebagai penggali kubur. Setiap kali orang mencari penggali kubur, pasti namanya yang disebut. Tak hanya di seputaran kampung Alamatan, reputasi Imis sebagai penggali kubur handal ini juga terdengar ke beberapa kampung lain. Imis Bulu, si penggali kubur. Di satu sisi membawa berkah, di lain sisi? Entahlah. Sekejab ucapan ibu-ibu yang dilontarkan pada anak-anak terhadap dirinya terngiang-ngiang kembali.
“Hayuuu! Ada Imis Bulu!”
“Ditangkap Imis Bulu kaina mun kada ma-asi!”
“Tu yat, parak hudah Imis Bulu datang. Ayo lekas masuk! Jangan main di jalan!”
***
Kampung Alamatan gempar. Beberapa hari sebelumnya orang-orang sudah merasakan ada sesuatu yang hilang. Ya. Imis Bulu tak nampak batang hidungnya beberapa hari ini. Biasa saban sore atau menjelang senja pastilah Imis lewat di jalan-jalan kampung, menuju pasar atau suatu tempat. Yang paling merasa kehilangan adalah, ya, para ibu-ibu.
Tersiar kabar bahwa Imis Bulu melakukan tranformasi total. Perubahan yang jauh berbeda dari sosok sebelumnya. Imis kini berbeda. Tubuhnya yang dulunya dipenuhi bulu-bulu hitam lebat kini plontos. Kepalanya juga gundul. Lengannya plontos. Dadanya mulus. Wajah berjambangnya polos. Selain alis yang tersisa. Di cermin, bahkan ia seakan melihat sosok asing di sana. Bagaimana dengan orang lain? Gumamnya. Setelah itu ia tertawa sendiri.
Imis masih memandangi tubuh telanjangnya di cermin ketika suara gaduh terdengar dari arah luar rumah. Didekatkannya telinga berusaha menangkap suara-suara itu. Apakah benar dari halaman rumahnya atau di mana? Tiba-tiba terdengar ketukan kecil tapi beruntun di pintu. Bergegas Imis memasang pakaian seadanya. Baju dalaman buluk dan sarung yang juga buluk.
“Sebentar!” teriaknya dari dalam kamar. Setengah berlari sebelum akhirnya dia membuka pintu rumah.
Begitu pintu terbuka, di halaman rumahnya sudah berkumpul para ibu-ibu. Juga satu dua orang bapak-bapak. Imis kaget, juga heran. Begitu juga wajah tamu-tamunya ketika melihat sosoknya. Mata mereka seperti dikomando serentak menyusurinya dari kepala hingga ujung kaki. Setelah itu giliran Imis juga melakukan hal yang sama. Memandangi tubuhnya sendiri, kemudian mengalihkan pandang ke arah ibu-ibu yang kini mulut mereka sedikit terbuka, kemudian ke tubuhnya lagi.
Keriuhan sejenak menjadi sepi. Imis juga terdiam.
“Ada apa ini?” tanya Imis menghentikan tatapan heran tamu-tamunya yang masih mematung di halaman rumah. “Ayo masuk, tapi jangan semua. Tak muat rumahku,” sambungnya kikuk.
Tanpa menyahut, sebagian ibu-ibu masuk sambil tak melepaskan pandang ke arahnya. Sisanya menunggu di pelataran. Terdiam.
“Eee..., dalam rangka apa ini rame-rame ke sini?” Imis kembali bertanya. Sedang mata semua tamunya tetap berusaha menapaki tiap jengkal tubuhnya.
“Ini kau, Mis?” Seorang ibu memberanikan bertanya.
“Siapa lagi? Tuyul?” seloroh Imis.
“Jadi benar isu itu, Mis” Ibu-ibu berbadan pendek menyahut.
“Apanya yang benar?”
Keriuhan kecil kembali hadir. Imis masih sibuk dengan keheranannya.
“Kenapa kau seperti ini, Mis?” Seorang ibu gemuk juga ikut berucap. Setelah itu ia terisak menangis. Ibu-ibu yang lain ikut terharu. Semua larut dalam keharuan sama yang tidak dipahami imis. Imis melongo. Salah apalagi aku, pikirnya.
“Maafkan saya, Ibu-Ibu yang baik hati. Jujur, saya tak paham. Ada apa sebenarnya ini?”
“Kenapa kau berubah seperti ini, Mis?”
“Berubah bagaimana? Maksud ibu penampilan saya?”
“Apalagi? Mana Imis Bulu yang dulu? Bulu-bulumu dikemanakan, Mis”
“Ay, ay, ay. Jadi itu, ya? Bukannya saya justru terlihat lebih tampan jika seperti sekarang, Bu?” seloroh Imis lagi sambil berdiri kemudian memutar-mutar tubuhnya bergaya seperti peragawan. Padahal jika diperhatikan memang lebih mirip tuyul memakai sarung.
“Tapi kami ingin Imis yang dulu saja,” kata ibu yang lain.
Imis menjawab dengan mimik wajah yang mengkerut. Jujur saja, wajahnya semakin mirip tuyul. Dan tua.
“Tapi saya tersiksa, Ibu-ibu” desis Imis sambil duduk kembali.
“Tersiksa bagaimana?”
“Saya tak mau dijadikan objek ketakutan lagi buat anak-anak, Bu.” Kali ini suara Imis memelas.
“Tetapi kami semua justru bersyukur, Mis. Bukan begitu, Ibu-ibu?” Pertanyaan ini disambut koor persetujuan dari semua ibu-ibu yang hadir di rumah Imis.
Imis semakin heran. Bagaimana mungkin bisa bersyukur. Dan bersyukur bagaimana maksudnya?
“Apakah kau tahu, Mis? Sejak kau tidak ada lagi beberapa hari ini, anak-anak kami lebih susah ditegur. Diajak makan susah. Disuruh pulang susah. Diminta berhenti main susah. Pokoknya susah, susah, susah!” Ucap ibu lain sambil tangannya tak berhenti ikut bergerak mengikuti irama suaranya.
Imis melongo.
“Maka dari itulah, Mis. Kembalikanlah bulu-bulumu seperti sedia kala,” sambung Ibu gemuk tadi.
“Hey! Bagaimana bisa saya mengembalikannya, Bu? Kan sudah saya cukur semua.”
“Dilem atau dilakban saja, Mis.” Sahut ibu muda dekat pintu.
“Ah, ibu ini ada-ada saja. Dilem bagaimana, Bu? Konyol itu!”
“Jadi bagaimana, Mis? Bagimana kami menghadapi kerewelan anak-anak kami?”
“Apa hubungannya dengan saya, Bu? Itu anak, anak ibu kan? Mending kalo anak saya, Bu.”
“Ya, ada hubungannya, Mis. Bukankah tadi sudah dijelas kan? Biasanya kalau anak kami mulai rewel, tiap kali kami sebut namamu mereka langsung diam. Lupa waktu main, begitu kami sebut namamu langsung balik rumah. Tidak mau makan, begitu kami sebut namamu langsung lahap makannya. Nah, bukankah ini ada hubungannya denganmu, Mis? Kau juga berperan dalam pendidikan anak kami itu, Mis?”
Berperan dalam mendidik? Imis kembali melongo.
“Iya. Anak bungsu saya saja, sekarang lebih sering main di jalan. Ditegur, malah melawan dia.” Ibu muda yang dekat pintu kembali menambahkan.
“Nah, Mis. Jika penampilanmu sekarang seperti ini? Bagaimana kami bisa menerimanya? Kami protes, Mis! Tak rela kami.”
“Nanti juga tumbuh lagi, Bu.”
“Dan selama menunggu itu pula kami harus menghadapi situasi perlawanan anak-anak kami?”
Tubuh imis terasa lunglai. Bingung. Kesal. Sedih. Menumpuk jadi satu. Kini tangannya meusap-usap kepala plontosnya dan kadang sambil menggaruk meski sebenarnya tak ada yang gatal. Baru saja ia tadi pagi merasa akan bebas dari keadaan yang tak mengenakkan. Tetapi perkiraannya salah. Ia malah memasuki babak baru, yang juga tidak mengenakkan. Sedang sebagian ibu-ibu yang mengelilinginya mulai terisak-isak. Imis tak tahu, apakah sedih karena melihat sosok dirinya sekarang atau karena menyadari ketidakmampuan menjadi seorang ibu buat anak mereka. Imis tak tahu.
“Mis, asal kau tahu saja. Kehadiranmu di kampung kita ini sangat penting buat para ibu.” Kali ini istri Pak RT yang ikut bicara, “Bagaimanapun, anak-anak lebih mudah diatur jika disebutkan namamu. Ibu-ibu di kampung ini sangat terbantukan perannya. Semua itu karenamu, Mis.”
Imis diam. Tak menyahut. Kembali mengusap-usap kepala gundulnya.
“Jadi bagaimana, Mis? Bagaimana kau mempertangungjawabkan keputusanmu mencukur habis bulu-bulumu itu?” istri Pak RT bertanya.
Imis menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang polos. Seharusnya aku yang protes, pikir Imis. Apa yang mesti kupertanggungjawabkan? Buluku? Kenapa jika memang aku tak berbulu lagi? Kenapa permasalahan kegagalan pengasuhan anak-anak mereka malah ditimpakan padaku? Bukannya itu masalah mereka sendiri sebagai ibunya? Mereka saja yang tak mampu menjalankan perannya. Apakah mental serta hidup anak-anak itu harus selalu direcoki dengan ketakutan? Dan aku sebagai objeknya? Objek rasa takut itu? Bukankah aku ini penggali kubur? Bukan tukang ingun[3]? Bukan guru PAUD? Bukan setan! Pertanyaan demi pertanyaan kini memenuhi kepalanya.
Ditatap Imis raut muka ibu-ibu itu melalui celah jemari yang menutupi wajahnya. Semua mata menatap lekat ke arahnya. Tatapan yang ia tahu sedang menunggu jawaban. Imis kembali terpejam. Tiba-tiba kalimat-kalimat itu terngiang-ngiang kembali di kepalanya.
“Hayuuu! Ada Imis Bulu!”
“Ditangkap Imis Bulu kaina mun kada ma-asi!”
“Tu yat, parak hudah Imis Bulu datang. Ayo lekas masuk! Jangan main di jalan!”***
Sambil (ba)-jualan es
Barabai, 2017
Keterangan:
[1] Ditangkap Imis Bulu nanti jika tidak patuh
[2] Lihat itu, sebentar lagi Imis Bulu datang.
[3] Tukang asuh; pengasuh anak kecil
Sumber:
https://web.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-imis-bulu/10154802471872741/
0 komentar: