Cerpen D. Zauhidie: Tidak Benar, Tuanku

09.04 Zian 0 Comments

Dang dung dadang dung. Dang dung dadang dung. Dang dung dang dung. Dang dung dadang dang dung. Gendang dipalu bertalu-talu. Penonton telah banyak datang. Tiga buah lampu petromak yng digantung di atas arena cahayanya cukup terang mencurat-curat. Kursi kanan-kiri arena yang jumlahnya tdak kurang tiga ratus buah sudah penuh. Yang nonton berdiri menambah jumlah hingga jadi ribuan. Malam itu di kampung Angkaliwaya diadakan pertunjukan mamanda yang hasilnya seratus persen untuk amal.
Di dahan pohon nangka digantungkan setampik papan tulis yang bertuliskan: Saksikan pertunjukan Mamanda untuk amal malam ini. Judul cerita: Putri Raja Cangkiling Diculik Pemuda Gondrong. Jangan liwatkan sambil beramal. Panitia.

Dari balairung terdengar bunyi peluit sebagai tanda bahwa pertunjukan akan dimulai. Segera gendang meningkah lagi. Dang dung dadang dung dang dung.
Hulubalang I dan II keluar dari balairung dengan tampang yang gagah. Kedua muka Hulubalang itu cukup putih oleh pupur dan di bawah hidungnya ada sedikit kumis dari arang dapur. Sepintas kilas mirip kumisnya Hitler, dan keduanya seperti kembar saja. Masing-masing pula menangkit sebilah pedang panjang.
Mereka mengitari sebuah meja yang sebentar lagi akan digunakan sang Raja untuk bersuka ria.
“Bagaimana menurut pendapatmu, wahai Hulubalang I?”
“Ada baik saja, wahai Kakanda Hulubalang II.”
“Sudah bagus dan rapi semuanya, bukan?”
“Ya, Kakanda. Istana ini sudah cukup gemerlapan.”
“Keamanan?”
“Juga sudah cukup baik, wahai Kakanda Hulubalang II.”
“Kalau begitu mari kita menunggu kedatangan Tuan Raja.”
Hulubalang I dan II berdiri membelakang menghadap meja menunggu kedatangan Raja.
Dari balairung peluit berbunyi lagi. Dang dung dadang dang dung. Dang dung dadang dang dung. Raja muncul beserta istrinya dengan diiringi oleh seorang Wazir.
Raja cukup gagah kelihatan walaupun kumisnya yang terbuat dari rambut dipilin itu agak kebesaran. Tapi bajunya yang bagian belakang berbelah dan seperti buntut nga itu cukup hebat juga berkilau-kilau oleh manik-manik dan airguci ditimpa cahaya petromak. Istrinya cukup cantik juga karena memang diperankan oleh seorang jantina. Sedang Wazir berpakaian hitam dengan kopiah tarbus merah menyala dengan jambul terjuntai.
“Wahai Hulubalang I dan II,” demikian Raja mulai menyapa.
“Ya, Tuan Hamba.” Kedua Hulubalang menyahut serentak sambil berpaling.
“Sudah siap semuanya?”
“Sudah, Tuan hamba.”
Dang dung dadang dang dung. Raja dan istri beserta Wazir masuk istana. Raja melirik kiri kanan. Dan kemudian, pauw! Memukul meja itu dengan sebatang rotan yang tadi dikepit saja di ketiaknya.
“Betapa gembiranya hati beta. Semuanya indah gemerlapan dalam istana ini. Tidak kurang suatu apa. Benar apa tidak, wahai Wazir?”
“Ada benar sekali, Tuanku.”
“Kalau begitu, marilah kita bersuka-suka. Wahai Hulubalang I dan II beta ingin melihat hiburanmu.”
Biola, gendang dan gong dibunyikan.
Hulubalang I dan II menari ke kiri dan ke kanan, ke belakang dan bila tiba di muka lalu menghormat Raja dan setiap kali menghormat seiring dengan bunyi gong. Sambil menari mereka menyanyi ampunlah Tuanku, muda la bastari, dengan sebenarnya juga dan lain-lain lagi.
“Ada baik sekali hiburanu Hulubalang I dan II. Sekarang beta hendak menarik suara juga. Wazir dan ading nang bungas dangarakan Kakandanya berhibur diri.”
Biola, gendang dan gong dibunyikan lagi dengan lagu khusus untuk raja. Sambil menciling-ciling Raja menari sambil menyanyi:
Ampat lima adingai kuriding patah
Sapatahnya di higa lawang
Ampat lima adingai kutanding sudah
Kada manyama adingku nang baju habang
Penonton bersorak dan bertepuk. Sedang istri Raja yang diperankan jantina itu lihum-lihum saja sambil melirik kebaya panjangnya yang merah.  
“Benar apa tidak, Wazir?” tanya Raja.
“Ada benar sekali Tuanku.”
Raja menari dan menyanyi lagi.
Tabang bamban diricih-ricih
Imbah diricih dibabat pulang
Rindang dandam sudahlah ampih
Imbah badapat baumpat pulang
Penonton bersorak dan bertepuk lebih riuh dari tadi. Raja merasa himung.
“Benar apa tidak, Wazir?”
“Ada benar sekali, Tuanku.”
“Hulubalang I?”
“Ada benar sekali, Tuanku.”
“Hulubalang II juga?”
“Tidak benar, Tuanku.”
Hah? Raja heran.
Karena Raja mengira Hulubalang II barangkali kurang mendengar, maka Raja menanyakan lagi.
“Benar apa tidak, Hulubalang II?”
“Tidak benar, Tuanku!”
Raja mukanya merah karena marah. Penonton jadi terheran-heran kenapa jawaban Hulubalang II lain dari biasanya. Raja memanggil Wazir dan berbisik.
“Ei, Wazir. Kenapa Hulubalang II jadi seperti itu? Katakan padanya jangan begitu lagi nanti aku terpaksa bertindak.”
Wazir pergi menemui Hulubalang II yang kelihatan tenang-tenang saja. Kemudian Wazir menemui Raja lagi dan berbisik.
“Sudah, Tuanku. Dia tidak akan seperti tadi lagi. Tuanku silakan untuk menanyainya lagi.
Raja menanyanyi lagi. “Benar apa tidak, Hulubalang II?”
“Tidak benar, Tuanku!”
Raja segera mencabut pedang yag ada di pinggang Hulubalang I dan menyerang Hulubalang II yang juga sudah dengan pedang tercabut. Terjadilah pertarungan. Penonton banyak heran dan banyak pula yang ketakutan karena pertarungan bukan main-main. Beberapa orang perempuan berteriak ketika pedang Raja dan Hulubalang II menyentuh sebuah petromak sehingga jatuh terbakar. Ribut terjadi dan banyak penonton yang ikut melerai pertarungan itu.
Pertunjukan dinyatakan tidak akan diteruskan lagi. Penonton pulang dengan perasaan kecewa.
Sementara itu di balairung terdengar percakapan sengit.
“Kenapa? Kenapa?” Tanya salah seorang panitia kepada yang memerankan Raja.
“Aku tidak tahu!”
“Kenapa? Ini untuk amal, kalian tahu?”
“Ui, Hulubalang II. Kenapa engkau tadi begitu?” tanya salah seorang anggota panitia yang lain lagi. “Engkau tahu, kami sungguh malu?”
Hulubalang II tenang-tenang saja.
Setelah diancam honornya tidak akan dibayar barulah diketahui bahwa Hulubalang II berbuat seperti itu adalah karena tidak diberi peran Pemuda Gondrong yang menculik putri Raja.
“Wah, kenapa tidak berterus terang lagi tadi?” Ujar seorang penonton yang pulang belakangan sehabis mengintip di belakang balairung.

Kandangan, ‘78


Sumber:
Kompas, Minggu, 11 Februari 1979
https://www.facebook.com/notes/panitia-asks/naskah-cerpen-untuk-pagelaran-sastra/130887030821344/

0 komentar: