Cerpen Fauzi Rohmah: Kutemukan Cinta di Ujung Senjamu
“Sudah Mamak bilang jangan pernah melawan orangtua! Kenapa kamu pangkas rambutmu sependek itu? Mau jadi laki-laki kamu?” Ucap Mak Eli dengan suara lantang.“Aku sudah besar, Mak. Aku capek harus mengikuti aturan Mamak terus,” jawab Nita dengan ketus.
Mendengar perkataan Nita, hati Mak Eli makin perih, bagai tersayat-sayat. “Tuhan, dosa apa aku?” rintih Mak Eli lirih.
***
Ya, itu pertengkaran yang kesekian kalinya antara Mak Eli dan anak bungsunya. Sedari kecil, Nita merasa tak pernah bisa dekat dengan wanita yang telah melahirkannya. Ia merasa kalau Mak Eli hanya sayang dengan anak sulungnya, Mbak Ria kakak pertama Nita.
“Huuk huuuk” terdengar lirih Mak Eli sesenggukan.
“Nita, kau apakan lagi Mamak?” Tanya Mbak Ria kepada adiknya.
“Itu karna Mamak tak adil terhadapku. Mamak membebaskanmu untuk melakukan apa saja semaumu, untuk kuliah sesuai dengan minatmu, Mamak juga selalu memuji-muji kamu di depan semua orang yang ditemui, sedang aku motong rambut saja jadi masalah,” jawab Nita dengan berlalu.
“Sebenarnya aku anak kandung Mamak bukan, sih? Atau aku hanya anak pungut?” sambung Nita dengan teriakan dari dalam kamar seiring terdengar hempasan pintu kamar. “Braak.”
“Tok... tok... tok...” terdengar ketukan pintu dari luar.
“Masuk!” suruh Nita
“Kenapa lagi, Nita? Berantem sama Mamak? Ya, kamu harus ngerti dong. Mamak cuma pengen anaknya tumbuh sebagai wanita seutuhnya. Berpenampilan manis, anggun, tidak urakan, apalagi tomboy. Kamu anak cewek, Nit. Bersikap baiklah pada Mamak,” ucap Mbak Mai, kakak kedua Nita. “Ya, kita kan sudah tau, hanya Mbak Ria yang terbaik di mata Mamak. Mbak Ria kan anak pertama, Mamak ingin kita menjadikan Mbak Ria sebagai panutan. Kita harus buktikan kalau kita juga bisa diandalkan,” sambung Mbak Mai.
“Aku sakit hati selalu dibanding-bandingkan. Aku tak pernah benar di mata Mamak. Mbak kan juga tau gimana Mbak Ria yang sangat pandai mengambil hati Mamak, mencari muka, padahal Mamak nggak tau aja gimana pergaulan Mbak Ria di luar rumah. Lebih bebas daripada kita. Ya kan, Mbak?” ungkap Nita dengan kesal.
“Ya, itu tadi kata mbak. Nita harus buktikan ke Mamak kalau kamu bisa jadi anak kebanggaan Mamak. Kamu ikuti apa kata Mamak. Kamu terima saran Mamak mengenai tempat kuliah itu. Kita tidak tau masa depan kita mau seperti apa. Mungkin pilihan Mamak lebih tepat untuk masa depan kamu nanti,” nasihat Mbak Mai ke adiknya.
***
Seminggu sudah Nita mogok bicara. Ia hanya mau bicara dengan Mbak Mai. Sudah pasti sikap Nita sangat menyakiti hati Mamaknya. “Ya Tuhan, maafkan aku,” bisik Mak Eli lirih.
“Mamak tidak akan pernah berhenti berdoa untukmu, Nita,” ucapnya sore itu saat Mak Eli duduk di teras bersama Nita.
Menyadari kehadiran Mamaknya, lantas Nita beranjak pergi. Tergopoh-gopoh MakEli mengikuti Nita dan berusaha meraih tangannya. “Nita. Nita, tunggu Mamak, Nita! Nita maafkan Mamak yang sudah tak adil. Nita, Mamak hanya tak ingin kamu salah jalan. Ini karna Mamak sangat menyayangimu,” ungkap Mak Eli yang tidak juga digubris Nita yang berlalu dan menghilang di balik pintu kamarnya. Mak Eli hanya mampu mengelus dada.
Waktu berlalu, perang dingin antara Nita dan Mamaknya pun masih berlanjut. Hal itu membuat kesehatan Mamak Eli menurun. Ia tak kuasa menahan sedih dan hati perih mendapat perlakuan dari anak bungsunya. Ia hanya pasrah, berserah kepada Yang Maha Kuasa agar senantiasa hati Nita dapat melunak.
***
Hingga di suatu sore Nita baru saja pulang dari rumah sahabatnya sembari membawa surat kabar. Ia berikan ke Mamaknya seraya berkata “Mak, aku lulus di perguruan tinggi pilihan Mamak. Coba lihat pengumuman di koran ini! Ada nama Nita. Kalau itu pilihan Mamak dan untuk masa depanku, Nita akan ikuti semua kata Mamak. Nita akan kuliah di kampus itu. Nita akan buktikan ke Mamak kalau aku lebih baik dari Mbak Ria, anak emas Mamak itu.”
“Nita, Mamak bangga padamu. Mamak yakin, kamu akan sukses. Mamak hanya ingin kamu di jalan yang benar demi masa depan kamu. Tidak ada keinginan Mamak yang lain, kecuali kamu sukses, Nita,” Mamak menimpali ucapan Nita sore itu.
Sejak itu, komunikasi antara Nita dan Mak Eli pun berjalan dengan baik. Nita pergi ke kota untuk menyelesaikan kuliah, dan tinggalah Mak Eli, Mbak Mai dan bapak di rumah, sedangkan Mbak Ria ikut dengan suaminya.
***
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba, yaitu saat Nita diwisuda. Mamak, bapak, MbakMai, Mbak Ria dan juga suaminya menghadiri acara wisuda itu. Raut bahagia pun terpancar di wajah sang Mamak. Tak hentinya ia mengucap syukur atas kelulusan anak bungsunya dengan indeks prestasi yang sangat memuaskan.
Selepas Nita menjadi seorang sarjana guru, ia pun mulai memasukkan surat lamaran ke beberapa sekolah. Penolakan demi penolakan pun tak asing lagi bagi Nita. Tak jarang ia putus asa, tapi demi membuktikan ke Mamak kalau ia dapat dibanggakan, iapun bangkit kembali untuk memasukkan surat lamaran ke sekolah lain, bahkan sampai ke sekolah yang berada di kota tempat ia kuliah dulu.
“Kriiing... kriiing...” terdengar nada dering handphone Nita.
“Assalamu’alaikum,” ucap Nita.
“Wa’alaikumsalam. Bisa bicara dengan Ibu Nita? Ini dari SMP IT,” ucap suara di seberang sana.
“Iya, saya sendiri. Ada apa ya, Pak?”
“Ini, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa lamaran Ibu Nita di sekolah kami diterima. Pihak sekolah akan melakukan wawancara. Jadi, Ibu dimohon hadir ke sekolah pada tanggal 17 April 2014, ya. Pukul 09.00 wita. Sekian dulu, Bu. Kami tunggu kehadiran Ibu. Terima kasih, wassalamu’alaikum,” telpon pun terputus.
Nita melonjak kegirangan. “Akhirnya, sekian lama menunggu ada juga yang memanggil untuk wawancara,” serunya dalam batin. Masih ada waktu satu minggu untuk menyiapkan semuanya untuk wawancara.
Beberapa hari kemudian, Nita pulang dari kota setelah menghadiri sesi wawancara. Ia sangat bahagia, karna ia lulus dalam seleksi wawancara. Ia pun membawa oleh-oleh untuk Mamaknya.
“Aku lulus wawancara, Mak. Dua minggu lagi aku mulai masuk masa training. Training nanti selama tiga bulan, kalau kerjaku bagus aku diangkat menjadi guru kontrak. Gajiku nanti besar belum lagi jika ditambah tunjangannya. Mamak lihat, kan? Nita bisa dibanggakan. Tidak kalah dengan Mbak Ria,” kata Nita ke Mamaknya.
“Ia, Nita. Mamak bangga padamu, huk huk...,” sambil terbatuk-batuk Mak Eli menimpali ucapan anaknya. Saat ini, kesehatan Mak Eli sedang tak baik. Mak Eli hanya dapat terbaring lemas di atas tempat tidur. Ia tersenyum bahagia ke Nita sambil membelai rambutnya yang mulai panjang.
Nita pun memeluk Mamaknya erat. Dekapan Nita hangat dirasakan Mak Eli. Kebahagiaannya pun bertambah, karna ini kali pertama Nita memeluknya. Saat-saat seperti inilah yang paling Mak Eli rindukan. “Alhamdulillah, ya Allah,” Mak Eli mengucap syukur.
***
Kesempatan Nita untuk mengikuti training pun pupus. Ia harus mengundurkan diri karena kesehatan Mak Eli semakin lemah dan harus dirawat di rumah sakit. Kesedihan yang membuncah. Ia harus merelakan kesempatan itu pergi, demi merawat Mamaknya. Pilihan yang berat untuk Nita saat harus memutuskan memilih tetap mengikuti training atau memilih menjaga wanita yang melahirkannya terbaring lemah di rumah sakit. Kesehatan Mamak yang kian menurun membuat Nita memutuskan untuk menjaganya. Ia tak ingin jauh sedikit pun dari ranjang tempat Mamak berbaring.
Dinding putih, lorong gelap, dan bau khas rumah sakit sedikit menyadarkan Nita tentang sikapnya yang kasar kepada Mamak selama ini dan tentang kecemburuannya terhadap kakak pertamanya. Nita tak ingin terlambat, sebelum semuanya menyisakan sesal yang dalam. Ia berjanji akan merawat Mamak sepenuh hati sampai kesehatannya kembali pulih.
Hari-harinya pun ia habiskan di rumah sakit. Ia selalu ada di samping Mak Eli, tak beranjak sedikit pun. Ia ingin selalu ada untuk Mamak, sebagaimana Mamak selalu ada untuk Nita. “Nita minta maaf, Mak. Nita banyak salah. Maafin Nita,” ucap Nita lirih di telinga Mamaknya yang sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Ketakutan yang terbesar adalah kehilangan Mamak. Rumah sakit dan malaikat maut itu sangat dekat dan Nita takut tak ada kesempatan lagi untuk membahagiakan Mamak. Di saat Mamak tidak sadarkan diri, Nita berjanji dengan disaksikan Mbak Mai dan bapak. Kalau Mamak sembuh nanti, Nita akan selalu menjaganya, akan selalu mematuhi ucapannya, dan tidak akan menyakitinya lagi. Nita tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan nanti.
***
Dua minggu berlalu Nita habiskan di rumah sakit, hingga Tuhan mendengar doa dan janjinya. Kesehatan Mamak pun berangsur pulih, meski tidak seratus persen. Sekarang, Nita berusaha selalu ada untuk Mamak. Setelah kondisi Mamak makin membaik, Nita pun kembali memasukkan lamaran ke beberapa sekolah sampai akhirnya mendapat pekerjaan. Ia diterima di salah satu sekolah menengah kejuruan. Sepulang mengajar, ia berikan waktunya untuk Mamak yang tidak lagi dapat mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Semua keperluannya, Nita berusaha menyiapkan. Ia lakukan semua itu untuk menebus kesalahannya selama 24 tahun. Ia sangat bersyukur, Tuhan masih memberikan kesempatan untuknya berbakti kepada Mamak.
Cobaan itu, mendekatkan Nita dengan Mamak. Kedekatan yang tidak pernah ia rasakan sedari kecil. Nita tak henti-hentinya bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan kasih seorang ibu yang tiada bandingnya. Kini, hari-hari Nita pun lebih berwarna dipenuhi oleh cahaya kebahagiaan yang ia dapatkan dari keluarga. Ia temukan cahya ketulusan di sorot mata senjanya yang teduh dan penuh kasih. ***
Sumber:
http://fiksiana.kompasiana.com/fauzi-rohmah/kutemukan-cinta-di-ujung-senjamu_5778baf93a7b619804a504db
0 komentar: