Cerpen Hamberan Syahbana: Ada Rindu Dilanda Badai

21.28 Zian 0 Comments

Biasanya orang mudik kan menjelang lebaran? Ini bukan lebaran, bahkan tahun baru pun sudah lama berlalu. Lagi pula berpuluh lebaran yang lalu aku juga tidak mudik. Sejujurnya ini bukan mudik, tapi lari dari Jakarta. Karena kini Jakarta bukan lagi kota yang menjanjikan, tetapi bagiku lebih mendekati sebagai kota mati.
Keadaanku kini biasa-biasa saja, bukan orang kaya. Mereka bingung, bahkan ada yang mempertanyakan kehalalan uang yang kukirimkan selama ini. Uang halal atau hasil korupsi? Ah, jangan buruk sangka. Mereka juga tahu bahwa aku bukan pejabat negara, bukan anggota DPR. Semua uang yang ada adalah uangku sendiri. Apa yang bisa aku korupsi?

Tapi yang menyesakkan dada ini, kudengar mereka tidak suka aku pulang kampung. Katanya kalau pulang kampung, apa bedanya dengan mereka? Aku sama saja dengan mereka. Kalau sama memangnya kenapa? Apa tidak boleh? Mereka bilang, ya boleh-boleh saja, tapi lihat renovasi mesjid dan jembatan itu tidak selesai-selesai kan?
"Coba kalau kamu masih di Jakarta, kamu bisa mengirim uang seperti biasa kan?" Teganya.mereka ya? Apa tidak bisa tenggang rasa sedikit? Apa mereka lupa? Aku bukan pengusaha yang sukses lagi. Aku bukan konglomerat lagi. Kini aku adal;ah mantan pengusaha yang bangkrut total. Semua asset kekayaanku habis disita, kemudia di lelang untuk membayar hutang-hgutangku. Itupun masih belum cukup.Mau bagaimana lagi? Akibatnya tidak ada lagi uang kiriman untuk pembangunan di kampung halamanku.

***

"Ah, mengapa jadi runyam begini? Apa salah kalau kita pulang kampung? Ini kan kampung halaman kita," guman istriku pada malam harinya.
"Kak Haji, sebaiknya kita kembali ke Jakarta saja," usul istriku.
"Tidak bisa begitu. Ini kan kampung halaman kita sendiri? Kenapa kita harus kembali ke Jakarta?"
"Mereka tidak suka kita pulang kampung, Pak."
"Siapa? Siapa yang tidak senang?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
Mereka itu bisa siapa saja. Ke Jakarta? Mau apa disana? Lagi pula mau tinggal di mana? Barangkali bisa mengontrak rumah. Kontrakan rumah di Jakarta itu mahal. Atau menumpang di rumah Ifin atau di rumah Dulah Tapi usaha Ifin dan Dulah juga belum apa-apa. Lagi pula mereka masih menumpang sama mertua. Mengontrak? Mau dibayar dengan apa? Di sana aku tidak bekerja. Mau makan apa?
"Ya makan nasi lah, masa makan batu! Disini juga Bapak tidak kerja," kata istriku.
Tidak kerja katanya? Aku ini kan petani! Meskipun hanya diam di rumah. Tapi bagian hasil sawah-sawah dari para penggarap itu melebihi keperluan makan satu tahun. Ditambah dengan hasil kebun kelapa. Itu jauh lebih baik dari pada kita tinggal di Jakarta.
"Pokoknya Ibu mau kembali ke Jakarta. Sakit telinga Ibu mendengar ocehan mereka. Apa Bapak tidak tahu tadi sore mereka rapat di Balai Desa? "
"Ya Bapak tahu, tapi Bapak tidak ikut rapat, karena tidak diundang. Dan ocehan itu tidak perlu dibesar-besarkan, lagi pula itu cuma segelintir."
"Cuma segelintir?" sanggah istriku. "Nanti jadi satu RT bahkan jadi satu kampung."
Benar juga, waktu jaya aku disanjung-sanjung, sekarang ya begini ini. Uang itu haram, hasil korupsi. Entah apa lagi yang mereka tuduhkan? Padahal semuanya halal. Tak ada sedikitpun uang haram. Tentu saja tidak semuanya berasal dari uang pribadiku. Barangkali memang ada uang yang tidak halal. Tapi itu bukan kami. Maklum uang kiriman itu lebih banyak berasal dari infak shodaqah dan sumbangan meski berbeda profesi, dan berbeda keyakinan. Orang mau menyumbang masa harus aku tolak?
"Amal ibadah itu jangan diungkit-ungkit lagi. Nanti hilang pahalanya. Istigfar Bu."
"Astaghfirullaahul adziim, kok jadi begini ya?"
"Sebenarnya itu masalah biasa, nanti juga akan selesai dengan sendirinya. Asal sabar pasti ada jalan keluarnya. Menghadapi keadaan ini aku tidak boleh gegabah. Kesalahan sedikit saja akan fatal akibatnya. Sabar dan berpikiran jernih itulah kuncinya."
"Enak saja Bapak bilang sabar. Pokoknya kita harus ke Jakarta."
"Jangan, jangan pergi"
"Keputusan Ibu sudah bulat. Mereka juga tidak mengharapkan keberadaan kita."
Inilah pertama kalinya aku berbeda pendapat. Istriku kesal dan langsung masuk kamar lalu menutup pintu dan tidak keluar-keluar lagi. Sementara di langit-pangit rumah, seekor cecak jantan mengejar cecak betina dan hilang entah ke mana. Jam dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Aku terpaksa tidur di ruang tamu. Inilah pertama kalinya kami tidur sendiri-sendiri di bawah satu atap.
Pukul dua lebih empat puluh tujuh menit, aku masih belum bisa tidur. Apakah istriku sudah tertidur lelap? Subuhnya tak ada sholat berjamaah, tak ada doa bersama, tak ada cium tangan suami. Yang lebih kacau lagi, tidak ada sarapan bersama.

***

Warung Julak Bayah  pagi itu penuh dengan langganannya. Tua-muda, kakek-nenek sampai cucu-cucunya semua sarapan di warung. Rasanya aneh kalau ada yang sarapan di rumah. Kalau sampai dua atau tiga hari tidak sarapan di warung, keberadaannya dipertanyakan. Ada apa dengan dia? Sakitkah dia? Atau apakah? Nampaknya sarapan di warung sudah menjadi kewajiban. Menunya juga khas kalau tidak nasi kuning tentulah ketupat Kandangan. Seperti biasa sendau gurau menyatu dengan berbagai informasi. Dalam waktu satu jam semua informasi mudah didapat di sini.
Orang-orang di warung Julak Bayah begitu asiknya menikmati katupat kandangan, menu khusus sarapan pagi. Perlahan kudekati mereka, tiba-tiba semuanya terpaku tanpa suara. Kucoba menghampiri mereka dengan senyuman, lalu kusalami satu persatu, kemudian kumemilih tempat duduk, lalu kupesan satu porsi ketupat kandangan..
"Hei? Tidak biasanya Pak Haji sarapan di warung," sapa yang duduk disampingku.  
"Sekali-sekali makan katupat bersama kalian boleh kan?"
"Ya boleh lah, masa tidak boleh?" sahut mereka bersamaan.
"Tidak ada rencana kembali ke Jakarta Pak Haji?" tanya salah seorang remaja.
"Kita ini kan seperti burung, jauh-jauh terbang akhirnya kembali ke sarang juga."
"Tapi menurut saya, sebaiknya Pak Haji bikin partai baru saja di Jakarta. Saya siap jadi calegnya, kok. Saya yakin, satu kampung pasti memilih saya. Suara terbanyak kan?" gurauan  yang lain sambil tertawa.
"Ah kau ini. Jadi sekretaris RT saja tidak becus, mau jadi anggota DPR," celetuk yang lain. Maka ramailah gelak tawa di warung Julak bayah.
Aku hanya tersenyum sementara Julak Bayah menyerahkan porsi ketupat pesananku. Langsung kuambil sedikit sambal binjai lalu kumasukan dan kuaduk pada kuah ketupat di piring. Setelah berdoa maka santapan istmewa itu pun masuk ke mulutku. Luar biasa nikmatnya.. Aroma binjai itu sangat tajam memancing selera.
"Masih suka makan ketupat ya?" tanya yang lain ketika melihatku begitu berselera.
"Pastilah, ini kan makanan kesukaan kita turun temurun. Sambal binjainya yang khas ini yang bikin kita ketagihan," jawabku tersenyum sambil menyapu keringat yang membasahi dahiku.
"Kata orang di Jakarta itu usaha apa saja bisa jadi duit ya?"
"Ah saja sama, asal bisa melihat peluang, bisa jadi duit. Tergantung rezekinya."
Tidak ada yang istimewa dalam pembicaraan kami, semua biasa saja. Tidak seperti kabar burung kemaren yang sampai ke telingaku. Konon kabarnya, di belakangku banyak ocehan, ledekan, gibahan, sindiran, hujatan, bahkan caci maki yang tidak enak didengar. Dan mereka juga tidak tahu bahwa aku sarapan disini karena ada cekcok di rumah. Ini juga gara-gara ocehan mereka.
Pagi ini benar-benar terasa payah. Sehabis sarapan kucoba mencairkan suasana tetapi tidak berhasil. Dengan hati gundah aku joging sendiri sekeliling kampung. Baru beberapa ratus meter terasa ada yang mengganjal di hatiku. Aku cepat-cepat pulang. Ternyata benar, istriku sudah siap dengan barang bawaannya.
"Tunggu, tunggu.," kataku. "Apa Ibu benar-benar mau ke Jakarta?"
"Ya, kampung ini makin panas. Ibu akan pergi bersama Ifin"
"Ifin kan masih di Jakarta, bagaimana mungkin?"
"Dia akan menjemput Ibu pagi ini. Tadi malam dia bilang akan datang pagi ini"
"Tidak bisa begini! Kita pulang kampung bersama dan pergi juga harus bersama. Tapi Bapak tidak setuju. Dan kita tetap tinggal disini! Lagi pula kalau kita pergi rumah ini jadi kosong, akan menjadi sarang syaitan!" kataku keras dan geram. Inilah pertama kalinya aku membentak istriku.
Belakangan ini terasa sangat kacau. Sebenarnya aku sangat merindukan ketenangan. Bagaimana ini bisa terjadi? Inikah yang dinamakan ada rindu dilanda badai.

***

Sebenarnya aku ingin hidup damai di desa ini, rindu kampung halaman yang lama kutinggalkan. Ingin bernostalgia bagaimana manisnya awal-awal hubungan kami dulu. Tapi semuanya gagal berantakan. Ini gara-gara mereka tidak suka kami pulang kampung.
Tiba-tiba jauh di luar sana nampak berpuluh-puluh warga bergegas bergerak menuju ke sini, dipimpin oleh seseorang yang ganas dan beringas. Pasti mereka mau mengusir kami. Orang-orang itu kini sudah berada di halaman.
Istriku juga garang siap menghadapi mereka semua. Sorot matanya tajam menatap mereka satu persatu, eh mereka malah balik menatap beringas menantang. Mereka tidak perlu mengusir kami.  Nampaknya istriku tidak memerlukan pertimbanganku.
"Maaf, apa kalian sedang bertengkar ya? Pasti ada yang tidak beres"
"Mau mengusir kami kan? Tidak perlu kalian usir!" bentak istriku menantang.
"Maaf Bu. Siapa yang mau mengusir Ibu?" mereka semakin bingung..
"Kalian kan? Pura-pura bingung? Ini hasil musyawarah kemaren kan?"
"Sabar, sabar Bu," kucoba menenangkan istriku. "Sebaiknya kalian tinggalkan kami, maaf kalau ada perbuatan kami yang mengganjal di hati."
"Tidak perlu! Mengapa kita harus minta maaf?"
"Tunggu dulu, tunggu dulu! Ada apa ini? Tidak ada yang mau mengusir kalian. Malah sebaliknya kami sangat gembira menyambut kepulangan kalian ke desa ini. Sesuai dengan keputusaan rapat, kami meminta kesediaan Pak Haji membimbing kami. Karena masih banyak hal yang belum terselesaikan. Kami yakin, dengan turun tangannya Pak Haji, semua pasti akan beres. Kami mohon kesediaan Pak Haji mengabulkan permintaan kami."
Semua rencana yang sudah dipersiapkan istriku buyar seketika. Aku pura-pura berpikir, lama tak ada jawaban. Nampak sebagian mereka ragu bahkan ada yang kecewa. Pelan-pelan kuanggukan kepala tanda setuju. Maka riuh rendahlah sorak sorai mereka. .
Tiba-tiba saja sebuah mobil taksi bandara berhenti di halaman, ternyata Iffin dan Dulah beserta keluarga benar-benar datang ke kampung ini.

Rawasari Ujung Banjarmasin, 2009

Sumber:
http://syahbanasastrapelangi.blogspot.co.id/2016/05/ada-rindu-dilanda-badai.html

0 komentar: