Cerpen Fauzi Rohmah: Lubang Neraka

19.12 Zian 0 Comments

Siang itu, sinar mentari menyapu kulitku yang basah kuyup oleh keringat. Kulihat benda bulat di tanganku menunjukkan pukul satu siang. Pantas saja, penghuni perutku sudah menuntut makan. Suaranya terdengar gaduh. Aku beringsut dari tempat bersandarku. Siang itu di Pasar Atas Sungai Danau sangatlah sepi. “Mungkin karena cuaca sangat panas,” pikirku.
Kulangkahkan kaki menuju lapak Abah berjualan. Kuhampiri laki-laki jangkung yang sedang duduk termangu di emperan toko pakaian. Terlihat olehku isi bakul jualan masih dipenuhi oleh gorengan, jumlahnya tidak berkurang satu pun sejak kutinggal tadi. Kupandangi raut wajah Abah yang terlihat sayu. Tergambar jelas gurat kelelahan. Kulit hitam legam nampak kurus tak terurus. Nanar mataku menyaksikan perjuangannya siang itu. “Gorengan tak terjual, artinya tidak mendapatkan uang,” gumamku lirih. Bayang-bayang kelaparan menari-nari di depan mataku.

“Bagaimana gorengan yang kamu bawa, San?”
“Laku sepuluh, Bah,” jawabku lesu. “Ini uangnya !” Kuberikan lima lembar uang dua ribuan.
“Ya, sudah. Kita pulang sekarang. Pasti Emak dan adik-adikmu sudah menunggu,” ucap Abah.
Kuayun langkahku lemah. Abah merangkulku menyusuri jalan setapak. Ia tersenyum membalas tatapanku. Abah memang paling pintar menyembunyikan kelelahannya di depanku. Usianya baru kepala tiga, tapi beban hidup telah merenggut sisa-sisa mudanya. Ia nampak lebih tua dari usinya. Beban hidup itu pula yang membuatku harus putus sekolah dan menemani Abah berjualan di pasar setelah aku lulus SMP.

***

“Abah !” teriak Arni, adikku yang berusia sembilan tahun. Ia muncul dari balik pintu menyambut kami. “Bah, Arni dapat nilai delapan tadi di sekolah. Kata Ibu Guru, Abah harus menandatangani di lembar hasil belajarku,” cerocos Arni yang tidak sabar menunjukkan kertas ulangan Bahasa Indonesia.
“Iya, Nak. Nanti Abah lihat. Tolong ambilkan minum dulu!” ucap Abah.
Arni pun berlalu, menghilang di balik pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Di rumah kayu berukuran empat kali empat meter itu, aku tinggal bersama Abah,Emak, Arni, dan Arif adik bungsuku.
“Bah, mana uangnya?” tanya Emak.
“Ini, nanti kamu belikan beras dan ini masih ada sisa gorengan bisa kau panasi untuk lauk makan kita,” kata Abah sambil menyerahkan uang sepuluh ribu.
“Cuma segini?” tanya Emak dengan nada keras. “Kenapa harus makan dengan lauk gorengan lagi, gorengan lagi?” sambung Emak dengan nada kesal.
“Cuma itu rezeki kita hari ini. Kita harus bersyukur,” Abah menimpali ucapan Emak dengan sabar.
“Aku bosan, Bah. Aku tadi dari rumah Bu Endah. Anak-anaknya setiap hari makan dengan lauk daging ayam. Anak-anaknya tumbuh gemuk. Tak seperti anak kita, kurus-kurus,” Emak mengeluh.
“Sudah, kemampuan kita berbeda,” sahut Abah.
“Tadi Pak Herman memberi tahu, kalau PT. Jaya Batubara sedang membuka lowongan. Coba Abah melamar di sana. Gajinya besar, cukup untuk kita makan yang enak,” sambungnya.
“Iya, nanti Abah usahakan.”
“Hasan tidak setuju!” kataku singkat.
“Ah, anak kecil! Tahu apa tentang mencari duit?” Emak menanggapiku.
“Memangnya kenapa tidak setuju, San?”
“Hasan tidak mau. Abah nanti sakit-sakitan. Polusi yang dihasilkan dari batubara itu tidak baik untuk kesehatan. Belum lagi nyawa menjadi taruhan. Ingat kan dengan temanku si Lana? Bapaknya meninggal tertimpa tanah longsor. Hasan tidak mau itu terjadi,” aku menjelaskan ketidaksetujuanku.
“Pokoknya Abah harus mendaftar di perusahaan itu atau aku pulang ke Batulicin. Itu juga untuk masa depan anak-anak,” ucap Emak sambil berlalu dan menghilang di balik kain korden yang memisahkan ruang depan dan dapur.

***

Sesuatu yang tidak kusetujui pun terjadi. Abah sudah dua bulan menjadi karyawan PT. Jaya Batubara. Berangkat sebelum aku bangun, dan pulang setelah kuterlelap merangkai mimpi. Tak ada lagi tangan Abah yang merangkulku di saat menyusuri jalan setapak belakang pasar. Kujalani hari-hariku tanpa Abah di emperan toko pakaian saat menunggu lapak gorengan.
Di sela berjualan, aku selalu meminjam koran ke pemilik toko pakaian.
“Aktivitas Pertambangan Merusak Lingkungan dan Menelan Korban,” sebaris judul yang kubaca di koran itu.
“Menelan korban?” tanyaku dalam hati. Bayangan Abah melintas di benakku. Aku sangat mengkhawatirkannya. Lapak jualan kubereskan dan bergegas menuju rumah Pak Herman menanyakan kabar tempat pertambangan. Beliau adalah mandor di tempat Abah bekerja.
“Semuanya aman. Abahmu juga baik-baik saja, San. Kerjanya rajin,” ucap Pak Herman.
Akupun pulang. Kudapati Abah sedang duduk di bangku bambu depan rumah. “Dari mana? Duduk sini dekat Abah !” Aku pun menghampirinya.
“San, Abah sudah dua bulan bekerja. Gaji Abah lumayan. Abah mau kamu kembali lagi bersekolah. Kamu tidak perlu berjualan lagi. Gimana, San?”
“Ya, kalau itu keinginan Abah. Hasan juga masih ingin sekolah. Tapi, Hasan lebih ingin lagi Abah berhenti bekerja di tambang. Hasan takut terjadi sesuatu.”
“Buang rasa takutmu. Abah rela bekerja berat demi kalian. Jangan ada lagi yang putus sekolah. Huuuk … huuk … !” Abah menimpali perkataanku diiringi dengan batuk.

***

Aku duduk sendiri di bangku panjang depan kelasku. Dua bulan lagi aku akan menghadapi ujian nasional. Masih kulanjutkan kegemaranku membaca koran. Kali ini koran kupinjam dari guru.
“Kolam Tambang Kembali Menelan Korban.” Sebaris judul berita mengenai dampak tambang batubara. Dampak negatif itulah yang kusesalkan. Tiga puluh tahun mendatang mau jadi apa wajah Sungai Danauku ini? Kian hari, tanah semakin gersang dan tandus. Rumput pun enggan tumbuh.
Emas hitam salah satu sumber daya alam terbesar di Kalimantan Selatan, tapi bekas galiannya juga meninggalkan dampak negatif yang besar pula. Polusi udara yang ditimbulkan menebarkan penyakit. Kerusakan lingkungan pun terjadi di mana-mana. Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah longsoran yang sudah mengubur banyak korban.
“Semoga Abah selalu dalam penjagaan-Nya,” gumamku lirih.
“Baca koran atau melamun?” suara Pak Rafiq menyadarkanku.
“Eh, Bapak. Saya ingat dengan Abah dan berita ini,” kutunjukkan judul berita di koran itu kepada Pak Rafiq, guru olahragaku.
“Banyak berdoa buat keselamatan Abahmu. Begitulah beratnya mencari nafkah, San. Harus bertaruh nyawa di tempat pertambangan. Berdoa, ya !” ucap Pak Rafiq.
“Bapak duluan, ya !” sambungnya sambil berlalu mengendarai sepeda ontelnya.

***

“Sudah pulang? Lekaslah masuk! Emak sudah menyiapkan ayam goreng untukmu,” sambut Emak di muara pintu.
“Inggih, Mak.”
Sejak Abah bekerja di pertambangan, rona wajah Emakku terlihat berbinar-binar. Ia nampak lebih muda dari dua tahun lalu, sedang Abah semakin menua termakan waktu dan debu tambang. Sekarang Emak terlihat bahagia, apalagi kalau Abah pulang selepas menerima gaji. Keesokannya, Emak langsung ke pasar memborong barang-barang yang menurutku tidaklah penting.
“Biar tidak kalah saing dengan tetangga,” kata Emak.
Aku hanya diam. “Mungkin dengan cara itulah Emak bahagia,” pikirku.
“Arif ke mana, Mak?” aku menanyakan keberadaan adikku mencoba mengalihkan perhatian Emak.
“Biasa, main dengan teman-temannya,” jawab Emak.
“Bu Mira! Bu, temannya Arif, si Andi terperosok ke kolam bekas galian. Arif juga ada di sana sedang menangis,” teriak Bu Lia sambil lari tergopoh-gopoh.
Aku pun loncat dari tempat duduk. Kutinggalkan piring yang isinya tinggal separo.
“Jangan-jangan Arif?” pikiranku kacau. Lantas, aku langsung berlari menuju kolam yang tak jauh dari rumahku. Warga sudah berkumpul di sana dan mencari tubuh Andi yang sudah tidak terlihat lagi. Aku bersyukur Arif baik-baik saja dan langsung kubopong membawanya pulang.
“Andi kepeleset pas main kejar-kejaran. Andi jatuh ke kolam terus hilang,” cerita Arif sambil sesenggukan.
“Kita berdoa semoga Andi cepat ditemukan. Arif harus janji tidak akan main lagi ke kolam itu. Abang nggak mau kamu kenapa-napa,” ucapku khawatir.
Pencarian Andi pun berlangsung sampai malam. Warga beramai-ramai menyisir kolam. Tepat pukul sepuluh pagi, tubuh Andi baru ditemukan dalam keadaan sudah meninggal dunia.
“Ternyata, lubang neraka itu tidak hanya ada di koran, tapi terjadi dengan nyata di kolam dekat rumahku. Biadab kau perusak lingkungan. Karena ketamakanmu, kolam itu menelan korban!” aku mengutuk, entah pada siapa.

***

“Bah, Hasan sudah lulus SMA. Hasan bisa bekerja lagi dan sebaiknya Abah berhenti bekerja,” pintaku pada Abah suatu hari.
“Tidak mungkin, San. Adik-adikmu juga butuh biaya untuk sekolah,” jawaban Abah mengecewakanku.
Setelah perbincangan itu, kuputuskan merantau ke Banjarmasin. Keinginanku untuk bekerja dan kuliah sangat besar. Tak kuhiraukan larangan Abah. Tekatku sudah bulat dengan uang duaratus ribu aku berangkat ke daerah yang masih asing bagiku. Beberapa surat lamaran kumasukkan ke setiap pintu toko yang terbuka, hingga akhirnya aku diterima di salah satu tempat fotokopian di jalan Cempaka.
Kabar di siang bolong itu mengejutkan lamunanku.
“San, Abah tertimpa longsor,” suara Emak lirih. “Abah menyuruhmu pulang,” sambungnya.
Aku pun bergegas meninggalkan tempat kerjaku. Tabungan gajiku selama enam bulan yang kusimpan di botol bekas sirup ABC kupecahkan. “Semoga uang ini cukup untuk Abah berobat !” harapku.

***

“San, jaga adik-adikmu. Kalau kamu mau cari kerja, jangan seperti Abah. Jangan taruhkan nyawamu!” suara Abah terdengar terbata-bata. Abah terbaring lemas di salah satu kamar puskesmas Kecamatan Satui.
“Sekarang yang terpenting Abah sembuh, jangan pikirkan yang lain dulu,” ucapku.
“Abah menyesal tak mendengar permintaan kamu. Gaji besar bukanlah penjamin keselamatan. Jaga adik-adikmu, San!” itu suara yang terakhir kudengar. Ruanganpun sunyi seketika.
Sepeninggal Abah, Emak terlihat murung dan banyak melamun. Senyum dan kebahagiaannya sirna. Miris kumelihatnya. Kupinjam modal ke salah satu bank dan membuka toko fotokopian dengan mengaplikasikan pengalamanku. Hari berganti hari, hingga bulan pun berganti tahun usahaku kian maju pesat dan memiliki beberapa karyawan. Kebahagiaanku sempurna saat aku melihat senyum Emakmengembang di acara wisuda Arni. Sarjana Teknik Lingkungan gelar yang diraihnya. Arni bercita-cita untuk mengembalikan wajah Sungai Danau seperti dulu, di saat belum ada kegiatan pertambangan.
“Bah, lihat cita-cita Arni! Ia tak ingin ada lagi kerusakan lingkungan di tempat kita, sehingga takkan ada lagi nyawa yang harus menjadi tumbal. Mulia kan, Bah?” kubisikkan di atas pusara Abah di senja itu. ***

Keterangan:
lapak = tempat kecil untuk berjualan
abah = ayah
bakul = wadah/tempat untuk meletakkan barang bawaan
emak = ibu -inggih = ya

Sumber:
http://fiksiana.kompasiana.com/fauzi-rohmah/lubang-neraka_57997d8e4023bd6932568eef

0 komentar: