Cerpen Fauzi Rohmah: Gang Nikmat

18.57 Zian 0 Comments

Udara siang ini begitu gerah, berada di bilik berukuran dua kali dua meter persegi membuat keringatku menetes berleleran. Kamar yang hanya dengan kisi-kisi ini sangat pengap, membuat nafasku gagap. Matahari tengah berada di puncaknya, menaburkan panas hingga menyusup lewat kisi-kisi jendela kayu berhorden kain lusuh. Tak jauh berbeda denganku, kali ini aku sedang berada di puncak mendaki kenikmatan bersama Parjo, pemilik warung kelontong di seberang rumah bordir ini.
Parjo bisa disebut sebagai lelaki yang paling setia padaku. Aku menyukai permainannya yang sangat lembut, tidak urakan, dan menghormatiku. Ia berbeda dengan laki-laki lain yang kerap kutolak setelah permainan kedua atau ketiga. Aku tidak mempermasalahkan soal badan dengan perut gembul, perlakuan yang kasar sering membuatku tak nyaman.

***


Berita tentang penggusuran bukan lagi sekedar kabar burung yang tersiar dari mulut-mulut preman gang Nikmat. Selebaran mengenai itu sudah terbang ke sana ke mari, ke pintu-pintu bilik surgawi. Bukan hanya duka, tapi kegusaran dan keresahan menggantung di pelupuk mata. Bayang-bayang kehilangan sumber rezeki pun menghantui penghuni gang Nikmat yang mayoritas perempuan berusia duapuluh sampai empatpuluh tahun.
“Bang Udin, apa tidak bisa membantu kami? Setidaknya perpanjang lagi waktu penggusuran itu, sambil kami mencari tempat baru,” ucapku sambil memeluknya dari belakang. Ia salah satu anggota pamong praja yang tak jarang mampir di bilikku, walau hanya sekedar minta setoran sedikit cumbuan.
“Aku bisa apa, Dik Sri? Aku hanya bawahan.”
“Bang, aku rasa kamu bisa membantu. Coba pikirkan, kalau lokasi ini ditutup, lantas kami akan berjaja di sembarang tempat. Apakah itu tidak menambah bahaya?” kucoba menjelaskan risau hati mewakili kaumku.
“Tempat ini naungan kami, Bang. Kami di sini terjaga, baik itu dari segi keselamatan pun dari segi kesehatan. Jika penggusuran terjadi, di luar sana banyak penyakit yang akan memburu raga kami.” Kusambung kegusaranku dengan sedikit memelas, berlutut di hadapannya.
“Aku mengerti, Dik Sri. Tapi, kau tahu kalau aku tak punya kuasa.” Lagi-lagi lelaki yang kupanggil Bang Udin itu nyalinya menciut. Ah, percuma. Tak bisa diandalkan sama sekali.
Bang Udin sudah tiga kali menyampaikan niatnya untuk menikahiku, dan aku menolaknya. Dia datang padaku bukan untuk mereguk puncak kenikmatan, ia hanya duduk di tepi ranjang kayu yang mulai jabuk. Biasanya, cerita tentang rumah tangga dan pekerjaannya mengalir dari bibirnya yang menghitam karena rokok yang telah dicumbunya satu dekade. Setelah dirasa hatinya lega, lalu ia pamit pulang. Selalu begitu.
Laki-laki beristri dan mempunyai tiga anak dengan penghasilan bulanan yang menurutku kecil itu sebagai alasanku untuk menolak niatnya. Bukan karena aku matre, tapi hidup ini sangatlah mahal. Selain itu, aku tak ingin menggerogoti rezeki istri dan anaknya yang jauh dari kata cukup.
“Aku mampu membiayai kehidupanmu, Dik Sri,” ia berusaha meyakinkanku suatu kali. Seperti yang sudah-sudah, aku hanya tersenyum kecut menanggapinya sembari menggeleng. Aku mempunyai empat adik yang semuanya berpangku tangan padaku. Tentu saja aku membutuhkan biaya hidup yang besar, dan penghasilannya? Ah, sudah pasti tak akan cukup jika harus dibagi.

***

Sore itu, langit pucat pasi. Tiada rona yang tergambar di wajahnya. Gurat-gurat duka mewakili hati perempuan penghuni gang Nikmat. Mendung menggelayut manja pada langit yang tak lama lagi akan menjemput tirai malam dengan lelehan resah yang diwakili hujan. Tiada pengharapan lagi akan sinar purnama di hamparan awan hitam yang menebal.
Kuhabiskan senja muram di pelataran. Kuselonjorkan kakiku pada bangku bambu yang mulai reyot. Kuhisap dalam-dalam rokok yang entah keberapa. Asap rokok itu pun menari-nari, mengudara tanpa makna.
“Dik Sri!” suara yang tak asing mengagetkan lamunanku. Wajahnya tak nampak karena sorot lampu jalanan terhalang dedaunan hingga tak menyinari wajah yang seminggu sekali menemuiku.
“Hai, Mas Har. Tumben sudah kemari lagi, baru tiga hari yang lalu lho Mas Har datang,” ucapku pada lelaki yang merupakan ajudan orang nomor satu di kotaku.
“Aku rindu, Dik,” jawabnya sambil mengambil tempat duduk di depanku. “Wajahmu tak seperti biasanya. Ada apa?” tanyanya selidik sambil memperhatikan dari ujung kaki hingga berakhir di wajahku.
“Sebanyak ini rokok yang kau hisab, Dik?” ia mengumpulkan puntung rokok yang berserakan. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecut, sekecut air liurku yang sudah tiga hari tidak minum teh manis.
“Apa yang mencuri sukamu? Mengapa kau semurung ini?” Mas Har menelisik kegelisahanku. Kuserahkan secarik kertas peringatan mengenai penggusuran yang akan dilakukan empat hari lagi.
“Berkemaslah! Ikutlah denganku! Aku akan menyewakan rumah untukmu.” Aku bergeming.
“Tak banyak pintaku, Sri. Jadilah wanitaku!” Lagi-lagi aku hanya menggeleng. Ini penawaran yang kesekian kalinya, juga penolakanku yang entah keberapa, tak terhitung.
Mas Har tak jauh beda dengan Bang Udin. Ia memintaku untuk menjadi istri mudanya, entah posisi yang keberapa yang ia tawarkan, karena setahuku dia mempunyai tiga istri. Ia juga dikelilingi banyak wanita. Pekerjaan yang menjanjikan membuatnya semakin mudah untuk merangkul wanita. Ah, aku tak menyukai laki-laki yang murah obral janji pada setiap hawa.
“Bagaimana, Dik Sri? Kalau perlu, kubelikan rumah untukmu lengkap dengan perabotannya.”
“Tidak, Mas Har. Terima kasih. Aku tidak minta kau mengentaskan aku dari lembah ini. Jika kau mau, bantu kami di sini. Berikan solusi pada kegelisahan kami.” Kulihat ia bergeming. Mulutnya terkatup rapat. Aku hanya nyengir kuda melihatnya.
Tak ada yang bernyali untuk memberikan solusi untuk penghuni gang Nikmat. Mereka hanya bernyali untuk menggagahi kami di bilik pengap ini. Ah, laki-laki macam apa itu? Hanya mementingkan keuntungan nafsu sendiri, menghisap sari dengan cuma-cuma. Saat kami mengaduh, mereka hanya diam tak berkutik. Bungkam.

***

Siang bolong, mentari tepat di atas kepala. Suara mesin eksavator dan jerit perlawanan penghuni Gang Nikmat terhenti. Eksavator itu menghentikan aktifitasnya tepat di dinding bilik Sri yang sisa separu. Mata mereka terbelalak saat mendapati penghuninya bersimbah darah dalam posisi terlentang di atas tilam tipis di ranjang kayu. Tangannya menggenggam secarik kertas yang tak lagi putih, bertulisan “tibalah waktuku untuk menikmati hidup.”

Sumber:
http://fiksiana.kompasiana.com/fauzi-rohmah/gang-nikmat_57a63f54109373e05b0fa6ea

0 komentar: