Esai Kayla Untara: “LAMPAU” Sebuah Usaha Menyelami Sungai Masalalu
Sastra merupakan karya seni berupa ekspresi pikiran dan disampaikan melalui sarana tulisan atau bahasa. Sastra erat sekali hubungannya dengan masyarakat, karena sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat dan bagian dari sebuah kebudayaan masyarakat itu sendiri. Dengan kekuatan Imajinasi penulis yang kreatif, maka sederet pengalaman dan fenomena kehidupan akan mampu disajikan dalam bentuk karya sastra. Karya sastra berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan adanya sastra, masyarakat dapat mengetahui berbagai macam situasi sosial kehidupan pada setiap zaman. Ketika kita membuka lembaran karya sastra Balai Pustaka/ Angkatan 20 ataupun Pujangga Baru / Angkatan 30 maka kita akan mengetahui mengenai kehidupan masyarakat pada zaman itu selain pada buku-buku sejarah.
Secara teoritis dalam dunia sastra mengenal beberapa bentuk dan genre sastra, satu dari beberapa genre tersebut adalah dalam bentuk prosa (prose; inggris). Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif atau wacana naratif. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita hayalan yang berasal dari imajinasi si pengarang.
Jenis prosa itu sendiri berupa Novel atau Cerpen (Cerita pendek). Novel adalah sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur instrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya tentu bersifat naratif. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 1995:9).
Pemilihan judul yang tepat pada karya sastra adalah sesuatu yang penting untuk memperkuat kualitas karya yang dibuat. Sebuah judul pada hakikatnya harus mencerminkan tokoh utama, konflik, tema, atau inti dari keseluruhan cerita. Semakin singkat atau sedikit kata yang dipakai pada judul sebuah karya, maka akan semakin misterius dan meningkatkan daya tarik pembaca. Sandi Firly melahirkan prosa (baca; Novel) dengan pemilihan judul yang cukup misterius dengan memakai hanya satu kata; “LAMPAU”. Pada Novel “Lampau”, Sandi Firly menawarkan sesuatu yang berbeda di tengah keringnya karya sastra (baca; Novel) yang mengangkat tema lokalitas Kalimantan Selatan.
Berdasar informasi awal dari beberapa rekan, Novel ini berlatarbelakang tempat (setting) di hunjuran Meratus, atau desa Loksado, maka pemahaman awal dari judul itu buat saya adalah sebuah wadah berbentuk bangunan. Lampau dalam dialektika dan pemahaman masyarakat setempat (Loksado - Kandangan) adalah sebuah wadah/kindai berbentuk rumah yang ditempatkan di pinggir ladang/sawah di luar pekampungan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen berupa Padi. Rupanya “Lampau” yang dimaksud Sandi kali ini bukan Lampau dalam pemahaman masyarakat loksado atau Kandangan, tetapi sebagaimana tulisan di cover novel itu sendiri “LAMPAU”; “yang menjelma kini, yang mewujud lalu”
PENDAHULUAN (RESENSI)
Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja di bumi Kandangan, ketika disodorkan dan membaca novel “LAMPAU” karya Sandi Firly seakan membuka kembali kepingan-kepingan masalalu. Kenangan akan masa remaja membuncah samar. Betapa melankolisnya gedesau air di sela batu-batu, pertunjukan tari-tarian rumpun bambu lemah gemulai ketika menyusuri jalan setapak menuju Haratai, dan nyanyian pilu serangga “tangir” yang berperan sebagai sinden selama perjalanan melengkapi syahdunya orkestra hutan Loksado. Kenangan akan perempuan berbibir biru (sebutan untuk gunung Kantawan) yang kokoh menjulang menggenapkan kepingan-kepingan kenangan yang terserak pada sejarah indah masa itu. Itulah kesan saya ketika membaca bab pertama.
Sebuah petulangan dzikir terekam dalam lembar selanjutnya. Memasuki bab dua, maka akan disuguhkan – meski tak begitu mendetail – mengenai kehidupan Pesantren dimana tokoh utama, secara umum, lebih banyak bercerita pergulatan bathinnya hingga akhirnya pada suatu peristiwa menyebabkan tokoh utama melanjutkan kehidupan yang berbeda. Jujur saja, selain penambahan nama terhadap tokoh utama, sisanya mengalir seperti biasa saja. Sebagaimana kepulan asap rokok saya yang lenyap bersama angin dengan meninggalkan sedikit aroma. Kiranya Sandi sebagai penulis menjadikan bab ini sebagai stasiun sebelum memasuki gerbong sebenarnya.
Inilah petualangan sesungguhnya. Mungkin ini yang hendak disampaikan Sandi pada bab tiga dalam “Lampau” ini. Terangkum petulangan lelaki sejati dan petulangan pecinta sejati(?) Agaknya Sandi menempatkan tokoh utamanya sebagai tokoh yang galau dalam urusan hati. Jauh berbeda ketika Sandi memposisikan tokoh utamanya pada peristiwa yang memaksa mengencangkan “urat jagau” dan nyali mumpuni. Bab ini memang lengkap, seru, menegangkan, sekaligus mengasyikan. Ketika membayangkan tokoh Barli, maka ingatan saya tertuju pada seorang kawan yang dulu pernah bekerja di terminal Bus Pal Enam Banjarmasin. Karakter egoisme lokal “Kandangan cingai!” yang mirip sekali. Kemudian ada Alia, setelah itu, Ranti. Ah! Sandi rupanya menjebak kita untuk berusaha meng-galau-kan diri pula. Kenapa tidak kau tulis saja, bung Sandi, namanya Azalea? Bab ini dituturkan Sandi cukup manis, sebagimana ditulisnya; “manis, benar-benar manis seperti menikmati kurma saat berbuka pada hari pertama puasa”
Klimaks terjadi meski akhirnya tak ada yang bisa dikatakan peristiwa klimaks. Dalam bab terakhir semua serba mengantung dan menunggu ending cerita. Pada mulanya saya pribadi mengharapkan kejelasan nasib dan keputusan terhadap kegalauan tokoh utamanya, tapi apa dikata, Sandi sekali lagi menutup cerita dengan beberapa tandatanya. Meski beberapa peristiwa masalalu akhirnya terjawab, tapi sungai masalalu itu seakan menyerahkan cerita selanjutnya kepada arus dan riak air, juga kepada jeram batu dan pada tiap-tiap lanting pembacanya. Ah, terkadang masalalu memang merepotkan untuk dikenang.
ULASAN
Sebagai sebuah karya sastra, “LAMPAU” berhasil menyajikan cerita dengan beberapa kejutan kepada pembacanya. Dengan mengambil setting tempat desa Loksado – seingat saya - “Lampau” merupakan jenis prosa yang terlahir dalam bentuk novel kali kedua setelah Aliman Syahrani dengan “PALAS”-nya yang menyajikan romantisme dan mistisisme adat Loksado. Kearifan lokal serta adat budaya suku dayak Loksado memang menarik untuk dieksplore lebih luas, dan “Lampau” mencoba ikut ambil bagian pada peran itu.
Meski penyajian terhadap romantisme setting tempat – yang seharusnya bisa lebih banyak dan disajikan lebih puitis – oleh Sandi dipaparkan agak pelit, tapi penggebrakan tema ini sendiri hendaknya cukup menutupi kekurangan itu. Alur yang sederhana, bahasa yang lugas dan juga sederhana, serta plot yang tersusun rapi dapat kita kategorikan sebagai bahan bacaan untuk semua umur. Unsur lokalitas yang kental dengan budaya masyarakat Pahuluan Kalimantan Selatan dan masyarakat Loksado disajikan Sandi begitu menarik. Penokohan terhadap Balian (dukun) yang diemban oleh seorang perempuan mendobrak paradigma realitas akan kemapanan adat budaya yang ada di masyarakat Dayak Loksado bahwa Balian haruslah seorang laki-laki – yang pada kenyataannya hal itu masih dipertahankan hingga sekarang, dan Sandi berani tampil berbeda. Yang lebih menarik, dalam cerita, Balian (Uli Idang) perempuan sebagai salah satu tokoh dominan dalam cerita, dikisahkan memiliki kesaktian yang melebihi Balian laki-laki.
Sahabat, mari kita sedikit mengobrol-kan LAMPAU dari sudut pandang teori instrinsik dan ekstrinsik.
a) Tema
Setelah mencoba menyelami “Lampau” di sela-sela jadwal rutinitas yang lumayan padat, saya berkesimpulan, kiranya Sandi Firly mengangkat tema “Pemberontakan bathin tokoh utama dengan nama Sandayuhan terhadap paradigma sosial yang ada yang menginginkan perubahan dan sebuah usaha pembuktian diri Anak Bukit...”
Sandi rupanya cukup berhasil mengangkat tema ini dalam bentuk novel. Paling tidak, membuka pikiran bahwa anak bukit pun pada dasarnya mempunyai cita-cita dan keinginan yang sama sebagaimana anak-anak kota. Mereka punya kesempatan yang sama tanpa sekatan kultur sosial, adat, budaya maupun geologis.
b) Tokoh
Penokohan digarap Sandi berfokus pada sosok Sandayuhan sebagai tokoh utama dalam cerita dan berperan sebagai pencerita (aku) dalam novel. Sandayuhan digambarkan sebagai Anak pedalaman/desa Loksado, terlahir dari rahim seorang balian yang memilki titah sebagai seorang balian pula. Pada awal cerita, gambaran tokoh ini dikemukakan dengan gamblang siapa dan bagaimana sosok Sandayuhan. Di beberapa bagian lain, disebutkan bahwa Sandayuhan adalah anak yang kurang cerdas terhadap angka-angka.
Uli Idang adalah Ibu dari Sandayuhan. Diceritakan Uli idang merupakan sosok balian wanita yang memiliki paras cantik, merupakan kembang desa, pemberani juga sedikit agak tomboy pada masa kecilnya meski pada akhirnya Uli Idang menjadi wanita yang memendam awan hitam dalam hatinya.
Amang Dulalin merupakan tokoh selanjutnya yang cukup berpengaruh dalam cerita “Lampau”nya Sandi ini. Karakter Amang Dulalin yang unik, tidak sebagaimana karakter orang Loksado pada umumnya menarik untuk disimak dan dicermati.
Genta, penggambaran karakter tokoh ini tersaji sepenggal-sepenggal saja, namun tak bisa dipungkiri bahwa Genta juga ikut mewarnai alur cerita karena Genta adalah ayah dari Sandayuhan. Genta, menurut hemat saya mempunyai karakter yang ideal sebagai seorang pria namun memiliki sikap cengeng dan pengecut atau dalam bahasa Pahuluan “lakian nang parajuan”. Penilaian ini saya ungkapkan tidak serta merta karena sekadar meninggalkan Uli Idang – notabene istri/pujaan hati/belahan jiwa –akan tetapi lebih kepada sikap berlebihan yang meyebabkannya mengambil keputusan untuk meninggalkan istrinya karena mengetahui Uli Idang sebelumnya pernah menikah dengan lelaki lain tanpa menelaah permasalahan sebenarnya.
Kemunculan tokoh protagonis macam Tuma, Septa, Evi, Warna, Rianti, Anna, Ariz, Barli, Alia Makki, Pak Muhammad, Pak Salam dan lainnya. Meski peran mereka tidak dapat dikatakan sedikit, namun terlalu naif pula jika dikatakan sebagai peran yang mendominasi isi dan jalan cerita selanjutnya.
Kehadiran tokoh antagonis semisal Pak Jarani, Hendy, dan Katuy yang digambarkan sebagai lelaki begundal serta penilaian ego si penutur cerita terhadap sosok Ibu Retno yang digambarkan sebagai ular dalam kehidupan sekolahnya ketika duduk di bangku Sekolah Dasar melengkapi – secara teoritis – syarat lahirnya sebuah karya sastra (baca; Novel).
Nama Rianty dan Alia Makki adalah “sesuatu banget”, meski penokohan itu terkesan hanya pemanis saja. Bagian yang seandainya pun tak ada, juga tak akan mengurangi kenikmatan cerita. Namun seandainya saja tidak ada, maka cerita akan terasa hambar dan kering. Memang, romantika dua hati adalah sebuah cerita yang tak akan lekang oleh zaman. Nama-nama dalam novel ini menjalani perannya masing-masing sebagai tokoh flash caracter dan sebagian yang lain menjadi tokoh round caracter.
Beberapa kejanggalan akan terlihat pada kehadiran beberapa sosok atau tokoh yang dimunculkan dalam cerita, paling tidak itu menurut saya pribadi. Ada sebuah inkonsistensi cerita yang berhubungan dengan beberapa tokoh di dalamnya terhadap realitas (fakta) yang sebenarnya.
Kejanggalan pertama adalah kehadiran Ibu Retno, yang digambarkan oleh penulis adalah Guru Matematika (hal.23), Pak Burhan, yang disebutkan seorang Guru Bahasa (hal.73). Mereka merupakan tokoh guru pada masa kecil Sandayuhan ketika masih duduk di bangku SD. Pada kenyataannya, jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) tidak ada guru perbidang mata pelajaran terkecuali untuk pelajaran Agama (Pak. Muhammad, hal. 130)
Juga akan kita temukan sedikit “pemaksaan” cara berfikir dan bertindak kepada sosok kanak-kanak Sandayuhan yang terlihat jauh lebih dewasa ketimbang usianya – meski dalam cerita tak disebutkan secara terang mengenai usia Sandayuhan – yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Inkosistensi terjadi pada penyebutan atau hubungan keluarga antara tokoh Amang Dulalin dan Uli Idang. Pada hal. 36;”...aku masih bisa menemukan banyak buku di rumah sepupunya (penyebutan kata orang ketiga “nya” yang dimaksud adalah Uli Idang), Amang Dulalin”. Inkonsistensi terjadi di hal. 88; “Iya... iya,ini Amang Dulalin, ponakan Ibu. Aku memperkenalkan”
Bukankah sepupu dan keponakan adalah istilah hubungan keluarga yang sangat berbeda?
c) Alur Cerita
Penggarapan di dalam novel “Lampau” ini, Sandi cenderung dominan menggunakan metode alur flashback sebagai pilihan bertuturnya. Sejak halaman pertama (Bab I), akan langsung kita ketahui bahwa yang dipakai penulis adalah metode kilas balik (flashback). Jika kemudian kita sepakati bahwa alur novel Lampau adalah alur gabungan, toh itu sah-sah saja. Di beberapa penggalan cerita, kadangkala kita temukan penggalan masa kecil Ayuh ketika melewati jeram Amandit, atau kenangan tentang gadis berkepang dua, atau saat-saat dia di Pesantren, pun juga penuturan cerita Amang Dulalin yang mengisahkan romansa Genta dengan Uli Idang. Sedang pada segmen awal cerita menggambarkan Sandayuhan sebagai tokoh utama ketika sudah dewasa.
Peristiwa-peristiwa yang sejekap saja atau boleh dikatakan hanyalah penggalan kenangan yang kembali dilukiskan si pencerita karena sesuatu hal. Jika kemudian kita kategorikan sebagai alur gabungan, juga tak terlalu berdosa kiranya.
Dalam alur cerita di novel Lampau ini, pembaca akan menemukan konflik yang terjadi pada tokoh utama (konflik internal) maupun konflik tokoh utama dengan lingkungan, tokoh lain, dan alam (konflik eksternal) yang sangat intens karena begitu kuatnya konflik-konflik yang terjadi hingga akhir cerita terkecuali sedikit sekali pada beberapa paragraf penutup.
Konflik internal akan banyak kita temukan pada hal-hal yang berhubungan dengan perasaan bathin Sandayuhan (tokoh utama; “aku”). Sebagai contoh yaitu pergulatan bathin antara idealisme dengan takdir (adat budaya) sebagai pemegang titah Balian serta romantika cinta lelaki terhadap dua gadis yang sama-sama memiliki ruang tersendiri di hati si “aku”.
Konflik eksternal akan kita dapati pada beberapa peristiwa semisal perkelahian Ayuh kecil dengan teman sebaya di masa kanak-kanaknya, persinggungan ketika di Pesantren (Pondok Pojok) dengan teman sekamar (Hendy) dan perkelahian yang terjadi tatkala Sandayuhan berada di Jakarta bersama Barli, teman yang mengajaknya mengarungi sungai Ibukota. Juga konflik nurani Ayuh ketika pulang kampung dimana keyakinannya bertolak belakang dengan kewajibannya sebagai juriat Balian yang diembannya sejak lahir.
Mungkin kekuatan tema yang diangkat Sandi Firly dalam novel ini berpengaruh kuat terhadap konflik yang terjadi hingga pada tahap komplikasi cerita dan akhirnya memasuki tahap klimaks dengan menyisakan segurat tanda tanya karena rupanya penulis mengakhiri cerita dengan ending yang menggantung.
d) Latar (setting)
Kentalnya nuansa lokalitas sebuah cerita tergantung bagaimana si penulis secara cerdas melukiskan atau menggunakan setting dalam tulisan (cerita) yang dibuatnya. Latar (setting) pada dasarnya dibagi menjadi 3 bagian yaitu; Latar Tempat, Latar Waktu, dan Latar Suasana (sosial). Pada novel “Lampau” –nya Sandi Firly, sebagaimana disampaikan sebelumnya pada pengantar di atas, mengambil setting tempat di sebuah perkampungan di hunjuran Meratus yaitu Desa Loksado yang terkenal dengan Air Terjun Haratai dan Lomba Tahunan “Balanting” (Bamboo Rafting). Hal ini – pemakaian setting tempat – ditegaskan pada hal. 37; “Namun, kampung kami juga dikenal dengan keindahan air terjun Haratai dan Sungai Amandit yang memiliki jeram terjal dan deras”. Meski penggambaran setting ini terkesan agak kering, namun, paling tidak itulah cara penulis menyampaikan lokasi (latar tempat) yang mungkin saja menurutnya cukup mewakili “dimana” peristiwa dalam cerita itu dikisahkan.
Pemaparan setting tempat ini juga bisa kita temukan pada beberapa bagian lain, seperti pada hal. 13 (menceritakan secara geografis desa Malaris), hal. 36 (menuturkan keadaan perkampungan dan balai / rumah panjang), hal. 96. (mengisahkan jeram sungai Amandit saat balanting), hal. 161 (gambaran tentang kota Martapura), hal.222-223 (penggambaran pelabuhan Bandarmasih).
Unsur lokalitas juga tidak hanya diperkuat oleh setting tempat kejadian peristiwa, namun juga beberapa pengggambaran latar sosial semisal pada kalimat “..., seorang anak yang lahir dengan ari-ari membungkus tubuhnya, maka ia akan kebal...dst” (hal.6), “bayi terlahir babungkus” (Hal.334). Hal senada yang menguatkan unsur lokalitas juga akan kita temukan pada bagian cerita dengan sub judul “Sungai Amandit” dimana Sandi menceritakan pengalaman Sandayuhan dan kawan-kawan melakukan apa yang seharusnya anak-anak Loksado lakukan yaitu “balanting”. Rupanya, peristiwa inilah yang memberi pengaruh besar terhadap jalan hidup Sandayuhan pada akhirnya. Filosofi-filosofi “balanting” yang disabdakan oleh Amang Dulalin, serta merta menjadi bagian cerita yang tak terpisahkan dengan pergulatan bathin seorang Sandayuhan.
Aruh ganal, aruh kematian, basambu umang, (dalam dialektika masyarakat hulu sungai/Kandangan disebutkan “Basambuy”) hal. 338, perihal kota Martapura yang identik dengan masyarakatnya yang agamis dengan simbolisasi atribut pakaian dan Masjid yang Megah (hal. 161), kota Banjarbaru yang diidentikkan dengan tugu Komet serta Gunung Apam (hal. 204), serta pemaparan tarian Batandik, gelang hiyang, diisap buyu (istilah lokal pada suatu penyakit) pada hal.332, yang semua itu dapat dimasukkan dalam bagian latar suasana/sosial. Kemudian penggambaran karakter Barli yang disebutkan adalah orang Kandangan yang mana urang Kandangan identik dengan keberanian dan ilmu kebal (hal.246).
Dalam hal pemakaian setting ini erat sekali hubungannya dengan unsur semiotika (berasal dari kata semeion = tanda; yunani) dalam sebuah cerita yang nanti kaitannya memperkuat nuansa lokalitas itu sendiri. Pierce (dalam Sukada, 1987: 35) menawarkan tiga kelompok tanda; Icon, Indeks, Simbol.
Sungguh sangat disayangkan, seandainya saja Sandi Firly lebih intim dalam menggauli seperawan apa hutan Loksado, tarian gemulai bambu-bambu yang bersetubuh dengan semilir angin, sinden serangga, kerisik dedaunan yang mendesah laksana birahi perawan, atau gedesau air sela batu-batu yang seakan meramu mantra-mantra masalalu itu lebih puitis dan melankolis, tentu akan semakin menggugah hati pembacanya. Romantisme dan suasana mistis alam Loksado menjanjikan beragam petualangan.
Gambaran yang sedikit sekali juga kita temukan pada suasana Pesantren di Martapura tatkala Sandayuhan menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (setara SMP). Ah! Sandi sepertinya – lagi-lagi – terlalu pelit untuk mengeksplore lebih jauh terhadap tempat yang dia jadikan setting dalam ceritanya atau mungkin pula ada sebuah ketakutan dalam diri penulis bahwa nantinya penggambaran setting ini, jika lebih mendetail, maka akan lebih layak menjadi buku panduan wisata ketimbang sebuah prosa?
Novel ini, jika dilihat dari sudut pandang latar waktu yang dipakai Sandi maka saya dapat mengambil kesimpulan bahwa si “aku’ dalam cerita berkisar umur 22 atau 23 tahunan. Tahun yang digambarkan pada novel itu menyebutkan tahun 2002 silam. Jika kita tarik mundur, maka usia Sandayuhan ketika duduk dibangku SD (kira-kira umur 7 tahun s/d 12 tahun), maka akan kita dapati kisaran tahun 1987 sampai dengan tahun 1992 dimana peristiwa perjalanan Sandayuhan menuju kota Martapura untuk melajutkan pendidikan (latar waktu yang digunakan pada kilas balik masa kanak-kanak Sandayuhan).
Sandi Firly, yang terlahir di Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah agaknya tergesa-gesa melakukan penelusuran dan penelaahan setting dalam novel ini. Ada beberapa keteledoran penggambaran setting ini yang kiranya sedikit mengganggu kenikmatan membaca saya.
Menganalisa karya sastra berarti memahami makna karya sastra. Untuk mengananalisa karya sastra, selain berdasarkan struktualisme, juga diperlukan analisis berdasar teori semiotik. Beberapa kejanggalan dalam setting yang digunakan Sandi pada “Lampau”-nya erat hubungannya dengan unsur semiotik pada kelompok Icon (kesamaan, ciri-ciri bersama dengan apa yang dimaksudkannya). Di bawah ini beberapa kejanggalan yang kiranya memerlukan koreksi:
- Jika melihat setting waktu (kurun waktu tahun 1987 s/d 1992) yang digunakan Pengarang saat menceritakan masa kanak-kanak Sandayuhan, ada kalimat “...jalanan beraspal” (hal.7). Faktanya jika kita ambil realitas pada kurun tahun tersebut, jalanan beraspal hanya sampai pada desa Padang Batung (±15km - 20 Km dari Kota Kandangan) dan pengaspalan jalan belum menyentuh desa Loksado terlebih lagi desa Malaris (tempat tinggal Sandayuhan). Loksado berjarak ±60 Km dari kota Kandangan.
- Pada kisaran tahun 90an ke atas (1992; perkiraan Sandayuhan manamatkan sekolah Dasar) ternyata SMP sudah ada dan berdiri di desa Loksado, jika melihat dialog Uli Idang; “Apalagi sekolah SMP hanya ada di kota Kandangan..dst” (hal.129), maka hal itu kembali bertentangan dengan fakta yang ada.
- Mata pencaharian masyarakat Loksado cenderung didominasi dibidang pertanian dan perkebunan adat (cengkeh, kayu manis, singkong, dan lain sebagainya). Ketika Amang Dulalin (hal. 36) dan Baliat Itat diposisikan sebagai “buruh upahan” (hal. 304) hasil pertanian (padi), maka Sandi terkesan mengenyampingkan fakta bahwa suku dayak Loksado merupakan masyarakat yang menjaga kearifan lokal dengan mempertahankan adat “bahahandipan” atau selalu bergotong-royong dalam tiap proses panen padi. Perihal “buruh upahan”, itu hanya terjadi saat sekarang, itupun dengan persentase yang kecil sekali. Jika melihat latar waktu dalam cerita, kiranya Sandi terjebak pada realitas masa kini yang terjadi di daerah perkotaan macam di Kandangan dan sekitarnya yang sebagian besar memakai “buruh upahan” pada proses panen padi tanpa mengeksplore lebih intens kehidupan sosial masyarakat dayak Loksado pada saat pemakaian setting waktu yang dipakainya dalam cerita.
- Penggambaran tempat tinggal berupa rumah panjang (balai), sejatinya dihuni oleh beberapa kepala
rumahtangga/suami (namun semua masih ada garis hubungan keluarga) dengan penghuni lain yang di dalamnya dipisahkan oleh sekat-sekat. Pada bagian tengah balai (pamatang) ada tempat untuk lalaya yang jika ada acara aruh nantinya, di tempat (pamatang) itulah ritual aruh dilaksanakan. Balai, jika disederhanakan seperti kamar kos, dengan satu kepala balai (damang) dan dihuni oleh beberapa kepala rumahtangga. Akan tetapi, Sandi menggambarkan Balai ditempati hanya beberapa orang dengan satu kepala rumahtangga. Kejanggalan itu juga terlihat ketika menggambarkan rumah Amang Dulalin. Andaipun rumah yang dihuni Amang Dulalin merupakan rumah dengan model modern pada umumnya, menjadi sedikit aneh jika digambarkan rumah itu tersentuh cat putih atau hijau muda (hal.36). Model rumah modern sebagaimana rumah pada umumnya, biasanya berbahan kayu ulin atau meranti (sejenis kayu lanan) tanpa cat, jika pun ada yang dicat, maka itu terjadi pada pertengahan tahun 90an dan hanya sebagian kecil. Faktanya, Balai (rumah adat panggung, melebar, bukan memanjang sebagimana penuturan Sandi pada hal. 36) tidak ada yang di cat. Balai dibangun dengan mengekspose material alami bangunannya.
- Pepohonan di pinggir sungai Amandit yang digambarkan lebih banyak menyebutkan pohon Rambai (hal. 101). Meski tak seluruhnya tidak tepat, namun faktanya sepanjang alur sungai Amandit, tebingnya justru didominasi oleh pohon Lua, pohon Jingah, dan Rapun Haur (sejenis bambu).
- Penuturan adanya ranjang besi (hal. 128) di dalam Balai juga merupakan kejanggalan, sebab pada kenyataannya masyarakat Loksado yang tinggal di balai “guring baampar di lantai” (tilam dan tikar yang digelar langsung di atas lantai). Mungkin sebagian masyarakat yang membangun model rumah modern (bentuk rumah umum), ada yang memiliki ranjang, tetapi tidak di dalam Balai.
- Bau plamir (hal. 177) yang dituturkan pada setting suasana ketika di Pondok Pojok Pesantren, bagi saya yang bergumul dalam bidang konstruksi sipil akan menjadi lucu, sebab sepanjang pergulatan saya dengan pekerjaan yang terkadang beurusan dengan meubelair, Plamir tidak menimbulkan bau, tapi jenis pelapis kayu Politur (melamic atau vernis) yang justru beraroma sengak apabila meubel itu dalam kondisi baru.
- Penuturan kebun yang berdimensi luas delapan meter persegi (secara matematika itu bisa berarti 2m x 4m) dengan ditanami beragam jenis sayur, cabe, tomat, daun sup, limau nipis, pohon pisang, dan singkong (hal. 172). Akan jadi pertanyaan kemudian, bagaimana menempatkan tanaman-tanaman itu di lahan yang hanya berukuran 2m x 4m? Ah, Ayuh! Sepertinya kau memang lemah dalam rekayasa hitungan.
- Meski secara jelas saya pun tak mengetahui persis bagaimana suasana dunia pesantren, terlebih pada rutinitas makan sehari-harinya, setidaknya gambaran bahwa tokoh Hendy, salah satu santri yang sering makan di kantin, akan memetik rasa penasaran karena selama ini yang saya ketahui secara pribadi, santri selalu makan bersama di suatu tempat khusus (jika di-asrama-kan). Jika memang saya keliru, maka kali ini saya akan menyetujui mengenai ritual Hendy yang lebih sering makan di kantin.
- Peristiwa yang mengoncang psikologis seorang Uli Idang adalah Aruh Kematian (hal.305). Setelah saya coba cari informasi, ternyata potret aruh kematian tidak sebesar yang digambarkan (dalam hal biaya) sebagaimana upacara adat kematian di Tanah Toraja atau pesta pada acara kematian suku Batak yang konon menelan biaya ratusan juta, justru aruh kematian pada suku dayak Loksado cenderung sederhana saja dan kemungkinan memiliki utang hanya untuk melaksanakan upacara kematian itu sangat kecil sekali.
- Acara orkes dangdut yang dilaksanakan pada pesta pernikahan Katuy akan terasa aneh, sebab jika menilik tahun di mana peristiwa itu diceritakan (tahun 80an), maka orkes dangdut tidak familiar bahkan bisa dikatakan tidak pernah dilaksanakan saat pesta perkawinan Adat (hal.321). Terlebih yang dikawinkan adalah anak seorang Balian yang jika melaksanakan ritual acara perkawinan di luar adat, maka hal itu justru melanggar sasarah sebagai keturunan Balian dan menurunkan derajat ke-Balian-annya sendiri. Sesuatu yang tabu dan bid’ah jika sakralitas adat seperti acara pernikahan disusupi hal-hal yang melanggar “pamantang” atau “sasarah” adat.
e) Sudut Pandang
Novel ini dituturkan oleh Sandayuhan selaku dalang sekaligus pemain. Jika pengarang berperan sebagai “aku” maka bisa kita kategorikan sudut pandang penulisan karya ini memakai sudut pandang orang pertama.
Kali ini, karena pengarang terjebak pada tokoh “aku”, maka pemaparan tiap tokoh dalam cerita ini disampaikan secara analitik dari sudut pandang pengarang plus dengan egoisme si penutur (aku) tersebut. Kelemahannya, pengarang tak bisa menyelami lebih jauh sisi psikologis dan perasaan tokoh lain dalam cerita. Kelebihannya, eksplorasi bathin tokoh utama sebagai pencerita tergambarkan dengan lugas.
Pada metode sudut pandang orang pertama ini, memaksa menggambarkan tokoh lain lebih kepada metode analitik si pengarang. Itu terjadi semisal pada penggambaran; “perempuan berambut jagung” (hal. 63) terhadap turis asing bernama Anna atau pada kalimat; “perempuan kecil dengan rambut dikepang dua berpita merah yang tampak bagus sekali. Rambutnya berponi rapi menaungi alis dengan mata bulat putih bersih. Kulitnya juga putih bersih. Dst...”(hal.75) menggambarkan sosok kecil Rianty, dan masih banyak contoh penggambaran analitik tiap tokoh lainnya. Namun, Sandi menyampaikan gambaran beberapa tokoh di novelnya terkadang menggelitik dan agak sedikit menggoda. Kekuatan sudut pandang orang pertama ini adalah mampu mengajak pembaca untuk membayangkan (secara fisik) atau menyetujui penilaian si pencerita (aku) terhadap tokoh yang diceritakannya.
f) Gaya Bahasa
Sebagai penulis dan jurnalis, Sandi Firly tentu memiliki perbendaharaan kosakata yang mumpuni. Dalam novel “Lampau”-nya, Sandi lebih cenderung menggunakan bahasa-bahasa sederhana yang tidak perlu mengerutkan dahi atau memanjangkan jenggot (kecuali bait-bait petikan sajak yang dimuatnya di beberapa kesempatan) untuk memahami makna tulisannya. Sederhana saja, sesederhana alasan pernikahan dan perceraian Katuy dengan Uli Idang.
Beberapa majas juga akan kita temukan pada beberapa bagian paragaraf.
Beberapa contoh majas Hiperbola bisa kita dapati pada kalimat; ”setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah sabda yang sanggup mengguncang rumpun-rumpun bambu, menghentikan angin kencang yang berhembus, lalu mengubahnya menjadi desiran lembut...dst” (hal.3); “Siapapun yang mendengar ceritaku pasti akan terpukau, terbelalak matanya, menetes air liurnya lantaran mulutnya ternganga” (Hal.35); “..seketika aku merasa sekeranjang bunga mawar ditaburkan ke wajahku...”(hal. 76)
Contoh majas Sarkasme (sindiran langsung dan kasar) akan kita temukan pada kalimat; “dasar orang bukit!” (hal.23), yang mana ucapan tersebut lebih kepada rasisme dan penilaian (penyebutan) negatif terhadap suku dayak Loksado.
Majas Alegori akan banyak kita temukan seperti pada kalimat; “...sungai adalah urat nadi kita” (hal. 91); “...itulah hidup. Seperti sungai ini, tidak semuanya berjalan lancar, kita harus melewati kesulitan-kesulitan berupa jeram...”(hal.98); “kau telah mampu mengendalikan lanting, melewati arus deras, jeram, dan batu-batu. Mengikuti ke mana arus sungai menyeret lanting, untuk kemudian kau kendalikan agar tidak terhempas dan pecah. Itu sama halnya kau telah berhasil melewati rintangan hidup, dan tetap tegak berdiri” (hal.169); “seperti kereta inilah kiranya kehidupan. Gerbong depan tak bisa kembali ke belakang. Gerbong belakang tak pernah beralih ke depan. Terus melaju menjalani rel sesuai jalurnya masing-masing”(hal. 237)
Beberapa majas Personifikasi kita akan dapati pada kalimat; “...udara dingin serasa menggigit-gigit kulitku...”(hal.222); “gudang-gudang kaku...” (hal.223); “Angin yang datang dari arah laut sana,...dst... s/d, terus membisiki alam bawah sadarku” Hal.(228); “...hari-hari seperti berlari, berkelebat..”(hal. 254); “dingin serasa merayap ke tulang...”(hal. 318); “...berdamai dengan sungai masalalunya” (hal.342)
g) Amanat
Dengan mengangkat tema yang mendobrak kemapanan kultur dan adat budaya serta mainstream masyarakat umumnya terhadap suku dayak Loksado, setidaknya, kelahiran “Lampau” dari rahim imajinasi seorang Sandi Firly mengajak pembaca membuka wacana dan pemahaman baru bahwa suku dayak Loksado sebagaimana suku lainnya memiliki peran dan potensi yang sama serta kesempatan yang sama pula. Bahwa manisnya cita-cita akan terasa tatkala dicapai setelah melewati jeram-jeram dan ganasnya batu kehidupan diajarkan Sandayuhan dalam novel “Lampau” ini. ”...sesuatu yang dinikmati dari hasil jerih payah sendiri jauh lebih terasa nikmat dibanding bila didapatkan dengan cara lain, membeli atau diberi”
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka.
“Lampau” terlahir dari imajinasi liar seorang Sandi di era sepuluh tahun lebih tua dari masa (setting waktu) yang dipakainya dalam cerita. Mungkin saja, janin “Lampau” ini telah mengendap tak kurang dari sepuluh tahun pula di rahim Imajinasi Sandi Firly atau bahkan lebih, apalagi jika membaca perjalanan “balanting” yang disuguhkannya mempunyai kemiripan dengan petualangan bersama pada kurun waktu tahun 2002 atau jangan-jangan justru petualangan di tahun 2002 itulah yang menginspirasi seorang Sandi Firly dan menjadi bagian proses kreatif karyanya ini?
Keadaan sosial sekarang, dimana masyarakat kita diterjang banjir perilaku generasi alay yang terjadi tak hanya pada remajanya saja, tapi menjangkiti pula mereka yang bisa disebut dewasa. Sejatinya, “Lampau”-nya Sandi ini sedikit memberikan pencerahan terhadap ideologi tak bertanggungjawab; yaitu rasa malu terhadap identitas budaya dan kesukuannya bahkan malah merasa bangga dengan memakai atribut identitas orang lain yang justru palsu. Keprihatinan yang di tangkap Sandi atas fenomena malu dengan identitas diri itu – terlepas apakah ini dia sadari ataupun tidak – dia tuangkan secara menarik dan cerdas di dalam karyanya kali ini.
PENUTUP
Meski terbatas, Sandi Firly berhasil menyajikan kultur budaya dayak Loksado beserta keindahan alamnya yang menjanjikan petualangan. Tak hanya petualangan lahiriah, juga menawarkan petualangan bathiniah seseorang. Bagaimana riak dan arus Amandit mengajarkan ketulusan, kebijakan, semangat, dan keberanian direkam Sandi secara tegas di karyanya ini. Memang, interpretasi tiap pembaca terhadap karya yang dibacanya akan berbeda, tapi percayalah, apa yang ditawarkan Loksado dan Amanditnya akan sama!
Potret negatif sosial mengenai kerusakan akibat tambang dan penebangan liar juga sempat sekilas dan samar dipetakannya di beberapa paragraf. Berbagai fenomena egoisme kebanggaan juga disajikannya secara menarik pada sosok Barli. Kariwaya, sejenis pohon besar serupa pohon beringin yang bagi sebagian besar masyarakat suku dayak Loksado ataupun suku Banjar memiliki unsur mistis karena konon katanya rumahnya para hantu dan syetan turut pula ditampilkan Sandi Firly dengan dingin di bait kalimat – “pohon yang kutahu juga menjadi lambang partai politik” (hal.8), katanya. Entah apa maksud Sandi Firly menyampaikan hal ini. Apakah partai yang dimaksudnya itu juga merupakan markas yang menaungi mereka yang serupa penghuni pohon Kariwaya? Ah! Kelak Sandi akan mampu menjawab pertanyaan ini.
“Lampau”, sebuah pembuktian diri, bukan hanya seorang Sandi Firly atau Sandayuhan, tapi lebih kepada komunitas sastra Kalsel bahwa “Kita pun bisa!”. Saya telah menyelami sungai masalalu Sandi Firly, saatnya giliran anda.
Selamat siang, matahari telah tinggi, lantingku menunggu di ulak itu!
Barabai, 20 Juli 2013
Sumber:
SKH Media Kalimantan, 29 September s/d 02 Oktober 2013
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/obrolan-ringan-lampau-sebuah-usaha-menyelami-sungai-masalalu/10152093186237741
wow... thanks bro!
BalasHapus