Esai Jamal T. Suryanata: Sastra Banjar Klasik: Khazanah Budaya yang Nyaris Terlupakan
/ 1 /KETIKA berbicara tentang sastra daerah, kesan pertama yang segera muncul di benak kita biasanya langsung tertuju pada persoalan eksternal sastranya, persoalan sosiologisnya. Masalah tersebut terutama menyangkut kondisi dan perkembangannya yang cenderung selalu seret, terjepit, terpinggirkan, bahkan nyaris terlupakan. Fenomena semacam itu tentu saja bukan sesuatu yang luar biasa di tengah sebuah “negara besar” (bukan sebuah negara adidaya, maksud saya) yang multietnis dan sangat plural seperti Indonesia (namun, hal itu bukan berarti kita tak perlu menyayangkan dan memperjuangkannya). Sebab, bagaimanapun, politik kebudayaan yang dipilih dan dilakukan pemerintah —dengan asumsi (baca: dalih?) tercapainya kesatuan dan persatuan bangsa atawa demi terjaganya stabilitas nasional— sudah pasti akan mengarah pada satu titik bernama “keindonesiaan” yang lebih-kurang berarti “penyeragaman”. Oleh karena itu, dengan segala peluang dan kemujurannya, kiranya tidak sepatutnya jika dalam konteks ini kita memperbandingkan kondisi sastra daerah dengan sastra Indonesia, meski kondisi sastra Indonesia pun sesungguhnya masih relatif merisaukan juga.[1]
Dalam perbandingannya dengan situasi dan kondisi sastra-sastra daerah lainnya, sastra Banjar barangkali berada di tengah-tengah (tapi, kondisi seperti ini pun sudah sepantasnya kita syukuri). Dalam arti, sastra Banjar bukanlah sastra daerah yang perkembangannya paling menonjol dan bukan pula yang paling terbelakang. Sebab, pada satu sisi, dalam berbagai perbincangan tentang sastra daerah selama ini (lebih-lebih jika pembahasan itu sudah menyentuh sastra modernnya), maka sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali merupakan sastra-sastra daerah yang paling sering dibicarakan. Pada sisi lain, eksistensi sastra daerah lainnya yang jumlahnya begitu besar hampir tak pernah kita dengar gaungnya. Kalaupun ada yang sesekali terangkat ke permukaan, hal itu biasanya terbatas pada hasil-hasil penelitian akademis saja. Ironisnya pula, sejumlah hasil penelitian yang terbilang intensif mengenai sastra daerah (Nusantara) selama ini justru lebih banyak (setidak-tidaknya lebih dahulu) dilakukan oleh para sarjana asing[2] —tentu saja hal ini karena memang didukung oleh tradisi keilmuan dan fasilitas yang mereka miliki.
Dalam deretan panjang yang sunyi itu, sastra-sastra daerah tersebut tersebar di berbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia; mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian, Nusa Tenggara, Ambon, hingga gugusan kepulauan kecil lainnya (di situ ada sastra Aceh, Batak, Minangkabau, Betawi, Bugis, Bima, Gorontalo, Sasak, Wolio, termasuk sastra Banjar —sekadar menyebut beberapa saja).[3] Khazanah sastra daerah yang sangat kaya dan merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya itu tentu saja sangat disayangkan jika terus dibiarkan “membusuk” tanpa sentuhan tangan-tangan kreatif generasi sekarang sehingga kelak dapat lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat lokal maupun bangsa Indonesia pada umumnya.
/ 2 /
Dalam pembicaraan ini sengaja digunakan istilah “sastra Banjar klasik” —yang secara terminologis dapat dipertentangkan dengan pengertian “sastra Banjar modern”— sekadar upaya mempertegas batasan pokok permasalahan.[4] Secara konseptual, istilah ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi dua konsep lain yang menyertainya, yakni “sastra lisan” dan “sastra tulisan”. Namun demikian, dengan beberapa pertimbangan, pembicaraan selanjutnya akan lebih difokuskan pada bentuk sastra tulis (naskah) dengan genre utamanya berupa syair, hikayat, dan risalah keagamaan.[5] Kemudian, pemokusan juga akan terjadi dalam perspektif pembahasan yang lebih terarah pada masalah fungsi sosialnya (dalam arti yang seluas-luasnya) sehingga sastra klasik dianggap penting untuk ditengok kembali dan dinilai tetap relevan bagi kehidupan masyarakat (kita) dewasa ini.
Sebagaimana kita ketahui, dengan sedikit pengecualian, masyarakat Banjar pada zaman lampau —terutama sebelum mendapat pengaruh modernisasi Barat sejak kira-kira awal abad ke-20 atau akhir abad ke-19— hampir sepenuhnya masih hidup dalam tradisi lisan (oral tradition). Segala bentuk ekspresi sastra (juga bentuk-bentuk ekspresi budaya lainnya) selalu disampaikan dari mulut ke mulut oleh satu generasi kepada generasi selanjutnya. Dalam tradisi yang demikian, jika kita mengacu pada konsepsi Horace tentang dulce dan utile sebagai fungsi utama sastra,[6] karya-karya sastra lebih berperan sebagai sarana pengajaran atau media pewarisan nilai-nilai budaya ketimbang sebagai hiburan, meski fungsi yang terakhir ini juga tidak terabaikan sama sekali oleh karena kehadirannya memang saling mendukung.
Pada masa itu, para orang tua mengajarkan etika (bahkan agama dan ilmu pengetahuan lainnya) kepada anak-anak mereka melalui simbol-simbol yang tersusun dalam rangkaian cerita maupun petatah-petitih dan ungkapan budaya lainnya (baik dalam bentuk puisi maupun prosa), dengan cara-cara yang menyenangkan. Situasi pengajaran semacam itu bisa berlangsung secara kolektif dalam suatu pesta rakyat (semisal melalui tradisi bakisah, mamanda, madihin, balamut, atau japin carita) maupun secara individual di lingkungan keluarga masing-masing (misalnya dalam tradisi basair dan bakisah, khususnya dongeng pengantar tidur).
Dalam situasi (lingkungan) semacam itu, sastra lisan memang dapat tumbuh berkembang dengan baik, bahkan mampu bertahan hingga berabad-abad lamanya. Namun, seiring dengan masuknya peradaban modern yang antara lain ditandai dengan perkembangan tradisi baca-tulis dan semakin mantapnya bangunan keberaksaraan (literacy), rumah tangga sastra lisan secara berangsur-angsur mulai goyah. Bahkan, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat-laun ia terasa semakin kehilangan relevansi dan signifikansinya. Dengan demikian, tumbuh berkembangnya suatu tradisi sastra daerah (kemudian) sangat bergantung pada tingkat keberaksaraan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, tingkat keberaksaraan dalam lingkungan masyarakat tertentu dapat dijadikan sebagai indikator tingkat peradaban yang telah mereka capai, di samping juga merupakan barometer sejauh mana luas jangkauan pengetahuan dan kemajuan sistem penalaran yang mereka miliki.
/ 3 /
Secara implisit, uraian di atas mengandaikan sebuah sintesis posteriori tentang betapa pentingnya budaya baca-tulis, signifikansi tradisi keberaksaraan itulah; bahwa pada akhirnya tradisi penulisan (berikut sistem publikasinya) jelas sangat menentukan perkembangan sastra dalam suatu lingkungan budaya (daerah maupun nasional). Namun, sejauh yang saya ketahui, sepanjang sejarah kebudayaan Banjar tampak bahwa pertumbuhkembangan tradisi baca-tulis tersebut agaknya kurang menggembirakan (relatif terlambat dan cenderung berjalan lambat pula). Pada masyarakat Banjar, kalau ditarik ke belakang, tradisi penulisan tampaknya baru dimulai sekitar abad ke-17 dengan menggunakan bahasa Melayu (-Banjar) dan aksara Jawi (Arab-Melayu) —khusus untuk karya-karya keagamaan banyak bercampur dengan bahasa Arab. Asumsi ini didasarkan atas bukti-bukti tertulis yang pernah ada (dan sangat minim), semisal lahirnya Hikayat Nur Muhammad karangan Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari.[7]
Selanjutnya, tradisi penulisan semakin berkembang maju pada abad ke-18, terutama sejak kembalinya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710—1812) dari masa “pengembaraan intelektualnya” selama lebih-kurang 30 tahun di kota Makkah dan Madinah. Pada sekitar paro kedua abad inilah Syekh Arsyad banyak melahirkan karya-karya tulis di bidang keagamaan (khususnya dalam bidang syariah), antara lain dengan kitab Sabilal Muhtadîn li at-Tafaqquhi fî ‘Amr ad-Dîn (1781)-nya yang sangat monumental dan termasyhur hingga ke mancanegara itu (terutama yang berbahasa Melayu). Kitab tersebut ditulis pengarangnya atas permintaan Sultan Tahmidullah (1778—1808) yang berkuasa pada masa itu.[8] Perlu disebutkan pula, seorang ulama Banjar lainnya yang semasa dengan Syekh Arsyad bernama Syekh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari (diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1735) juga telah menulis sebuah kitab keagamaan (dalam bidang tasawuf) berjudul Ad-Dur an-Nafis (1785).[9]
Kendati tradisi baca-tulis sudah dimulai pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi semakin meluasnya tradisi penulisan yang lebih mengarah pada pemahaman sastrawi kemungkinan besar baru terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-19 dan kian mantap perkembangannya sejak awal abad ke-20. Sebab, dalam rentang waktu inilah masyarakat Banjar diperkirakan mulai mengenal aksara Latin —yang menyebabkan penggunaan aksara Jawi semakin terbatas— seiring dengan kian meluas dan membaiknya sistem pendidikan formal di daerah ini. Demikianlah, meski hingga sekarang belum ditemukan adanya data historis yang lebih kuat dan akurat, setidak-tidaknya uraian tersebut dapat memberikan gambaran selintas mengenai sejarah pertumbuhan yang merupakan cikal-bakal bagi perkembangan tradisi penulisan dalam masyarakat Banjar selanjutnya. Selain itu, satu hal yang pasti bahwa tradisi penulisan tersebut baru dimulai sejak berkembangnya agama Islam di tanah Banjar ini.
/ 4 /
Lepas dari persoalan kronologis-historisnya, menarik untuk dicermati, mengapa dalam banyak karya sastra klasik —dengan pengecualian risalah-risalah keagamaan— sering kita jumpai cerita-cerita yang irrasional sifatnya? Hal ini bukan saja terjadi dalam cerita-cerita fiksi-murni-hiburan (sage, mite, fabel), melainkan juga dalam karya-karya bermuatan sejarah yang seyogianya bersifat realistis-objektif.
Dalam Hikayat Banjar, misalnya, diceritakan tentang asal-usul Putri Junjung Buih dan Raden Putra (setelah naik tahta bergelar Pangeran Suryanata) yang sungguh tidak masuk akal. Bahkan, mungkin dengan motif yang berbeda, dalam Tutur Candi —versi lain dari cerita asal-usul kerajaan (masyarakat) Banjar— silsilah raja-rajanya dikaitkan dengan kehadiran sosok Nabi Khaidir dan Raja Iskandar Zulkarnain. Padahal, sebagaimana kita ketahui, periode awal Kerajaan Banjar (Negara Dipa dan Negara Daha) tersebut masih bercorak Hindu-Budha.[10] Demikian juga dalam cerita-cerita lain seperti Syair Tija Diwa, Syair Carang Kulina, Syair Ratu Kuripan, atau Syair Brama Syahdan sangat banyak kita temukan hal-hal yang menurut akal sehat sesungguhnya sangat kontradiktif atau mustahil terjadi. Pendek kata, kehidupan masyarakat Banjar tradisional pada zaman lampau tampak masih diselimuti oleh mitos-mitos (hidup dalam dunia mitologis). Oleh karena sifatnya yang demikian, yang mungkin hanya berkadar semisejarah karena penuh mitos itu, baik teks Hikayat Banjar maupun Tutur Candi oleh para sejarawan keduanya hanya digolongkan sebagai karya historiografi tradisional —oleh J.J. Ras, periode mitologis ini disebut the Malay myth of origin.[11]
Lalu, jika kita persoalkan lebih jauh, bagaimana latar belakang dan apa sesungguhnya motif di balik semua itu? Dalam pandangan antropologi strukturalnya, Claude Levi-Strauss mengatakan bahwa kehadiran mitos dalam kehidupan manusia adalah untuk mengatasi dan memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia.[12] Lalu, agar dapat memahami kontradiksi tersebut, nalar manusia kemudian memindahkan kontradiksi-kontradiksi itu ke tataran simbolis sedemikian rupa sehingga terciptalah sistem simbol yang tertata apik berupa mitos-mitos. Melalui sistem simbol itulah kemudian manusia memandang, menafsirkan, dan memahami realitas empiris sehari-hari mereka sehingga segala realitas yang tampak kontradiktif menjadi sesuatu yang (seakan —tambahan dari saya, JTS) serba logis. Jadi, dengan mitos-mitos itu, manusia pada dasarnya menciptakan ilusi-ilusi bagi dirinya; bahwa segala sesuatu itu (dianggap) masuk akal.[13]
Berdasarkan pandangan di atas, ada hal penting yang patut kita catat; bahwa sebuah karya sastra (klasik maupun modern) pada dasarnya mengandung “berita pikiran” tertentu, baik yang kehadirannya hanya bersifat implisit (dan karenanya perlu dicermati lebih mendalam) maupun yang eksplisit sifatnya. Dalam perspektif antropologis semacam itu, melalui karya-karya klasik sebenarnya kita dapat menelusuri jejak historis peradaban serta merunut perkembangan pola penalaran manusia —termasuk kemungkinan untuk menyingkap jaringan intelektualnya— dalam suatu lingkungan masyarakat pada masa tertentu. Hal ini dapat dianggap sebagai fungsi tambahan mempelajari sastra, lebih-lebih sastra klasik. Dari situ kemudian kita tahu bahwa perkembangan suatu kebudayaan ternyata merupakan sebuah mata rantai yang tak putus-putusnya. Dengan kata lain, kebudayaan yang ada sekarang hanya merupakan kelanjutan atau setidak-tidaknya sebagai bentuk penyepurnaan dari kebudayaan masa lampau dalam suatu proses transformasi budaya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Peursen bahwa pada dasarnya kebudayaan yang ada sekarang melalui tiga fase: mistis, ontologis, dan fungsional. Pada fase pertama (mistis) manusia masih terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib, pada fase kedua (ontologis) manusia mulai secara bebas ingin meneliti segala hal di luar dirinya, dan pada fase ketiga (fungsional) sikap serta alam pikiran manusia sudah semakin memperlihatkan ciri kemodernan.[14]
Selanjutnya, jika persoalan tersebut dihubungkan dengan kajian (ilmiah) kesejarahan, apakah sebuah karya sastra klasik yang disebut historiografi tradisional itu cukup layak dijadikan sebagai referensi (sumber data) dalam menyusun sejarah suatu daerah atau bangsa? Dalam hal ini, secara tegas dapat dikatakan bahwa karya-karya historiografi tradisional (semacam Hikayat Banjar, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi, dan lain-lain) memang tidak dapat dijadikan sumber sejarah dalam arti yang sesungguhnya (bersifat ilmiah dan berdasarkan prinsip realitas-objektif). Namun demikian, menurut Panuti Sudjiman, karya-karya semacam itu setidak-tidaknya akan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bandingan (mungkin juga “tandingan” —JTS) dalam rangka penulisan sejarah. Dari hasil telaahnya mengenai kasus Syair Sultan Mahmud di Lingga, kiranya dapat ditarik beberapa simpulan penting. Pertama, karya tersebut diperlukan karena informasi yang ada (dari buku-buku sejarah) tentang Sultan Mahmud Muzaffar dan masa pemerintahannya memang sangat minim. Kedua, boleh jadi tokoh dan masa tersebut memang kurang berarti. Ketiga, sangat mungkin pula bahwa catatan-catatan atau buku-buku sejarah yang ditulis oleh orang Barat —dalam hal ini Belanda atau Inggris— maupun yang disusun atas perintah mereka sengaja mengecilkan peran Sultan Mahmud (lantaran tidak berpihak kepada mereka) sehingga ia digambarkan sebagai sultan yang tidak pandai memerintah, lemah pendirian, suka berpesiar ke berbagai negeri, dan perangainya sebagai orang Muslim juga tidak terpuji.[15]
Simpulan yang disebut terakhir di atas segera mengingatkan saya pada sebuah naskah Melayu klasik (Riau) berjudul Syair Perang Banjarmasin (PN. Ml. 196, naskah Museum Jakarta yang kini tersimpan di Ruang Koleksi Naskah Perpustakaan Nasional). Kendati teks syair ini menceritakan tentang peristiwa Perang Banjarmasin, tetapi penulisnya ternyata bukanlah orang Banjar sendiri. Sebagaimana tersurat dalam kolofonnya, naskah syair yang seluruhnya berisi 69 pasal ini pada mulanya dikarang oleh Engku Raja al-Haji Dawud dari Negeri Riau, Pulau Penyengat, Indra Sakti (13 pasal), kemudian (56 pasal berikutnya) dilanjutkan oleh Raden al-Habib Muhammad (yang pernah selama 18 tahun tinggal di Banjarmasin) dari Negeri Siak, Indrapura, hingga selesai pada 6 Februari 1871. Setahun kemudian (Februari 1872), naskah lengkap tersebut diturunkan oleh Amrullah —seorang juru tulis di Kantor Algemeene Secretarie.[16] Menariknya, bertolak belakang dengan naskah Syair Sultan Mahmud di Lingga yang ditulis dari perspektif masyarakat pribumi, naskah Syair Perang Banjarmasin ini justru sangat berbau politis kolonial. Dengan demikian, dapat diduga bahwa penulisan naskah ini dilakukan atas perintah kaum penjajah (Belanda) sehingga teks pembuka dimulai dengan memuji-muji susunan pemerintahan Hindia Belanda dan sosok (Pangeran) Hidayatullah disebut sebagai kepala gerombolan penjahat (GPK, menurut istilah sekarang). Oleh karena itu, jika naskah ini dijadikan sebagai teks pembanding dalam rangka penyusunan sejarah, tentunya kita harus sangat berhati-hati.
Gambaran di atas kiranya sudah cukup memberikan pemahaman tentang pentingnya keberadaan dan peran naskah-naskah klasik (berupa sastra sejarah atau historiografi tradisional) dalam rangka penyusunan sejarah, khususnya sejarah lokal.[17] Dalam usaha merekonstruksi sejarah Banjar sendiri, apa yang telah dilakukan sejumlah sejarawan lokal kita selama ini tampaknya sudah memanfaatkan sumber-sumber tertulis semacam itu (khususnya Hikayat Banjar atau Tutur Candi). Sebut saja buku-buku seperti Suluh Sedjarah Kalimantan (Amir Hasan Kiai Bondan, 1953), Sedjarah Bandjarmasin (M. Idwar Saleh, 1958), Sedjarah Kota Bandjarmasin (Artum Artha, 1970), Sejarah Daerah Kalimantan Selatan (M. Idwar Saleh dkk., 1977/1978), Banjarmasin (M. Idwar Saleh, 1981), dan Urang Banjar dalam Sejarah (A. Gazali Usman, 1990). Demikian juga buku yang kini boleh dikatakan sebagai masterpiece untuk sejarah Kalimantan Selatan, Sejarah Banjar (M. Suriansyah Ideham dkk. [Ed.], 2003). Bahkan, hal itu bukan saja penting untuk perumusan sejarah, tetapi juga dalam upaya merekonstruksi perkembangan kebudayaannya seperti yang tampak dalam buku Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (Alfani Daud, 1997). Jadi, dengan demikian, kiranya tak dapat disangkal bahwa karya-karya (naskah) klasik memang merupakan khazanah budaya (juga warisan sejarah) yang sangat berharga dan karena itu sudah sepantasnya untuk diberi perhatian yang memadai.
/ 5 /
Sekarang, jika kita beranggapan bahwa karya-karya sastra Banjar klasik memang penting untuk ditengok kembali dan dipelajari (dengan keyakinan bahwa keberadaannya memiliki kontribusi positif dan fungsi konstruktif karena mengandung informasi dan nilai-nilai tertentu yang perlu ditransformasikan kepada generasi penerus), lalu mengapa sampai saat ini banyak di antara kita yang masih merasa asing dengannya? Mengapa kajian-kajian ilmiah dan ulasan-ulasan kreatif tentangnya masih sangat minim, masih merupakan barang langka hingga sekarang?
Sejauh ini, hanya ada beberapa tulisan yang telah mencoba mengangkat naskah-naskah klasik tersebut, baik berupa makalah maupun laporan hasil penelitian. Padahal, dalam lembar “Koleksi Naskah/Filologika Museum Negeri Lambung Mangkurat Prop. Kalsel, Banjarbaru” sampai saat ini sekurang-kurangnya sudah tercatat 50 naskah yang terkoleksi —termasuk naskah-naskah yang sama judul atau hanya berbeda versi.[18] Belum lagi kemungkinan adanya naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat dan tersimpan sebagai koleksi pribadi —misalnya karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang tetap tersimpan sebagai koleksi perpustakaan keluarga.
Di antara karya yang sedikit itu dapat disebutkan Sastra Lisan Banjar (Sunarti dkk., 1978), Hikayat Lambung Mangkurat (Gusti Mayur, t.t.), dan Tutur Candi: Sebuah Karya Sastra Sejarah Banjar (M. Idwar Saleh, 1986). Telaah yang agak komprehensif berupa makalah dengan judul “Analisis Filologi Naskah Syair Burung Simbangan” (Rustam Effendi, 1984), kemudian disusul kajian yang lebih lengkap berupa laporan penelitian, “Syair Carang Kulina: Cerita Panji versi Naskah Banjar” (Rustam Effendi dan Zakiah Agus Kusasi, 1989). Selain itu, dalam Direktori Edisi Naskah Nusantara (2000), pada subbab “Edisi Naskah-naskah Banjar” tercatat ada enam hasil penelitian; masing-masing berjudul Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (J.J. Ras, 1968), Hikayat Banjar dan Kota Ringin (Rosyadi dkk., 1993), Hikayat Burung Bayan dengan Burung Karuang (Yohana Nurhasinah Nawawi, 1993), Syair Burung Bayan dengan Burung Karuang (Ramli Nawawi dkk., 1993), Syair Burung Simbangan (Djantera Kawi dan Rustam Effendi, 1995), dan Tutur Candi (Djantera Kawi dan Rustam Effendi, 1995).[19]
Data di atas mungkin belum mencatat seluruh karya atau hasil penelitian tentang naskah (sastra) Banjar klasik yang pernah ada. Namun begitu, kalaupun masih ada beberapa lagi, jelas bahwa secara kuantitatif karya-karya tersebut belum sebanding dengan jumlah naskah yang ada —belum lagi jika persoalannya menyentuh aspek kualitas hasil kajian masing-masing. Selain itu, kecuali beberapa di antaranya, pada umumnya karya-karya tersebut hanya berupa transliterasi dan edisi teks, belum banyak yang memasuki pembahasan analitis. Oleh karena itu, sekarang akan menjadi tugas dan tantangan kita bersama (terutama bagi kalangan akademisi) untuk merevitalisasi keberadaan serta fungsi karya-karya sastra Banjar klasik yang selama ini nyaris terlupakan itu.
Dengan merevitalisasi kekayaan budaya tersebut, tentu banyak hal yang bisa dan mungkin kita lakukan. Sementara ini, garapan transliterasi dan penyusunan edisi teks saja agaknya belum lagi tertuntaskan, apalagi pembahasan yang bersifat komprehensif berupa kajian filologi-plus (sastra, linguistik, sejarah, sosiologi, antropologi, agama, politik, dan lain-lain). Di samping itu, lebih jauh kita pun masih memiliki banyak peluang untuk menggarap bidang kodikologinya, semisal menelusuri jejak tradisi penulisan serta identifikasi skriptoriumnya, jika hal itu memang ada. []
Batu Ampar, 4 April 2005
CATATAN :
[1] Mengenai situasi dan kondisi sastra Indonesia (juga seni-budaya pada umumnya) seringkali disinggungkan secara paradoksal dengan bidang olahraga yang perbandingannya lebih-kurang terbaca “dianaktirikan” versus “dianakemaskan”. Kerisauan terhadap kondisi “rumah tangga” sastra Indonesia itu, antara lain, tergambar dalam beberapa esai Agus R. Sarjono yang terhimpun dalam buku Sastra dalam Empat Orba (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001).
[2] Tanpa bermaksud mengesampingkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah (tim) peneliti lokal, untuk sastra Banjar (klasik) khususnya, sampai saat ini disertasi J.J. Ras yang bertajuk Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (1968) tampaknya masih merupakan satu-satunya hasil penelitian yang terbilang paling lengkap dan paling komprehensif (mengenai Hikayat Banjar) sehingga ia menjadi rujukan penting ketika orang akan berbicara tentang sastra atau kebudayaan Banjar pada umumnya. Untuk kajian-kajian berbagai sastra daerah lainnya dapat kita baca nama-nama sarjana asing lainnya seperti S.O. Robson, R.A. Kern, Ph. S. van Ronkel, P. Voorhoeve, Donald J. Goudie, Joseph H. Howard, T.E. Behren, L.F. Brakel, Peter Carey, Bernard Arps, George Miller, A.B. Cohen Stuart, Amin Sweney, G.J.W. Drewes, V.I. Braginsky, A. Teeuw, Henri Chambert-Loir, Roger Tol, dan lain-lain. Perlu dicacatkan pula bahwa pada umumnya hasil-hasil penelitian mereka lebih banyak berupa kajian filologis (tentang naskah-naskah klasik Nusantara). Hanya sebagian kecil yang dapat dikategorikan sebagai kajian sastra murni.
[3] Dalam beberapa tahun terakhir, baru sastra Bugis yang tampaknya mulai terangkat ke permukaan berkat naskah klasiknya, I La Galigo, yang digarap Robert Wilson dalam bentuk seni pertunjukan dan telah dipentaskan di beberapa kota besar yang, ironisnya lagi, justru hampir semuanya di luar negeri (antara lain di Singapura, New York, Amsterdam, Madrid, dan Barcelona). Konon, jika dikodifikasi selengkapnya, naskah ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia (terdiri atas 300.000 bait dan ketebalannya mencapai 6.000 halaman folio) —jadi, lebih panjang dari Mahabharata maupun Ramayana yang lazim disebut karya dunia itu. Lihat misalnya Henry Soelistyo Budi, “I La Galigo: Simulasi Sebuah Kebijakan Eksploitasi Public Domain yang Diabaikan,” Jurnal Budaya & Filsafat Mitra (Edisi No.11, Th. 2004), hlm. 25—35.
[4] Dalam konteks ini, secara historis, perbedaan konseptual antara sastra klasik dan sastra modern terutama mengacu pada pandangan Ajip Rosidi tentang periodisasi sejarah sastra Indonesia. Sebagaimana ditegaskan, “Sastra yang berkembang setelah pertemuan dengan kebudayaan Eropa dan mendapat pengaruh darinya itu disebut sastra modern; sedangkan yang sebelumnya dinamakan sastra klasik.” Lihat Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991), hlm. 10. Kendati, memang, pertumbuhan sastra Banjar modern sendiri sebenarnya agak terlambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan sastra Indonesia modern.
[5] Perlu ditegaskan bahwa pengertian sastra dalam kajian sastra klasik tidak saja menunjuk pada karya-karya yang berupa puisi, fiksi, dan drama sebagaimana dalam pengertian sastra modern, tetapi mencakup pula apa yang lazim disebut “sastra kitab” seperti risalah-risalah keagamaan. Dalam bidang filologi, naskah perundang-undangan pun bahkan termasuk dalam pengertian sastra (klasik).
[6] Lihat misalnya Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1956), hlm. 29—30.
[7] Berdasarkan catatan Zafri Zamzam dalam Majalah Al-Jami’ah (No. 5—6, 1968), hlm. 80 yang dikutip Laily Mansur, Kitab ad-Durun Nafis: Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf (Banjarmasin: Hasanu, 1982), hlm. 3, dikatakan bahwa naskah Hikayat Nur Muhammad tersebut ditulis pada abad ke-17 (sangat disayangkan, dalam catatan itu tidak dirincikan angka tahun yang pasti). Jadi, jika informasi ini benar, abad ke-17 dapat disebut sebagai titik tolak dimulainya tradisi penulisan dalam masyarakat Banjar.
[8] Lihat pengantar Aswadie Syukur untuk terjemahan Kitab Sabilal Muhtadin (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985); juga A. Gazali Usman, Urang Banjar dalam Sejarah (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press, 1990), hlm. 58—59. Karya-karya penting Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lainnya dapat disebutkan: Ushûl ad-Dîn, Luqthat al-‘Ajlân, Qaul al-Mukhtashar, Kitab an-Nikah, Kitab Faraidh, Kitab Tuhfat ar-Râghibîn, dan Kitab Kanz al-Ma’rifah.
[9] Mansur, op. cit., hlm. 4; Usman, ibid., hlm. 60.
[10] Dalam persoalan ini, kemungkinan besar naskah Tutur Candi tersebut ditulis/disalin setelah periode Islam oleh seorang (atau lebih) pengarang yang juga berlatar budaya Islam. Sebaliknya, naskah Hikayat Banjar ditulis/disalin masih dalam periode Hindu-Budha. Atas dasar itulah tampaknya hingga Ras, setelah melakukan pelacakan filologis terhadap lebih dari 20 naskah Hikayat Banjar melalui metode stemma-nya, menyusun edisi teks dan membedakannya menjadi dua kelompok yang kemudian disebutnya Resensi I dan Resensi II. Adapun, pada sisi lain, motif pelibatan tokoh-tokoh seperti Nabi Khaidir dan Raja Iskandar Zulkarnain di dalamnya barangkali dimaksudkan untuk membesar-besarkan dan menguatkan karisma sang raja beserta anak-keturunannya. Bandingkan, misalnya, motif serupa dengan teks Hikayat Aceh dan Sejarah Melayu.
[11] Ras, op. cit., hlm. 93.
[12] Melalui Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 268.
[13] Ahimsa-Putra, ibid.
[14] C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 18. Lihat juga Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1985), hlm. 87.
[15] Lihat Panuti Sudjiman, Filologi Melayu (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 117-118. Sekadar informasi tambahan, baru-baru ini Henri Chambert-Loir menyusun sebuah buku bertajuk Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004) berdasarkan tiga naskah klasik Bima. Buku ini dapat dipandang sebagai upaya eksploratif yang mengelaborasikan antara sastra dan sejarah.
[16] Uraian lebih rinci mengenai deskripsi naskah, lihat Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi, Penelusuran Penyalinan Naskah-naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996), hlm. 67 dan 141. Versi lain dari naskah ini berjudul Syair Pangeran Syarif Hasyim (Cod. 2094, naskah Leiden) yang hanya terdiri atas 23 pasal, ditulis di Bandar Riau pada 1866 (16 Rabiul Awal 1287 H), tetapi tidak disebutkan nama pengarangnya. Lihat Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik (Singapura: Pustaka Nasional, 1978), hlm. 309.
[17] Untuk pengertian serta ciri-ciri sejarah lokal, lihat misalnya Modul Sejarah Lokal (Jakarta: Depdikbud, 1983), hlm. 9, sebagaimana dikutip Usman, op. cit., hlm. 9-12. Diakui bahwa pada umumnya sejarah Indonesia dalam mengungkapkan dan menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi tradisional. Bagitu pula dalam usaha melacak sejarah Banjar pada zaman lampau (misalnya tentang keberadaan Negara Nan Sarunai, Negara Dipa, dan Negara Daha) masih sangat bergantung pada cerita rakyat berbentuk nyanyian orang (Dayak) Maanyan dan Hikayat Banjar. Periksa, antara lain, M. Suriansyah Idehan dkk. (ed.), Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 2003), hlm. 35.
[18] Selama ini, langkah yang telah dilakukan pihak museum tampaknya baru pada tahap inventarisasi dan transliterasi naskah. Dalam lembar koleksi tersebut, tercatat ada enam naskah yang telah ditransliterasikan: Tutur Candi, Syair Carang Kulina, Syair Kintambunan, Syair Ratu Kuripan, Syair Damarwulan, dan Syair Brama Syahdan. Selain itu, setahu saya naskah Syair Tija Diwa juga sudah ditransliterasikan oleh Syarifuddin R sewaktu masih bekerja di Bidang Jarahnitra, Depdikbud Kalsel.
[19] Mungkin karena kekeliruan Tim Penyusun, dalam buku ini Silsilah Raja Sambas (Ja’ Ahmad, 1980) juga dimasukkan dalam edisi naskah-naskah Banjar. Lihat Edi S. Ekadjati (Peny.), Direktori Edisi Naskah Nusantara (Jakarta: Manassa-Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 122-125.
Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-3.html
0 komentar: