Esai Jamal T. Suryanata: Eksistensi Sastra Banjar: Jejak Historis dan Perkembangannya

18.03 Zian 0 Comments

/ 1 /
DALAM bentuknya yang paling sederhana dapatlah dikatakan bahwa makhluk yang bernama sastra (seni pada umumnya) sebenarnya sudah ada sejak manusia mulai menyadari pentingnya mengekspresikan diri, baik dalam konteks ekspresi emotif maupun ekspresi intelektual. Demikian juga, teks-teks sastra pada dasarnya sudah lama ada jauh sebelum manusia mengenal aksara. Hal ini dapat kita analogikan dengan cara kerja dalam dunia kepengarangan. Dalam proses kreatifnya, sebelum seorang pengarang menuliskan karyanya dalam bentuk tulisan (print-out) atau sebelum memasuki proses menulis yang sesungguhnya (real to do writing) sebenarnya ia sudah menulis dalam kepala (mind mapping). Oleh karena itu, di mana pun di dunia ini, ekspresi sastra yang pertama selalu dimulai dengan bentuk sastra lisan (oral literature).
Bertolak dari pemikiran di atas, ketika kita berbicara tentang sastra Banjar —mungkin juga berlaku untuk tradisi sastra lainnya— kiranya tidak berlebihan jika ada orang yang mengatakan bahwa keberadaan berbagai bentuk dan jenis sastra Banjar sesungguhnya hampir sama tuanya dengan kehidupan masyarakat Banjar itu sendiri.[1] Kendati, memang, secara historis mungkin kita tidak akan pernah tahu secara persis kapan sebenarnya masyarakat Banjar itu sudah terbentuk;[2] apakah garis batas itu harus dimulai sejak berdirinya Kerajaan Negara Dipa di bawah pemerintahan Pangeran Suryanata (1438—1460 M) yang bercorak Hindu-Budha (yang sejarahnya penuh mitos itu) ataukah justru setelah dipakainya nama Kerajaan Banjar di bawah pimpinan Pangeran Samudera atawa Sultan Suriansyah (1595—1620 M) yang bercorak Islam?[3]



/ 2 /
Terlepas dari dialektika historis tersebut, jika persoalannya mengacu pada bentuk-bentuk sastra lisan tentu saja sejarah awal pertumbuhan sastra Banjar dapat kita tarik sejak terbentuknya Kerajaan Negara Daha di sekitar awal abad ke-15 silam sebagai garis batasnya —bahkan, mungkin sekali cikal-bakalnya sudah ada jauh sebelum itu. Sebab, secara sosiohistoris dapat diasumsikan bahwa dengan terbentuknya sebuah komunitas elite berwujud sebuah kerajaan berarti masyarakatnya sudah memiliki peradaban yang relatif tinggi, kendati dengan sistem politik kenegaraan yang mungkin masih sangat sederhana. Dengan demikian, sebagai wujud ekspresi individual maupun kolektif, tampaknya cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sastra (lisan) Banjar sesungguhnya sudah ada sebelum terbentuknya masyarakat Banjar itu sendiri sebagai satu kesatuan etnis (dalam perspektif sosiopolitis).
Sebagaimana telah kita ketahui, bentuk-bentuk sastra lisan Banjar yang sudah umum dikenal di antaranya berupa mantra (bacaan), pantun, syair, lamut, madihin, andi-andi, sage, mite, fabel, legenda, atau cerita-cerita rakyat yang bercorak humor semacam “Si Palui” dan “Sarawin”. Beragam sastra lisan tersebut berkembang dan diwariskan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sastra lisan itu merupakan sastra rakyat, sastra milik bersama, dan karenanya secara umum ia berciri anonim (anonymous).[4] Karya-karya sastra lisan itu seringkali digelar dalam pesta kesenian rakyat (selepas panen, misalnya), dalam penyambutan tamu kehormatan, atau pada acara-acara khusus dalam suatu lingkungan masyarakat maupun hanya dalam lingkup keluarga. Semua itu dilaksanakan dengan cara dan dalam suasana yang serba tradisional —dalam hal ini, orang-orang tua kita tentu bisa bernostalgia menceritakan berbagai karasmin (acara hiburan) yang pernah mereka saksikan di kampung-kampung pada masa lalu; mulai dari tradisi bakisah, balamut, madihin, sampai sandiwara keliling yang sudah mulai memperlihatkan pengaruh modernisasi.

/ 3 /
Dalam perkembangan selanjutnya, berbagai bentuk sastra Banjar yang semula hanya tumbuh berkembang dalam tradisi lisan (oral tradition) itu beberapa di antaranya kemudian ada yang dituliskan sehingga memunculkan sejumlah manuskrip sastra. Awal tradisi penulisan ini setidak-tidaknya sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-18 ketika Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710—1812 M) telah kembali dari masa pengembaraan intelektualnya selama lebih-kurang 30 tahun di kota Mekkah dan kemudian mulai dikenal sebagai ulama karismatik di negeri Banjar yang banyak melahirkan karya-karya besar di bidang keagamaan seperti Kitab Sabil al-Muhtadîn, Qaul al-Mukhtashar, Tuhfat ar-Râghibîn, Fath ar-Rahmn, dan Kanz al-Ma’rifah —kitab-kitab ini mencakup masalah syariah, tauhid, dan tasawuf.[5]
Sejak abad ke-18 hingga memasuki abad ke-19 tradisi penulisan di tanah Banjar ini bukan hanya telah menghasilkan karya-karya keagamaan, tetapi juga telah melingkupi beragam wujud pengungkapan sastrawi.[6] Dari tradisi baca-tulis yang semakin berkembang itu, kecuali melahirkan beberapa karya sastra kitab, sastra Banjar klasik juga telah menghasilkan banyak karya sastra fiksi murni (imajinatif) dan fiksi kesejarahan (historiografi tradisional) berupa syair-syair dan hikayat (tutur) —antara lain Syair Brama Syahdan, Syair Tija Diwa, Syair Carang Kulina, Syair Siti Zubaidah, Syair Ratu Kuripan, Syair Galuh Karuang, Syair Gundur, Tutur Candi, dan Hikayat Banjar— untuk menyebut beberapa saja.[7] Karya-karya tersebut ditulis dalam bahasa Melayu atau Melayu-Banjar, dengan menggunakan aksara Jawi (huruf Arab-Melayu), di atas kertas Eropa, baik oleh pengarang Banjar sendiri maupun oleh pengarang dari negeri (daerah) lain. Motif penulisan dan atau penyalinannya juga bermacam-macam; ada yang lantaran atas perintah penguasa kolonial (Inggris, Belanda), karena permintaan seorang sahabat, memenuhi pesanan para kolektor, atau benar-benar bersumber dari tuntutan jiwa kreatif kepengarangan sang penulis atau penyalin naskah.
Meskipun cukup banyak naskah sastra Banjar klasik yang ada, tetapi mengenai pengarang-pengarang Banjar sendiri sesungguhnya tidak banyak diketahui. Naskah Hikayat Banjar, misalnya, hingga kini belum teridentifikasi nama pengarangnya.[8] Dalam Direktori Edisi Naskah Nusantara (2000) tercatat 7 edisi naskah Banjar —dua di antaranya edisi teks Hikayat Banjar— yang juga tidak diketahui nama pengarangnya, kecuali Silsilah Raja Sambas oleh Sultan Muhammad Tsafiudin al-Barkat. Demikian juga sejumlah naskah lainnya —kebanyakan berbentuk syair— yang telah terkodifikasi dalam Malay Manuscripts: A Bibliographical Guide (1965), Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Departemen P & K (1972), dan Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional (1998). Dengan demikian, kita belum bisa melihat bagaimana konteks sosial kepengarangan dalam tradisi penulisan sastra Banjar klasik, termasuk masalah skriptoriumnya.[9]
Kenyataan tersebut tentu akan memunculkan pertanyaan: apakah persoalannya hanya merupakan dampak negatif dari tradisi sastra lisan yang berkembang sebelumnya ataukah justru tradisi penulisan sastra memang tidak menarik perhatian orang Banjar pada abad-abad yang lalu?[10] Namun, untuk dapat menjawab pertanyaan ini sudah tentu memerlukan kajian kodikologis yang relatif lengkap. Sementara, suatu kendala besar telah menghadang di depan kita karena kita harus berburu naskah hingga ke mancanegara —antara lain ke Perputakaan Leiden, Belanda.
Lepas dari persoalan di atas, kendati tradisi penulisan sastra Banjar klasik sudah berkembang semakin maju hingga memasuki abad ke-20, tidak berarti bahwa tradisi sastra lisan telah mati. Kedua bentuk pengungkapan sastra itu tetap berjalan pada jalurnya masing-masing. Karya-karya sastra tulisan terus diciptakan, sementara sastra lisan pun tetap berkembang dengan caranya sendiri. Hanya saja, nilai dan fungsinyalah yang kemudian secara berangsur-angsur mulai berubah seiring dengan perkembangan zaman yang notanene telah membawa perubahan cara pandang masyarakat dalam menyikapi segala aspek kehidupannya. Kenyataan demikian lebih kentara setelah masuknya arus modernisasi dan pengaruh kebudayaan Barat ke wilayah Nusantara ini sejak awal abad ke-20 yang lalu. Berbagai bentuk sastra Banjar klasik —baik dari khazanah sastra lisan maupun sastra tulisannya— kemudian mulai tergeser oleh kekuatan sastra modern yang berasal dari Barat (yang sepenuhnya berorientasi pada tradisi baca-tulis), terutama melalui persentuhannya dengan sastra Indonesia (modern).
Dalam era baru ini, bentuk-bentuk ekspresi sastra yang semula ditulis dalam aksara Jawi dan berbahasa Melayu-Banjar kemudian ditulis dalam aksara Latin dan dengan bahasa Banjar yang lebih murni karena dalam perkembangannya ternyata bahasa Banjar sudah menemukan bentuknya yang otonom. Kenyataan ini setidak-tidaknya sudah tampak sejak paro kedua abad ke-20 silam. Bahkan, sejak secara nasional telah terbentuk sastra Indonesia modern, pengarang-pengarang Banjar sudah mulai mengenal beragam genre sastra modern berupa puisi (bebas), prosa-lirik, cerpen, novelet, novel (roman), dan drama —terutama melalui pengarang-pengarang awal Indonesia sejak masa Merari Siregar, Marah Rusli, Muhammad Yamin, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Sanusi Pane, Chairil Anwar, dan seterusnya.[11] Namun, sangatlah disayangkan karena ternyata dalam konteks kemodernan ini tradisi penulisan sastra Banjar tidak secara serta-merta dapat berlanjut memasuki era sastra Banjar modern.
Secara historis, tradisi penulisan sastra Banjar tampaknya sempat mengalami stagnasi selama beberapa dasawarsa. Jika sejarah sastra Indonesia modern sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 (antara lain ditandai dengan terbitnya novel-novel Balai Pustaka dalam tahun 1920-an), maka pada masa-masa itu sastra Banjar seakan baru berproses sebagai embrio untuk “menjadi” —proses awal modernisasi yang terasa terlampau lama. Mungkinkah pada masa-masa itu pengarang-pengarang Banjar sesungguhnya masih terkungkung dalam tradisi sastra klasik?[12] Sebab, pada kenyataannya, sastra Banjar modern baru benar-benar eksis setelah sastra Indonesia modern berjalan selama beberapa dasawarsa. Padahal, pada masa itu sejumlah pengarang asal Kalimantan Selatan sudah ikut terlibat di dalamnya; artinya, mereka lebih memilih menulis dalam bahasa Indonesia. Jadi, mungkin dapat disimpulkan bahwa selama beberapa dasawarsa tradisi penulisan sastra Banjar sempat mengalami masa kekosongan —masa peralihan dari sastra klasik menuju sastra modern.

/ 4 /
Masuknya pengaruh sastra modern dalam tradisi sastra Banjar, sebagaimana sering saya katakan, memang agak terlambat dan juga cenderung “terbelakang”. Dalam perbandingannya dengan sastra daerah lain, jika pada tahun 1920-an dalam lingkungan sastra Jawa modern sudah melahirkan karya-karya berupa novel (roman panglipur wuyung), disusul genre cerpen (crita cekak) pada tahun 1930-an, puisi (geguritan) pada tahun 1950-an, dan akhirnya drama (modern) pada tahun 1970-an,[13] dalam tradisi penulisan sastra Banjar modern belum ditemukan adanya bukti telah munculnya karya-karya sastra semacam itu hingga tahun 1960-an.
Kendati saya juga sering berasumsi bahwa sejarah awal sastra Banjar modern setidak-tidaknya sudah dimulai pada kira-kira paro kedua dekade 40-an, tetapi secara pasti tradisi penulisan cerpen (kisdap) dan puisi Banjar modern baru dimulai sejak awal dekade 70-an —antara lain ditulis oleh A. Rasyidi Umar dan Syukrani Maswan untuk mengisi acara apresiasi sastra di Radio Kamajaya Banjarmasin.[14]
Dalam perkembangannya, tradisi penulisan sastra Banjar modern tampaknya memang berjalan sangat lamban. Dari segi genre sastranya, kecuali karya-karya yang berupa puisi dan cerpen, sampai awal tahun 2000-an belum kita lihat munculnya genre novel dan drama (Banjar modern, bukan japin carita). Namun begitu, kiranya masih patut pula kita syukuri karena dalam rentang waktu 1980—2000 beberapa pengarang muda (di samping pengarang-pengarang senior seperti B. Sanderta, Sabrie Hermantedo, Adjim Arijadi, dan Ian Emti) sudah mulai tertarik pula menulis puisi maupun cerpen Banjar. Segelintir pengarang muda yang terhitung “langka” itu di antaranya Y.S. Agus Suseno, Abdus Syukur MH, M. Rifani Djamhari, Noor Aini Cahya Khairani, Seroja Murni, Aria Patrajaya, dan beberapa nama lagi —sayangnya, tradisi penulisan ini tidak berlanjut secara ajek, kecuali untuk kepentingan mengikuti lomba penulisan.
Jika pada tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an motif penulisan terutama lebih didorong oleh adanya beberapa kali even sayembara penulisan dan untuk memenuhi “pesanan” pihak panitia lomba baca puisi maupun cerpen (oleh Radio Nirwana Banjarmasin, misalnya), pada akhir 1990-an hingga tahun 2001 peluang itu telah dibuka oleh keberadaan tabloid kebudayaan Wanyi (milik DKD Kalsel).[15] Hal ini setidak-tidaknya sedikit “mencairkan” anggapan bahwa tradisi penulisan sastra Banjar modern merupakan “sastra dalam rangka” —sebagaimana sering saya katakan dalam berbagai kesempatan. Anggapan ini semakin dapat ditepis setelah sebuah koran lokal bernama Radar Banjarmasin “memberanikan diri” membuka tabir gelap perkembangan sastra Banjar kontemporer. Sejak awal 2003 melewat, koran yang tidak muluk-muluk memanggul motto “Korannya Orang Banjar” ini ternyata telah membuktikan komitmennya untuk ikut serta melestarikan dan mengembangkan aset budaya daerah, sastra Banjar pada khususnya. Melalui rubrik “Cakrawala Sastra & Budaya”-nya, hingga sekarang sudah tercatat puluhan cerpen (kisdap) dan beberapa puisi Banjar modern yang telah dipublikasikannya.

/ 5 /
Sekarang, dari sederet nama sastrawan Kalimantan Selatan, juga di tengah maraknya penulisan kreatif sastra Indonesia, hanya segelintir di antaranya yang mampu memerankan diri sebagai “pengarang amfibi” —mereka yang menulis dalam bahasa Indonesia dan sekaligus dalam bahasa Banjar (mungkin mereka ini termasuk makhluk yang berhermafrodit!). Lalu, sekali lagi harus dikatakan, satu-satunya media tempat “curhat” para pengarang Banjar yang sungguh langka itu tinggal Radar Banjarmasin (Minggu) di bawah asuhan Sandi Firly —redaktur pelaksana yang juga cerpenis inilah yang kini masih memberikan harapan bagi nafas kehidupan sastra Banjar, meski hanya sebuah oase kecil.[16]
Pada satu sisi hal ini patut diberi acungan jempol, tetapi pada sisi lain harus pula kita sesalkan karena peluang ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengarang di daerah ini. Namun, lagi-lagi kita masih bisa bersyukur karena beberapa karya sastra Banjar modern (puisi dan terutama cerpen) yang pernah dimuat di koran ini justru ditulis oleh pengarang-pengarang debutan baru (semisal Akhmad Setia Budhi, Facruddin Kurniawan, M. Fitran Salam, Hasmiadi Zulfitri, dan Jamal T. Suryanata —hahaha… ini bukan jual kecap, siapa lagi akan menyusul?), di samping M. Rifani Djamhari dan Y.S. Agus Suseno yang tampil dengan karya lama mereka.  
Persoalannya sekarang, di tengah dominasi sastra Indonesia dan godaan besar bagi para pengarang Banjar untuk segera meninggalkan sastra daerahnya karena berbagai faktor yang terus-menerus menelikungnya, akankah sastra Banjar dapat berkembang dengan lebih baik di masa-masa mendatang? Jika dihadapkan pada persoalan semacam ini, rasa pesimis memang segera menghantui kita. Setiap sastra daerah, di mana pun di negeri yang multikultural ini, senantiasa akan selalu tersubordinasi di bawah kekuatan sastra nasional. Sastra daerah selalu berada dalam posisi sastra terjepit. Namun, ada alasan ideal yang kiranya perlu dipertimbangkan. Sebagaimana pernah ditengarai Sapardi Djoko Damono, setiap bahasa memiliki seperangkat citraan, ungkapan, dan acuan tertentu yang menggambarkan sikap tertentu dari pemilik bahasa itu terhadap segala sesuatu. Itu semua akan membatasi cara pengungkapan si pengarang.[17]
Sekadar ilustrasi kecil, ketika seorang pengarang mencoba menerjemahkan aspek-aspek inheren sosiokultural masyarakat Banjar ke dalam bahasa Indonesia, tentu ia memiliki banyak keterbatasan jika dibandingkan dengan bentuk pengungkapannya dalam bahasa Banjar sendiri. Usaha penerjemahan aspek-aspek etnisitasnya seringkali tidak bisa sepenuhnya mencapai sasaran gagasan dan nilai rasa yang sesuai dengan kultur masyarakat Banjar itu sendiri. Begitupun usaha memasukkan beberapa kosa kata bahasa Banjar ke dalam teks sastra Indonesia justru dapat mengganggu proses penikmatan para pembacanya.[18] Maka, berangkat dari perspektif semacam itu, penulisan sastra daerah tetap diperlukan dan usaha pelestariannya masih akan relevan untuk diperbincangkan. Dengan demikian, bagaimanapun, pengembangan sastra Banjar mutlak harus didukung dan diupayakan secara terus-menerus.

/ 6 /
Salah satu strategi yang tampaknya sangat efektif untuk usaha pelestarian dan pengembangan sastra Banjar ke depan adalah melalui jalur pendidikan, di samping upaya-upaya internal dalam lingkungan sastrawan sendiri. Namun, masih adakah tempat dan peluang untuk pembelajaran sastra daerah di sekolah-sekolah kita di tanah Banjar ini? Adakah guru-guru yang “berani” menentang arus di sela-sela desakan memenuhi target kurikulum dan usaha mencapai nilai evaluasi pembelajaran yang setinggi-tingginya untuk sejumlah mata pelajaran yang diujikan secara nasional? Adakah pejabat-pejabat pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan kita yang berpikiran demikian terbuka untuk menerima berbagai kemungkinan dan tindakan-tindakan alternatif dari jiwa-jiwa kreatif? Lebih jauh, “dosakah” jika ada guru-guru yang mencoba “membangkang” aturan-aturan formal yang sudah diterima secara kolektif itu?
Tidak. Tidak. Bukan maksud saya untuk mengajak orang-orang ramai menjadi para pembangkang sebab saya pun masih takut pada katulahan. Hanya saja, kita perlu membuka mata untuk sedikit menengok sejarah kehidupan orang-orang kreatif yang ternyata di kemudian hari dikenal sebagai tokoh-tokoh perintis dan pembaru dunia. Bacalah biografi Isaac Newton, Galileo Galilei, Albert Einstein, Nicolaus Copernicus, Michael Faraday, Alexander Fleming, Rene Descartes, Sigmund Freud, Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, William Shakespeare, dan sederet nama lagi. Bagaimana seluk-beluk kehidupan mereka? Dahsyat? Apa saja yang mereka lakukan? Suka bertindak aneh? Pelihara otak kiri, kembangkan otak kanan! —demikian kira-kira para pakar psikologi modern akan menasihati kita.
Nah, kiranya satu lagi yang harus kita perhatikan. Suatu ketika, berabad-abad yang lalu, Horace pernah merumuskan fungsi sastra hanya dalam dua kata: dulce et utile —menghibur dan berguna. Tapi, janganlah ditafsirkan bahwa “menghibur” dalam konteks sastra sama dengan ketika kita menonton ulah jenaka kelompok Srimulat dan “berguna” serupa ketika kita selesai membaca buku-buku resep masakan. Karena, ternyata ada kekononan lain dalam memaknai suatu karya sastra. Nah! []

Batu Ampar, 5 Agustus 2004

CATATAN :
[1] Lihat, misalnya, Sunarti dkk., Sastra Lisan Banjar (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdik, 1978), hlm. 1.
[2] Satu-satunya sumber sejarah mengenai asal mula masyarakat Banjar yang ada hanya dalam wujud historiografi tradisional, yakni Hikajat Bandjar. Lihat antara lain  J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (The Hague: Mastinus Nijhoff, 1968). Dalam berbagai versi edisi teks, lihat juga Gusti Mayur, Hikayat Lambung Mangkurat (Banjarmasin: CV Rapi, tt.); Hikayat Banjar: Seri Penerbitan Museum Negeri Lambung Mangkurat (Banjarbaru: Depdikbud, 1981); M. Idwar Saleh, Tutur Candi: Sebuah Karya Sastra Sejarah Banjarmasin (Jakarta: Depdikbud, 1986); Rosyadi dkk., Hikayat Banjar dan Kota Ringin (Jakarta: Proyek P3KN Depdikbud, 1993); serta Djantera Kawi dan Rustam Effendi, Tutur Candi (Jakarta: Depdikbud, 1995).
[3] Angka tahun merujuk pada catatan tentang “Susunan Raja-raja Banjar” oleh Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan: Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Banjarmasin: Aulia, 1980), hlm. 22 dan 24. Menurut A. Gazali Usman, Banjar sebagai suatu bangsa (nation) baru muncul setelah terbentuknya Kerajaan Banjar bercorak Islam. Namun, setelah kerajaan ini dihapus paksa oleh pemeriantah kolonial Belanda, bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian dikenal sebagai orang Banjar. Lihat bukunya, Urang Banjar dalam Sejarah (Banjarmasin, Lambung Mangkurat University Press, 1990), hlm. 3.
[4] Tradisi sastra lisan di masa lampau bersifat sangat terbuka. Setiap orang yang pandai mengarang dengan bebas dapat menjiplak maupun menyadur karya orang lain yang umumnya memang tidak diketahui nama pengarang aslinya. Tradisi semacam itu tampak masih membekas pada masa-masa awal pertumbuhan tradisi sastra tulisan, kendati beberapa pengarang sudah mulai (berani) mencantumkan namanya secara eksplisit. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, para penyalin diberi kebebasan untuk mengubah suatu karya menurut cara pandangnya sendiri, baik judul maupun bagian-bagian isinya. Namun, penyalin yang jujur biasanya selalu menuliskan nama pengarang atau judul teks aslinya pada kolofon yang lazim terdapat di bagian belakang naskah.
[5] Menurut keterangan Asywadie Syukur, karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebanyak 14 buah. Lihat kata pengantar Asywadie Syukur dalam buku bertajuk Pemikiran-pemikiran Syeh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Bidang Tauhid dan Tasawuf (Banjarmasin: COMDES Kalimantan, 2009), hlm. v—x.
[6] Dalam bidang kajian filologi, terminologi “sastra” bukan hanya merujuk pada naskah-naskah (manuscripts) sastra klasik berbentuk syair dan hikayat, melainkan juga memasukkan karya-karya keagamaan (lazim disebut dengan istilah “sastra kitab”), mujarobat, dan bahkan undang-undang kenegaraan. Karena itu, dalam konteks pembicaraan ini, istilah sastra klasik harus dilihat dalam maknanya yang luas itu. Adapun syarat-syarat formal kesastraan (literary concepts) yang lazim digunakan dewasa ini hanya akan menunjuk pada bentuk-bentuk sastra modern, yakni karya-karya yang sudah mendapat pengaruh tradisi sastra Barat (Eropa dan kemudian Amerika) sejak awal abad ke-20 silam. Mengenai perbedaan konsep “sastra klasik” dan “sastra modern” —juga “sastra Nusantara” dan “sastra Indonesia” — secara ringkas baca, misalnya, uraian Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991), hlm. 10.
[7] Dalam daftar koleksi naskah Museum Negeri Lambung Mangkurat (Banjarbaru) sampai saat ini baru tercatat sekitar 50 naskah, termasuk naskah-naskah yang hanya berbeda versi. Naskah-naskah lainnya mungkin masih ada yang tersebar di kalangan masyarakat, di samping yang sudah terkoleksi di beberapa museum atau perpustakaan lain di dalam dan luar negeri.
[8] Naskah-naskah Hikayat Banjar yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta (6 naskah), Perpustakaan Kuala Lumpur, Malaysia (6 naskah), dan beberpa lagi di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda) dan mungkin pula di London (Inggris) atau tempat lainnya hingga saat ini belum terlacak identitas pengarangnya. J.J. Ras ketika menggarap disertasi untuk program doktoralnya telah berhasil menemukan (dari berbagai tempat) dan meneliti sekitar 20-an naskah Hikayat Banjar untuk menentukan edisi kritisnya (dengan menerapkan metode stemma). Dapat ditambahkan bahwa dalam telaahnya itu Ras bukan saja telah berhasil membandingkan antarnaskah kata per kata, tetapi juga episode per episode dan bahkan dengan beberapa naskah Melayu lainnya. Lihat Ras, op. cit.
[9] Sunarti dkk. hanya menyebut dua nama penulis naskah sastra Banjar klasik, yaitu Angka (asal Kelua) dengan karyanya Syair Tija Diwa dan Haji Pengeran Musa (seorang alim Banjar) yang menulis Syair Mayat. Lihat Sunarti dkk., op. cit., hlm. 198 dan 203. Selain itu, dalam surat pribadinya kepada saya (6 Maret 2003), Burhanuddin Soebely memang ada menyebutkan beberapa nama lain (seperti H. Gusti Ali, Usup bin Kiai Rana Manggala, dan Kiai Mas Ahmad Dipura), tetapi saya sendiri tidak begitu yakin karena belum menemukan literatur sebagai bukti autentiknya.
[10] Suatu kenyataan yang cukup mencengangkan karena ternyata dalam Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat yang disusun oleh Amir Sutaarga dkk. (1972) saya temukan Syair Perang Banjarmasin (PN. Ml.196) yang justru ditulis oleh pengarang non-Banjar, bukan oleh orang Banjar sendiri. Sebagaimana tersebut dalam kolofonnya, naskah ini selengkapnya berisi 69 pasal (13 pasal awalnya ditulis oleh Engku Raja al-Haji Dawud dari Negeri Riau dan 56 pasal selanjutnya oleh Raden al-Habib Muhammad dari Negeri Siak, Indrapura. Lihat Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi, Penelusuran Penyalinan Naskah-naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998), khususnya hlm. 67—70 dan 141.
[11] Pengarang-pengarang Indonesia yang awal ini terutama mengacu pada kelompok yang oleh H.B. Jassin disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45 yang kemudian juga diikuti oleh banyak pengamat sastra Indonesia, kecuali segelintir penentangnya.
[12] Dapat dicatatkan bahwa salah satu naskah Tutur Candi ternyata penulisannya bertitimangsa 16 Januari 1937. Untuk edisi teksnya lihat Kawi dan Effendi, op. cit. Lihat juga Edi S. Ekajati (ed.), Direktori Edisi Naskah Nusantara: Antologi Sastra Daerah Indonesia (Jakarta: Manassa dan Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 124—125. Jadi, secara implisit hal ini menunjukkan bahwa tradisi penulisan atau penyalinan naskah sastra Banjar klasik masih berlangsung sampai dengan paro kedua dekade 30-an.
[13] Lihat catatan kaki (nomor 1) Imam Budi Utomo dkk., Eskapisme Sastra Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 3. Lihat juga catatan kaki (nomor 2) dalam makalah saya, “Sastra Banjar Modern: Langkah Si Yatim Menuju Gerbang Mimpi” sebagai prasaran untuk acara bertajuk La Ventre de Kandangan: Aruh Sastra Kalimantan Selatan (Kandangan, 22—23 Mei 2004) —dimuat kembali dalam buku ini.
[14] Lihat kembali makalah saya, ibid. Untuk uraian ringkas sekitar perkembangan awal penulisan cerpen Banjar lihat makalah saya yang lain, “Sastra, Kita, Media: Menelusuri Jurnalisme Sastra Banjar Modern” untuk materi Seminar Sastra dan Media Massa di Balai Bahasa Banjarmasin (Banjarbaru, 8 Juni 2004) yang juga dimuat kembali dalam buku ini.
[15] Uraian lebih komprehensif mengenai sistem sastra Banjar modern selama rentang waktu 1980—2000 (termasuk data pengarang dan karya-karyanya) lihat tesis saya, “Cerpen Banjar 1980—2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan Konteks Sosialnya” (Banjarmasin: Program Pascasarjana PBSID FKIP Unlam, 2003). Sebagai catatan, tesis ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Sastra di Tapal Batas: Tradisi Cerpen Banjar 1980—2000 (Banjarmasin: Tahura Media, 2012).
[16] Sejak tahun 2010, Sandi Firly hengkang dari SKH Radar Banjarmasin ke SKH Media Kalimantan dengan posisi yang sama, sebagai Redaktur Pelaksana. Dengan demikian, hal ini bermakna positif bagi perkembangan sastra Banjar karena para pegiatnya telah memiliki satu media publikasi lagi.
[17] Sapardi Djoko Damono, Priayi-Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 406.
[18] Bandingkan dengan Damono, ibid., hlm. 406—407.


Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-2.html

0 komentar: