Cerpen Aliansyah Jumbawuya: Lelaki Dilarang Menangis

17.39 Zian 0 Comments

Setiba di Amuntai, aku tidak singgah dulu ke rumahku di Kotaraja, melainkan langsung meluncur ke rumah sakit Pembalah Batung. Rasa capek setelah menempuh empat jam perjalanan dari Banjarmasin tak kuhiraukan. Aku sudah tak sabar lagi ingin mengetahui keadaan Uma. Sesampai di depan ruangan nomor 7 tampak beberapa kerabatku bergerombol. Aku segera masuk. Kulihat Uma terbaring lemah di ranjang. Kontan aku mendekat, lalu mencium telapak tangannya.
“Ka.. pan da- taang?” ucap  Uma terbata-bata. Rupanya pembengkakan di lehernya cukup menganggu bicaranya.
“Barusan tadi.” sahutku sambil mengusap-ngusap dahinya. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya panjang lebar tentang kondisinya. Tapi, menyadari betapa susah beliau mengeluarkan kata-kata, kuurungkan niat tersebut.
Tubuhnya kurus sekali. Wajahnya pucat. Rambutnya pun kian menipis karena sering rontok. Kata dokter beliau mengidap komplikasi penyakit, terutama diabetes dan hipertensi yang cukup parah.
“Pa-naass,” rintihnya.
Sepanjang hidup kutahu Uma jarang mengeluh. Kalau ia sampai berkata begitu, tentu betapa sakit yang beliau rasakan.

Mendengar itu perasaanku lumer. Aku tak kuasa menahan buliran air mata. Menangis sesunggukan.
“Sudahlah, doakan saja cepat sembuh!” Acil Midah mengelus-elus punggungku.
Sekilas kulirik di pojok ruangan Abah diam membeku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan.
Usai membasuh mukaku yang sembab, aku diajak Abah keluar. Duduk di pojok taman mungil yang agak sepi. Kupikir Abah akan menjelaskan perihal keadaan Uma. Ternyata bukan itu.
“Lelaki itu tidak boleh cengeng. Harus kuat dan tegar. Pantang mengeluarkan air mata. Bukankah ini sudah sering Abah ingatkan sejak dulu? Apa kau telah lupa?”
Sebenarnya aku ingin menyanggah,tapi suasananya kurang tepat. Aku baru saja pulang, masak mesti berdebat dengan Abah. Jadi, lebih baik aku memilih diam.
“Kesedihan tidak perlu dibarengi air mata. Tangisan, sekeras apapun, tidak akan merubah keadaan. Justru bisa melemahkan. Bahkan, bisa menambah kepanikan dan kekalutan. Lain kali simpan saja air matamu. Abah tidak senang melihat anak lelakinya jadi lembek dan rapuh. Untung tadi ketiga adikmu sudah pulang, jika tidak mereka pasti bakal terpengaruh ikut-ikutan sedih,” tegasnya.
“Menurut ulun, menangis itu hal yang manusiawi. Coba, siapa yang tidak pernah menangis?” Akhirnya aku angkat bicara juga.
“Dulu waktu nenekmu meninggal, Abah tidak menangis. Begitu pula saat kakekmu tutup usia, tak setetes pun Abah mengeluarkan air mata. Karena putra yang tertua, Abah harus menunjukkan ketegaran pada saudara-saudara yang lain. Tidak boleh ringkih. Begitu pula kamu, sebagai putra sulung tidak sepatutnya menangis.”
Aku diam. Tapi, bukan berarti setuju dengan pendapat Abah.
Bagiku, apa salahnya orang menangis. Duka kalau dipendam dalam hati, justru akan berlarut-larut. Bahkan berpeluang menggerogoti kesehatan. Sebaliknya, jika ditumpahkan lewat tangisan, sebentar kemudian malah bisa bikin plong. Segala beban yang mengendap di dada bagai termuntahkan.
Namun, argumen ini tidak kukemukakan kepada Abah. Sia-sia saja, pasti ia takkan terima. Aku kelewat hafal dengan tabiat Abah yang keras kepala. Pendiriannya seolah tak terbantahkan.
“Menangis itu hanya untuk kaum perempuan, karena sudah dari sananya begitu. Mereka memang gampang mengeluarkan air mata, nonton sinetron atau telenovela saja bisa membuat mereka menangis. Tapi, bagi seorang lelaki sangat tabu menangis. Ia harus tangguh. Seberat apapun cobaan, sikapi dengan berani. Penderitaan, kesengsaraan, sebagaimana juga kegembiraan dan kesenangan adalah bagian dari permainan hidup, datang pergi silih berganti. Hadapilah  tanpa air mata!”
Sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa menangis itu tidak identik dengan kelemahan, namun tiba-tiba kulihat dua orang perawat memasuki ruangan Uma dirawat. Aku dan Abah serentak bergegas ke sana menyusul.
“Bagaimana, Mbak?” cecarku usai mereka memeriksa Uma.
“Tekanan darahnya masih tinggi. Kadar gulanya juga sama. Tadi pagi kata dokter jika dalam tiga hari ini diabetesnya tidak turun, kalau memang mau dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin bisa saja. Tapi, kita tunggu dulu perkembangan nanti,” kata si perawat yang berjilbab.
“Terima kasih,” ucapku tulus saat keduanya pamit keluar.
Mendengar keterangan tadi jantungku berdegup kencang. Timbul perasaan was-was. Kalau petugas medis bilang begitu, artinya penyakit Uma tambah kritis. Tapi, aku berharap akan tetap ada keajaiban dari Tuhan.
Malamnya, aku dan Julak Iram, giliran menunggui Uma. Sedangkan Abah pulang ke rumah, mengingat sidin beberapa malam sebelumnya yang selalu berjaga.
Ketika Uma tertidur dan cairan infus  kulihat masih banyak, aku mengajak Julak keluar ruangan mencari-cari angin. Kami duduk di tikar plastik yang terhampar di lantai teras. Lantaran kejadian tadi siang masih mengusik benakku, aku pun diliputi rasa penasaran.
“Julak, apa betul lelaki itu tak boleh menangis?” tanyaku.
“Kata siapa?”
“Abah.”
Sejenak Julak Iram tersenyum. Tidak langsung menjawab. Mungkin tengah menyelami kegundahanku.
“Orang yang menangis belum tentu lemah atau cengeng,” akhirnya sidin berkomentar juga. “Sekarang ini pengertian air mata begitu luas, bisa mengandung banyak makna. Jangan kira orang yang menangis itu rapuh, boleh jadi sebagai bagian dari strategi. Saat seorang istri berurai air matas, mungkin saja ia tengah memancing suaminya agar segera memberi perhatian lebih padanya. Biasanya lelaki memang gampang luluh kalau sudah melihat perempuan menangis, sehingga akan berusaha memenuhi apapun keinginannya. Dengan begitu, diam-diam justru ia yang  pegang kendali – yang berarti malah kuat.”
Aku masih belum mengerti omongan Julak Iram.
“Jadi, tangisan itu tidak mutlak pertanda kelemahan. O ya, beberapa tahun lalu pernah calon gubernur membezok anak yang menderita pembesaran kepala. Karena sadar tengah dibuntuti para wartawan, sambil mengusap bocah malang itu ia pun meneteskan air mata. Besoknya, banyak media massa yang memberitakan momen ia menangis tersebut. Masyarakat pun jatuh simpati dan menganggapnya calon pemimpin peduli yang penuh kasih. Berkat kepandaiannya  memanfaatkan situasi, dengan cara menangis, akhirnya ia banyak mendulang suara dan berhasil terpilih menjadi gubernur.”
“Tapi kemarin Abah kelihatannya cukup marah saat melihat aku menangis,” tukasku.
“Tidak usah terlalu dihiraukan, yang penting setelah itu kamu agak lega kan?”
Aku mengangguk.
“Ya, sudah! Jadi, untuk apa terlalu dipikirkan,” tandas Julak Iram.

***

Ternyata sebelum sempat dibawa ke Banjarmasin, Uma telah menghembuskan nafas terakhirnya. Kata-kata sudah tak bisa mewakili betapa dalam kesedihan yang menghujamku. Tapi, aku ingat pesan Abah agar tidak menangis. Kucoba sekuat daya untuk mencegah buliran kristal jatuh bergulir di pipiku.
Begitu pula saat adikku yang SMP, Ihin, mulai menangis di dekat jenazah Uma aku segera mengingatkannya.
“Hei, cepat hapus air matamu. Nanti Abah marah kalau sidin sampai melihat kau menangis.”
Ia pun cepat menyusut air matanya. Takut kepergok oleh Abah.
Siang itu juga prosesi pemakaman dilakukan. Saat jasad Uma diturunkan ke liang lahat, apalagi melihat beberapa perempuan menangis hingga mata mereka merah, aku nyaris saja tak dapat membendung air mataku. Tapi karena tidak ingin mengecewakan Abah, kutahan semampuku.
Usai pemakaman, sekilas kudengar orang-orang berkomentar. Ada yang menilaiku sangat tegar lantaran tidak menangis. Sebaliknya ada pula yang setengah menghujatku, menganggap aku tidak sayang pada Uma, sehingga sama sekali tak menangisi kepergiannya.
Aku tak peduli apapun kata orang. Kini aku sudah tak punya Uma lagi. Jadi, tinggal Abah yang harus kupatuhi.
Sekitar pukul 10.00 Wita usai selamatan turun tanah, aku ingin mengurung diri dalam kamar. Biarlah kurajut kenangan tentang Uma di atas pembaringan. Tapi belum lagi aku jauh menerawang, tiba-tiba kudengar suara seperti orang menangis. Bukankah tadi ketiga adikku sudah tidur? Begitu pula dengan Acil Midah, ading almarhumah Uma, bahkan duluan terlelap. Agaknya suara itu dari kamar sebelah. Aku pun beringsut melangkah dan mengintip dari balik pintu yang tak terkunci.
Betapa aku terkejut. Ternyata yang menangis itu adalah Abah. Aku yakin mataku tidak salah lihat, Abah benar-benar menangis. Tak tahu apakah karena cintanya pada Uma atau lantaran alasan lain. Bisa saja Abah bingung bagaimana kelak mengasuh ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Sementara aku baru kuliah semester tujuh, serba tanggung: berhenti sayang, sedangkan jika tetap melanjutkan maka satu setengah tahun lagi baru rampung. Tentu Abah bakal kelabakan membagi waktu antara bekerja dengan menjaga adik-adikku.
Awalnya aku sempat bermaksud menerobos masuk kamar itu untuk menenangkan Abah. Tapi begitu ingat selama ini betapa sering Abah bilang bahwa lelaki tidak boleh mengucurkan air mata, akhirnya aku pun segera mengurungkan niat tersebut. Aku tidak ingin Abah malu karena aku memergokinya tengah menangis. Biarlah ini cukup menjadi rahasiaku saja. []

Landasan Ulin, 22 Oktober 2013


Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah dan Wahyufi, Zian Armie. 2014. Lelaki Dilarang Menangis. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: