Cerpen Sahib Hartoni: Kisah dari Seorang Aku

19.02 Zian 0 Comments

Semburat matahari senja mulai terlihat di upuk barat. Rupanya matahari sudah mulai malu pada siang dan mulai bersembunyi diantara ranting-ranting pohon. Sementara itu gerimis kecil masih setia membasahi apa saja yang ada di bawah kolong langit. Sesekali terlihat kilat menyambar seakan ingin menghabisi apa saja yang menghalanginya.
Di dekat jendela aku hanya bisa menatap kosong seisi kamar yang penuh dengan coretan-coretan pilok yang tak jelas maknanya. Kubiarkan dinginnya angin sore membelai wajah kusutku, sesekali kulihat daun anturium bergerak seakan menari-nari terkena tetes demi tetes air dari genting. Aku berusaha mengingat apa saja yang aku alami beberapa hari yang lalu, “oh…ya Allah jantungku berdebar. “Diakah itu ?, ah tidak mungkin pikiranku berontak, ‘masa sih, ditengah kegalauanku tidak terasa kristal-kristal bening mulai bercucuran diujung mataku. Masya Allah azan maghrib, ! “aku terhenyak dan buyar dari lamunanku. Aku segera beranjak ke belakang mengambil air wudhu yang aku sendiri tidak tau dari mana energi itu datangnya, karena selama ini aku sangat jarang shalat dan bahkan dalam beberapa bulan terakhir rasanya aku sudah tidak pernah shalat. Kejadian itu benar-benar telah menyadarkanku

***


Sinaran sang surya sudah mulai terasa menyengat. Namun selimut kabut masih setia menemani sekitar kampus IAIN Antasai Banjarmasin. Sesekali terlihat kilatan cahaya embun beradu dengan mentari pagi yang dapat menyilaukan mata. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00. tampak sebagian mahasiswa bergegas menuju lokalnya masing-masing. Ada yang berlari, ada yang santai ada juga yang cuek bebek, ‘padahal mata kuliah PPB sudah dimulai. Itulah pemandangan khas IAIN dipagi hari.
“Ah…Payah”, kembali aku mencibir Pak dosen yang sedang mengajar dilokalku. Bibirku tidak henti- hentinya membaca mantera kekesalan.
Itu lagi…itu lagi, emangnya ngga bisa ngajar apa. Ke -PD –an banget sih jadi dosen”, udah berpuluh- puluh, beratus- ratus, atau mungkin beribu- ribu kali bibir tipisku aku nodai dengan umpatan- umpatan yang keluar dari hatiku yang paling busuk.
“Mahasiswa sekalian… Kata dalam bahasa Arab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : isim, fi'il dan maf’ul. Untuk membedakan ketiga bagian tersebut dapat dilihat dari cakupannya jika dipadankan dengan bahasa Indonesia dan dengan melihat ciri-ciri khasnya.”, begitu seriusnya Pak Dosen, alias Ustadz _panggilan kehormatan terhadap pengajar di kampusku_ menyampaikan materi yang dipegangnya.
“Maaf Ustadz !”, tiba- tiba saja seorang mahasiswa berpakaian rapi dan sopan mengacungkan tangan. Kalau diperhatikan, ni anak jebolan pesantren, pikirku.
“Iya kamu, silahkan !”, Pak Dosen memberikan kesempatan.
“Kata dalam bahasa Arab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : isim, fi'il dan huruf Ustadz ”, mahasiswa itu seolah- olah ingin mengetes Pak Dosen. Cara berbicaranya yang mencoba merendahkan diri tanpa harus menyalahkan Pak Dosen menbuat aku membacakan mantera untuknya juga.
“Kalau Dosennya salah bilang aja terus terang, ngga usah muluk- muluk deh”, gumamku karena aku tau kalau apa yang dibicarakan Pak Dosen itu memang salah, tapi keangkuhanku tak sedikitpin menerima impuls dari hati suciku untuk mencoba menerima kekhilafan itu.
Tiba- tiba saja mendengar protes dari mahasiswa itu, Pak Dosen jadi kelabakan.
“Oh iya…iya… maaf. Kata dalam bahasa Arab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : isim, fi'il dan huruf Pak Dosen mencoba membenarkan.
“Ha…ha…ha…payah!”, tawa melecehkan itu keluar mulus dari sela- sela bibirku, membuat teman- teman sesama mahasiswa yang hanya senyum sumringah melihat kelakuan Pak Dosen beralih pandang memutar kepala mereka seratus delapan puluh derajat. Aku yang berada di pojok paling belakang, tanpa merasa bersalah tak menghiraukan tatapan konyol mereka. Bagiku…tawaku tadi adalah perwakilan dari isi hatiku yang paling busuk bahwa pak dosen yang mengajar di lokalku belum pantas untuk mengajar mahasiswa seperti kami.
Tampak muka Pak Dosen mulai memerah, tapi tak semerah nyala kompor Hock sih. Aku sendiri berdendang ria diatas kekesalan pak dosen, tanpa aku mencoba mendengar sedikitpun nasihat kebaikan dari hati suciku. Kini aku mulai berani memainkan jari- jari tanganku diatas tombol- tombol N-73. aku mulai muak atas semua ini.
Toni… Lo kok berani sih ngetawain Ustadz?”, tiba- tiba tanpa diminta ada yang memberi nasihat, Aris _mahasiswa yang bela- belain sok akrab denganku_ berceloteh mantap disamping kiriku.
“Emangnya kenapa?, Bokap Lo ya!”
“Lho…emangnya Lo ngga kasian apa. Liat tuh…raut muka Ustadz seruwet itu”, Aris masih memberanikan diri adu argumen denganku.
“Masa bodo… kalo emang payah mo diapain lagi!”, kali ini celotehku bak kokok ayam jantan disiang bolong, menggaung hingga ke telinga pak dosen yang paling dalam. Untuk yang kedua kalinya aku menerima sorotan kamera- kamera kecil. Tapi aku tetap cuek, bergaya bak artis profesional yang tidak gugup disorot kamera. Tampak muka Pak Dosen bukan lagi berstatus siaga 1, 2, atau 3, tapi sudah berstatus “awas”.
“lima belas menit terakhir kita middle. Tolong disiapkan. Kalau ada bahan pelajaran yang kurang paham, bisa tanyakan sama saya langsung, saya beri waktu sepuluh menit. Rupanya Pak Dosen tidak main-main dengan perkataannya. “Elo sihhh..!!”, kembali teguran singkat dilayangkan Aris padaku.
“Emang benar kan apa yang aku omongin, kalau Pak Dosen emang nggak bisa ngajar. Are gene mo midle… EGP”, dengan semangat 2009 aku mencoba menangkis peluru peluru tajam yang keluar dari laras panjang Aris. Tampak Aris menciut karena berkali kali tudingannya tidak aku gubris

***

”Gila… ni soal kok ngak bisa aku jawab”, aku mulai gelisah karena berkali- kali aku kerahkan kemampuanku untuk menjawab soal- soal, tapi tak satupun soal yang berhasil aku taklukkan. “Waktunya tinggal 10 menit lagi..”, gertakan Pak Dosen membuat mentalku down. Matanya seolah- olah menggerayangi mencari sinyal- sinyal kecuranganku, membuat aku semakin mati kutu dan tidak biasa berbuat apa- apa. Dihatiku hanya ada satu prasangka, kali ini Pak Dosen yang menari- nari atas kebodohan dan ketidak berdayaanku.
Aku mulai linglung, tapi tak seorang pun menawarkan jasa untuk memberikan contekan kepadaku, termasuk Aris. Soal jaim, akulah nomor satunya. Demi menjaga gengsi kalau aku adalah yang terhebat, aku rela kertas jawabanku kosong tanpa ada noda- noda hitam sedikitpun.
“Waktunya habis, selesai tidak selesai…kumpul…”, Pak Dosen berjalan memungut lembar jawaban mahasiswa, kemudian keluar local dan membawa lembaran- lembaran itu. Teman- teman tersenyum bangga dengan langkah teratur meninggalkan ruangan, sementara aku berduka cita di singgasanaku. Aku mau nangis, tapi aku bukan anak cengeng yang segala sesuatunya diselesaikan dengan curahan air mata. Aku berfikir dalam hati, ngapain aku pusing-pusing mikirin nilai. ‘toh kalaupun aku tidak lulus, aku bisa ngambil lagi tahun depan.
Pagi itu sehabis kuliah PPB aku langsung cabut dan buru-buru biasa mau latihan band. “Ooiii,,,,gak kuliah bro’ ‘teriak Rifki dari lantai dua Fakultas Tarbiyah yang persis bersebrangan dengan Fakultas Ushuluddin. “Hare gene kuliah gak gaul tau,,! ‘udah aku mau cabut dulu sudah telat nih, salam aja buat Pak and Bu Dosen’ jawabku sekenanya, “oke bro, jawabku kembali seraya berbalik dan buukkk,,,,aku langsung menubruk seorang perempuan berjubah putih dengan kerudung panjang warna krim. Perempuan itu langsung jatuh dan seluruh buku yang ada di tangannya berhamburan, sampai sebagian catatan-catatan kecilnya jatuh ke kolam Ushuluddin karena ditiup angin. Tanpa dikomando “koor” ledekan langsung membahana menertawakan aku. Kalau jalan liat-liat dong mba, cercaku sambil membersihkan debu-debu di kostum gaulku”.
Perempuan itu hanya bisa bilang ‘afwan, afwan’. Mendengar suaranya aku kaget, rasanya aku kenal suara ini batinku bersahabat. Tapi, ahh,, ‘masa bodo minggir, minggir ganggu orang saja. Sekali lagi afwan kata perempuan itu sampil merapikan buku-bukunya yang berserakan ditanah. Aku bergegas setengah berlari. Belum sempat lima langkah, kakiku terhenti, rasanya aku benar-benar kenal dengan suara itu. Aku langsung menolehkan kepalaku ingin memastikan siapa prempuan itu sebenarnya,, secara bersamaan diapun mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke arahku. Maka secara otomatis pandangan kami beradu hingga beberapa saat. Perempuan itu langsung menundukkan pandangannya, terlihat bibirnya bergerak mengucapkan ‘’astaghfirullah.. ”Setengah sadar aku hanya bisa berkata oh,, my god,,,,sambil menutupkan tanganku di mulut pertanda aku begitu tersihir. ‘Benar, benar aku kenal prempuan ini tapi, aku masih tidak percaya dengan apa yang aku hadapi saat ini. Aku mencoba melangkah namun ragu, ka,, kamu Orenk kan, tanyaku terbata memberanikan diri. “Iya benar jawabnya mantap dihias sedikit senyum. Akhi Toni kan katanya balik bertanya ?. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Aku langsung menyodorkan tangan hendak bersalaman. Perempuan itu Cuma menelungkupkan tangannya di dada. “,Wihh gaya kamu sekarang, aku langsung nyerocos sok akrab sambil menepuk pundaknya. ‘,Minjam dimana nih baju, wih jilbabnya mau jihad bu,,,atau udah jadi teroris’, apa kamu mau dieksekusi kaya amrozi cs ejekku sambil tertawa melecehkan. Perempuan itu mundur beberapa langkah “ Don’t touch me” please,,! ‘Wow bisa bahasa Inggris juga, ‘alah gak usah sok suci gitu deh godaku kembali sambil ingin mencubit pipinya, tapi perempuan itu begitu sigap menagkis. Sorry sekali lagi kamu sentuh aku jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu katanya mengancam. Aku tidak menghiraukan kata-katanya, malah aku semakin berbuat tidak sopan. “Rambutmu masih pirang kaya dulu atau udah kamu ubah kaya Luna Maya tanyaku sambil mendekat ingin membuka jilbabnya. Dan plak,,,,plak,,,dua tamparan langsung mendarat tanpa halangan di pipiku. Eh Toni kamu ingat ya Orenk sekarang bukan lagi Orenk yang dulu, Orenk yang suka buka aurat, kumpul bukan muhrim, tomboy, nakal tapi Orenk sekarang adalah Orenk yang menjunjung tinggi Islam, menutup aurat, dan satu yang harus kamu ingat Orenk sekarang bukanlah Orenk ‘murahan’ seperti dulu. Ana sudah tobat, katanya berapi-api. Perempuan it terus menceramahi aku habis-habisan dan sama sekali tidak memberikan aku waktu untuk membela diri. “Permisi, katanya seraya berlalu, sementara aku cuma cengar-cengir tidak karuan.
Orenk Dessy Febrina adalah nama lengkapnya, biasa disapa Orenk. Dia adalah teman bandku sewaktu duduku di bangku SMP. Orangnya tomboy, perokok, nakal bisa dibilang kelakuannya melebihi anak lelaki. Waktu SMP kami membentuk genk anak funk dan Orenk adalah satu-satunya anggota perempuan. Genk kami merupakan genk yang cukup berpengaruh di kalangan adik kelas. Tapi itu dulu, sebuah pengalaman tragis yang pahit namun sulit dilupakan. Semenjak lulus SMP ia dikirim ayahnya ke Jawa untuk dimasukkan di pondok pesantern Gontor karena ayahnya sudah kewalahan mengurus perangainya yang tidak masuk akal. Sedangkan aku hanya melanjutkan di SMA yang ada di daerahku yang lingkungannya sangat rawan kenakalan remaja. Secara kebetulan atau tidak, setelah lulus kami sama-sama melanjutkan studi di IAIN Antasari Banjarmasin dan hari ini adalah hari pertama kami bertemu. Yang jelas Orenk sekarang bukan Orenk yang dulu. Sudah benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Rupanya selama tiga tahun di Gontor dia benar-benar digodok menjadi muslimah sejati
“Aku yang sedari tadi menjadi pusat perhatian kembali menerima tepuk tangan meriah dan sorak- sorai ejekan dari sejumlah mahasiswa berbagai Fakultas. Aku sungguh malu,, sangat malu. ‘;Oooiiiii,,,,masa anak funk ditampar cewe..” mana harga diri loe,, mana? ada yang menyahut, ‘memangnya harga dirinya berapa ? seribu, dua ribu, sepuluh ribu atau dua puluh ribu, yang kembali disambut dengan tawa ejekan. Mereka benar-benar berdendang ria atas ketidakberdayaanku. Tapi, yang lebih memalukan, pada saat itu ternyata Bapak Rektor dan sejumlah Dosen yang hendak menghadiri acara di suatu fakultas juga memperhatikanku. Ingin rasanya pada saat itu aku punya ilmu menutup pandangan orang, namun apa daya, aku hanya anak funk yang tidak punya ilmu apa-apa. Mereka tidak berkomentar, melainkan tersenyum manis seraya berlalu.
Sadar semakin banyak mahasiswa memperhatikan dan melecehkanku, tanpa pikir panjang aku langsung cabut, ambil motor dan tancap gas. Aku langsung pulang ke kost. Kuurungkan latihan karena pikiranku benar-benar tidak nyaman atas peristiwa yang baru saja ku alami.

***

Udara pagi yang begitu sejuk dipadu dengan semilir angin bagaikan hembusan bara api yang ingin membakar kulit bagiku. Karena aku benar-benar malu, sampai-sampai aku mengeluarkan keringat dingin. Pagi ini aku memilih untuk tidak kuliah. Dikamar sempit yang pengap dan semraut, maklum standar kost anak lelaki yang bisa dibayangkan betapa berantakannya. Aku mencoba bertanya pada dinding-dinding kamar yang sudah lapuk dimakan usia yang sudah barang tentu tidak ada jawabannya. Kenapa aku bisa dipermalukan oleh seorang perempuan. Aku mencoba meniti balik jembatan kehidupan yang sudah kujalani selama ini.
Tidak terasa mutiara-mutiara bening mulai bercucuran merembes membentuk genangan kecil di sudut mataku hinggga aku benar-benar tenggelam pada masa laluku yang sangat nista, jauh dari sentuhan agama dan seabreg dosa. Kini aku dihinakan ditangan seorang perempuan yang derajatnya lebih rendah dari seorang laki-laki. Oh,, betapa hinanya aku selama ini, aku tidak tahu apakah ini teguran atas segudang dosa yang menghinggapiku ataukah hanya kebetulan belaka, yang jelas aku sangat merasa berdosa, bersalah, dan hina dimata manusia, dimata Pak Dosen yang sudah aku hina, lebih-lebih di mata Allah yang Maha Diraja. Ya Allah engkau benar-benar maha besar dan maha berkehendak, engkau berikan aku hidayah melalui seorang perempuan yang selama ini aku anggap sebagai orang yang paling lemah. Ya Allah tuntunlah aku untuk bangkit, meniti, dan melanjutkan perjalanan sisa-sisa hidupku dengan hidayahmu.


Sumber:
http://sahibhartoni.blogspot.co.id/2011/04/cerpen-gaul.html

0 komentar: