Cerpen Ali Makki: Sang Penari

19.09 Zian 0 Comments

“Ting tong” nada pesan diponsel BBnya berdering, sambil mendengarkan penjelasan dosen pada mata kuliah pengantar filsafat. Perlahan ia ambil BBnya. Ada pesan singkat yang membuatnya tersenyum, lucu, mungkin bahagia ‘jam 19:00 q jmput’ segera ia balas kalimat itu ‘oke’, sesaat telah terkirim, kini ia kembali pada penjelasan pengantar filsafat yang melelahkan. Dari pengantar itu ia dapat kesimpulan bahwa di dalam ilmu filsafat, ia adalah makhluk yang diberi akal.
Akal menjalankan kehendak nafsu, dan nafsu sebagian dari kebahagiaan. Ah, tentu menyenangkan, bukan sekedar aktualisasi hidup dalam kehidupan saja, paling tidak ada pemikiran rekontruksi tubuh untuk melepaskan ikatan ketergantungan terhadap alam
Adakalanya bertindak positif saja disalahkan, apalagi yang negatif, pastinya disana akan terbentur pada aturan yang meletihkan. Haha, seru juga permainan pemikiran seperti itu. Barangkali tidak begitu rumit, bukankah tangga selamanya naik?!. Ruang dan waktu merupakan lingkup materi yang dapat dikaji, maka dapat dibuktikan bahwa ini sebagai inti dari pengetahuan. Cukup seabrak pernyataan dari pertanyaan tentang diri sebenarnya siapa dan untuk apa, kenapa menjadikan begini dan begitu jawabannya.

***

Satu jam telah berlalu, perkuliahan disudahi bersamaan dengan matinya aliran listrik, kemas manis perjalanan mempesona, keindahan memolek ruang dimana muzaik menari nari di ujung tanduk warna. Di seberang sana terlihat bangunan menjulang tinggi.
Berhilir mudik kendaraan mewah, dari penampakan yang cukup terang. Negeri ini bernafas bunga, taman hijau tumbuh dari genangan air mata, terkordinasi dalam pamplet birahi. Dulu desas desus tersebar bahwa negeri ini merupakan negeri yang tumbuh dari kesuburan. Bahkan katanya telah dianugrakan tuhan untuk penduduknya dengan banyaknya para perempuan yang cantik jelita. Menjadikan taman kota sebagai tempat mahkota suci yang tersentuh oleh kebiadaban. Akan tetapi, kepercayaan penduduk itu terkuras lewat kemiskinan. Maka negeri itu pun kering keimanan, miskin keyakinan

***

Pada suatu ketika, ada seorang lelaki datang membawa berita bahwa ia dapat menyuburkan kembali negeri itu, negeri yang di diami oleh para penari.
Setelah sekian lama berdiam, lelaki itu bertamasya pada hamparan bukit. Pohon rimbun telah mengajaknya berdansa dengan malam. Gelap yang terindah, rembulan kadang menghias diri dengan purnama, cahayanya menyeruak ke seantero alam. kunang kunang bertebaran, sekali menghisap embun yang hinggap pada pori pori daun.
Burung kalilawar berpesta di atas pohon, mencari manisnya buah yang bergelantungan. Pada saat itu, kisah malam pun mulai dikunandangkan. Pelakon membaca naskah yang dikarang oleh sang waktu, desas desus tak hanya pandai bercerita. Namun juga Tak ada sebagian yang terlepas untuk diulas. Malam memang dalangnya cerita, dari rangkaian tangan melukiskan tubuh di atas kanvas yang bertaburan warna tumpah oleh nyanyian sunyi. Desahan nafas tersendat oleh gejolak birahi, bahkan malaikat pun ambil peran pada saat itu. Dan kau terlelap padanya

***

Ketika laki laki itu kembali, ia tersadar pada saat itu ada janji. Janji untuk menjemput kekasihnya ke suatu tempat, kekasih malam dengan polesan purnama di pipinya, bintang itu mengedipkan zona yang tidak tertulis dalam sekenario alam. Serupa blitz pada kamera kehidupan, hanya satu klik disana menggantung gambar nyata.

***

Kekasih malam itu kini sudah mengunggu di amperan kosannya, dengan gaun transparan, rambutnya terurai panjang, ia seakan dibiarkan bergoyang mengikuti desiran angin yang mencuri pandang. Badannya yang tinggi semampai, matanya yang lentik tidak henti hentinya memandang jalan. Kadang ia merasa lelah terhadap janji itu. Benarkah ia akan datang malam ini?

***

Di tangannya masih tergenggam BBnya. Mungkin disana sudah ada pesan keberadaan kekasihnya. Ah, tak ada. Kemudian menuliskan kalimat pendek “dimana, jadi ga’?” pesan terkirim selang beberapa detik. balasannya pun telah nangkring di layar alat tempat curahkan segala gejolak jiwanya. “sebentar lagi sampai” ia tersenyum mendatar.
Senyum yang ia ciptakan oleh gelap malam, gelap hati nurani bila setiap kobaran gejolak menguasai pikirannya, hanya satu dalam diri untuk mengatakan “tidak”, selebihnya alam melepaskan diri, menyerahkan semuanya kepada empunya. Halnya laut melayarkan perahu, gelombang dan angin menjadi kendali di setiap dermaga.

***

Gadis itu bernama tasya. Mahasiswa angkatan baru di universitas harapan, ia terlahir dari seorang sederhana. Hidupnya yang serba terbatas membawa ia pada keyakinan yang berombak, gejolak dan gelombang terlalu deras untuk mempertahankan hidup. Dimana keyakinan yang ia ketahui dan dipercayai bahwa segala sesuatu berawal dari kenyataan, kenyataan pada hidupnya memberi ruang bertindak sesuai dengan apa yang kelihatan, bahkan ia sudah meyakini itu semua
Ada satu mahkota yang blum disentuh dalam jiwanya, setiap ia mengikat kuat untuk tetap tejaga, sesuatu yang menjadikan semua mata terperangah olehnya. Paras wajahnya yang elok membuat ia berteman dengan warna. Hitam, putih, merah adalah bagian bentuk raganya. Pada keyakinan itu ada sebait doa yang selalu ia tanam, hari esok merupakan lembaran yang lepas, hari ini strukturalisme terindah. Seindah kerlip lampu taman kota, negeri penuh para penari menggoreskan tinta cinta kepada dunia

***

Disuatu kesempatan, gadis itu diajak teman sekolahnya waktu SMA ke suatu tempat dan di tempat itu ia memulai kehidupan baru sebagai bunga yang semerbak wanginya yang tidak habis untuk dihisap. Atas dasar kemiskinan ia melepas aktribut suci yang ia simpan dengan lautan iman. Ah, itu hal yang telah biasa terjadi pada negeri ini. Negerinya para bidadari yang telah kau suarakan sebagai negeri paling agamis. Ketakwaan pada sang pencipta semesta dan kepada yang menjadikan malam tempat dimulainya cerita mengesankan. Ceria, lara, bahagia dan juga luka.
Kini negeri itu telah menjadi dongeng yang selalu dibicarakan orang orang, seakan tak ada habis untuk terlewatkan. tidak dpat mengerti mengapa mereka tiada henti mendongeng. Sepertinya mereka ingin menikmati kedamaiannya.
Ya, Dongeng dimana perempuan sebagai mahkota yang harus dilindungi supaya kesuburan tetap terjaga. Perempuan yang melantunkan nyanyian surga. Tapi kemerlap bintang mengedipkan warna yang lebih cerah. Menampakkan polesan merah pada bibir juga betis yang putih mengudang harapan. Hanya harapan yang selalu indah dalam bayangan. Sehingga terasa sayang bila tidak ikut menanam bunga di taman, menabur harum di setiap sisi tubuh mereka dengan keringat dingin.
Tasya, gadis bertubuh indah, tinggi putih itu kini telah menyerupai bulan. ia disanjung oleh semua lelaki di kampusnya, bahkan di kota itu telah jadi pelabuhan asmaranya yang penuh getir. mereka terkulai ke dalam pelukannya yang hangat. Sebagian jadi tempat curah lelahnya. Ia merasa hidup dengan berlinang api dosa kadang menjadikan seseorang tambah dewasa.
Pencarian jati diri itu sebenarnya ketika sudah dewasa, adakala kedewasaan adalah mengerti akan kebutuhan yang otomatis sebagai sarana hidup di dunia. Apakah anda sudah dewasa? Mari dewasakan dengan kebutuhan kita pada hari ini.


Sumber:
http://cerpenmu.com/cerpen-sastra/sang-penari.html

0 komentar: