Cerpen Aliansyah Jumbawuya: Sang Juara

17.26 Zian 0 Comments

Sudah empat tahun  terakhir ini Adelia, putri semata wayang Zai, selalu langganan juara kelas. Setiap kali pihak sekolah memberikan tropi dan piagam penghargaan, murid-murid lain hanya bisa memandang dengan tatapan cemburu. Predikat rangking satu seolah tak pernah beranjak dari Adelia. Bocah mungil berponi itu memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Mungkin mewarisi kejeniusan sang bapak.
Zai di usianya yang  relatif muda, 45 tahun, sudah berhasil meraih gelar profesor. Sementara rekan-rekan seangkatannya, jangankan mencapai puncak gelar akademis tersebut, mengantongi titel doktor saja banyak yang belum. Wajar bila karirnya sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi ternama melejit, ia dipromosikan menjabat dekan. Selain itu, Zai sering pula diundang jadi pembicara di mana-mana. Bahkan kemudian ia menyandang julukan pakar pendidikan.
Maka, tak berlebihan bila pada setiap acara kenaikan kelas di SDN Melati lelaki setengah botak berkacamata minus itu sering diminta  untuk memberikan sambutan, mewakili orangtua murid. Begitu pula kali ini. Zai begitu yakin putri kebanggaannya bukan cuma bakal naik ke kelas 5, tapi juga kembali menggondol juara kelas. Karena itu, sejak tadi wajah Zai tampak berseri-seri. Kerap menebar senyum.

Namun di luar dugaan, saat pengumuman Adelia hanya dapat rangking dua. Sedangkan peringkat satu jatuh pada Alya Embun Salsabila, siswa pindahan dari Amuntai. Anak mantan seorang wartawan  yang kini membuka toko buku “Al Banjari” di Martapura. Sungguh Zai sama sekali tak mengira putrinya bakal dikalahkan. Sekilas ekspresi wajahnya langsung berubah. Tetapi, sesaat kemudian ia berhasil menguasai keadaan. Ia tetap terlihat tenang ketika tampil di depan menyampaikan sambutan.
Jika tahun-tahun sebelumnya Zai banyak menyinggung tentang kiat mencetak anak juara kelas, kini malah sebaliknya. Ia mengingatkan orangtua agar memperlakukan anak sewajarnya.
“Orangtua tidak boleh terlalu berambisi anaknya harus juara kelas. Jangan sampai demi mengejar target, anak kemudian dipaksa mengikuti banyak les. Akibatnya, waktu bermainnya makin sedikit. Padahal, bagaimanapun anak SD itu tetap perlu bermain sesuai fase perkembangan psikologisnya,” ucap Zai.
Sejurus kemudian alumni UI itu mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.  Para orangtua tampak serius menyimak.
“Juara kelas bukanlah ukuran keberhasilan seorang anak,” lanjutnya. “Buktinya, betapa banyak orang yang waktu kecil di sekolah selalu rangking satu, tapi setelah besar kehidupannya biasa-biasa saja. Tidak sedikit mereka yang dulunya dicap anak ajaib lantaran memiliki daya hafal yang sangat kuat, dan diramalkan akan mempunyai masa depan cemerlang, ternyata di kemudian hari nasibnya malah tak jelas. Karena kunci kesuksesan itu bukanlah semata ditentukan oleh otak, melainkan banyak faktor. Salah satunya yang tak kalah penting adalah kecerdasan sosial. Tak jarang mereka yang punya IQ pas-pasan, tapi ia pandai bergaul, lihai membangun jaringan relasi, sigap membaca dan menangkap peluang, akhirnya karir dan kehidupan ekonominya lebih mapan. Sementara rekannya yang dulu langganan juara kelas, karena terbiasa menjadi manusia kamar, akhirnya gagap menjawab tantangan hidup.”
Mendengar nada dan gaya bicara Zai yang begitu meyakinkan, sebagian orangtua terutama yang duduk di barisan kursi depan, tampak manggut-manggut.
Melihat itu, Zai pun tambah semangat dan menggebu-gebu.
“Jadi, sekali lagi saya tegaskan, juara kelas itu bukanlah segala-galanya. Apa guna anak unggul di sekolah, tapi jiwanya tertekan lantaran dipres orangtua setiap saat untuk mempelototi soal-soal pelajaran yang kelak belum tentu berguna di kehidupan nyata.”
Zai berhenti sejenak.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia pun melanjutkan rentetan kalimatnya.
“Hal mendasar yang perlu diterapkan orangtua ialah bagaimana caranya supaya anak belajar dengan enjoy. Apapun kalau dilakoni dengan senang hati, insya Allah hasilnya juga memuaskan. Anak bila sudah menemukan kegembiraan belajar, maka menuntut ilmu akan jadi kebutuhannya. Disuruh atau tidak, anak bakal berinisiatif sendiri untuk belajar. Diawasi atau tidak, mau ada ujian atau tidak, ia tetap termotivasi belajar. Jika sudah begitu, orangtua tak perlu lagi kelewat  ketat memberlakukan disiplin. Biarkan anak menemukan pola belajarnya. Syukur-syukur nanti juara. Kalaupun tidak  juga tak  apa, asalkan dia naik kelas!”
Ketika Zai mengakhiri sambutannya, dewan guru dan para orangtua spontan bertepuk tangan. Mereka merasa beruntung mendapat semacam pencerahan. Tak salah bila selama ini pihak sekolah menunjuk Zai.
Sekarang tibalah saatnya pembagian hadiah kepada para juara kelas.
Profesor  Zai melirik jam tangannya. Agaknya ia punya keperluan lain yang mendesak. Karena itu, ia buru-buru pamit dan pulang.
Tapi setiba di rumah, betapa kagetnya Adelia dengan sikap papanya. Semula pemilik bulu mata lentik itu mengira papanya tetap senang ia rangking dua. Walaupun bukan juara kelas, toh prestasi tersebut sebetulnya tidaklah mengecewakan. Apalagi tadi papa dalam pidatonya mengatakan takkan mempersoalkan hal itu.
“Namun, kenapa kini Papa marah-marah?” gumam Adelia tak habis mengerti.
“Memalukan! Masak putri seorang profesor kalah dengan anak penjual buku…”  omel Zai sambil membanting daun pintu.
Lho, ada apa ini? Datang langsung mencak-mencak,” timpal istrinya keheranan.
“Tanya toh sama putrimu, kenapa bisa cuma rangking dua!”
“Ya, sudah. Kan masih masuk tiga besar. Sesekali tidak juara kelas, tak apa.”
“Nah, cara berpikir seperti ini yang membuat prestasi putrimu turun. Kamu suka mengampangkan masalah,” tukas Zai masih bernada tinggi. “Itulah akibat terlalu memanjakan!”
Istrinya berusaha membantah. Ia tak terima disalahkan. Tapi semakin disanggah, emosi Zai malah seperti tersulut.  
“Pokoknya rencana ke Taman Impian Jaya Ancol,  batal! Begitu pula janji beli blackberry, Papa tarik.  Pasalnya, Papa benar-benar kecewa. Mulai besok tidak ada yang namanya liburan. Adelia harus belajar keras!” ultimatum Zai.

***

Sudah menjadi tekad Zai tahun depan gelar juara kelas tak boleh lagi lepas dari genggaman Adelia. Pengalaman kemarin seyogianya menjadi pelajaran, bahwa ia tidak boleh lengah dan kecolongan. Zai pun memperketat pengawasan. Sepulang sekolah, usai makan dan istirahat sebentar, Adelia langsung disuruh belajar. Kalau ada PR segera selesaikan, tak perlu ditunda-tunda.  Habis itu, ia wajib ikut les sampai sore.
Pulangnya Adelia sudah tampak kelelahan. Tak ada lagi waktu buat bermain. Nonton tivi pun paling banter 15 menit. Lebih dari itu, Zai akan ngomel-ngomel.
“Kebanyakan nonton tivi bisa membuat otak macet. Apalagi tayangan-tayangan sekarang banyak yang tidak bermutu. Alih-alih mendidik, malah meracuni,” semprotnya.
Malamnya, setelah Maghrib, Adelia kembali disuruh belajar. Kalau dia tampak malas-malasan, karena tenaga dan pikirannya telah terporsir, Zai kontan mengingatkan. Menurutnya, bagaimana mau juara jika belajar saja ogah-ogahan. Padahal, Adelia benar-benar sudah capek. Tapi mana Zai peduli. Dibenaknya terlanjur berakar sebuah target: putrinya harus juara kelas!
Suatu hari Adelia bermaksud menghadiri undangan ulang tahun temannya. Ia sudah berdandan dengan cantik. Kado pun telah dibungkus rapi. Tapi ketika ia bersiap-siap mau berangkat, Zai yang baru pulang dari seminar, langsung menahannya.
“Tidak usah ke acara macam gituan. Hanya buang-buang waktu. Lebih baik kamu belajar,” sergah Zai.
“Tapi, Pa… Delia sudah terlanjur janji.”
“Tidak ada tapi-tapian! Pokoknya kamu harus nurut Papa!!”
Dibentak begitu, Adelia langsung mengkeret. Mukanya pucat, pengin nangis.
Melihat itu, istri Zai pun mencoba untuk membela.
“Sesekali biarlah, Pa. Apalagi hari ini Minggu, beri kesempatan Delia rehat sesaat. Terus-terusan belajar, juga tidak baik. Salah-salah dia bakal merasa sumpek. Kasihan, jika jarang bergaul takutnya nanti Delia dikucilkan oleh teman-temannya.”
Tapi, apa jawab Zai? Keputusannya tetap tak bisa dibantah. Ia bilang, kehidupan anak-anak sekarang jauh lebih enak dibanding zamannya dulu. Waktu kecil, ia sekolah sambil jualan es lilin. Kalau tidak, Zai takkan dapat uang jajan. Pulangnya, ia kembali harus keliling kampung menjajakan wadai. Malam baru ia punya kesempatan untuk belajar. Meski hidup prihatin, namun ia selalu juara kelas. Kemiskinan tak menghalanginya buat mengecap bangku pendidikan tinggi. Bahkan karena kegigihannya belajar, Zai sering memperoleh beasiswa.
“Sedang Delia, semua fasilitas sudah  tersedia. Mau apa saja akan Papa penuhi. Tugasnya hanya belajar dan belajar, apa susahnya? Supaya kelak jadi kebanggaan keluarga.”
Jika sudah begitu, istri Zai tak berkutik lagi. Hanya bisa mengikuti kemauan sang suami.
Begitu pula dengan Delia, ia terpaksa mencopot dan mengganti pakaiannya. Lalu segera menuju meja belajar,  menuruti keinginan papanya.

***

Berkat disiplin dan geblengan keras Zai, akhirnya pada kenaikan kali ini Adelia  berhasil menyabet juara kelas. Sayang, putrinya itu tidak bisa berhadir, sehingga tak dapat menyaksikan betapa sumringahnya sang papa.
Sudah seminggu Adelia jatuh sakit. Tepatnya, usai ujian. Padahal, selama ini ia tak punya riwayat penyakit kronis. Paling-paling cuma flu atau batuk ringan. Tapi, beberapa hari lalu kondisi fisiknya drop. Mungkin lantaran terlalu kencang belajar, terutama saat-saat menjelang ujian hampir tak ada waktu buat istirahat.
Namun, semua itu tak mengurangi kebanggaan dan kegembiraan Zai. Baginya, sakit Adelia adalah bagian dari sebuah pengorbanan. Terbukti, perjuangannya tidak sia-sia. Gelar juara kembali ke pangkuan Adelia.
Dengan langkah tegap Zai maju, memberikan sambutan.
“Adalah tugas orangtua untuk mendorong anaknya menjadi juara kelas. Sebab, semakin sering anak berprestasi semakin tinggi pula kepercayaan dirinya. Dan itu merupakan modal penting untuk mencetak generasi yang handal dan unggul. Maka, tak ada salahnya orangtua sedikit keras memberlakukan disiplin. Anak kalau tidak ditekan akan semaunya saja belajar. Di sinilah peran kita sangat menentukan,” ucap Zai.
Sebagian orangtua tampak tersenyum sinis mendengar isi pidato Zai. Pasalnya, pesan Zai sekarang amat bertolak belakang dengan yang disampaikannya setahun lalu Mereka masih ingat dulu Zai ngomong jangan sampai karena ambisi orangtua untuk mendapatkan gelar juara, anak jadi tertekan.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin dikemukakan Zai mengenai hakikat dan implikasi juara bagi perkembangan mental anak, tapi tadi tiba-tiba hape-nya berbunyi -- dari sang istri yang mengabarkan bahwa Adelia terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya kian kritis.
Usai menerima rapor, tropi dan piagam penghargaan, serta ucapan selamat dari beberapa dewan guru, Zai langsung meluncur. Setiba di ruang tempat Adelia dirawat, suasana terasa tegang.  Putrinya terbujur kaku di ranjang, sementara sang istri menangis terisak-isak.
Mengetahui Zai datang sambil membawa tropi dan piagam, istrinya langsung merampas. Kemudian secara tiba-tiba membanting ke lantai. Tidak pernah Zai melihat istrinya sekasar ini. Matanya tajam menghujam, seakan hendak menguliti Zai hidup-hidup.
“Lihat! Lihat, karena ambisimu kini Delia harus menanggung akibatnya. Apa gunanya gelar juara kelas, kalau ia menderita.”
Zai diam terpana. Perlahan, ia beringsut mendekati putrinya. Ia mengelus wajah Adelia dengan perasaan bersalah. Tapi, gadis kecil itu tak bereaksi. Kepanikan mulai menyergapnya. Kali ini Zai mengguncang-guncang tangan dan tubuh Adelia. Namun, tetap saja tak bergerak. Kini, sadarlah Zai apa yang telah terjadi.
Ia tersandar lemas di dinding. Istrinya tambah histeris menangis dan kian gencar menyudutkannya.
Zai terpaku. Lidahnya kelu. Tak bisa bersuara.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Walaupun Adelia berhasil mempersembahkan gelar juara, tapi betapa mahal harga yang mesti dibayar. Zai kehilangan putri satu-satunya untuk selama-lamanya…. []

Landasan Ulin, 19 Oktober 2013


Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah dan Wahyufi, Zian Armie. 2014. Lelaki Dilarang Menangis. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: