Cerpen Aliansyah Jumbawuya: Hadiah Orang No. 1

17.35 Zian 0 Comments

Sungguh di luar dugaan tahun ini Orang No. 1 memberikan hadiah seni sebesar Rp 60 juta. Banyak kalangan yang mengaku kaget dan tersentak. Pasalnya, dulu-dulu pria yang suka memelihara jambang itu, sama sekali tak peduli dengan kehidupan sastra di banua. Buru-buru menyuntikkan semangat kepada para sastrawan agar terus berkarya, hadir dalam  Aruh Sastra saja tidak pernah. Padahal dia selalu diundang  untuk memberi spirit, atau minimal mendengarkan curhat para seniman, bagaimana caranya supaya dunia kesenian di daerah ini lebih berdenyut. Sayang,  mantan pengusaha batubara itu kelewat sibuk, tak ada waktu buat mengurusi sastra. Tapi herannya  setiap kali penyelenggaraan turnamen golf atau motor cross Orang No.1 begitu antusias, bukan cuma membuka acara, juga turut meramaikan dengan ikut berlaga.
Kini, tiba-tiba saja ia bikin kejutan. Hadiah seni dengan nilai fantastis siap mengguyur seniman – entah siapa yang beruntung ketiban rejeki nomplok tersebut. Meski banyak yang nyaris tidak percaya, tapi hampir semua media massa lokal memberitakan itu. Tak mungkin Orang No.1 itu berbohong atau main-main. Apalagi sekarang menjelang pemilu, tentu Orang No.1 tidak akan sembarangan mempertaruhkan reputasinya pada khalayak luas.

Semula Ewel Galih agak ragu, namun setelah membaca koran yang dibawa sang isteri, sontak tubuhnya seperti dilambungkan ke angkasa. Ia sungguh tak menyangka, jika namanya didaulat sebagai orang yang akan menerima hadiah dimaksud.  Tentu saja Ewel senang tiada kepalang. Ia langsung bangkit dari kursi, meneriakkan kata ‘yes’ beberapa kali seraya mengepalkan kedua tangannya.
Isterinya tak kalah histeris. Bahkan perempuan yang sudah memberi Ewel dua anak itu sampai melonjak-lonjak saking gembira. Tak peduli gelas kopi terjatuh dari meja karena kesenggol. Ia spontan memeluk sang suami, meluapkan sukacita.
“Akhirnya, ada juga yang menghargai kerja keras pian selama ini.”
Ewel tersenyum lebar. “Iya. Kalau Tuhan sudah berkehendak, maka rejeki tidak  bakal lari ke ….”
Belum lagi Ewel sempat menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba hape di sakunya berbunyi. Ia segera mengangkat. Rupanya dari wartawan Big Post yang janjian ingin  wawancara. Ewel pun menyanggupi.
Sekitar satu jam berselang, wartawan yang ditunggu-tunggu pun datang. Ternyata dia tidak sendirian, melainkan berempat. Rupanya jurnalis sekarang doyan model keroyokan, sehingga tak heran berita yang dimuat pun hampir seragam.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka kemudian melontarkan berbagai pertanyaan. Ewel dengan sigap dan penuh percaya diri meladeni.
“Alhamdulillah, di zaman dimana pemerintah umumnya lebih berorientasi pada pembangun fisik, ternyata Orang No.1 masih memiliki kepedulian terhadap sastra. Mungkin ada yang bilang pemberian hadiah seni itu agak terlambat, tapi menurut saya mendingan daripada tidak sama sekali. Barangkali selama ini lantaran  banyaknya masalah yang harus ditangani  serta skala prioritas lain yang mesti didahulukan, terkesan sastra seperti dianaktirikan. Padahal, bukan begitu. Buktinya, sekarang beliau memberi apresiasi dan penghargaan yang demikian  tinggi,” kata Ewel.
“Tapi, jangan-jangan anugerah seni ini sarat muatan politik,” celetuk wartawan berbaju kaos gambar bekantan produk Himunk.
“Kalau saya pribadi memilih berprasangka baik saja. Tujuan Orang No.1 memberikan hadiah seni kan  murni buat menggairahkan dunia kesusastraan kita. Namun jika ada yang berpendapat lain, itu hak mereka.”
Esoknya, hasil wawancara itu jadi santapan publik. Ewel yakin rekan-rekan sastrawan bakal memberikan respon positif. Bahwa ini akan jadi babak baru, dimana orang-orang wa bil khusus pejabat,  mulai menghargai sastra  dengan layak sebagaimana bidang-bidang lain.
Sejak pagi Ewel menunggu-nunggu ucapan selamat. Tapi ternyata ia telah salah sangka, satu pun tak ada yang menghubunginya -- walaupun itu sekadar untuk basa-basi.
Justru kemudian komentar-komentar miring yang ramai mencuat. Ada yang bilang Ewel sudah kehilangan idealisme, sehingga bisa ‘dibeli’. Hadiah itu memang sepintas lalu merupakan bentuk penghargaan, namun di baliknya tersimpan upaya pembusukan untuk melemahkan perjuangan. Buktinya, tuduh mereka, Ewel sekarang tak lagi kritis. Mulai melempem, seperti mercon kesiram air comberan. Padahal dulu ia terkenal sangat garang menguliti berbagai kebijakan pemerintah yang dianggapnya keblenger.        
Ewel hanya tersenyum menanggapi suara-suara sumbang itu. Ia berusaha untuk tetap tenang. Tidak boleh tersulut emosi. Mungkin teman-temannya ngomong begitu lantaran dipicu oleh rasa cemburu, kenapa bukan mereka yang ketiban hadiah tersebut.  Nanti seiring waktu, pikir Ewel, pernyataan-pernyataan yang bernada menghujat itu akan kempes dengan sendirinya. Tapi, dugaan Ewel meleset. Ternyata semakin hari mereka malah semakin kencang memojokkannya. Ia dicap sudah tidak solider dengan perjuangan kaum seniman.
“Kalau Ewel sampai menerima hadiah itu, maka akan jadi presidium buruk bagi kesenian kita  di masa-masa mendatang. Para pejabat akan gampang mengambil kesimpulan bahwa seniman mudah ditaklukkan dengan uang. Nanti setiap kita melancarkan kritik, dikiranya mau minta perhatian. Padahal kita melakukan koreksi semata untuk memelihara keseimbangan. Sampai kapanpun fungsi kontrol sosial itu  harus terus dilakukan,” kata Sambudal, seorang penyair gaek yang selalu mengenakan topi pet.
“Jika Orang No.1 memang serius ingin memajukan kesusastraan, caranya bukan begitu. Setelah kasih duit, lalu selesai.  Pilihlah yang lebih strategis dan berkesinambungan. Misalnya, agendakan kegiatan sastra secara rutin. Dengan begitu, yakinlah para penyair, cerpenis, novelis, kelompok teater, penggiat seni tradisi, akan termotivasi untuk terus berkarya dan mengasah talenta mereka,” timpal Udin Mahink.
“Jadi, saran kami, ” sambung Masdulhak, “akan lebih terhormat bila Ewel menolak hadiah itu.”
Ewel spontan menghempaskan koran edisi Minggu yang memuat berita itu ke atas meja. Ia jadi urung membuka halaman-halaman lainnya.
“Nah, ketahuan kan motifnya! Mereka bicara begitu karena tidak ikhlas alias iri jika hadiah itu jatuh ke tanganku. Coba mereka yang dapat, pasti langsung nyambar  lebih cepat dari truk,” runtut Ewel.
Sambil beranjak dari teras menuju ruang tengah, ia terus mendumel.
“Memangnya aku goblok apa, menolak rejeki yang di depan mata. Aku memang pantas mendapatkan penghargaan itu, setelah puluhan tahun mendedikasikan diri menggeluti sastra. Hidup prihatin dengan ekonomi pas-pasan, karena profesi sebagai pengarang di negeri ini masih belum menjanjikan. Tapi, aku terus bertahan demi sebuah idealisme. Untungnya lagi istriku tidak menuntut macam-macam di tengah beringasnya serbuan harga-harga sembako yang melangit, sehingga ia tetap setia mendampingi. Coba perempuan lain, barangkali sudah ngacir. Lha, sekarang begitu aku mau menerima hadiah, mereka enak saja menyuruh supaya nolak…”
Dada Ewel turun naik, sesak oleh kata-kata yang tak tahu harus ia semprotkan pada siapa. Dari tadi ia hanya  mondar-mandir sendirian. Andai istrinya tadi tak pergi ke pasar, tentu Ewel bisa curhat.    
Di saat seperti itu, tiba-tiba Ewel mendapat ide. Ah, kenapa aku tidak menyampiri mereka saja, batinnya. Biasanya hari libur ini rekan-rekannya itu suka ngumpul nongkrong di taman budaya. Ia harus mendengar langsung dari mulut mereka, apa memang betul seniman-seniman itu menghendaki agar ia menolak hadiah yang akan diberikan Orang No.1. Siapa tahu mereka bicara begitu karena tak sadar telah digiring oleh awak media. Kadang narasumber sengaja diarahkan untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai selera wartawan, supaya muncul kontroversi. Alhasil, dengan demikian suratkabar yang bersangkutan  jadi laris manis.
Atas dasar pertimbangan itu, Ewel pun berencana ke taman budaya. Ia buru-buru berganti pakaian. Lalu mencomot kunci sepeda motor yang biasa ia gantung di tanduk menjangan yang sudah diawetkan.
Tapi, belum lagi sampai pintu depan Ewel jadi sangsi. Bagaimana kalau rekan-rekannya itu  nanti tidak jujur? Ngomong di depan lain dengan saat di belakang. Kultur kita ini memang cenderung terjebak dalam basa-basi. Sopan santun yang dibuat-buat, padahal di baliknya tersimpan kemunafikan.  
“Jadi, kalau aku ke sana tetap saja tidak akan menemukan kenyataan yang utuh,”  gumamnya.
Merasa bakal sia-sia, Ewel pun menghentikan langkah. Balik, kembali menghenyakkan tubuh ke sofa yang warnanya mulai kusam.
Untuk mengurangi rasa mumet, biasanya ia suka menyetel musik. Begitu pula kali ini, Ewel segera merogoh hape di sakunya. Ia bermaksud mendengarkan lagu-lagu Fatin Shedqia, pemenang ajang X Factor yang belakangan menghipnotisnya. Tapi waktu ia mau mencari menu musik, tanpa sengaja tertekan  daftar kontak. Ketika melihat nama Acut tertera di layar, ingatan Ewel kontan tersedot  pada si bujang lapuk itu.
“Kenapa aku tak minta pendapatnya saja?  Bukankah dia orangnya suka blak-blakan? Walau kadang omongannya menyakitkan itu jauh lebih baik daripada berpura-pura,” batin Ewel.
Dengan mantap ia menekan nomor kontak Acut. Sekian detik kemudian panggilannya diangkat. Suara di seberang sana langsung nyerocos, “Cailaaah…, apa kabar calon penerima hadiah Orang No.1. Kirain tadi sudah tak ingat lagi sama aku.”
Ewel sulit menafsirkan nada bicara Acut, tak tahu apa guyon atau justru menyindir.
“Masak lupa dengan kawan sarantang-saruntung. Tidak mungkinlah,” sahut Ewel. “Makanya aku menghubungimu untuk minta saran, sebaiknya diapain hadiah itu. Habisnya teman-teman di luar sana pada ramai berkicau menyudutkanku. Menurut kamu sendiri bagaimana?”
“Lha, hanya orang goblok alias bego yang tidak bisa menangkap maksud di balik pemberian hadiah tersebut. Ini kan menjelang pemilu, masak kamu …”
Mendengar  dibilang goblok, emosi Ewel kontan naik. Kalau selama ini ia lebih memilih banyak berdiam, bukan berarti dirinya tak bisa tersinggung.  Bagaimanapun ia adalah alumni perguruan tinggi ternama, tidak sudi dikata-katai goblok.
Ewel meradang, dan langsung menghardik. “Hei, kalau  ngomong jangan sembarangan, Cut! Apa kamu pikir dirimu lebih pintar, heh! Coba dengar baik-baik…”
Klik. Tiba-tiba hape dimatikan.
Karuan saja Ewel murka. Mukanya merah, menampung amarah yang siap meledak. Ia tak sempat menumpahkan uneg-unegnya yang terlanjur mengganjal, dan itu jauh lebih menyakitkan.
Ewel tersandar lemas. Ia merasa teman-temannya sudah berkomplot, semena-mena memojokkannya dengan tidak adil.
Apa salahnya orang menerima hadiah seni. Apalagi semua itu didasarkan penilaian yang fair. Selama ini ia tidak pernah menghiba-hiba pada pejabat, kendati hidupnya kerap kejepit. Ia terus  bergulat, menggeluti sastra dengan nafas ngos-ngosan. Beda dengan teman-temannya yang memperlakukan sastra sebagai kerja sampingan, Ewel sepenuhnya menggantungkan nafkah dari  mengarang. Walau sering keteter, tapi ia tak pernah menyerah. Terus bertahan, bersetia pada panggilan jiwa. Sekarang baru terlihat tanda-tanda hidupnya bakal membaik, sudah langsung digencet.
“Apakah seniman itu selalu identik dengan hidup kere? Apakah aku tidak boleh barang sejenak bernafas lega, menikmati hasil jerih payah yang sekian lama kuperjuangkan?” gugat Ewel. “Lagi pula aku mau menerima hadiah tersebut bukan semata untuk memuaskan kepentingan pribadi, juga dilandasi pertimbangan bagi kemaslahatan yang lebih luas. Selama ini banyak orangtua yang menghalangi anaknya bercita-cita jadi seniman, sebab setahu mereka seniman itu akrab dengan kehidupan melarat. Nah, kalau kemudian aku mampu menunjukkan bahwa seniman pun ternyata ada yang hidup mapan, maka patahlah kesimpulan keliru itu. Alhasil, mudah-mudahan di masa  mendatang ketika generasi muda kita ingin jadi seniman, tak lagi dilarang-larang oleh orangtua mereka.”
Jadi, sambung Ewel, keputusannya menerima hadiah Orang No.1 itu juga bagian dari strategi untuk memajukan kesenian. Salah besar kalau kemudian kawan-kawan mencapnya goblok. Seniman pun, lanjutnya, harus punya taktik dan perhitungan jangka panjang. Bukan para politisi saja yang pandai bersiasat.
Atas dasar itulah Ewel berkeputusan tetap akan menerima hadiah seni tersebut. Tak peduli apapun kata orang-orang nanti.
Karena itu, ia perlu mempersiapkan diri. Apalagi malam penganugerahan itu tinggal sebentar. Ewel kemudian merubah penampilannya. Rambut  yang dulu gondrong, kini dipotong rapi. Begitu pula kumis dan jenggot yang dulu dibiarkan tumbuh liar, sekarang dipangkas habis. Wajah Ewel terlihat klimis.      
Sementara menunggu saat-saat yang menentukan itu, Ewel memutuskan untuk tidak keluar rumah. Bukan apa-apa, sekadar demi menghindari perdebatan. Bagaimanapun ia sudah memutuskan, tak perlu lagi ada  silang pendapat.
Dengan demikian, ia pun punya banyak waktu untuk merenung. Menilai segala sesuatu  lebih jernih. Dan, disitulah Ewel mengalami titik balik.
“Aku tidak boleh egois. Apa gunanya menerima hadiah seni itu, kalau kemudian semangat kawan-kawan untuk menghidupkan kegiatan sastra jadi kendor. Aku tidak mau dianggap berkhianat lantaran sudah tergoda memilih kemapanan. Toh, selama ini aku sekeluarga telah terbiasa sengsara. Jadi, tak mengapa kalau hadiah itu kutolak. Andai kuterima, paling banter beberapa bulan duit itu sudah amblas. Biasanya orang kalau ketiban rejeki nomplok mudah lupa diri. Gampang berubah kemaruk. Aku tak mau seperti itu, senang sesaat tapi meninggal cacat berkepanjangan,” bisik Ewel pada dirinya.
“Sebaliknya, dengan penolakan itu boleh jadi pamorku bakal melejit. Orang-orang akan angkat topi, mengacungkan jempol tinggi-tinggi karena aku tak bisa ditaklukkan pakai uang. Apalagi yang bisa dibanggakan seorang seniman, selain tegaknya harga diri?”
Ewel ternyata tak main-main dengan ucapannya. Ketika malam penganugerahan tiba, ia betul-betul tak muncul. Ditunggu-tunggu, tetap saja tiada kelihatan batang hidungnya. Panitia terpaksa mengulur-ngulur waktu, memperpanjang selingan hiburan. Tapi hingga puncak perhelatan, Ewel tak juga kunjung nongol. Justru yang datang seorang utusan. Melalui tetangganya itu, Ewel menyatakan permintaan maaf, bahwa atas dasar pertimbangan tertentu ia tidak bisa menerima hadiah tersebut.
Sesaat kemudian terjadi kehebohan. Suara-suara mencemooh berseliweran, bagai dengung sekawan lebah yang sarangnya baru diobok-obok. Rata-rata para pengunjung menyayangkan sikap Ewel.  Termasuk Sambudal, Udin Mahink, Masdulhak, juga Acut yang berhadir dalam acara itu.
Wajah Orang No.1 tampak tegang. Sepertinya beliau benar-benar tersinggung. Merasa disepelekan.
Benar saja, dalam sambutannya Orang No.1 tegas menyatakan, bahwa pada tahun-tahun depan ia tidak akan lagi memberikan hadiah seni.
Hingga acara usai, masih terdengar grundelan.
Sambil melangkah menuju parkiran, Udin Mahink buru-buru menghubungi Ewel lewat hape. Tanpa banyak cingcong, ia langsung mencecar: “Dasar goblok! Gara-gara kamu menolak hadiah itu, kami tak punya kesempatan untuk mendapatkannya di masa-masa mendatang.”
Ewel yang tak menduga bakal  disemprot seperti itu, sempat terhenyak. Diam terpana. Tapi setelah berhasil menguasai keadaan, ia pun cepat menukas. “Lho, bukankah dulu kalian yang menyarankan agar aku menolak hadiah itu? Sekarang giliran aku mengikuti kemauan kalian, masih  juga dibilang goblok.”
Sungguh Ewel tak habis mengerti. Jadi, siapa yang sebenarnya goblok: ia atau mereka? []


Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah dan Wahyufi, Zian Armie. 2014. Lelaki Dilarang Menangis. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: