Cerpen Aliansyah Jumbawuya: Mak Tua

17.18 Zian 0 Comments

Di usianya yang sudah menginjak kepala tujuh seharusnya Mak Tua lebih bijaksana. Tidak perlu seperti seorang resi yang pandai mengendalikan segala tindak-tanduknya dan mampu membaca tanda-tanda zaman – itu terlalu muluk. Bagiku, cukuplah ia menjaga lidahnya agar orang lain tak tersengat. Namun, ternyata kata-katanya setajam belati. Celakanya lagi, semburan kalimat  menyakitkan itu ditujukan padaku,  kemenakannya sendiri.
Sungguh, aku tak habis mengerti kenapa saudara sulung almarhumah ibuku tersebut bisa berbuat begitu. Padahal, seingatku aku dan keluarga tak pernah berbuat jahat padanya. Bahkan selalu berusaha baik terhadap Mak Tua.
Ketika puluhan tahun lalu  suaminya merantau tiada tentu rimba dan tak kunjung kembali, maka Abah yang mengambil alih sebagian tanggung jawab. Waktu itu ketiga anaknya masih amat belia, belum mengerti mencari nafkah. Abah rela berbagi –  sementara kondisi ekonomi kami sendiri tidak bisa dikatakan berlebih – demi menghidupi mereka. Setiap menjelang lebaran, aku takkan dibelikan baju baru sebelum ketiga sepupuku itu mendapatkan hal yang sama. Jadi, kurang apa keluargaku pada Mak Tua?

Begitu pula saat Mak Tua masuk rumahsakit sekitar tujuh bulan kemarin, tiga malam berturut-turut aku menunggui dan melayaninya. Tatkala beliau butuh darah, akulah orang pertama yang jadi pendonor. Lalu, kenapa kini Mak Tua malah sinis denganku?
Jauh-jauh aku dari Kapuas datang ke tempatnya di Barabai cuma untuk mendengar ocehannya yang ber-wisa. Awalnya sambutannya cukup hangat, menanyakan keadaan keluarga dan pekerjaanku. Lama-kelamaan omongan Mak Tua jadi ngelantur.
“Di antara keluarga besar kita, kamulah satu-satunya yang punya titel sarjana. Mestinya dengan modal pendidikan tinggi itu, kamu hidup sugih. Tapi kenyataannya justru yang paling melarat. Rumah saja masih  ngontrak. Dikira dulu begitu lulus kuliah jadi PNS. Tak tahunya cuma buruh perusahaan,” ucapnya nyelekit.
Mak Tua kemudian membandingkanku dengan anak-anaknya. Katanya, walau mereka hanya tamatan SMA, bahkan ada yang cuma sampai SMP, rata-rata hidup makmur. Masing-masing punya rumah beton dan mobil mewah. Bahkan mereka semua sudah pergi berhaji, dan di antaranya ada yang umroh hampir setiap tahun.
“Lha, kamu… apa yang bisa dibanggakan?” tukasnya merendahkan.
Aku hanya diam mendengar Mak Tua meremehkanku. Bagaimanapun dalam silsilah kerabat sidin adalah orang yang dituakan dan disegani. Meski tersinggung, aku tak mau menyanggah atau mendebatnya.
Dalam hati aku mendumel, apa Mak Tua tidak pernah belajar agama? Bahwa setiap orang itu punya jalan dan rejeki yang berbeda-beda. Masing-masing sudah diatur Tuhan sesuai dengan garis takdirnya. Keliru besar kalau ia telah menilai seorang dari harta.
Rupanya semakin aku diam omongannya semakin menjadi-jadi menyudutkanku. Malah kemudian ia menudingku pemalas sehingga terperangkap dalam kemiskinan.
“Apa guna punya pergelangan tangan besar, kalau tidak dibawa kerja keras. Apa guna punya otak pintar, tapi ternyata kurang inisiatif. Coba contoh sepupu-sepupumu, rejeki mengalir lancar karena mereka memang rajin berusaha. Makanya, sikap pangulir itu jangan terlalu dipelihara!”
Kupikir, Mak Tua sudah kelewatan karena menuduhku pemalas. Ini tidak bisa terus dibiarkan. Tapi lantaran tak mungkin aku melawan Mak Tua, akhirnya kuputuskan permisi. Daripada kupingku merah, lebih baik buru-buru pulang. Jika biasanya aku selalu mencium tangan sidin, kali ini aku sengaja pura-pura lupa.
Setelah sekian waktu membombardir aku dengan rentetan kalimatnya yang mengoyak-ngoyak perasaan, apa Mak Tua masih pantas untuk mendapatkan penghormatan dariku? Tidak!

***

Sejak itu aku bertekad tidak akan menemui Mak Tua lagi. Kecuali nanti jika sudah kaya, baru aku akan menyetor wajah ke hadapannya. Bukan untuk silaturahmi, tapi lebih kepada unjuk gigi.
Sungguh, aku benar-benar terluka dengan ucapannya kemarin. Sebel. Marah. Benci. Kecewa. Muak. Semua perasaan itu bercampur aduk jadi satu. Menggerucuk harga diriku. Puncaknya, aku pun dibuat meradang.
Sebagai upaya pembuktian, aku berhenti menjadi karyawan sebuah perusahaan. Bermodal uang pesangon yang tidak seberapa, aku nekat membuka usaha laundry. Kebetulan di lingkunganku tinggal banyak pegawai negeri. Mereka tak punya banyak waktu untuk mencuci sendiri pakaiannya. Ternyata naluriku membidik peluang cukup mengena. Bisnisku berangsur maju, walaupun beragam kendala kadang menghadang. Tetapi, itu kuanggap biasa. Mana ada orang merintis usaha yang langsung berjalan mulus.
Ucapan Mak Tua yang menyepelekan dan merendahkan, kujadikan motivasi pelecut. Setiap kali aku hendak terpuruk, kuingat kata-kata Mak Tua. Seperti luapan magma, semangatku jadi menggelegak. Rasanya tak ada batu ujian yang tidak bisa kusinggkirkan. Sindiran Mak Tua benar-benar ampuh. Aku seperti orang kerasukan, bekerja siang dan malam. Seolah tak mengenal lelah. Semua itu kulakukan demi menunjukkan, bahwa tudingan Mak Tua tempo dulu terhadapku tidaklah benar. Bahwa aku bukanlah seorang pemalas yang suka membelenggu batang leher.
Tak puas hanya mengelola laundry – yang kemudian kupercayakan sepenuhnya pada istri –  aku pun membuka usaha lain. Merambah ke bidang perumahan. Apalagi kutahu untuk menjadi seorang developer tidak mutlak harus punya modal gede. Asalkan bisa meyakinkan pemilik tanah dan pihak bank, semua bisa disiasati. Ternyata bisnis yang satu ini jauh lebih banyak mendatangkan keuntungan. Aku mampu membeli mobil dan mengajak istri umroh. Kini kehidupanku boleh dibilang berkelimpahan (sekadar menghindari sebutan kaya raya).
Semua itu, harus kuakui,  berkat ‘semprotan’ Mak Tua. Jika dulu dia tidak melontarkan kata-kata yang memicu ketersinggunganku, mungkin sampai sekarang aku hanyalah karyawan rendahan yang gajinya cuma cukup buat bertahan setiap bulan.
Aku mesti berterima kasih pada Mak Tua. Aku tidak boleh lagi membencinya. Ternyata selama ini aku telah salah sangka. Rupanya dengan caranya yang amat jitu, diam-diam Mak Tua sengaja mencambuk aku. Dengan  begitu, segala potensiku yang sekian lama tersembunyi akhirnya terkeluarkan.
Sekarang aku baru sadar, betapa hebatnya Mak Tua. Pantas saja anak-anaknya hidup makmur.  Semua itu karena ada Mak Tua di belakang mereka. Perempuan tangguh yang telah kenyang akan asam garap kehidupan. Perempuan sepuh yang tak segan-segan menyemburkan kalimat berapi hingga bikin panas telinga, tapi di balik itu terkandung tuah yang sangat ampuh.
Sekali lagi, aku ingin berterima kasih padanya. Tapi, sudah terlambat. Tadi pagi aku menerima kabar dari putra sulungnya, bahwa Mak Tua telah menghembuskan nafas terakhirnya. []


Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah dan Wahyufi, Zian Armie. 2014. Lelaki Dilarang Menangis. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: