Cerpen Mia Endriza Y.: Obituari 1000

06.20 Zian 0 Comments

Bau, kucel, lecek, koyak sana-sini, ditambah kerut-merut dan noda-noda tak sedap dipandang mata.  Rasanya, baru kemarin tubuhku masih mengkilat dan bila kau tak hati-hati menjamahkuku, sisi-sisiku nan kesat dan tajam mampu membuat jari-jemarimu tersayat, lecet bahkan berdarah.
Ah, waktu… Tak terasa, hari ke hari, tangan ke tangan, mendekam dalam berbagai kotak kayu yang memiliki aroma tersendiri.  Besok bau ikan segar, nanti bau bakso, lusa bau apek.  Sempat pula merasakan harus terselip, terlipat-lipat di dalam saku baju, saku celana…  Ugh….pengap !  Ternyata nasibku sulit beralih ke tempat yang nyaman.  Dengar-dengar dari pengalaman temanku yang pernah berbaring nikmat, selonjor berselimut hawa pendingin ruangan…begitu nyaman. Ada juga yang pernah berlama-lama dalam dompet-dompet wangi. Hingga aku tak sanggup membayangkan karena semakin terbayang, ternyata semua itu hanya impian.
Ugh ! Kini tubuhku kembali terlipat-lipat setelah sekian lama menggumpal dalam sebuah kantong kain perca bersama teman-teman senasib.  Tiba-tiba… kantong kain pun berguncang, bergoyang…. sebuah tangan mungil merogoh isi kantong ini.  Ups !  Ternyata tangan mungil itu menggenggamku.  Igh ! Tangan ini !! Walaupun mungil, namun dekil, hitam dan penuh bekas ingus mengering.
”Tole sudah ambil uangnya, Bu !” seru anak itu dan diriku ada dalam genggamannya.  Ugh…hancur rasanya tubuhku.

”Tet tot tet tot tet tot !” klakson penjual pentol terdengar nyaring di depan gang.
”Maan !! Beli, Maan !” Tole berteriak-teriak dari dalam rumah lalu berlari keluar  dan…”Brak !” tak sengaja kaki kecilnya menyepak dingklik yang menahan pintu dari luar agar tetap terbuka. Tubuhku hampir saja terlepas dari genggamannya.
”Hati-hati, Le !” tegur Yu Marni – ibu Tole, dengan logat Jawa Timurannya, sembari terus mengucek pakaian yang tengah ia cuci di ruang belakang yang sekaligus menjadi tempat mandi, mencuci baju juga pecah belah.  Aku tadi sempat mengintip dari sela jari jemari Tole bila rumah mereka ternyata tak punya kamar, hanya sekat sederhana antara ruang depan dan ruang tidur, lalu di belakang untuk mandi, buang air besar dan mencuci.
Kini, Tole terus menggenggamku dengan erat.  Terengah-engah ia berlari menyusul penjual pentol dan aku semakin kisut dalam genggamannya.
”Brak !”  Kali ini aku benar-benar terlepas dari genggaman Tole.  Tubuhku terlempar ke atas batako yang disusun rapi sebagai jalan umum di gang sempit itu.  Angin membelai lembut permukaan tubuhku.  Perlahan aku meregangkan tubuhku yang kumal, tergumpal dan agak lembab ini.  Ah, betapa segarnya alam raya.
Sungguh aku tak peduli Tole tengah menangis tersedu.  Aku pun tak peduli ternyata Tole dibawa para tetangga berobat ke bapak mantri.  Yang kutahu, seisi gang tengah memaki Warno, pemuda berandal itu, karena telah menyerempet Tole dengan motor bututnya yang bunyinya berisik dengan knalpot bak lokomotif. Asap knalpot mengepul dengan hebatnya.
Bau, kucel, lecek, penuh noda tak sedap dipandang mata dan terkoyak pada sisi-sisi tubuhku.  Nasib ah nasib…Namun, liukan angin mampu membuatku terbang menari-nari.
”Hup !”  Ah… lagi-lagi aku jatuh dalam genggaman seseorang.  Masih tangan mungil, namun lembut, bersih dan wangi beraroma minyak kayu putih.  Siapa gerangan ?
”Ibu !! Uang seribuan ini Nana temukan di jalan !” Oh, nama gadis kecil itu Nana.  Nana berseru riang sembari melambai-lambaikan tubuhku ke arah seorang wanita muda.  Pasti itu ibunya.
”Masukkan ke celengan masjid saja ya, Na !  Buat jajan, nanti ibu kasih lagi.” Aku melihat roman wajah wanita muda itu.  Ia bergidik dan terlihat jijik melihat tubuhku.  Aku pasrah.
Nana memandangiku.  Mata lugu itu nampak berat hati melepaskanku.  Aku tahu, ia bukannya tak rela memasukkanku ke celengan masjid.
”Lecek, dekil, bau.  Masak duit begini dimasukkan ke celengan masjid ?” gerutu gadis kecil itu. ”Giliran yang jelek-jelek, yang robek-robek disumbangin…Hmmh, aneh !”  Tangan mungilnya mulai meluruskan tubuhku. Ia usap, elus dan merapikan koyakan pada sisi-sisiku.  Dalam diam, dalam hening.  Hanya helaan napasnya yang terdengar.  Lalu ia termenung memandangiku yang telah terbaring rapi di atas meja belajarnya.  Ah, aku merasa seperti bangkai hewan peliharaan kesayangannya, yang harus menelan masalah majikanku bulat-bulat karena kebingungan mencari tempat yang tepat untuk menguburku.
Sisi-sisi badanku tiba-tiba bergantian terangkat.  Dingin.  Lagi-lagi angin mengajakku bermain.  Mengajakku berlari.  Padahal aku baru saja merasakan nikmatnya atmosfer kamar Nana yang begitu rapi dan wangi.
”Hey !!!” Nana berteriak saat angin menyeretku pergi melalui jendela kamarnya.  Mengangkatku…. Terbang. Pergi. Jauh. Tinggi.

[inspired by FTV ’memori duit lecek’-nya Nafiis; thanks for Lee Yong Jay untuk beres** t4 tidur dan ngisi bak mandi-drpd gangguin ana ngetik !!!]

Sumber:
Serambi Ummah
https://alpenprosa.wordpress.com/2008/01/26/obituari-1000/

0 komentar: