Cerpen Mia Endriza Y.: Nina Laluna

06.25 Zian 0 Comments

Jantungku serasa berhenti berdetak. Mataku nanar menatapnya. Tidak ! Tidak mungkin ! Hatiku yang masih berdarah-darah kini serasa kembali koyak. Terkoyak, menggelepar dan terkapar dalam kebisuan. Entahlah… Namun saat melihat wajah itu, aku hampir pingsan. Berulang kali mataku kukucek-kucek, tapi sosok gempal nan manis itu tak juga lenyap dan terus menghantuiku.
Nina ?! Nina ada di sini ? Di Banjarmasin ? Bukankah dua bulan yang lalu ia telah wafat ?! Wafat dengan mengenaskan. Sepulang latihan teater dari kampus ia berkeras untuk pulang sendirian tanpa dijemput padahal aku dan Ian telah menjemputnya sesuai amanat calon mertua. Si gembul yang keras kepala, seperti itulah aku menjulukinya.
Masih kuingat, kedua pipinya yang tembem semakin menggembung saja. Bila pipinya itu kucubit pastilah meletus. Begitulah tampangnya kalau sedang merajuk. Padahal sudah kuliah semester tujuh, lamaran sehidup semati dariku pun telah ia dan kedua orang tuanya terima dan selepas aku wisuda kami siap menikah, namun masih seperti itulah dia. Childish !
“Mas, pokoknya aku mau pulang sendiri !” pintanya dengan keras hati, seperti biasanya bila ia tengah merencanakan sesuatu dan aku tak boleh mengetahuinya. Sosoknya yang gempal makin menggemaskan.

“Nin, ini hampir maghrib. Apa kata ibu kalau kamu pulang sendirian ? Bukannya tadi ibu sudah bilang kalau pulang kau harus kujemput,” tegurku dengan hati-hati. Nina kalau dikerasi biasanya makin keras, dan meruncing bak batu karang di pinggir lautan. Siap merobek lambung perahu-perahu yang lewat di depannya. Bersalah ataupun tidak, akan kena dampratnya. Dasar Nina !
“Duh, Mas, aku ada something. Ada yang mau dibeli sama Ratih, Wisnu dan Wicak. Jadi Mas pulang saja duluan ya…Ibu sih gampang !” tegasnya lagi. Matanya yang berkilat-kilat penuh rahasia nampak memancarkan sesuatu yang membuatku sulit melepaskannya. Tapi, itulah Nina…dia sulit ditegur, sulit dinasehati, kecuali kalau sudah kena batunya.
Aku pun hanya mengedikkan bahu. “Baiklah, hati-hati ya … “
Ia pun mengacungkan jempolnya. “Thanks, Mas.” Senyumnya pun mengembang riang. Ya, itulah pertemuan terakhir kami. Perjalanan rahasia Nina ternyata demi membelikanku MP3 player sebagaimana janjinya bila nilai ujian skripsiku A. Tapi… nyawanya keburu melayang disambar sedan yang melaju kencang saat ia menyebrang jalan menuju mal. Beruntung ketiga temannya selamat namun tidak dengan nyawa Nina
“Ehm, maaf Mas. Maaas ! Maaaaas !!! … Berapa saya harus bayar ?”
Aku hanya melongo … Astaga, tak kusadari ternyata aku asyik memandangi wajah yang ada dihadapanku selama sekian ratus detik. Kedua teman si wajah yang kupandangi hanya bisa cekikikan, dan wajah itu sudahlah bulat bak buah mentega kini memerah bagai tomat matang gara-gara aku yang tanpa sadar telah memandanginya begitu lama.
“Mmmmaaf, Mbak…boks 3 ya ?” tanyaku gugup namun malah terkesan mengulur waktu.
Lagi-lagi kedua teman si wajah yang kupandangi itu berdehem dan menyikut-nyikutnya. Raut wajah mereka terlihat antara tak senang namun hendak menggoda si wajah yang kupandangi itu. Sungguh membuat perutku serasa melonjak-lonjak karena ada sesuatu yang menari-nari di antara juntaian usus, paru dan jantungku. Huh, tak pernah aku segugup ini.
“Iya, Mas,” sahutnya masih dengan santun tanpa nada yang dilebih-lebihkan.
“Ehm..anu, 5000 aja Mbak,” sahutku sembari menatapi kolom billing yang tertera di monitor.
Si wajah yang kupandangi itu pun tanpa basa-basi membayar biaya sewa internetnya lalu menghambur keluar bersama kedua temannya. Setelah yakin mereka lenyap dari pandanganku barulah hatiku tenang. Ah, malu sekali rasanya tadi.

***

Sudah dua bulan Nina wafat. Selepas wisuda, aku pun memutuskan untuk merantau ke Banjarmasin, mengikuti Ian yang berencana membuka warnet di rumahnya. Lebih baik kukepakkan sayap-sayap retakku, melanglang jauh menembus awan lalu mengunyah siang dan malam bersama orang-orang yang baru di tempat-tempat yang baru pula. Dari Surabaya ke Banjarmasin. Melupakan keping-keping sedih dan gembiraku, meninggalkan seluruh hamburan kepingan puzzle masa laluku bersama Nina.
Tapi, mengapa ia hadir lagi ? Walaupun dalam format yang tak begitu sama. Wajah serupa, namun tindak-tanduk dan tutur katanya justru tidak. Ia berjilbab lebar sedangkan Nina berkerudung gaul. Ia terkesan pendiam dan Nina bak petasan. Baiklah, aku tak perlu mencubiti tanganku untuk membuktikan bahwa ini hanya sebuah mimpi atau bukan karena bukti-bukti ketidakserupaan itu telah menyatakan dia bukanlah Nina.
Tapi…bolehkah aku menawarkan kembali keping-keping hatiku, lalu menyusun kepingan kisah dari puzzle yang baru bersamanya ? Bersama si wajah yang mirip Nina itu ? Bolehkah ? Ah …entahlah.
Satu hari, dua hari, tiga hari …. kumulai menghitung hari, menghitungi butir-butir huruf pada keyboard komputer, memburu waktu demi bergegas melongokkan ke dalam boks-boks warnet bila shift jagaku tiba. Siapa tahu … ia ada diboks tiga.

***

Kini telah total satu bulan, tiga minggu, lima hari, sepuluh jam, lima menit, lima detik. Aku masih asyik menekuri bayang-bayang asaku yang nelangsa terkapar dalam kehampaan. Lima menit yang lalu barusan kuhempaskan diriku pada giliran shift jaga berikutnya.
“Ehm…berapa Mas ?”
Oh..suara itu ! Dia … Aku mengenal suara itu ! Dia…Perlahan kudongakkan wajahku. Aku tersenyum sumringah. Sayap-sayap retakku tertatih berkepak riang … Dia ada ! Dia ada dan kini hadir tepat di depanku !
“Anu…eh…” namun bibirku tiba-tiba kelu saat kulihat ada seseorang berada lekat disampingnya. “Emmm… itu siapanya, Mbak ?” tanyaku dengan suara hampir menyerupai desisan angin kemarau. Ya ! Angin kemarau yang menjebakmu dalam pusaran panasnya.
Ternyata ia datang tak sendiri ! Si wajah itu lalu memandangi tubuh tegap yang berdiri disampingnya dengan rasa kagum bercampur sayang.
“Ooooo…iya. Ini suami saya. Dia baru saja kembali dari S2 di Australia,” jelas si wajah itu tanpa merasa berdosa. Berdosa karena telah mengoyak luka hatiku yang belum sepenuhnya pulih. Ia berdosa ? Ah, ini hanyalah rutuk hatiku yang kian hari menjelma menjadi borok. Seenaknya menuduh orang berdosa karena telah mematah-matah hatiku hingga tak berbentuk.
“Kenalkan, Dibyo Aristo. Saya suami Laluna,” sosok tegap itu memperkenalkan dirinya kepadaku dengan ramah. Namun, suaranya menghunus lalu merobek awan kelabu di otakku. Ah..hatiku pun kian menggelepar !!!
Nina…Laluna…Nina … Laluna…. []

Sumber:
https://femaleap.wordpress.com/2008/02/03/nina-laluna/

0 komentar: