Cerpen Hamami Adaby: Kamar Itu Telah Kosong
Kamar dekat ruang kost itu telah kosong. Dimana aku diam sudahlah pasti di jalan Kembang Bakung merah no 10C tidak jauh dari surau yang dibangun oleh paman Hamberan. Menginap tiap waktu untuk mententramkan diri dan hati. Senantiasa berdoa dalam rasa yang tak pernah surut. Tapi Tuhan tak pernah tahu tentang hal ikhwal.Rocker juga manusia, novelis juga manusia yang tak pernah luput dari perasaan sedih. Kucingku saja kulihat pernah mengadukan nasibnya dalam bahasa yang jarang dimengerrtyi manusia. Risaunya dalam bahasa isyarat tentang kepiluan hatinya, ketika ditinggalkan kekasihnya sesama satwa.
Senja itu sebuah panorama merah jingga menggores langit didalam gelombang cahaya matahari yang bakal terbenam sebentar lagi. Suasa sangat mengagumkan bayang-bayang indah menghiasi lengkung langit yang sebentar lagi meniduri malam. Hening suasa dalam tafakkur mengagungkan kalimah Tuhan. Segala pinta yang terlepas dari putik doa, adalah nikmat, anugrah dan hikmah yang tak ternilai bahasanya.
Doa yang mengawang diantara lapisan-lapisan langit tak semudah mmembidik di titik tengah bulatan sasaran anak panah. Disi ada jurang, ada hutan belantara dan rimbun daun yang menghalang pandang. Tak tembus pandang, walau masih sejengkal berlapiskan salju batu kapur tulang yang ngilu.
"Bagaimana pun Indra aku tak berkabar tentang duka," ujarku menata kata buat sahabat.
"Jangan terlalu sensitif Kahfi," seloroh Indra sambil menepuk bahu.
"Tak juga, emosiku stabil, otakku masih standar dan hatiku masih self control, Indra."
"Kudengar anda jatuh sakit, galau dan tak fokus kata," tuduh Indra.
"Itu sangat berlebihan memvonis diriku. Aku tak-apa-apa." balas Kahfi tenang.
Indra Setyawan yang kukenal sejak beberapa tahun lalu di Tanjung sangat membantu menetralisir keadaanku. Jarang ada teman seperti Indra yang kutemui selama ini. Ia termasuk prihatin, solider terhadapku. Aku senang menemukan seorang teman yang sangat cerdas, membaca situasi diriku.
"Kalau begitu ucapanmu Kahfi, aku yakin kau pandai mmembagi permasalahan," ucapnya lagi.
Ucapan Indra Setyawan itu sangat menenangkan Kahfi. Betapa tidak! Coba kita bayangkan sejenak saja sambil menarik nafas hu Allah. Keluarkan mari mata dan hati kita pandangkan kesekeliling alam. Mahasuci Allah telah menciptakan segala isi yang ada di alam mayapada. Begitu lengkap. Dilaut ikan sampai pada ikan lumba-lumbasang penolong. Ubur-ubur si penebar perekat maut beracun. Di darat hewan-hewan buas harimau, singa sampai semut sekecil tuma, layak hidupnya dan sampai pada akhirnya berkembang setelah mati beranak pinak tak putus-putusnya. Pohon-pohon besar, batang kayu gelondongan yang di sinsaw, di tebang bukan anak negeri. Berapa milyard kubik kayu sudah musnah ditelan gergaji baja yang merobohkan anakan sekeliling. Tebang pilih sudah tak di hirau lagi, sikat habis hingga hutan ini longor seperti kepala gundul.
Indra Setyawan duduk di bawah sebatang pohon Kesturi, menikmati kibasan angin manja dibilangan kampung Wayau kecamatan Tanjung. Dalam hatinya berpendar rasa jenuh melihat lakon beberapa anak negeri yang hanya pinter ngomong. Orator dagelan yang kadang ditertawakan podium. Hanya bisa ngomong sana-sini namun hasilnya nol besar. Bahasanya sekedar semusim tanam padi tumpang sari, musim ketam rame-rame menabur janji dengan nyanyian kemakmuran. Yang makmur kantong siapa, yang makmur kantong bapa berdasi. Yang makmur yang bisa ngibulin rakyat yang tak tahu apa-apa. Dosa yang berkarat, lidah yang kualat gonjang ganjing tebar rindu rayu tentang kecap nomer satu. Tak ada kecap manis atau asin nomer dua, pasti nomer satu. Jual kecap jual basa-basi kata yang terlanjur mau menanam keserakahan melunta di air keruh. Berapa triliun duit rakyat terkuras oleh permainan sandiwara, korupsi, mark'up. Adakah yang peduli hal ini? Boleh jadi ada, tapi terkalahkan dengan kompolotan yang berbasis materialis alias mengumpul duit. Sama yang diatas membiarkan dibawah. Karena merasa tahu dia telah duluan bersalah, dibawah mengikut jejak langkah, gila amat. Semua tikus-tikus sudah berubah bulu menyerbu putih, si hitam ribuan menggigit dengan gigi-giginya yang tajam, Indra Setyawan diam sambil melemparkan batu sebesar buah Kesturi ke sarang penyengat Tabuan, berpencar menyerang bau manusia yang melemparnya. Terbirit Indra lari melewati jembatan, terengah-engah sendiri. Nafasnya Senin Kemis dan tergagap ditepi-tepi springbad, rupanya Indra sedang terbangun mimpi. Lalu Indra bersujud syukur dan sepantasnya kita harusnya demikian. Seperti ada suara yang menyapa Indra. Perlahan menoleh kiri kanan tak ada orang di dekatnya. Tapi suara itu jelas didengarnya.
"Indra, apa maknawi dari mimpimu itu In?" suara itu menyergap telinganya. Indra tak menjawab sebatik pun. Bahkan diam merasakan dingin tubuhnya sambil membaca ayat Kursi. Tengkuknya mulai agak reda tak menyeringai lagi. Dalam hatinya ia berdoa meminta kekuatan agar kegelisahan dari mimpi itu tak menghunja jadi petaka. Dan dalam hitungan detik kegelisahan yang membayangi hatinya berubah jadi keyakinan, bahwa ini teguran secara tak langsung akan pejabat-pejabat banua, pemimpin-pemimpin yang menuntun rakyat bukan menyengsarakannya. Jam menunjukkan pukull 3, terdengar kentongan lonceng 3 kali. Indra langsung mengambil air wudhu.
Banjarbaru, 23 Mei 12
(bersambung)
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-hamami-adaby-kamar-itu-telah-kosong/444668382229977
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/2-sambungan-cerpen-kamar-itu-telah-kosong-hamami-adaby/447214228642059
0 komentar: