Cerpen Ririn Handayani: Lantai 30
Aku sudah lelah mendengar suara Dion yang selalu saja mengajakku untuk bermain. Pernah suatu kali aku mengikuti Dion yang membawa sebuah gitar yang menempel di belakang punggungnya seperti seorang gitaris band. Dia mengajakku untuk memainkan alat musik tersebut. Aku yang memang tidak memiliki teman bermain, mengikutinya tanpa curiga. Kami pun asyik bernyanyi; suara Dion sangat bagus. Aku iri mendengar suaranya. Keahlianku bermain gitar membikin suasana bermain musik kami begitu menyenangkan. Kami duduk di atas ketinggian gedung lantai 30 sambil menjuntaikan kaki.Dion ternyata satu sekolah denganku. Kami duduk satu bangku. Entah mengapa hal ini bisa kebetulan terjadi. Alhasil kami sering bersama. Sementara muka-muka sirik dari teman-temanku menatap ke arahku dan Dion kini mulai membuatku khawatir. Keakraban kami menjadi pemicu perkelahian sebab memperebutkan Dion untuk masuk dalam personel band sekolah.
Dion adalah siswa yang cerdas dan pandai dalam bermain musik—selain memiliki suara yang bagus. Dion selalu saja mengikutiku tanpa pernah mau bergabung dengan teman-temanku yang lain. Aku dan Dion berinisiatif mendirikan band yang hanya terdiri dari dua orang saja, aku dan dia tentunya. Keputusan ini akhirnya kami ambil dan Dion menerimanya dengan senang hati—tergambar dari ekspresi wajahnya. Kami pun selalu latihan berdua.
***
Entah sejak kapan ibu berdiri jauh di depanku. Aku dan Dion duduk-duduk santai di belakang rumahku yang asri dengan ditumbuhi beberapa pepohonan rindang dilengkapi juga pondok kecil untuk bersantai. Di situlah aku dan Dion bertemu untuk pertama kalinya. Ibu memerhatikan kami sambil terbengong-bengong. Barangkali dia menikmati petikan gitar yang kumainkan dan alunan suara Dion yang begitu mendayu-dayu. Atau Ibu memahami bahwa sebenarnya anaknya berbakat menjadi musisi.
Sampai akhirnya aku menghentikan permainanku dan berjalan ke arah ibu. Ibu terkejut ketika aku menepuk pundaknya. Aku tertawa kecil melihat ekspresi ibu.
“Kamu sedang apa, Rikky?” tanya ibu kepadaku. Aku heran dibuatnya.
“Bukankah Ibu tadi melihatku bermain gitar bersama Dion?”, tanyaku sambil terkikik. “Suara Dion sangat bagus kan, Bu?” ekspresi wajah ibu masih terlihat bingung. Aku tidak menggubrisnya. Kemudian aku pun berlalu menuju ruang makan di mana Ayah sudah menunggu kami untuk makan malam bersama.
Setelah makan malam, aku langsung masuk kamar dan mulai membaca buku pelajaran untuk persiapan Ulangan Akhir Semester yang semakin dekat. Ketika lelah merayapi sekujur tubuhku, hingga mataku merem-melek dibuatnya, aku memutuskan untuk berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan tubuhku dengan meninggalkan tumpukan buku yang masih kubiarkan terbuka.
Aku terjaga dan menyadari bahwa aku terlelap beberapa jam lamanya. Kulihat jam dinding menunjukkan angka dua belas lewat sedikit. Saat aku hendak melanjutkan membaca buku pelajaran yang kutinggalkan terlelap tadi, terdengar sayup-sayup suara yang berasal dari kamar orangtuaku; membicarakan sesuatu entah apa itu. Kemudian tak lama, terdengar suara Ibu menangis sesenggukan. Aku pun diam. Bingung.
***
Keesokan harinya, Ibu menanyakan tentang teman yang selama ini bermain bersamaku. Tak pernah ibu seserius ini menanyakan pergaulanku. “Ibu, biarkan Rikky makan dulu!”, Ayah rupanya tidak konsentrasi lagi membaca koran yang dipegangnya. “Rikky, nanti sepulang sekolah kita ke tempat teman Ayah.” Aku mengiyakan.
Setelah makan, aku bersiap berangkat ke sekolah. Ternyata Dion sudah berdiri di depan pagar rumahku. Dia tersenyum ke arahku.
Di sekolah. Kini fokusku tidak lagi hanya terpaku kepada Dion. Ada seorang gadis yang akhir-akhir ini menjadi perhatian; siswi baru di sekolahku. Namanya Ratih, gadis cantik nan pintar serta ramah yang pernah kukenal. Pertama kalinya kami bertatap muka langsung yaitu ketika kami berpapasan dan secara tak sengaja menambrak Dion. “Maaf, ya?” kataku, “ Kami berdua telalu asyik bercanda sampai tidak menyadari ada orang lain yang lewat” jelasku kepadanya. Ratih memandangku sambil tersenyum dan melihat sekitar.
Setelah kejadian itu, kami mulai akrab. Ratih tampaknya senang bila berbicara denganku sampai-sampai aku melupakan Dion. Hal ini menjadi tak terkendali, Dion sangat tidak suka pada Ratih. Katanya aku mulai melupakan persahabatan kami sebab aku membagi waktu bermain dengan gadis itu. Jadilah, aku diam-diam bertemu dengan Ratih. Namun entah bagaimana selalu saja rencana ini diketahui oleh Dion. Padahal kami membuat janji bukan pada saat jam sekolah, tetapi di luar sekolah.
Suatu hari Dion pernah menghampiriku saat aku sedang berada di rumah Ratih.“Ratih, apakah kamu memberi tahu Dion di mana alamat rumahmu?” Ratih tersenyum simpul, “Tidak mungkin, Rikky. Dion hanya mengenalmu. Aku tidak pernah kau kenalkan dengannya”, aku pun terkejut. Dion duduk tepat berseberangan dengan Ratih saat di kursi tamu. “Kenapa kamu ke sini, bukankah kita mempunyai jadwal latihan Band, sebentar lagi ada lomba antar sekolah” Dion cemberut dan menatap Ratih tajam, aku menjadi serba salah. Tetapi Ratih terlihat sabar saat mendengarkan penuturan Dion tadi. “Sebentar lagi aku akan pulang, bagaimana kamu tahu rumah Ratih?” tanyaku bingung. Dion diam saja. Pembantu Ratih hanya menyajikan dua gelas minuman dan cemilan kecil. Tiba-tiba suasana menjadi hening.
***
Akubaru saja pulang dari rumah Ratih. Ketika aku ingin mengucapkan salam, di dalam rumah terdengar lagi isakan tangis. Aku mengurungkan niat mengucap salam dan masuk rumah secara diam-diam. Aku penasaran sebenarnya ada apa dengan Ibu? Kenapa ia akhir-akhir ini sering menangis di belakangku? Aku menguping orangtuaku. Terdengar Ibu menyebut bahwa aku sedang sakit. Sakit? Aku merasa bahwa diriku sangat sehat dan bugar. Biar bagaimana pun, aku tidak begitu memahami apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Aku pun diam saja di depan pintu.
Di luar rumah Dion memanggil-manggilku, langsung saja aku hampiri Dion dan menyuruhnya diam. Aku takut Ayah dan Ibu tahu kalau aku sudah pulang dan mendengar pembicaraan mereka. Dion mengajakku bermain di atas gedung tinggi itu lagi.
Selama bermain gitar bersama Dion, pikiranku melayang. Teringat pembicaraan kedua orangtuaku. Sebenarnya siapa yang sakit? Penyakit apakah itu? Mengapa mereka tidak memberitahuku tentang situasi di rumah? Aku mulai bingung. Dion tersenyum meski beberapa kali aku salah memetik gitar. Pada hari itu kami hanya bermain sebentar. Padahal, biasanya kami menghabiskan waktu sampai pukul delapan malam.
***
Sepulang bermain. Ayah sudah duduk di ruang tamu. Dia mengajakku untuk berbincang. Anehnya, sepanjang pembicaraan Ayah selalu menanyakan tentang Dion. Ayah bercerita bahwa temannya yang bernama Randu, yang kami kunjungi kemarin, menitip salam untuk Dion. Memang aku pernah menceritakan tentang Dion kepada Om Randu saat aku bersama Ayah berkunjung ke rumahnya.
Aku semakin bingung.
Setelah berbicara dengan Ayah, aku pergi ke kamar dan bertanya-tanya: ada apa gerangan? Tiba-tiba Dion muncul di kamarku seraya tersenyum simpul. Dia mengajakku bermain gitar lagi. Aku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. “ Bagaimana kamu bisa masuk ke rumahku, Dion?” tanyaku heran. “Aku masuk lewat pintu, tentu saja.” Mungkin Ibu membukakan pintu untuk Dion, pikirku.
Kami pun bermain gitar di pondok kecil belakang rumahku. Di tengah asyiknya memetik gitar, Ibu datang dan langsung memelukku erat lantas menangis. Saat itu aku kelimpungan. Kucari-cari Dion, namun ia tak ada. Dion pasti pulang dan tidak menyempatkan pamit. Tangis ibu pecah semakin menjadi-jadi. Kucoba menenangkan Ibu dengan menjelaskan bahwa aku duduk di sini bermain gitar bersama Dion. Ibu tetap menangis. Kemudian aku membawa masuk Ibu ke dalam rumah. Tangisan Ibu membangunkan Ayah dan langsung memapah Ibu masuk kamar.
***
Keesokan harinya di sekolah.
“Kenapa dengan wajahmu, Rikky?” sapa Ratih dengan senyum khasnya. Ketika bersama Ratih aku selalu bisa menceritakan semua hal dengan bebas, termasuk kejadian di rumahku tadi malam. Ratih tersenyum kemudian berkata bahwa aku mengalami halusinasi. Menurut Ratih, ketika ia berjumpa denganku untuk pertama kali, ia hanya melihatku sendiri. Aku menjadi semakin bingung. Kepalaku terasa sakit. Ratih membawaku ke UKS. Aku pun disarankan pulang lebih cepat oleh perawat sekolah karena tidak bisa melanjutkan pelajaran untuk hari ini.
Di tengah perjalanan aku melihat Dion, aku mengikutinya. Kami pun bermain gitar di tempat yang sama, dari atas gedung lantai 30. Kaki kami menjuntai bebas dan angin bertiup agak kencang. Pikiranku makin kalut, rasanya aku tidak ingin pulang. Hanya Dion yang tak membuatku bingung. Semua orang selalu saja membuat kepalaku sakit dan membicarakan sesuatu yang tak pernah aku mengerti. Dion berhenti bernyanyi. Dia berdiri dan merentangkan tangan sambil menutup mata dan menghirup udara dengan tenang. Dion mengajakku melakukan hal yang sama. Setelah itu tubuhku ambruk dan tidak merasakan apa-apa lagi.
Sumber:
https://banjarmazine.com/2015/05/21/cerpen-lantai-30/
0 komentar: