Cerpen Radhiati: Di Antara Dua Hati

06.38 Zian 0 Comments

Aku adalah  siswi  di  MAN 2 Banjarmasin.  Aku  aktif di beberapa organisasi, tetapi akhir-akhir ini aku kurang aktif karena  baru saja menyelesaikan UN. Oya, abiku tadi menghubungiku, beliau menanyakan rencanaku setelah lulus sekolah.
“Nanti saja ya Abi, ana masih bingung,” jawabku
“Beritahu abi, kalau kamu sudah dapat memutuskan, apa yang terbaik untukmu,” kata abi dari seberang.
“Ya, Bi, nanti  kita bicarakan lagi, sebelumnya ana minta maaf ya Abi, ana sudah mengantuk nih,” sahutku.
“Ya sudah, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Ketika aku mau memejamkan mata, hp-ku berdering, satu pesan masuk, segera kubuka pesan itu.
“Assalamu’alaikum, apakah ukhti besok bisa datang di tempat biasa, karena ada sesuatu yang ingin ana bicarakan.”
“Insya Allah besok ana akan ke sana,” balasku.

Aku tertidur setelah membalas pesan itu. Sekitar jam dua malam aku terbangun. Seperti biasa, aku segera melaksanakan salat tahajud,  aku bermunajat  kepada Allah.
Ya Allah, di malam yang sepi ini, di saat semua orang tertidur lelap, hamba-Mu yang sangat hina dan banyak dosa ini, bersimpuh memohon ampunan-Mu, Ya Allah, tunjukkan  hamba petunjuk-Mu, semoga hamba bisa menerima semua cobaan dengan ikhlas, dan menjadi orang  yang sabar.
Lega hatiku setelah berdoa, aku  segera menuju tempat tidur kembali.

***

Pagi hari yang cerah, kusambut dengan gembira,  semoga hari ini menjadi hari bahagia,  melebihi  hari-hari sebelumnya. Namun, aku masih was-was karena aku belum tahu hasil  UN, apakah aku lulus atau  tidak. Ya, tinggal  seminggu lagi  pengumuman kelulusan  akan tiba. Sementara menunggu hasil kelulusan kami tetap pergi ke sekolah walaupun tidak belajar. Ya, sekadar  memanfaatkan waktu untuk bertemu guru-guru serta teman-teman.
Ketika  aku pulang, aku ditabrak oleh seseorang. Buku-buku yang kupinjam di perpusatakaan pun terjatuh berserakan. Ia segera membantuku membereskan buku-bukuku.
“Maaf, ya, aku tidak sengaja,”  sesalnya.
“Ya, gak apa-apa, makasih ya,” ucapku. Setelah itu,  ketika aku mau berjalan, dia mencegahku, dan berkata, “Bolehkah kita berkenalan?”
Aku pun mengangguk.
“Namaku Hairin, kalau kamu?”
“Nama ana Azizah.”
“Oh..., kamu sekolah dimana ?”
“Ana sekolah di Man 2 Banjarmasin, kalau Akhi?”
“Aku kuliah di IAIN sudah semester 3 jurusan PAI, maaf ... boleh aku minta nomor hp-mu?”
“Boleh, ini ana catatkan dulu ya.“
Setelah selelai mencatat no hp-ku, langsung kuserahkan padanya.
“Terima kasih.”
“Sama sama.”
“Maaf ... Akhi, ana duluan, assalamu`alaikum.”
“Alaikum salam.”
Aku segera pergi menuju  taman yang sering aku kunjungi bersama Ozie. Setibanya di lokasi, aku langsung  duduk  dan menyandarkan  pungungku di  bangku panjang  yang tertancap kokoh di bawah pohon beringin. Biasanya kami selalu duduk berdua di sini. Kesedihan dan kegembiraan kami curahkan di tempat ini.  Aku tak tahu apa yang menyebabkan dia memintaku ke sini.  Nampaknya ada sesuatu yang serius yang ingin ia sampaikan.  Tapi, mengapa ia belum datang? Atau  ia sudah pergi  lantaran aku terlambat  gara-gara Hairin tadi ya?
Suara gemerisik terdengar di belakangku, menyentakku dari lamunan, aku segera menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa, mungkin hanya hembusan angin, pikirku. Namun, tak sengaja tanganku menyentuh sesuatu yang ada di sampingku.
“Oh...bunga, pasti  Akhi Ozie yang meletakkannya tadi, tapi mana orangnya?” batinku, sambil  pandanganku mengitari  sekelilingku.
“Baaa ...” Ozie  muncul  dari balik bangku. Terus melompat, langsung duduk di sampingku.
Kontan saja aku terkejut, “Ah ...  Akhi Ozie, bercanda.”  rajukku.
“Maaf, sudah buat Ukhti terkejut.”
“Tidak apa-apa. O ya, ada apa menyuruh ana ke sini ?” tanyaku sambil mencium bunga yang ada di genggamanku.
“Ada hal pentiiing banget yang ingin ana bicarakan ama Ukhti.”
“Apa sih?”
“A ... ana ingin hubungan kita ini berlanjut ke jenjang yang lebih serius.”
“Maksud Akhi?”
“Ana ingin meminang Ukhti. Gimana?“
Aku tidak langsung menjawab  pertanyaannya, aku menunduk, sejurus kemudian aku  balik bertanya, “Akhi serius?”
“Ya, ana serius,”
“Tapi ...  apa tidak terburu-buru?”
“Bukan masalah terburu atau tidak, masalahnya ana ingin hubungan kita tidak terlalu jauh melanggar syariat,” jelasnya.
“Kalau memang itu yang Akhi khawatirkan, silakan saja menemui  abi.”
“Ja ... jadi Ukhti bersedia?” tanya Ozie bersemangat.
Aku mengangguk.
“Alhamdulillah, setelah Ukhti lulus nanti, secepatnya ana menemui abimu, gimana?”
“Itu terserah Akhi saja,” sahutku.
“Baiklah, kalau begitu ana pergi dulu, soalnya siang ini ada jam kuliah, assalamu`alaikum.”
“Alaikum salam.”
Aku  antar kepergian Ozie dengan pandanganku. Aku membatin, apakah aku benar-benar mencintainya, apakah keputusanku menerimanya  sudah tepat, apa tidak terlalu  terburu-buru menikah dalam usia muda. Ah, aku teringat apa yang Ozie katakan, bukan masalah terburu atau tidak, tapi keinginannya melamar dan menikahiku dimaksudkan agar tidak terlalu jauh melanggar syariat.  Kata-katanya itu yang  membuatku tidak sanggup menolak  permintaannya. Setelah Ozie berlalu, aku segera pergi dari tempat itu, dan menuju kostku,  sesampai di kost, aku langsung menuju kamar dan berbaring, tak lama, hp-ku berdering, dan segera kubuka pesan itu.
“Ini aku Hairin, aku minta maaf sekali lagi, karena telah menjatuhkan buku-buku kamu. Jujur,  setelah aku melihat kamu tadi, aku terus kepikiran, dan entah kenapa, hati ini berbunga-bunga, apakah ini yang dinamakan  cinta pada pandangan pertama?”
Aku pun segera membalas pesan itu.
“Kejadian tadi siang  sudah ana maafkan. Tentang Akhi jatuh cinta, maaf ana tidak bisa menjawab.”
Aku teringat pembicaraan bersama Ozie, dan aku pun mengirim pesan kepada abi.
“Abi, ada seseorang yang ana cintai, dan dia pun mencintai ana, dia ingin meminang ana, bagaimana menurut Abi?”
“Oya,syukur kalau begitu, katakan sama dia datanglah ke rumah kapan saja dia mau, kalau dia bersungguh sungguh,” balas abi.
“Iya, nanti ana beritahu dia.”
Aku langsung mengirim pesan kepada Ozie.
“Tadi  ana menghubungi abi lewas SMS, beliau  bersedia saja menerima kedatangan Akhi Ozie, kapan saja Sampeyan mau datang.”
“Alhandulillah, Ana insya Allah datang bersama orang tua ana.”
“Tetapi, apakah Akhi sudah mengetahui kalau kedua orang tua ana bercerai,” balasku.
“Astaghfirullah, kenapa Ukhti baru bilang sekarang.”
“Ana tidak ingin Akhi kepikiran. Tetapi, sekarang ana tidak bisa menyembunyikan lagi, karena Akhi dan keluarga Akhi harus mengetahui keadaan keluarga ana yang sebenarnya.”
“Iya, nanti ana bilang keadaan Ukhti, ana sekarang ada kesibukan, nanti kita bicarakan lagi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”

***

“Mi, kini Ozie telah menemukan calon istri, ini fotonya,”  kata Ozie sambil menyerahkan fotoku pada umminya.
“Namanya siapa? Alamatnya dimana? Bagaimna keadaan keluarganya?” kata Ummi Ozie.
“Astaghfirullah..., Ummi nanyanya banyak sekali. Ozie akan jawab, nama dia Azizah, ia tinggal di kost dekat Man 2 Banjarmasin, orang tuanya sudah lama bercerai,  tuk ngiirit biaya ia kost di  asrama sekolah.” kata Ozie.
“Apa? tadi kamu bilang  orang tuanya bercerai?” sentak Ibu Ozie.
Ozie mengangguk.
“Ummi tak mau keluarganya seperti itu, nanti keturunanmu  juga seperti itu.” kata Ibu Ozie.
“Tapi, itu bukan keturunan, itu jodohnya yang sudah habis,” bantah Ozie.
“Kamu jangan membantah, kalau kata ummi tidak terima, ya tidak terima, ummi  ingin kamu menikah dengan keluarga yang utuh dan yang baik.”
Ozie pun tertunduk dengan berlinang air mata, tak lama kemudian dia mengambil hp dari kantong bajunya, segera dia mengetik pesan untuk dikirim ke aku.
“Bisakah kita bertemu sekarang di tempat biasa?”
“Bisa,” balasku singkat.
Sesampainya ana di sana, dia sudah ada.
“Maafkan ana yang tidak bisa mempertahankan dan memperjuangkan cinta kita, karena orang tua ana tidak menyetujui hubungan kita ini.”
“Baiklah, kalau memang seperti itu, ana rela  karena restu orang tua lebih penting.”
Tak lama kemudian, Hairin lewat di depan kami.
“Hairin!” kataku dan Ozie serempak.
“Hai,”  sahut  Hairin sambil melanjutkan perjalanannya.
“Ke sini dulu, kenapa Akhi tampak terburu-buru?” seru Ozie.
“Ah... kalian, aku takut mengganggu kalian.”
“Kami tidak merasa terganggu, Akhi juga mengenal Azizah kan?” tanya Ozie
“Iya, memang aku mengenalnya,” ungkap Hairin agak gugup.
“Begini Hairin... sebagai sahabat, aku mohon kepadamu nikahilah Azizah,” pinta Ozie pada Hairin.
“Maksudmu?” tanya Hairin bingung.
“Ya, aku minta  kamu menikahinya,” lanjut Ozie.
“Bukankah kau ingin melamarnya, seperti yang kau ceritakan kemaren kepadaku, lalu mengapa aku yang kau suruh menikahinya? Ada-ada saja kamu Zie, bercandanya, jangan kelewatan,” sungut Hairin.
“Hairin, aku serius, bukankah kamu juga mencintai Azizah?”
“Tapi, kepana Zie?”
“Begini Hairin ... ummiku tidak setuju kalau kami menikah, gimana Hairin, kau bersedia?”
“Masalahnya  Zie... apakah Azizahnya mau?” sahut Hairin.
“Gimana Zah, kamu mau kan?” tanya Ozie kepadaku.
“Maaf, ana pikir-pikir dulu,  nanti ana beritahu ke Akhi Hairin bila ana sudah siap,” sergahku.
Akhirnya kami bubar. Sesampainya  di kost,  aku segera istirahat. Benar-benar pilihan yang cukup berat buatku, berada diantara dua cinta.

***

Tiga hari setelah kelulusanku, abi menelponku, katanya,
“Sore tadi ada yang datang ke rumah, seorang pemuda  bersama orang tuanya, namanya Hairin, dia ingin menikah denganmu, apa itu lelaki yang kamu maksudkan?  Abi terserah kepada Azizah, kata abi kepadanya. Abi bilang pada mereka,  lusa agar mereka datang lagi setelah abi  minta persetujuanmu,” suara ayah di seberang sana.
”Hairin itu bukan laki-laki yang ana ceritakan, yang ingin melamar ana dulu itu Ozie. Ozie tidak bisa melamar ana, karena orang tuanya tidak menyetujui, ana terserah kepada Abi saja, apakah dia diterima atau tidak?”
“Ya sudah, kalau begitu, abi menyetujuinya, lusa akan abi bilang pada mereka jika mereka datang lagi, assalamu`alaikum,” pungkas abi.
“Alaikum salam.”
Hari yang ditunggu pun tiba. Aku sudah berhias dan berpakaian, menunggu calon suamiku yang masih dalam perjalanan. Aku langsung menuju ke sebuah ruangan,  di sana sudah banyak tamu yang datang, tetapi umi tidak terlihat. Tak terasa kristal bening sudah menetis di  pipiku. Aku bergumam, “Mengapa di hari  bahagia ini, umi tidak datang?”
Beberapa menit kemudian, hp-ku berdering, aku segera  menghapus  air mataku, kemudian mengangkat telpon.
“Assalamu’alaikum!”
“wa`alaikumsalam, maaf, ini dengan siapa?”
“Aku adiknya Hairin, tadi Hairin mengendarai kendaraan sendiri untuk menuju ke sana, dan di  perjalanan dia ditabrak mobil, kepalanya pecah, dan akhirnya meninggal  di tempat kejadian.”
Aku sangat  terkejut mendengar berita itu. Secara tidak sengaja, telepon kuputuskan. Aku lemas,  akhirnya aku terduduk sambil  sesunggukan.  Abi  yang melihat keadaanku  segera menghampiriku, dan  bertanya  dengan  khawatir, “Apa yang terjadi Zah?”
“Hairin meninggal  Bi ....”
“Innalillahi wainna ilaihiraaji’un,” sentak abi. “Kenapa dia bisa meninggal?” lanjut abi seolah tak percaya.
“Dia kecelakaan, saat menuju ke sini Bi,” jelasku sambil sesunggukan.
“Kamu bersabar, ya, dia telah diambil sama Allah, ikhlaskan semuanya, ini  sudah takdir Allah,” sambung abi menenangkanku.
“Ya, Bi ...
“Bagaimana kalau kamu segera ganti baju, kita akan melayat, sementara itu abi akan memberitahukan kepada  para tamu.”  kata abi.
Tak lama, setelah aku ganti baju, dan tamu-tamu pulang, aku  pergi melayat bersama abi, sesampai di sana orang-orang sudah di pemakaman, maka kami pun pergi ke pemakaman. Setelah proses pemakaman,  dan  orang orang   pulang  ke rumah masing-masing,  aku masih di sana.
“Hairin ... aku tak menyangka  hubungan kita berakhir  begini, tapi aku sadar, jodoh, maut, semuanya  Allah yang mengatur,  aku ikhlas ... , semoga  kamu  tenang  di alam sana.”
“Zah ... anakku, sudahlah ...  mari kita pulang!” ajak abi.
Kuseka air mataku dan kusambut uluran tangan abi.

***
 
Beberapa bulan kemudian, Ozie datang meminangku, Ibu Ozie sudah sadar atas  sikapnya selama ini. Abi dan aku menerima pinangan itu. Beberapa hari kemudian, kami pun menikah, dan hidup bahagia.


Sumber:
https://www.facebook.com/notes/haderi-ideris/cerpen-diantara-dua-hati/10150947860458813

0 komentar: