Cerpen M. Fadhilah Arsyad: Kejutan untuk Mas Pram
“Permisi Bu,” ucap seorang pria di depan pintu. Dari seragam yang ia pakai dapat dipastikan ia adalah tukang pos. Aku bergegas menghampirinya.“Benar ini rumah Bu Shinta?” tanyanya.
“Benar, Pak. Apa ada surat buat saya?” cecarku penasaran.
“Iya, Bu. Ini tolong diterima!” jawab tukang pos itu. Segera kuambil surat tersebut. Wow, dari Mas Pram. Tiba-tiba hatiku berbunga-bunga. Semburat rasa bahagia menyergapku.
Aku tak sabar lagi ingin tahu kabar suamiku. Setelah mengucapkan terimakasih pada Pak Pos, aku pun bergegas duduk di sofa ruang tengah. Kemudian segera menyobek sampul surat itu.
Sedetik pun mataku tak lepas dari kertas itu, menyimak kalimat demi kalimat yang ditorehkan Mas Pram. Sontak senyumku mengembang. Ah, andai ada orang lain yang melihat ekspresi wajahku, pasti aku tak kuasa menyembunyikan binar mataku.
“Alhamdulillah,” ucapku usai membacanya. Ternyata Mas Pram akan pulang besok lusa. Betapa senangnya aku, berarti kerinduan yang selama ini aku pendam sebentar lagi akan mencair.
Bayangkan, hampir setengah tahun Mas Pram tidak pulang-pulang.
Sebaiknya aku nanti masak sop buntut kesukaan Mas Pram. Pasti dia akan senang, batinku.
Sesekali aku melirik foto pernikahanku dengan Mas Pram di dinding. Wajah suamiku itu pun menari-nari di pelupuk mata. Ya, Mas Pramoto yang menikahiku dua tahun lalu itu belakangan memang jarang pulang. Kendati demikian, dia bukan tipe lelaki yang tidak bertanggung jawab, sama sekali bukan. Setiap bulan ia tetap rutin mengirimiku uang. Dari uang kirimannya yang lumayan banyak itulah aku dapat membuka usaha warung makan yang sekarang kian banyak pembelinya. Kuharap pada kepulangan Mas Pram kali ini, ia mau berhenti bekerja di luar daerah. Aku ingin menjalankan usaha baruku ini bersama-sama Mas Pram.
***
“Hari ini tutupnya cepat ya, Bu?” tanya Yanti kepadaku. Aku hanya membalas pertanyaan karyawatiku satu-satunya itu dengan senyuman. Kurasa ia sudah paham kenapa hari ini warung tutup agak cepat. Apalagi kalau bukan untuk mempersiapkan kejutan untuk kedatangan Mas Pram?
“Aduh Ibu, kayak pengantin baru aja!” Yanti coba menggodaku. Tetapi kali ini aku berusaha untuk tidak meladeni candaannya. Aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah untuk mempersiapkan pesta kecil-kecilan buat Mas Pram.
“Yanti, nanti jam dua langsung ditutup saja, ya! Kamu kan ada kuliah pada jam tersebut? Ibu mau pulang duluan,” kataku setelah memeriksa bahan-bahan dan kelengkapan bumbu untuk keperluan warung.
Sambil membawa rantang yang penuh makanan, kuhidupkan mesin motor metic yang baru kubeli beberapa minggu lalu. Aku sedikit tergesa-gesa, soalnya khawatir Mas Pram bakal lebih dulu sampai ke rumah. Kalau itu terjadi pasti bukan kejutan lagi namanya. Sebelum kendaraanku melesat, kusempatkan melirik warung yang bertulisan “Pramoto Shinta” itu. Ah, bayangan wajah suamiku kian memenuhi kepalaku. Walaupun cerita cinta kami tidak seindah kisah asmara di sinetron atau FTV yang sering kutonton, namun kesetiaanku terhadap Mas Pram tidak perlu diragukan lagi. Meski di sisi lain harus kuakui bahwa tidak mudah memang hidup jauh dari suami.
Kadang kalau ingat sejarah perkawinan kami, akalku agak sulit menerima kenapa di zaman semaju ini perjodohan masih berlaku. Ya, pernikahanku dengan Mas Pram adalah hasil dari perjodohan. Konon Mas Pram dulu pernah menolong kakakku dari para preman yang hendak berbuat jahat kepadanya. Ketika ia berada di Jakarta, ia pula yang selalu membantu kakakku selama berada di sana. Sejak itu hubungan kakakku dengan Mas Pram terjalin dengan baik, sehingga berujung pada perjodohan ini. Dan jadilah awal dari episode di mana aku dan Mas Pram dipertemukan untuk kemudian melangkah bersama dalam biduk rumah tangga.
Aku memang bukanlah seseorang yang berani melawan kehendak kakak yang selama ini merawatku semenjak kepergian kedua orangtua kami. Maka, perjodohan itu pun tak terelakkan. Namun seiring perjalanan waktu, lama-kelamaan tumbuh juga perasaan cinta tersebut. Toh cinta adalah perkara hati, sedangkan hati urusan Ilahi. Sungguh, datangnya perasaan cinta itu tak dapat kutolak, sekalipun kedengaran lucu.
Ups, tanpa sadar lamunanku jauh menerobos ke masa silam. Sesaat kemudian kuusap mataku yang sedikit terkena air gerimis. Semoga saja tidak berubah jadi hujan lebat.
“Apa memang harus seperti ini, Mas?” Itulah kalimat yang kuucapkan ketika Mas Pram akan berangkat kembali ke Jakarta beberapa minggu setelah kami menikah.
“Ini memang harus kulakukan, apa kamu mau Mas tidak kerja?”
“Tapi kenapa harus di Jakarta? Kenapa Mas tidak coba cari kerja di Banjarmasin saja?” Aku tetap ngotot, aku tidak mau punya suami yang tak jelas kapan pulangnya.
“Sekarang ini nyari kerjaan susah, apalagi untuk orang yang tidak berpendidikan tinggi seperti aku ini. Lebih baik Mas melanjutkan pekerjaan di Jakarta sebelum posisi Mas digantikan oleh orang lain. Nanti tiap bulan Mas akan rutin kirimi kamu uang untuk keperluan kamu, sebagian lagi bisa ditabung untuk modal usaha di Banjarmasin. Nanti jika usahamu sudah lumayan sukses, Mas akan berhenti kerja di Jakarta dan memmbantu kamu mengelola usaha baru kita di sini.” Mas Pram berusaha meyakinkanku.
Aku sadar hidup butuh perjuangan, mungkin inilah perjuangan kami di awal-awal membangun rumah tangga. Dan pada akhirnya aku pun ikhlas melepas kepergian Mas Pram ke Jakarta.
***
Hujan turun begitu deras, berpadu dengan desauan angin yang teramat dingin menusuk tulang. Sesekali diwarnai cipratan-cipratan kilat dan gelegar petir. Aku masih mengendarai motor, sementara jarak menuju rumah tidak jauh lagi, itulah yang membuatku enggan berteduh. Aku lebih memilih memacu kecepatan motorku di tengah derasnya hujan dan dinginnya angin daripada harus menunggu hujan reda. Di samping itu aku khawatir Mas Pram sudah sampai di rumah lebih dulu.
Ah, semoga saja air hujan tidak masuk ke rantang yang kubawa dari warung tadi. Aku tidak ingin masakan yang kubuat susah-susah dengan Yanti di warung tadi berkurang kenikmatannya gara-gara air hujan.
Hujan masih juga tak reda ketika aku sudah sampai di depan gang menuju rumahku. Segera kubelokkan motor memasuki gang itu. Kulihat warga berhamburan di jalan dan terlihat ramai, padahal masih hujan. Hatiku mulai bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Apakah kebakaran? Tetapi tidak terlihat asap pekat mengepul di udara. Atau mungkin…
Ah, hatiku mulai risau!
Dari kejauhan kulihat mobil polisi terparkir di depan rumah, lalu seorang laki-laki digiring masuk ke dalamnya. Lengannya diborgol dan dikawal sekawanan polisi bersenjata lengkap. Oh, tidak! Itu Mas Pram. Mas Pram-ku! Kenapa Mas Pram ditangkap polisi? Apa yang dia lakukan? Mas Pram adalah lelaki yang baik, tidak mungkin ia melakukan kejahatan. Sampai sekarang mulutku masih kaku, aku tidak sanggup mengatakan apa-apa, seiring dengan melemahnya detak jantung yang kurasakan.
“Selamat sore, Bu Shinta. Maaf Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sehubungan dengan kasus peredaran narkoba yang dilakukan suami Anda dan komplotannya.”
Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Napasku semakin berat dan sesak. Pandanganku yang berkunang-kunang semakin lama semakin gelap. Aku tidak tahu apakah sekarang aku masih hidup ataukah sudah mati.[]
Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher
0 komentar: