Cerpen Khoiriyyah Azzahro: Episode Luka di Prancis
Ini adalah hari kelima aku di sini. Tiga hari lagi, terompet tahun baru akan berkumandang. Entah mengapa, dua minggu lalu aku memutuskan untuk membeli tiket pesawat tunggal dari Indonesia demi menghabiskan akhir tahun di negeri Napoleon Bonaparte ini.Awalnya, suami dan anak-anakku tak mengizinkan. Namun, mereka takkan sanggup menghalangiku untuk mengunjungi tanah kelahiranku.
Udara dingin subuh hari memaksaku untuk menarik reusleting jaket lebih rapat lagi. Kuraih Chateau Rouge1 di sudut rak. Sambil menikmati cappucino hangat di sofa ruang terindah apartemen tua ini, kubuka lembar demi lembar buku karanganku sendiri itu. Kisah dongeng anak tentang Menara Babel2 yang ditulis pada 1985 itu membawaku pada memori masa kecil. Kala sebuah episode luka tercipta dalam hidupku.
Tahun 1970…
Ribuan lelaki muslim asal Aljazair berdatangan ke tanah kelahiran mereka, setelah enam tahun membela negeri Prancis dalam perang. Mereka tak punya pilihan. Ketakutan kehilangan kewarganegaraan memaksa mereka tunduk. Ketakutan sebagai bangsa minoritas.
Hingga kala pemerintah Prancis menggelar pengumuman bahwa mereka membutuhkan banyak tenaga untuk dijadikan tentara perang dan buruh kasar, demi membangun kembali negeri yang hancur setelah Perang Dunia II, berbondong-bondong kaum muda khususnya kalangan lelaki mendaftarkan diri dan bergabung.
Mereka, para Harkis3, sungguh tak punya pilihan. Setiap hari mayat-mayat bergelimpangan di tengah jalan usai disiksa hingga terbunuh oleh milisi Prancis. Para Harkis itu berjuang demi negeri Prancis. Namun, nyawa mereka taruhannya.
Semenjak itu, semua muslim migran Al Jazair di Prancis, dipindahkan ke pinggir kota. Habitation a’ Loyer Moderé, sebuah apartemen murah yang disubsidi pemerintah, menjadi tempat tinggal baru. Namun tempat itu bukan kedamaian dan bukan jaminan ketenangan. Bukan surga. Bukan!
Karena semenjak itu, tak ada lagi kampung Arab yang dulu. Kampung di utara Paris, rue Montesquieu, di Lyon4. Kampung masa kecilku, yang sore harinya selalu sesak oleh para imigran, yang alun-alunnya selalu dipenuhi merpati, dan penuh canda anak-anak yang bermain riang. Ah.. saat itu Aku masih sebelas tahun.
Ups! Udara subuh yang masih dingin, membuatku harus meraih syal tebal yang tergantung di balik pintu. Sebelum kembali mengenang memori demi memori masa lalu.
Dua belas tahun berselang setelah 1970…
Rambut panjang dan keriting, serta selendang motif kotak-kotak hitam putih yang selalu dikenakannya5, memberi kesan kontras yang seakan tak mau pergi darinya. Kesan bahwa meski seorang perempuan, ia takkan gentar menjalani hari bersama kami.
Mengarungi perjalanan panjang selama satu setengah bulan, bersama Toumi, Farid, Djamel, serta tiga belas pemuda-pemudi lainnya. Menjejak Kota Marseile di selatan hingga Paris.
Dan semangatnya yang tak pernah gentar telah memacu diriku, Leyna, Sharma dan Aleyda, tiga perempuan selain Aku dan ia, untuk istiqomah di kelompok yang kami bentuk secara underground itu.
Ia selalu bercita-cita menembus gedung legislatif Prancis suatu saat kelak. Hingga ia rela menjadi minoritas pada sebuah LSM yang digelutinya. Ia yang bertekad sekeras baja, namun lucu dan sederhana. Ia... Alima Boemediene6.
Aku pernah mengira, ia, seperti yang lainnya, yang akan membuka semua kisah kelam masa lalu yang pernah dialami. Karena, dalam perjalanan damai itu, bertukar cerita adalah salah satu hiburan kami. Apa saja. Segalanya.
Seperti tutur Djamel suatu sore, “Kau lihat ini!” diperlihatkannya bekas luka pada pergelangan tangannya. Bekas luka yang juga dimiliki oleh Zaid, Farid dan Salman.
“Polisi pernah menahan kami. Empat puluh delapan jam. Tanpa saksi. Kami dipaksa membuka celana. Didudukkan di atas botol minuman soda. Sambil dicaci dan disulut rokok. Akhirnya, Kami potong pembuluh darah pergelangan tangan kami dengan tiap benda tajam yang bisa terpegang saat itu, demi membebaskan diri. Tentu, akhirnya kami dilarikan ke rumah sakit.”
Aku terperanjat! Juga Sharma dan Aleyda.
Namun, tidak dengannya, Alima. Ia hanya tersenyum, hingga Djamel yang lebih muda tiga tahun darinya, ikut pula tersenyum. Bahkan Farid yang jarang tersenyum, terlihat menyunggingkan bibirnya.
Farid sebaya denganku dan dibesarkan satu kawasan yang sama, rue Montesquieu. Kami pernah masuk sekolah negeri yang sama bahkan melihat kuda penghantar susu yang sama setiap pagi. Hanya perbedaan ‘bahasa’ selalu jadi jurang pemisah bagi kami. Sering kata-kata lembut dariku ia terima sebagi ejekan keji. Ah..
Meski demikian aku tahu, Farid memiliki semangat yang sama seperti lainnya. Menurut kisahnya, awal ketergugahan Farid setelah mendengar kisah Toumi tentang mimpi indah masa depannya. Sekeluarnya dari rumah sakit akibat kakinya tertembak polisi, Toumi menonton film Gandhi7. Dan Toumi tiba-tiba mendapat semangat baru demi menuntut persamaan hak dan melawan rasisme di negerinya. Hatinya luka. Bukan karena kakinya yang kini tak lagi dapat setegak dahulu, namun karena peluru tersebut terlontar dari senapan seorang polisi yang ‘mengamankan’ upaya pemerintah sosialis Prancis saat membongkar apartemen di Minguettes. Apartemen kumuh milik imigran muslim Prancis tempat Toumi tinggal.
Alima masih tersenyum. Senyum yang memendam kepiluan. Yang ia sembunyikan di balik wajah tegarnya kala itu. Dan aku tak tahu.
Hanya satu yang kutahu, ia memiliki mimpi dan harapan yang sama denganku. Terlebih saat itu, seluruh pikiranku masih dipenuhi oleh Undang-Undang Apartheid usai mengikuti konferensi di Afrika Selatan. Mimpi dan harapan tentang keadilan, keterbebasan dari diskriminasi sosial, dari perbedaan primordial. Demi kesamaan dan kedamaian masa depan.
Ah… di manakah kini ia? Alima-ku nan bercahaya. Masihkah ketika tanah Aljazair dipecundangi oleh pemerintah Prancis saat itu?
Entah mengapa aku yakin saat ini Alima sedang tersenyum melihat usahanya yang dulu mulai membuahkan hasil. Karena dari berita yang kudapatkan kini ia telah berhasil menggapai impiannya untuk menduduki kursi legislatif. Dan kini tentu ia sedang berjuang penuh demi kaum muslim di negeri Napoleon Bonaparte ini.
***
Ini adalah hari kelima aku di sini. Sebentar lagi gegap gempita tahun baru akan terdengar. Entah mengapa kupilih negeri ini. Mungkin karena meski bertahun hidup di Indonesia takkan pernah menghapus mimpi masa laluku.
Dan, demi kenangan masa lalu, pagi ini kukayuh sepeda melewati beragam bangunan termewah serta termegah di ibukota Prancis ini. Menyeberangi Sungai Seine, melintasi halaman Museum Louvre, hingga melewati Avenue de l’Opera, gedung pertunjukan opera yang selalu ramai dikunjungi orang.
Ah… Miris rasa hati ini. Entah mengapa, wajah kota Paris kian pudar saja di mataku. Semakin ke arah utara, para penduduk semakin miskin, semakin hitam. Hey… Ini zaman apa?
Kemarin malam, kudengar untaian kalimat bijak dari mulut seorang perempuan. Mengisi corong pengeras suara Gedung Radio Nasional Prancis, persis di depan Menara Eiffel.
“Anak-anak tercinta… Prancis negeri kita! Yakinlah itu! Karena kita akan merasa asing bila pulang ke Al Jazair dan Maroko. Dan kami telah bermimpi, kalian menjadi menteri, anggota parlemen, guru, dan dokter. Kini, kita telah lihat, ayah dan kakak-kakak kita, menganggur, mengamuk. Tapi… Jangan hancurkan dan bakar yang pernah kalian puja! Jangan biarkan kata-kata penuh kebencian merasuki kalian untuk memusuhi negeri yang harus kita bangun bersama ini!”
Yamina Bengugui8, adalah nama perempuan itu. Namun bukan ia yang kucari, melainkan seorang perempuan lain yang duduk di sampingnya. Dari belakang meja perempuan itu menghadap ke seluruh undangan dengan tatapan mata yang tegar. Di hadapannya terpampang papan nama bertuliskan ‘Alima Boumedine, Anggota Senat’.
Maka, tak hanya demi kenangan masa lalu, pagi ini kupacu sepeda menuju Kafe Le Palais de Montmartre. Kafe eksotis milik bekas pejuang kemerdekaan Al Jazair itu penuh dengan foto besar mantan Presiden Abdul Azis Bouteflika pada dindingnya. Tempat indah untuk bernostalgia dengan kawan lama. Terlebih lagi karena tempatnya bersebelahan dengan Kantor Partai Hijau.
Tak hanya demi kenangan masa lalu, kudengarkan cerita pilu dari mulut seorang perempuan yang sedari dulu tak pernah berubah di mataku. Ia tetap lucu, cerdas, penuh senyum, tegar namun sederhana.
“Kau tahu Liz, pada 1938 ayahku melarikan diri ke Prancis. Satu-satunya tempat paling aman dari kejaran polisi. Dua tahun kemudian saat penyerbuan Jerman, ayahku dideportasi dan dimasukkan ke kamp kerja paksa. Ia disiksa agar mengaku Yahudi karena tentara SS9 melihat Ia disunat dan kulitnya agak putih,” Alima mulai membuka kisahnya padaku.
“Di Prancis, ia bergabung dengan La resistance10. Usai perang, ia menikah dan aku terlahir. Kami tinggal di gubuk reot di Argentuil. Tak ada air kecuali sumur umum. Hanya cahaya lilin penerang kala mengerjakan tugas dari sekolah di malam hari”
Alima meraih mocca panas. Menyeruputnya perlahan. Sungguh, wajahnya masih setegar dahulu.
“Aku tak pernah lupa, Liz! Kala guru di sekolah dasar tempat kubelajar berkata ‘Bapakmu, Boumedien, telah membunuh kakakku!’. Hhh... rupanya ia telah menganggap semua laki-laki Al Jazair sebagai pembunuh saudaranya.” Alima menarik napas amat dalam.
“Ayahku memang miskin. Tapi ia seorang pejuang!” ujarnya bangga.
Ia lalu mengajakku mengunjungi kantornya. Tepatnya Kantor Partai Hijau. Partai yang dahulunya beranggotakan orang-orang borjuis Prancis, namun kini partai tersebut telah berputar haluan. Kalau kini Alima menjadi pengurus partai tersebut hingga berhasil menembus gedung senat, tentu saja istimewa. Ia telah berkerja keras mewujudkan mimpinya demi negeri Prancis.
Di kantornya tersebut, ia memiliki seorang sekretaris perempuan asli pribumi Prancis, berkulit putih dan amat ramah. Bahkan tak ragu menjabat tanganku.
“Bonjour!” sapa seorang tiba-tiba mengejutkan kami. Ternyata seseorang lelaki berkacamata, dengan ransel, jaket dan kartu pers, berdiri di depan pintu.
“Oh.. ada tamu. Silakan.. Ada yang bisa dibantu?” tanya Alima ramah.
“Maaf, kemarin saya telah menghubungi Madam Alima Boudine untuk wawancara. Anda sekretarisnya, ya?”
Aku dan Alima saling berpandangan.
Mata beningnya seakan berkata, “Tenang, Liz! Ini hal kecil. Bukankah kaum migran Al Jazair dan Arab berkulit coklat seperti kita ini sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini”
Kemudian laku tegasnya seraya berucap, “Oh.. Sayalah yang Anda cari. Silakan!” ucap Alima.
Aku dan Alima tersenyum saat jurnalis tersebut tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya. What a woman!! Pasti kalimat ini menggaung dari sanubari si lelaki sang jurnalis.
Aku pun teringat pada bisikan Alima sebelum menjejakkan langkah memasuki ruangan ini dua puluh menit yang lalu. “Orang yang baru pertama tiba di sini selalu mengira saya adalah sekretarisnya sekretaris saya.”
Ah.. episode luka diskriminasi itu ternyata belumlah usai dipertontonkan dunia.[]
Banjarmasin, 23rd June 2008
(Diinspirasi dari memoir Elizabeth D. Inandiak, penulis dan penerjemah yang telah menjalani hari dan luka di Prancis)
Keterangan:
1. Chateau Rouge (Istana Merah) : sebuah daerah perkampungan majemuk di sudut kota Paris yang dihuni berbagai ras dan suku. Nama ini pernah dijadikan Elizabeth sebagai judul buku karangannya.
2. Menara Babel : sebutan lain untuk Chateau Rouge.
3. Harkis : sebutan bagi laki-laki Al Jazair yang berperang untuk Prancis.
4. rue Montesquie, Lyon : sebuah kawasan perkampungan para kaum imigran asal Al Jazair di kota Paris.
5. Selendang motif kotak kotak hitam putih adalah selendang khas para wanita Palestina.
6. Alima Boumedine : pada masa mudanya adalah aktivis LSM yang giat memperjuangkan kesamaan hak kaum migran di negeri Prancis, kemudian menjadi anggota Senat yang selalu aktif dan concern membela undang-undang dasar dan lingkungan hidup lewat Partai Hijau.
7. Gandhi : sebuah film karya Richard Attenborough, 1982.
8. Yamina Benguigui : seorang sutradara dan seniman terkenal berkebangsaan Prancis asal Al Jazair.
9. SS (SchutzStaffel) : kelompok satgas partai Nazi setelah yang dibentuk setelah satgas Bradenburg, lalu dimiliterisasi hingga membesar tentarasebutan lain bagi tentara NAZI Jerman.
10. La resistance : kelompok perlawanan Prancis yang melawan pendudukan Jerman kala itu.
Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher
0 komentar: