Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Cinta yang Terjinakkan

02.48 Zian 0 Comments

Malam melarut. ‘Hello’ Lionel Richie menyamankan rasa. Hatiku sedang gundah. Perasaan letih. Bulan menyiangi kegelapan. Memanggil-manggil. Kuayun langkah. Menggapai Bulan. ‘Kalau Bulan bisa ngomong’, kan kukurim pesan: “Titip rindu buatnya”.
“Mat malam Uda”.
“Oh”. Aku tergagap. Aku menjadi lelaki paling dungu. Gagap total.
“Da, ikutan duduk, ya”.
“Ya, ya”. Lidahku keluh. Ya, aku memang lelaki dungu. Nora. Perempuan yang kini duduk disampingku. Dia mahasiswaku. Aku menyukainya. Tubuhnya, cara dia berjalan, bicaranya , kepolosannya, kecerdasannya, dan … yang paling kusukai cara dia menatap. Tajam dan lembut.
“Da. Besok aku pulang kampung. Makasih ya, nilaiku bagus. Semester ini IPK 3,65. Dosen-dosen baik-baik deh”.
Kutatap matanya dalam-dalam. Toh takkan terjelas di keremangan. Setengah agak marah kukatakan: “Nilaimu bagus karena memang kamu cerdas. Kamu harus yakin, nilaimu usahamu. Bukan lainnya”, jawabku ketus.

Gembiranya surut. Tiba-tiba aku merasa merasa bersalah. Kuraih tangannya, kugenggam jemarinya. “Pelajaran buatmu. Jangan pernah berpikir melampaui batas kenyataan”. Terasa dingin. Aku serba salah.
Ya, Nora menguncang jantungku. Dia rajin ke kostku. Ada saja yang dia tanyakan. Kalau aku tidur dibangunkannya. Kalau mengetik, ditemaninya. Ibu kost selalu mengatakan: “Tu, pacarmu datang”. Ya, aku memang senang di datang. Kalau perlu nginap sekalian. Tapi, aku tahu, aku bukanlah lelakinya. Lebih parah, seperti kuliah, kalau dia agak lambat memahami apa yang kumaksud, akan kumaki: “Dasar mahasiswa tolol. Makanya rajin membaca”. Ajaibnya, dia mengangapnya bercanda. Dan, aku memang bercanda.
Malam itu, 6 Januari, malam yang pendek. Tiba-tiba suara azan dari menara gema langgar berkhabar, subuh menjelang.
“Moga selamat sampai di kampung. Salam buat Ibu ya”. Nora tidak berkata apa-apa. Matanya masuk jantung hati. Itu saja.

***

“Mat malam Uda”.
“Oh”. Aku tergagap. Aku menjadi lelaki paling dungu. Gagap total.
“Da, ikutan duduk, ya”.
“Katanya pulang kampung”.
“Ya, begitulah. Pesawatnya penuh. Tanggal 10 baru dapat seat”.
Malam, 9 Januari, seperti 6 Januari lalu, kami bicara sampai pagi. Banyak hal dibincang. Aku lelaki perjaka, dia wanita muda usia. Nyamuk-nyamuk lapar menjadi saksi di sudut kamar, di keremangan malam. Pacaran deh kisahnya. Prestasi terbaik kami berpegangan tangan, melumat jari-jari. Itu saja.

***

Aku berkirim surat. Aku hanya bisa menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih tidak kurang. Aku juga mengaku, menyayanginya, tetapi tidak untuk mencintai. Aku mau, tetapi tidak bisa. Aku memutuskan secara sepihak.
“Uda Raja Tega. Kenapa aku tidak diundang ketika Uda, kawin. Keterlaluan”. Aku betul-betul tidak berkutik. Kubiarkan dia berkata apa saja. Hatiku teriris-iris menatap matanya yang berair. Ada kepedihan disitu. Kepedihananya, kepedihanku. Ya, tetapi aku harus mengambil keputusan.
“Aku betul-betul minta maaf”.
“Ya, tetapi kenapa? Uda Raja Tega”.
“Kamu kan tahu, usiaku semakin menua. Aku perlu membangun keluarga”.
“Ya, tetapi kenapa denganku?”.
“Maaf, sungguh. Kakak tidak bisa. Kamu masih childish”.
“Dasar dosen bodoh. Tidak tahu perasaan wanita”. Marahnya tak terbendung.
“Diq, jangan pukulkan palu itu. Aku menyayangimu. Sayang sebagai adik. Itu lebih tinggi dari cinta. Cinta bisa pupus, sayang lebih mulia”.

***

Aku kini lelaki sempurna. Aku punya isteri, dan kini tengah mengandung anak buah cinta kami. Aku mencintai isteriku. Tetapi, tidak bisa melupakan Nora. Dia berhak, sebab datang saat puasaku terlalu panjang. Hati kami bersua, namun aku tidak saja membutuhkan cinta, tetap isteri. Aku tidak memilihnya.
Sebagai ‘penebus dosa’ dan  agar ganjalan tidak mendenda, kami mendatangi ke kampungnya. Minta maaf pada Ibunya.
“Tu, kan dasar dosen bodoh. Kamu cinta pertamuku”. Yang paling kusuka bicara polosnya. Aku ingat adik perempuanku di kampung. Persis Nora. Bagaimana aku mencintai adik bathinku sebagai wanita.
“Aku ngaku. Kamu punya segalanya. Tetapi, aku sungguh menyayangimu. Lebih agung dari cinta”. Ya, jujur saja, rasa lelakiku telah kumatikan. Setidaknya berusaha kumatikan. Namun, ada yang berdenyut di ulu hati. Pain.
“Kak. Kamu Raja Tega. Tiap hari aku mendatangimu. Aku menggigil ketika tanganku kau sentuh. Aku ingin dipeluk, akau harap dicium, aku ingin kau nikahi”.
“Kenapa sekarang kau katakan? Aku kan sudah bilang, aku butuh isteri. Umurku semaki  mendaki. Lagi pula …”.
“lagi pula apa?”.
“Aku tak mau kau mendekatiku karena aku dosenmu”.
“Dasar dosen bodoh. Buat apa aku mendatangimu tiap hari. Buata apa ‘menyerahkan’ diri padamu. Kamu yang tidak paham, tidak tahu wanita. Kenapa aku ‘dicuekin”.
“Kalau sesorang mencintaimu, dia takkan ‘merusak’ kamu. Kalau sesorang mengedepankan nafsunya, dari gegabah mencium, mengambil perawanmu, itu bajingan. Aku bukan bajingan. Aku menyayangimu. Siapa pun takkan kubiarkan merusakmu, lahriah dan bathiniah”. (Ampun, bukankah aku telah melukai hatinya?).

***

“Aduh ada apa sih ribut-ribut”. Rupanya Ibunya dan isteriku sudah berdiri di depan kami.
“Tidak Bu. Ya, kami lagi mengklirkan persoalan yang tertinggal”.
Kuraih tangan Nora. “Aku mohon maaf”. Kutatap dalam-dalam. Aku menjura ke Ibunya. Kuraih tangan isteriku, dan aku ke kamar Nora. Malam ini kami menumpang menginap di kamarnya.
Kasih sayang di atas cinta. Kasih sayang adalah pemberian abadi seperti Allah SWT contohnya. Cinta adalah hubungan timbal balik sesama manusia; disitu ada tuntutan, ada pemberian, take and give.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Banjarbaru, 18 Agustus 2008.


Sumber:
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/ersis-warmansyah-abbas-indonesia-kalimantan-selatan/

0 komentar: