Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Universitas Kolam Ikan
Embun pagi menghantar sejuk ke lobang pori-pori. Hujan di akhir Desember membentang nyaman menjangkau awal Januari. Ikan nila merah berkejaran dengan nila hitam, memadu kasih mengitari lobang sebesar baskom raksasa yang terlihat putih di tepi kolam. Sesekali ikan mas, patin, dan haruan mendekat. Mereka usir dengan moncong mengagah. Puizz … kabur terkikih-kikih.Aku menatap jernihnya air kolam di pagi itu. Fajar menyingsing membukakan jalan bagi mentari memancarkan berkahnya. Tidak ada asap. Jernih. Bersih. Nafas membiarkan udara masuk-keluar tanpa portal. Ya, Allah begitu nikmatnya, nyaman Bumi Kau ‘serahkan’ pada kami. Aku membatin.
Sebelum shalat Subuh, aku berselancar di internet. Memeriksa naskah-naskah kuno. Mataku tergagap di tugop —semacam komputer dinding. Tanah yang kuinjak, Banzarbharo, dua abad lalu berada di pulau, yang dulu dinamakan Borneo. E … salah ding, Kalimantan. Nama Bornea maunya Inggris. Belanda menyebutnya Kalimantan, dan republik Indonesia mengikutinya.
Tanah yang diberkahi dengan hamparan pohon-pohon paruh-paruh dunia, perutnya bermuatan batu bara, minyak, gas, emas, biji besi, dan berkah alam lainnya, rupanya, pada tahun 2113 diamuk banjir bandang. Hujan yang terus menerus sebulan penuh begabung dengan pasang air laut, menenggelamkan dua pertiga pulau terbesar keempat di Bumi tersebut. Dari sepuluh juta penduduknya yang selamat hanya lima ratus ribu orang, termasuk kakekku.
Kusau pikiran, setelah ditenangkan sholat subuh, dan nyamannya udara pagi, tidak mampu menjauhkan pikiran dari informasi tugop. Ikan-ikan yang kesana-kemari menarikan nyanyian air, hanya membantu menenangkan sesaat. Aku tidak habis pikir, kog begitu dungunya nenek-moyangku.
Pohon-pohon ditebang sampai tidak ada yang tersisa. Bumi dibalik, menguras aneka barang-barang tambang. Tanah Berkah Pertiwi berubah menjadi padang pasir. Korang-kerontang. Bila musim hujan banjir melanda, bila kemarau, asap menghadiahkan sesak nafas, kebakaran dimana-mana. Bagaiman bisa terjadi?
Lucunya, kekayaan hasil kurasan tersebut entah untuk apa. Para penguras tersungkur dililit hutang. Konon, pemerintah menghamburkan uang untuk menyelamatkan mereka. Dana BLBI dikucurkan. Apa itu BLBI? Sungguh membingungkan.
Hasil ekploitasi itu ditanamkan di Singapore, Hongkong, Cayman Island, dan Swis. Dana BLBI yang mereka peroleh semakin menebalkan tabungan pundi-pundi kedurjanaan. Lalu, kabur ke luar negri meninggalkan kesengsaaraan. Tidak ada yang bersalah. Pemberantasan korupsi jadi retorika sempurna. Mereka berdendangria, hidup berpoya-poya. Dan, kemudian ‘membeli’ republik murah-meriah. Ah … (?).
***
Embun pagi menguap. Pikiran berkelana. Bukankah nenek-moyangku bukan orang-orang bodoh? Universitas bertebaran di seantero negeri. Lembaga pengkajian berdiri gagah. Mengimpor beras tak terkira, produk tehnologi apalagi, sampai kondom bekas pun diterima; food gathering. Bangsa saudagar yang kurang paham inventasi, berlagak jago dunia. Ditipu para tetangga, apalagi oleh ‘polisi dunia’. Fuuuui, Bumi kog dikuras habis?
Katanya, illegal loging, illegal minning. Bagimana bisa. Bukankah pohon itu berkilo-kilo meter jauhnya? Ditebang. Diangkut berlama-lama. Melewati sepuluh juta pasang mata. Dinaikkan ke kapal. Diekspor melalui pelabuhan negeri. Tidak terlihat?
Kemana mata penegak hukum? Apakah mereka buta? Kemana suara dibunyikan? Apakah dari SD sampai PT tidak diajarkan, bahwa Bumi harus dipelihara. Atau, yang diajarkan matematika atau teori bahasa yang tidak dikuasi gurunya, orang tua, hingga anak didik bingung? Aha, Pak Kiai berbusa-busa mulutnya, para guru membantu siswa mengkhatamkan UN. Pendidikan curangkah hingga ketika menjadi sarjana tidak bisa berbuat apa-apa? Entahlah.
Bertanya tidak menyelesaikan masalah. Isteriku memanggil untuk sarapan. Anak-anak sudah siap ke sekolah. Lamumku terlalu lama hingga lupa mandi.
***
“Kog, kurang bersemangat nampaknya, EWA”, Prof. Dr. Al Jupri, Rektor Universitas Sadar Alam menegur setengah bertanya setengah memperingatkan.
“Ya, tidak seperti biasa”, timpal Prof. Dr. Swali, Mpd., Dekan Fakultas Menulis Sastra (bukan teori sastra) setengah heran.
“Hmmm, ada masalah apa”, ledek Prof. Dr. Yari, MPA, Dekan Fakultas Keamanan Nasional setengah bercanda.
“Ahai, jangan-jangan lagi beramtem ama bini nich”, ujar Prof. Hanna, tidak mau kalah. Para Profesor, pembimbing disertasiku, seolah menghakimi tanpa ampun.
“Ya, Prof”, kataku lemas. “Dari risetku, para perancang pendidikan dulu itu tidak me-link-and-macth-kan’ antara teori dan praktik. Sehingga, lulusan perguruan tinggi —era itu— tidak piawai berbuat. Kuat di teori saja”.
“Ya ya bagus. Kami sudah paham. Draft disertasimu kami setujui … dengan satu syarat!”
“Apa itu Prof?”
“Nanti, realisasikan delapan tesis dalam disertasimu. Jangan berteori saja, realisasikan. Apa mau meniru nenek moyang? Jago berteori, teori orang lagi?”
“Ya. Siap Prof
“Desember tahun depan sudah harus klir. Di awal Januari, kamu sudah jadi Doktor”.
“Siap Pak Satpam, e … maaf Prof. Maklum grogi karena terlalu gembira”.
“Ya sudah. Bubar”.
***
Aku disambut teman akrabku, Erwin dan Kurtubi. Teman yang satu ini IT minded. Draft disertasinya tak kunjung diterima. Dia merancang kendaraan tanpa memakai energi, berbasis tekanan udara. Padahal, tahu saja, para profesor pembimbingnya adalah ‘sisa-sisa Laskar Pajang’ rantai panjang ilmuwan teoritikus setengah matang.
Bagaimana mau bergagas dan menerima gagasan orang lain, wong menulis apa yang diomongkannya saja tidak mampu. Buktinya, cuma mengutak-atik pikiran ahli-ahli dari Nauru, Bushman, dan Eskimo memanfaat powerpoint. Berlagak paling hebat. Erwin terlalu idealis, memaksakan gagasan yang tidak mampu dicerna pembimbing. Dasar keras kepal sih. Ho oh kan saja, nanti setelah selesai baru salip. Habis perkara.
Lain Erwin, lain Kurtubi. Bagaimana Pak Kiai kog sampai tidak arif. Jelas saja ide-idenya dakwahnya ke luar dari mainstraim, mengobrak-obrak tradisi. Bersikukuh, bahwa nalar itu berian Allah SWT yang paling berharga. Tetapi, kog ya ngak menalar, nalar orang —walaupun profesor— bahwa nalar mereka ya tidak bernalar.
Kukuliahi dua sahabat ini. Coba kalau dulu dipilih pembimbing seperti pembimbingku, kan selamat sudah. Aku sedikit berlagak.
“Kamu sih duluan milih profesor yan bagus. Kami tinggal yang ….”
Biasa, canda kami keras-keras renyah. Kami bergegas ke rumahku, ke kolam ikan. Kami akan pesta makan ikan merayakan draf disertasiku yang di OK sembari mencari siasat menundukkan profesor pembimbing Erwin dan Kurtubi tanpa menggadaikan idealisme.
***
Ikan-ikan berenang riang gembira. Makan, bertelur, makan, bertelur, makan, bertelur … Moga-mogaan universitas tempatku menuntut ilmu (emang apa salah ilmu kog dituntut, ya) bukanlah kolam ikan.
Aku tertawa geli membaca cerpen yang konon dibuat untuk keperluan surat berantai. Sebagai mahasiswa pengambil spesialis Kebudayaan Kuno aku sering membaca cerpen-cerpen kuno. Tugop mencatat miliran cerpen. Ah … cerpen yang tidak menarik. Tapi, kog kalian baca juga, ya. Kacien dech lo.
Banzharbaro, Desember, 17th, 2220.
Sumber:
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/ersis-warmansyah-abbas-indonesia-kalimantan-selatan/
0 komentar: